Translate

Senin, 11 Maret 2013

Pemilu 1955.

Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu
Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat
minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benarbenar
tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh
Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan
keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu
dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta
tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai
politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan
MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu
pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu
bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955
dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggotaanggota
DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota
Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan
diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada
Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala
yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri.
Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan
pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk
mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan
negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap
pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara
teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang
mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang
diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU
Pemilu;
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan
politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga
masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan
konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan
perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk
menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan
politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU
No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun
1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum
yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak
langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada
waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan
akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi
menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai
program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang
dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum
kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia
Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan
oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu
berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa
anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undangundang
pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada
masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun
1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU
No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang
mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku
lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil
diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu
1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing.
Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar
kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkom-petisi secara
sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan
menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan
otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan
partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang
menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali
ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota
Dewan Kons-tituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.
No.Partai/Nama Daftar Suara % Kursi
1.Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57
2.Masyumi 7.903.886 20,92 57
3.Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45
4.Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39
5.Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.091.160 2,89 8
6.Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1.003.326 2,66 8
7.Partai Katolik 770.740 2,04 6
8.Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5
9.Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI) 541.306 1,43 4
10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 483.014 1,28 4
11.Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2
12.Partai Buruh 224.167 0,59 2
13.Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 219.985 0,58 2
14.Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2
15.Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 200.419 0,53 2
16.Murba 199.588 0,53 2
17.Baperki 178.887 0,47 1
18.Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 178.481 0,47 1
19.Grinda 154.792 0,41 1
20.Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 149.287 0,40 1
21.Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1
22.PIR Hazairin 114.644 0,30 1
23.Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.131 0,22 1
24.AKUI 81.454 0,21 1
25.Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1
26.Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 72.523 0,19 1
27.Angkatan Comunis Muda (Acoma) 64.514 0,17 1
28.R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1
29.Lain-lain 1.022.433 2,71 -
Jumlah 37.785.299100,00 257
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955.
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang
memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil
pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI
meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua,
perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam
pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan
kursi itu adalah sebagai berikut:
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.
No.Partai/Nama Daftar Suara % Kursi
1.Partai Nasional Indonesia (PNI) 9.070.21823,97 119
2.Masyumi 7.789.61920,59 112
3.Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.33318,47 91
4.Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.232.51216,47 80
5.Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.059.922 2,80 16
6.Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 988.810 2,61 16
7.Partai Katolik 748.591 1,99 10
8.Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10
9.Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 544.803 1,44 8
10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 465.359 1,23 7
11.Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3
12.Partai Buruh 332.047 0,88 5
13.Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 152.892 0,40 2
14.Partai Rakyat Indonesia (PRI) 134.011 0,35 2
15.Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 179.346 0,47 3
16.Murba 248.633 0,66 4
17.Baperki 160.456 0,42 2
18.Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 162.420 0,43 2
19.Grinda 157.976 0,42 2
20.Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 164.386 0,43 2
21.Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3
22.PIR Hazairin 101.509 0,27 2
23.Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 74.913 0,20 1
24.AKUI 84.862 0,22 1
25.Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1
26.Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 143.907 0,38 2
27.Angkatan Comunis Muda (Acoma) 55.844 0,15 1
28.R.Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1
29.Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1
30.Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1
31.Radja Keprabonan 33.660 0,09 1
32.Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI) 39.874 0,11
33.PIR NTB 33.823 0,09 1
34.L.M.Idrus Effendi 31.988 0,08 1
lain-lain 426.856 1,13
Jumlah 37.837.105 514
Periode Demokrasi Terpimpin.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan
hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan
pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno
sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante
dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden
Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim
demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam
istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada
democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960
ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu
menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak
dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan
MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul
tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan
itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut
UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau
sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan
Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik,
ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang
kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun
menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat
menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup.
Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat
tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Sumber : KPU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar