Translate

Senin, 11 Maret 2013

Dari bahasa logika ke bahasa sehari-hari


Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis S2
Dari bahasa logika ke bahasa sehari-hari: sebuah telaah mengenai
pergeseran pemikiran wittgenstein dari tractatus logicophifosophicus ke
philosophical investigations
Abd. Sakir
Deskripsi Dokumen: http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=73753
------------------------------------------------------------------------------------------
Abstrak
Pada pemikiran awal di dalam Tractatus Logico-philosophicus Wittgenstein I beranggapan bahwa bahasa
yang bermakna adalah bahasa yang memiliki kriteria sebagai proposisi. Setidaknya, terdapat tiga ciri khas
bahasa yang termasuk ke dalam proposisi. Pertama, bahasa harus tersusun ke dalam term subjek dan term
predikat. Kedua, bahasa harus mengandung pengertian benar atau salah. Ketiga, bahasa harus dapat
menjelaskan bahasa yang lain yang mengikutinya. Dalam konteks ini, proposisi menjadi satu-satunya bahasa
yang benar, baik, ideal. Tetapi, di kemudian hari di dalam Philosophical Investigations Wittgenstein II
mempertanyakan kembali hakikat bahasa yang terdapat Tractatus. Menurutnya, makna bahasa tidak sematamata
harus direduksi ke dalam proposisi-proposisi. Fakta menunjukkan bahwa ada beragam permainanpermainan
bahasa yang diikuti pula oleh peraturan-peraturan yang mengikat di dalam setiap permainanpermainan
bahasa tersebut. Dalam konteks ini, setiap bahasa memiliki keunikan masing-masing sehingga
tidak dapat ditentukan maknanya hanya melalui bentuk logis proposisi. Makna bahasa di luar proposisi
terkait dengan spasiotemporal peristiwa bahasa. Di sini, bahasa tidak hanya dilihat sebagai ekspresi pikiran,
tetapi bahasa lebih dipahami sebagai tindakan seseorang. Misalnya, menyanyi, berdoa, berkhutbah,
mementaskan lakon, menggerutu, berpuisi, melawak, dan memarahi. Bahasa mengakar dalam bentuk-bentuk
kehidupan. Bahasa seperti ini adalah bahasa natural atau sering disebut sebagai bahasa sehari-hari. Bila
dicermati dengan baik, maka akan nampak bahwa gagasan dasar Tractatus mengakar dalam kebudayaan
modern. Hal ini terlihat dari keinginannya untuk mengedepankan metodologi baku yang bersifat universal.
Sementara, gagasan-gagasan yang terkandung di dalam Investigations cenderung muncul sebagai wacana
baru yang dipicu oleh sikap kritis kebudayaan postmodern. Gagasan-gagasan ini mengangkat nilai-nilai
dekonstruksionisme, pluralisme, dan relativisme. Gagasan-gagasan ini pada akhirnya akan menciptakan
sebuah tatanan masyarakat yang reseptif terhadap perbedaan-perbedaan. Adanya perbedaan-perbedaan
tersebut harus dilihat sebagai fakta yang menyatakan bahwa realitas sebenarnya terpecah-pecah (pragmented
reality). Kenyataan ini akan membawa kedewasaan bagi masyarakat dalam kondisi `sosial-budaya' yang
melingkupinya. inilah realitas yang selalu menjadi harapan; tidak ada diskriminasi dalam bentuk apa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar