Translate

Senin, 11 Maret 2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2005
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND
CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG
HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang
secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional, menghormati, menghargai, dan menjunjung
tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;
c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam
sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan
International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya);
d. bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud
pada huruf c pada dasarnya tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat negara
Republik Indonesia sebagai negara hukum yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan yang
menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di
dalam hukum, dan keinginan bangsa Indonesia untuk
secara terus menerus memajukan dan melindungi hak
asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
e. bahwa . . .
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pengesahan International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D,
Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan
Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3882);
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3886);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 185; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4012);
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026);
Dengan . . .
- 3 -
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL
COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS
(KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI,
SOSIAL DAN BUDAYA).
Pasal 1
(1 ) Mengesahkan International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hakhak
Ekonomi, Sosial dan Budaya) dengan Declaration
(Pernyataan) terhadap Pasal 1.
(2) Salinan naskah asli International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan Declaration
(Pernyataan) terhadap Pasal 1 dalam bahasa Inggris dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana
terlampir, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 4 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 118
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2005
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND
CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG
HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)
I. UMUM
1. Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya Sipil dan Politik.
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamasikan Universal Declaration of Human
Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya
disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan
kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil
pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan
dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan
efektif, baik di kalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri
maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah
yurisdiksi mereka.
Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan
kebebasan dasar yang dinyatakan oleh DUHAM ke dalam instrumen
internasional yang bersifat mengikat secara hukum. Sehubungan dengan
hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB meminta Komisi Hak Asasi
Manusia (KHAM) PBB yang sebelumnya telah mempersiapkan rancangan
DUHAM untuk menyusun rancangan Kovenan tentang HAM beserta
rancangan tindakan pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai bekerja pada
tahun 1949. Pada tahun 1950, MU PBB mengesahkan sebuah resolusi
yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta
kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung. Setelah melalui
perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, MU PBB meminta
kepada . . .
- 2 -
kepada Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak
asasi manusia: (1) Kovenan mengenai hak sipil dan politik; dan (2)
Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU PBB juga
menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus
memuat sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat
pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri.
Komisi HAM PBB berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai
dengan keputusan MU PBB pada 1951, masing-masing pada tahun 1953
dan 1954. Setelah membahas kedua rancangan Kovenan tersebut, pada
tahun 1954 MU PBB memutuskan untuk memublikasikannya seluas
mungkin agar pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya secara
mendalam dan khalayak dapat menyatakan pandangannya secara bebas.
Untuk tujuan tersebut, MU PBB menyarankan agar Komite III PBB
membahas rancangan naskah Kovenan itu pasal demi pasal mulai tahun
1955. Meskipun pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal,
naskah kedua Kovenan itu baru dapat diselesaikan pada tahun 1966.
Akhirnya, pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A (XXI),
MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik
bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan tentang Hak-hak
Sipil dan Politik dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1976.
2. Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak pada International Covenant
on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945
menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari
kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah
memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat
penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas
kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan
(Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di
dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara
Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2); hak setiap warga negara
Indonesia . . .
- 3 -
Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2);
hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28);
kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29
ayat (2); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31
ayat (1) ).
Sikap Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM terus berlanjut
meskipun Indonesia mengalami perubahan susunan negara dari negara
kesatuan menjadi negara federal (27 Desember 1949 sampai dengan 15
Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yaitu Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), memuat sebagian besar
pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban
Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33).
Indonesia yang kembali ke susunan negara kesatuan sejak 15 Agustus
1950 terus melanjutkan komitmen konstitusionalnya untuk menjunjung
tinggi HAM. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS
RI Tahun 1950) yang berlaku sejak 15 Agustus 1950 sampai dengan 5
Juli 1959, sebagaimana Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar
pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban
Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33), dan
bahkan sebagian sama bunyinya kata demi kata dengan ketentuan yang
bersangkutan yang tercantum dalam Konstitusi RIS. Di samping
komitmen nasional, pada masa berlakunya UUDS RI Tahun 1950,
Indonesia juga menegaskan komitmen internasionalnya dalam pemajuan
dan perlindungan HAM, sebagaimana yang ditunjukkan dengan
keputusan Pemerintah untuk tetap memberlakukan beberapa konvensi
perburuhan yang dihasilkan oleh International Labour Organization
(Organisasi Perburuhan Internasional) yang dibuat sebelum Perang Dunia
II dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda oleh Pemerintah
Belanda, menjadi pihak pada beberapa konvensi lain yang dibuat oleh
Organisasi Perburuhan Internasional setelah Perang Dunia II, dan
mengesahkan sebuah konvensi HAM yang dibuat oleh PBB, yakni
Convention on the Political Rights of Women 1952 (Konvensi tentang Hakhak
Politik Perempuan 1952), melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun
1958.
Dalam . . .
- 4 -
Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, upaya penegakan dan
perlindungan HAM telah mengalami pasang surut. Pada suatu masa
upaya tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa lain dikalahkan
oleh kepentingan kekuasaan.
Akhirnya, disadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak
mengindahkan penghormatan, penegakan dan perlindungan HAM akan
selalu menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat luas dan tidak
memberikan landasan yang sehat bagi pembangunan ekonomi, politik,
sosial dan budaya untuk jangka panjang.
Gerakan reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 telah
membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi
terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama untuk
menegakkan kembali pemajuan dan perlindungan HAM.
Selanjutnya Indonesia mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM
melalui Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian dilanjutkan
dengan RAN HAM kedua melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun
2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan
ratifikasi atau pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 (Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, 1984)
pada 28 September 1998 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998;
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783). Selain itu melalui
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999, Indonesia juga telah meratifikasi
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial).
Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
mengambil keputusan yang sangat penting artinya bagi pemajuan,
penghormatan dan penegakan HAM, yaitu dengan mengesahkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat
"Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia"
(Lampiran angka I) dan "Piagam Hak Asasi Manusia" (Lampiran angka II).
Konsideran . . .
- 5 -
Konsideran Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut menyatakan,
antara lain, "bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah
mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi
pelaksanaan hak asasi manusia dalam menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara" (huruf b) dan "bahwa bangsa
Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi
manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa serta instrumen internasional lainnya
mengenai hak asasi manusia" (huruf c). Selanjutnya, Ketetapan MPR
tersebut menyatakan bahwa Bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk
menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration
of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai
hak asasi manusia" (Lampiran IB angka 2). Sebagaimana diketahui bahwa
DUHAM 1948, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,
Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya adalah instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM
dan yang lazim disebut sebagai "International Bill of Human Rights"
(Prasasti Internasional tentang Hak Asasi Manusia), yang merupakan
instrumen-instrumen internasional inti mengenai HAM.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan
perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama disahkan
dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 1999; perubahan kedua disahkan
dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000; perubahan ketiga disahkan
dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001; dan perubahan keempat
disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002. Perubahan kedua
Undang-Undang Dasar 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia
terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM dengan
mengintegrasikan ketentuan-ke1entuan penting dari instrumeninstrumen
internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam
BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan
sampai dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang
kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
serta . . .
- 6 -
serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional untuk memajukan dan melindungi HAM, Indonesia perlu
mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM,
khususnya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
serta International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
3. Pokok-pokok Isi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya.
Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang
ekonomi, sosial dan budaya dari DUHAM dalam ketentuan-ketentuan
yang mengikat secara hukum. Kovenan terdiri dari pembukaan dan pasalpasal
yang mencakup 31 pasal.
Pembukaan Kovenan ini mengingatkan negara-negara akan kewajibannya
menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM,
mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi
pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam
kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui
bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati
kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan
kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap
orang untuk dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta
hak-hak sipil dan politiknya.
Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua negara,
termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan
Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian,
untuk memajukan perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti
yang sangat penting pada waktu disahkannya Kovenan ini pada tahun
1966 karena ketika itu masih banyak wilayah jajahan.
Pasal 2 menetapkan kewajiban Negara Pihak untuk mengambil langkah-
Langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hak-hak yang
diakui dalam Kovenan ini dan memastikan pelaksanaan hak-hak tersebut
tanpa pembedaan apa pun. Negara-negara berkembang, dengan
memperhatikan . . .
- 7 -
memperhatikan HAM dan perekonomian nasionalnya, dapat menentukan
sampai seberapa jauh negara-negara tersebut akan menjamin hak-hak
ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini bagi warga negara asing. Untuk
ketentuan ini, diperlukan pengaturan ekonomi nasional.
Pasal 3 menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 4 menetapkan bahwa negara pihak hanya boleh mengenakan
pembatasan atas hak-hak melalui penetapan dalam hukum, sejauh hal
itu sesuai dengan sifat hak-hak tersebut dan semata-mata untuk maksud
memajukan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis.
Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan
ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok,
atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan
tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun
yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang
ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang dilakukannya
pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang
berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan atau
kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut
atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.
Pasal 6 sampai dengan pasal 15 mengakui hak asasi setiap orang di
bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak atas pekerjaan (Pasal 6),
hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan (Pasal
7), hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8), hak atas
jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas perlindungan
dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang
muda (Pasal 10), hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11),
hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi
yang dapat dicapai (Pasal 12), hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14), dan
hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya (PasaI1).
Selanjutnya Pasal 16 sampai dengan Pasal 25 mengatur hal-hal mengenai
pelaksanaan Kovenan ini, yakni kewajiban negara pihak untuk
menyampaikan laporan kepada Sekretaris Jenderal PBB mengenai
tindakan yang telah diambil dan kemajuan yang telah dicapai dalam
penaatan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini (Pasal 16 dan Pasal 17),
penanganan laporan tersebut oleh ECOSOC (Pasal 18 sampai dengan
Pasal 22), kesepakatan tentang lingkup aksi internasional guna mencapai
hak-hak . . .
- 8 -
hak-hak yang diakui dalam Kovenan (Pasal 23), penegasan bahwa tidak
ada satu ketentuan pun dalam Kovenan yang dapat ditafsirkan sebagai
mengurangi ketentuan Piagam PBB dan konstitusi badan-badan khusus
yang berkenaan dengan masalah-masalah yang diatur dalam Kovenan ini
(Pasal 24), dan penegasan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam
Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat
pada semua rakyat untuk menikmati secara penuh dan secara bebas
kekayaan dan sumber daya alam mereka (Pasal 25).
Kovenan diakhiri dengan ketentuan penutup yang mengatur pokok-pokok
yang bersifat prosedural (Pasal 26 sampai dengan Pasal 31), dan yang
mencakup pengaturan penandatanganan, pengesahan, aksesi, dan
penyimpanan Kovenan ini, serta tugas Sekretaris Jenderal PBB sebagai
penyimpan (depositary) (Pasal 26 dan Pasal 30), mulai berlakunya
Kovenan ini (Pasa! 27), lingkup wilayah berlakunya Kovenan ini di negara
pihak yang berbentuk federal (Pasal 28), prosedur perubahan (Pasal 29),
dan bahasa yang digunakan dalam naskah otentik Kovenan ini (Pasal 31).
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Ayat (1)
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya) dan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
merupakan dua instrumen yang saling tergantung dan saling
terkait. Sebagaimana dinyatakan oleh MU PBB pada tahun
1977 (resolusi 32/130 Tanggal 16 Desember 1977), semua hak
asasi dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dibagi-bagi
dan saling tergantung (interdependent). Pemajuan,
perlindungan, dan pemenuhan kedua kelompok hak asasi ini
harus mendapatkan perhatian yang sama. Pelaksanaaan,
pemajuan, dan perlindungan semua hak-hak ekonomi, sosial,
dan pudaya tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengenyaman
hak-hak sipil dan politik.
Ayat (2) . . .
- 9 -
(Ayat 2)
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya
dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah
asli dalam bahasa Inggris Kovenan Internasional tentang Hakhak
Ekonomi, Sosial dan Budaya serta Declaration (Pernyataan)
terhadap Pasal 1 Kovenan ini.
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4557
- 10 -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar