Translate

Senin, 11 Maret 2013

Nilai HAM sebagai Konstitusi Kehidupan


HAK ASASI
Nilai HAM sebagai Konstitusi Kehidupan
Kompas : Rabu, 24 Desember 2008 | 04:05 WIB
Artidjo Alkostar
Pada hakikatnya penegakan hak asasi manusia merupakan upaya mewujudkan nilai
luhur kemanusiaan agar bangsa manusia dapat hidup sesuai dengan fitrah
kemanusiaannya.
Secara normatif, masalah HAM sejak 10 Desember 1948 menjadi bahasa universal.
Penegakan HAM tidak dapat dibatasi oleh perbedaan suku bangsa, agama, ras, dan
keyakinan politik. Nilai HAM merupakan konstitusi kehidupan umat manusia karena
tanpa HAM manusia kehilangan keotentikannya sebagai manusia yang bermartabat.
Manusia yang diperbudak, diperdagangkan, serta dijajah dan disiksa menjadi
kehilangan substansi kemanusiaannya. Formulasi jaminan bagi kebebasan menyatakan
pendapat, berorganisasi, dan kemerdekaan beragama pada dasarnya merupakan
konsekuensi dari konstitusi kehidupan yang mengharuskan manusia menghargai
kebebasan dan menunjang tinggi martabat yang melekat pada dirinya. Secara yuridis,
Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak membenarkan adanya undang-undang dalam suatu
negara yang melanggar norma dasar perlindungan HAM (Ius Cogen) sehingga PBB
akan memberikan reaksi dan sanksi bagi negara yang memberlakukan hukum yang
membenarkan perbudakan dan lain sejenisnya yang merendahkan derajat
kemanusiaan.
Begitu penting tegaknya HAM bagi perjalanan peradaban manusia, maka kejahatan
terhadap kemanusiaan dikualifikasikan sebagai musuh bersama bagi umat manusia
(hostis humanis generis) sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk mengadili
(erga omnes obligation). Jika negara yang bersangkutan tidak mau dan tidak mampu
mengadili penjahat yang melanggar HAM, negara-negara dari bangsa beradab atau
PBB akan mengambil alih tanggung jawab melakukan pengadilan sebagaimana, antara
lain, dilakukan terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Yugoslavia, Rwanda,
Kamboja, dan lainnya.
Pelanggaran HAM yang berat sering dilakukan oleh orang, kelompok, atau
pemerintahan yang memiliki oligarki politik sehingga berkorelasi dengan kejahatan yang
dilakukan oleh pemegang kekuasaan politik. Kejahatan kemanusiaan merupakan
bentuk khusus (species) dari kejahatan yang umum (genus) karena memiliki dampak
yang meluas dan sistematik serta mendegradasi martabat manusia. Sifat berbahayanya
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) lebih dahsyat dari
kejahatan biasa, seperti pencurian, penipuan, atau yang sejenisnya. Kejahatan
kemanusiaan berkualifikasi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) jika dilakukan
dengan menyalahgunakan kekuasaan politik atau mempergunakan dominasi kekuatan
bersenjata yang melekat pada kedudukan dan posisi sosial-politik yang ada pada
pelaku.
Prospek HAM di Indonesia
Hukum dan kebijakan kekuasaan negara harus dapat mentransformasikan nilai HAM ke
arah kehidupan bernegara yang berspirit kerakyatan dan perlindungan hak-hak warga
negara yang otentik. Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 menjunjung tinggi
kemerdekaan dan nilai kemanusiaan. Untuk itu, negara RI memiliki tanggung jawab
moral dan konstitusional untuk menegakkan HAM secara nasional dan internasional.
Dengan adanya beberapa kemajuan dalam hubungan dalam komunitas regional
negara-negara ASEAN, negara Indonesia sebagai negara demokrasi yang besar dapat
berperan lebih proaktif dalam penegakan HAM, baik penyusunan piagam HAM,
pembentukan pengadilan HAM, maupun penyelesaian masalah HAM secara regional
ASEAN. Masalah HAM merupakan masalah kemanusiaan yang selalu muncul sesuai
dengan dinamika sosial-politik dan kemajuan teknologi.
Tuntutan tegaknya HAM sering bergesekan dengan otoritas kekuasaan politik, terutama
kekuasaan penguasa yang otoriter. Konsekuensinya, banyak penguasa politik yang
setengah hati untuk menegakkan HAM secara konsisten. Banyak penguasa politik yang
tidak nyaman dengan keberadaan pengadilan HAM serta lembaga komisi kebenaran
dan rekonsiliasi. Padahal, keberadaan dua institusi tersebut dapat memfasilitasi
tercapainya restorative justice yang bertujuan untuk merestorasi (membangun kembali)
ekuilibrium kehidupan korban kejahatan HAM, masyarakat dan juga pelaku kejahatan
HAM yang biasanya melibatkan penguasa otoriter dan aparatnya. Keseimbangan
spiritual komunitas skateholder (pihak yang berkepentingan terhadap tegaknya HAM)
dan korban perlu dipulihkan agar gairah kehidupan berpendar kembali dalam upaya
menjalani kehidupan dan membangun peradaban. Begitu pula pelaku kejahatan perlu
diberi ruang kontemplasi untuk menyadari dan bertobat demi pemulihan jiwa dan
kesadaran sosialnya.
Dalam mengelola konflik yang timbul dalam kejahatan HAM, negara Afrika Selatan,
Argentina, Cile, El Salvador, dan Guatemala berpengalaman menerapkan konsep
remedy yang dilakukan sebagai complement (pelengkap) dari pelaksanaan pengadilan
HAM. Peran pengadilan HAM tidak dapat digantikan (substitute) oleh peran rekonsiliasi
dan kebenaran. Ide dasar dan pemberdayaan lembaga kebenaran dan rekonsiliasi tidak
bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Semua agama di Indonesia
memiliki semangat keadilan dan pengampunan. Untuk merajut kembali suasana jiwa
yang tercabik akibat adanya kejahatan HAM memang menuntut adanya jiwa besar dari
pelaku kejahatan, korban, atau keluarganya serta masyarakat yang terkena imbas
stakeholder.
Artidjo Alkostar Hakim Agung; Mantan Direktur LBH Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar