Translate

Senin, 11 Maret 2013

UUD 45 (Asli) Tolak Demokrasi Liberal

KOMPAS
Selasa, 18 Juli 2006


AMIN ARYOSO

Wacana tentang ditegakkannya lagi UUD 1945 kini bagai gayung bersambut, setelah
beberapa ormas memperingati HUT ke-47 Dekrit Presiden Soekarno kembali ke UUD
1945 di Pelataran Tugu Proklamasi dan di Perpustakaan Nasional, 5 Juli 2006.

Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Jusuf Kalla, Gubernur
Lemhannas Muladi, Ketua DPR Agung Laksono, dan Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud
bereaksi dengan opininya, Adnan Buyung Nasution "nimbrung"dengan artikel
Kembali ke UUD 45, Antidemokrasi (Kompas, 7/7).

Meski tidak secara spesifik menuduh tokoh yang ingin ditegakkannya UUD 1945
sebagai "antidemokrasi", judul tulisan Buyung pada dasarnya menjurus ke sana.

Manipulasi hukum

Pertama, kami tidak menyatakan kembali ke UUD 1945. Keputusan MPR 1999-2004
secara prosedural tidak membatalkan Dekrit 5 Juli 1959, dan menurut ketentuan
hukum, UUD 1945 masih berlaku. Sedangkan UUD 1945 yang diamandemen empat kali
diberlakukan secara politis, padahal perubahannya menyimpang dari tata tertib
yang ditetapkan MPR, apalagi tidak dicantumkan dalam Lembaran Negara.

Kedua, UUD 1945 amandemen, oleh MPR dinamakan UUD Negara Republik Indonesia
1945. Istilah itu sama sekali tidak dikenal karena namanya tidak sesuai Dekrit
Presiden dan telah diberlakukan MPRS melalui TAP MPRS No X/MPRS/1966 dan No
XX/MPRS/1966. Lalu MPR dalam Pasal 115 TAP MPR No I/ MPR/1978 menyatakan MPR
tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan atas UUD 1945. Melalui TAP
No III/MPR/ 2000 tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan, MPR menyatakan, UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis
negara RI.

Dengan nama itu, MPR melakukan manipulasi hukum yang merupakan hasil konspirasi
asing bekerja sama dengan eksponen tertentu di dalam negeri. Sebenarnya UUD
1945 amandemen lebih tepat disebut UUD 2002.

Ketiga, persoalan utama yang ingin dikemukakan bukan untuk mendekritkan kembali
UUD 1945 (asli), tetapi menegakkan konstitusi karena dilakukan empat kali
perubahan, dibuat melalui prosedur yang salah, karena itu batal demi hukum.

Dari segi substansi, "UUD 2002"bermuatan gagasan neoliberalisme yang terbukti
menghancurkan tatanan sosial politik dan sosial ekonomi sejumlah negara
berkembang, terutama Indonesia. Selain itu dengan amandemen, Indonesia tidak
memiliki lagi GBHN sehingga arah dan konsep pembangunan tidak jelas. Karena itu
kami mendukung pendapat Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi yang menyebut,
andaikata Presiden SBY mau mendekrit, yang didekritkan bukan kembali ke UUD
1945 (asli), tetapi membatalkan "UUD 2002"atau melalui referendum, sebab MPR
sekarang bukan lagi referensi rakyat karena statusnya tidak Lembaga Tertinggi
Negara.

Keempat, demokrasi Indonesia berdasar UUD 1945 (asli) bertentangan dengan
demokrasi liberal karena demokrasi Indonesia menganut sosio demokrasi, yaitu
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sehingga para penganut UUD 1945 (asli)
tidak benar jika disebut antidemokrasi. Para pendukung UUD 1945 (asli) jelas
antidemokrasi liberal.

Kelima, seperti dikatakan Prof Mr Soepomo, demokrasi Indonesia berbeda dengan
demokrasi Barat. Bagi bangsa Indonesia, individu tak lepas dari masyarakat.
Maka hak dan kewajiban yang dimiliki terkait fungsi di masyarakat. Berarti
bertentangan dengan individualisme Demokrasi Barat, yang tidak mengenal asas
kekeluargaan dan gotong royong demi keadilan sosial.

Bukan lagi sementara

Keenam, lebih dari itu, empat perubahan UUD 1945 bertentangan dengan Pembukaan,
Batang Tubuh UUD 1945 (asli), selanjutnya dengan menghapuskan Penjelasan
sehingga benar-benar merupakan penerapan neoliberalisme. Artinya, "UUD 2002"
menghapus peran golongan fungsional dan utusan daerah dalam MPR, padahal
golongan fungsional merupakan 90 persen rakyat Indonesia (petani, buruh,
nelayan, guru, pemuda, agamawan, TNI/Polri, cendekiawan, wartawan, dan
lainnya). Apalagi dalam pengambilan keputusan, demokrasi Indonesia menekankan
musyawarah dan mufakat untuk mencapai keadilan sosial, sedangkan demokrasi
Barat selalu berpegang pada voting, di mana pemilik modal dengan mudah
mengalahkan rakyat kecil (the winners get all, the loosers get nothing). Hal
seperti itu jelas menimbulkan kemiskinan struktural.

Ketujuh, UUD 1945 (asli) adalah UUD sementara dan dapat diubah seperti
dikatakan Bung Karno, 18 Agustus 1945. Namun, Bung Karno menginginkan perubahan
melalui suara rakyat/pemilu. Bung Karno menginginkan pemilu bukan hanya untuk
memilih anggota parlemen, tapi juga anggota konstituante yang bertugas
menetapkan UUD. Kenyataannya Konstituante gagal menetapkan UUD sehingga untuk
mencegah kemungkinan perpecahan antarbangsa, atas nama rakyat Indonesia,
Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang mendekritkan kembali ke UUD 1945,
sekaligus dibuat Keppres No 150/1959 dan dicantumkan dalam Lembaran Negara No
75/1959. Maka UUD 1945 tidak lagi berstatus sementara.

Jika Dekrit 5 Juli 1959 disebut "permainan"sisa-sisa militer pendukung
Soekarno, pantas juga ada pertanyaan, bagaimana dengan amandemen UUD 1945
(asli) yang tergambar demi kepentingan asing?

Kedelapan, hal itu membuktikan Bung Karno amat demokratis dan tidak otoriter
sebagaimana dituduhkan pihak asing dan pihak-pihak tertentu di dalam negeri.

Kesembilan, kembali ke UUD 1945 (asli) tentu tak dapat dikatakan setback karena
sejarah UUD 1945 (asli) ditetapkan 1945 (abad ke-20), sedangkan demokrasi Barat
bersumber paham liberalisme. Artinya, dibanding dengan konstitusi negara mana
pun di dunia, menurut ahli hukum tata negara Prof Dr ASS Tambunan SH, UUD 1945
(asli) adalah paling modern.

Kesepuluh, khusus mengenai hak-hak asasi manusia (HAM) sudah dicantumkan dalam
Pembukaan UUD 1945 (asli), tercermin dengan kalimat, "Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan", yang dijabarkan rinci Pasal 27 dan 33, diperkuat sila kedua
Pancasila sebagai dasar negara. Sementara "UUD 2002"mengutip Deklarasi HAM PBB
yang dikeluarkan tahun 1948, berarti UUD 1945 (asli) sudah mendahului
menetapkan HAM pada tahun 1945.

H Amin Aryoso
Mantan Ketua Komisi II DPR 1999-2002 yang saat sidang MPR menentang amandemen;
Aktivis Yayasan Kepada Bangsaku; Alumnus GMNI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar