Translate

Senin, 11 Maret 2013

SOSIOLOGI HUKUMAN MATI*


Oleh
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H**


Optik sosiologis selalu melihat sesuatu tampil secara alami, tanpa
intervensi pendapat. Cara seperti ini lazim disebut sebagai empirik.
Sumbangan yang diberikan oleh optik yang demikian itu adalah dengan
memberikan penjelasan terhadap subyek yang diamati. Demikian pula pada
waktu dihadapkan kepada masalah pidana mati. Ia ingin melihat lebih dulu
bagaimana pidana mati itu muncul, mencari latar belakang dan sebabsebabnya,
sehingga diperoleh pemahaman sebaik -baiknya.

Hukuman mati sudah dikenal sejak ribuan tahun usia sejarah
peradaban manusia. Pemahaman sosiologis melihat sekalian hal, lembaga,
proses dalam masyarakat itu dalam konteks sosial tertentu. Demikian pula pada
waktu dihadapkan kepada masalah pidana mati. Membicarakan pidana mati
secara sosiologis dilakukanjuga dengan cara seperti itu. Masalah pidana mati
adalah pidana mati dalam konteks sosial tertentu dan tidak pernah diluarkonteks.


Pembicaraan mengenai hukuman mati dewasa ini tidak dapat dilakukan seperti
waktu kita membicarakannya sekian ribu tahun yang lalu. Ia kita bicarakan
"hie et nunc", "sekarang dan disini". Perubahan dan perkembangan masyarakat
dunia membawa kita kepada masalah "pidana mati dalam konteks dunia abad
ke-21".

JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim


2


Jauh di waktu lampau, segalanya tampak sederhana, seperti rumus
"nyawa dibalas nyawa". Dalam konteks sosial seperti itu, hukuman mati tidak
banyak dipermasalahkan. Tetapi sekarang keadaan tidak lagi dapat difahami
dengan cara yang sederhana seperti itu. Perkembangan peradaban membawa
kita kepada peradaban yang sangat rentan (delicate), khususnya pada waktu
membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan manusia. Banyak ajaran,
doktrin, lembaga, diciptakan untuk menjaga kemuliaan manusia.

Dalam sejarah, berapa banyak sudah orang-orang dijatuhi pidana
mati, digantung, dipancung, ditebas oleh guilotine, ditembak dan disuntik.
Orangorang terkenal tidak terkecuali dari eksekusi, mulai Raja Louis XVI,
permaisuri Marie Antoinette, Robespierre, Kaisar Rusia Nicholas, sampai ke
Herman Goring serta sejumlah petinggi Nazi Jerman di akhir Perang Dunia
Ke-dua dan yang paling akhir Saddam Hoesein.

Kumandang hukuman mati itupun tidak kunjung padam sampai hari
ini. Demi memberantas korupsi di negerinya, seorang pemimpin Cina tidak
segansegan memesan seratus peti mati buat para koruptor, termasuk satu buat
sang pemimpin apabila melakukan kejahatan itu.

Zaman berputar dan sejarah memasuki era peradaban bam.
Peradaban manusia semakin kaya dengan berbagai pertimbangan, pemikiran
dan kehadiran lembaga-Iembaga yang ingin memuliakan nyawa manusia. Ada
hak asasi manusia, ada konvensi-konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tentang larangan perlakuan terhadap rrianusia secara kasar dan merendahkan
martabat ("cruel and degrading punishment") dan lain-lain lagi.

Sebagian bangsa-bangsa di dunia menerapkan ancaman pidana mati
dan sebagian lagi sudah menghapuskannya. Bahkan dalam satu negara federal,

JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim


3


negara-negara bagiannya juga menerapkan politik pernidanaan yang
berbedabeda. Muncul gerakan-gerakan abolisi atau penghapusan pidana mati.
Konvensi HakAsasi Manusia PBB di Wina, tahun 1993, juga masih tetap
menghormati kedau1atan hukum negara-negara di dunia ini untuk menentukan
politik hukum yang ingin ditempuhnya. Sekali suatu negara menentukan
hukumnya, termasuk politik terhadap pidana mati, maka dunia hams
menghormati hukum negara tersebut.

Resolusi PBB tahun 1996/15 juga masih bersikap toleran terhadap
negara-negara yang masih memuat ancaman hukuman mati dalam hukum
positifnya. Badan dunia itu hanya berpesan, "to effectively apply the
safeguards guaranteeing protection of the rights of those .... " dan "to ensure
that each defendant facing a possible death sentence is given all guarantees to
ensure a fair trial ... ".

Kata "pembalasan" akan dijumpai dalam semua kamus di dunia dan
kehadirannya tidak dapat dihapus, karena hanya akan menipu kita dengan
mengatakan, bahwa perilaku yang namanya pembalasan itu tidak ada.
Pembalasan dan melakukan pembalasan itu ada secara nyata dalam masyarakat
clan merupakan satu dati sekian banyak watak dan perilaku manusia. Kita juga
dapat mengatakan, bahwa pembalasan itu merupakan perilaku alami manusia
dalam interaksinya dengan anggota masyarakat lain. Khasanah bahasa dan
kultur juga menyediakan ungkapan untuk itu, seperti bahasa Belanda "oog om
oog', "tand om tand”'. Orang Jawa akan mengatakan, "utang nyawa dibayar
nyawa". Di Sulawesi Selatan ada siri ' di Madura ada carok dan seterusnya.
Hal-hal tersebut semakin "mengukuhkan" semaeam hak seseorang atau
kelompok untuk melakukan pembalasan.

JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim


4


Pembalasan dan melakukan pembalasan tampil, baik seeara
individual maupun kolektif atau sosial. Kita sekarang sudah sampai kepada
titik perjalanan peradaban, dimana manusia mengendalikan naluri pembalasan
tersebut. Peradaban manusia berusaha untuk mengendalikan dan menjinakkan
tabiat tersebut dengan berbagai cara.

Hukum, pengadilan, penjara, merupakan lembaga publik yang
disediakan untuk menyalurkan dan mengendalikan naluri untuk melakukan
pembalasan tersebut. Sekalian perilaku balas-membalas didorong masuk ke
dalam koridor hukum dengan harapan dapat dilakukan dengan lebih lunak dan
beradab.

Pembalasan yang menghasilkan kematian itu dapat dilakukan seeara
telanjang (brute force) maupun terkendali melalui proses hukum.
Bagaimanapun, melalui proses hukum atau tidak, keduanya tetap
menghasilkan kematian seseorang. Hanya saja, dengan melalui koridor hukum,
mulai dari legislasi sampai ke peradilan, manusia dapat dengan lega
mengatakan, bahwa segala sesuatunya telah dilakukan dengan beradab, halus,
terkendali, tidak membabi-buta.

"Main hakim sendiri", "eigenrichting", adalah tindakan yang,
menurut ajaran hukum yang sudah menjadi semakin humane itu, tidak boleh
dilakukan. Sekalipun akhimya seseorang itu dihukum mati, tetapi kalau itu
dilakukan oleh pengadilan dan tidak melalui "street justice", itu diperbolehkan.
Dilihat secara sosiologis, maka hukum itu temyata menyimpan kemunafikan.
Statistik kematian karena pembalasan tidak berubah, yang berubah hanya earaeara
menghasilkan kematian tersebut.

JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim


5


Indonesia masih meneantumkan aneaman hukuman mati sebagai
salah satu bentuk ancaman hukuman dalam hukum positifuya. Oleh sebab itu
maka hukuman mati merupakan satu bentuk hukuman yang seeara
perundangundangan masih sah dilakukan di negeri ini.

Hukuman mati berbicara mengenai suatu cara penghukuman yang
mengakibatkan matinya seseorang. Maka disini persoalan kematian menjadi
sentral. Pertama, kematian lazim diterima sebagai suatu peristiwa fisiko
Bagaimana cara menjalankan hukuman itu dan kapan terpidana itu dinyatakan
telah mati, semua ditentukan oleh batasan kematian fisiko Biasanya seorang
dokter hadir pada saat pelaksanaan hukuman mati tersebut dan ialah ahli yang
menentukan, bahwa terpidana mati akhimya sudahmeninggal. Bentuk
hukuman mati sebagai pidana fisik itulah yang sudah terpatri dalam pikiran
orang, manakala berbicara tentang hukuman mati.

Apabila kita menggunakan optik sosiologis, maka kita akan tergoda
untuk mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan adanya kematian
yangtidak hanya fisik, melainkanjuga sosial. Dari optik sosiologis, seseorang
dapat disebut masih hidup secara fisik, tetapi sekaligus mengalami kematian
sosial. Hal itu teIjadi apabila seseorang berada dalam kondisi sosial sedemikian
rupa, sehingga kebebasannya lUltuk melakukan aktivitas sosial dirampas
habis.

Dihadapkan kepada kematian sosial tersebut, kita juga tergoda untuk
bertanya,"adakah bentuk pidana mati sosial ?" Adakah bentuk pidana lain yang
"setara" dengan pidana mati secara fisik itu ? Seorang yang dijatuhi hukuman
dua kali seumur hidup tanpa kemungkinan keringanan atau parole memang
bukan dipidana mati secara fisik, sebab orang itu memang secara fisik masih
hidup. Belum lagi orang yang dibuangke Siberia tanpa tiket untuk kembali.

JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim


6


Sekalian orang yang dijatuhi pidana demikian itu, kendatipun secara fisik
masih hidup, tetapi mungkin penderitaan yang dialaminya adalah lebih berat
dan panjang, terutama dari segi penderitaan sosial. Terpidana ini terisolasi dari
mtinitas kehidupan sosialnya dan itu sungguh suatu pukulan yang sangat berat,
belurn lagi dipisahkan dati keluarga dekatnya selama ini. Saya tidak tahu,
apakah pidana kematian sosial seperti itu lebih ringan daripada dipidana mati
secara fisik.

Dalam hukum sudah lama dikenal istilah "kematian perdata"
(burgerlike dood). Konon kematian seperti itu pemah menimpa sejumlah orang
pada masa pemerintahan otoriter yang lalu. Karena dianggap membahayakan
penguasa maka, tanpa melalui proses peradilan, mereka dimatikan secara
perdata. Orang yang terkena kematian perdata itu masih hidup dengan segar
bugar, tetapi jaringan kehidupan sosialnya banyak yang dimatikan, misalnya ia
tidak dapat lagi melakukan usaha bisnisnya seperti biasa dan demikian juga
dengan pembatasan terhadap berbagai aktivitas sosialnya.

Apakah penjatuhan hukuman mati melalui peradilan menjamin
kebersihan dalam menjatuhkan pidana itu ? Jawaban dari optik sosiologis
adalah, tidak juga. Kalau dikatakan, bahwa melalui perundang-undangan
segalanya sudah diselesaikan dan dikendalikan, maka itu adalah barn sebagian
dari potret sesungguhnya. Potret penerapan perundang-undangan di
masyarakat tidak hitam-putih, melainkan berwama-wami, tergantung dari
politik penegakan hukum dan ideologi di belakangnya. Tidak hanya itu,
melainkan juga ditentukan oleh sosiologi penegakan hukum yang dilakukan
oleh para aparat penegak hukum. Kita misalnya berbicara mengenai sosiologi
penahanan (the sociology of arrest). Dalam kepustakaan sosiologi hukum
dikenali banyak faktor yang mengintervensi tindakan (course of action) yang

JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim


7


dilakukan oleh polisi. Bagi polisi, penahanan merupakan suatu putusan, bukan
hal yang bersifat masinal. Dalam putusan itu terkandung pilihan-pilihan, dapat
ya dan dapat tidak.

Statistik pidana mati diAmerika Serikat memberi tabu kepada kita,
bahwa penggunaan pidana mati itu tidak beIjalan secara linier dan matematis,
melainkan penuh dengan intervensi ideologis. Penelitian sosiolog hukum
Donald Black1 ingin mengatakan kepada kita, bahwa penegakan hukum di
Amerika Serikat didasari oleh ideologi keunggulan ras putih. Apabila terjadi
pembunuhan oleh warga kulit putih terhadap kulit hitam, maka risiko
dijatuhkannya pidana mati mendekati nol. Di Ohio, selama kurun waktu 5
tahun tertentu, 47 orang kulit putih yang membunuh kulit hitam, tidak ada
yang dijatuhi pidana mati; di Georgia hanya dua dari 71; di Florida dari 80
tidak ada yang dijatuhi hukuman mati dan di Texas tidak ada seorangpun dari
142 orang kulit putih yang membunuh kulit hitam dijatuhi hukuman mati.

Bagi orang yang sudah dijatuhi pidana mati dan eksekusi sudah
dilaksanakan, tidak ada sesuatu apapun yang dapat diperbaiki, apabila temyata
di belakang hari terjadi kekeliruan. Orang bersangkutan tetap mati, sekalipun
temyata bukan dia yang melakukan perbuatan yang didakwakan. Ia tak dapat
lagi dihidupkan, kendatipun nama baiknya dapat dipulihkan. Inilah yang
mengganggu kita pada waktu mendiskusikan masalah penerapan pidana mati.

Orang yang dibuang ke Siberia masih dapat dipulangkan ke
rumahnya, apabila temyata terdapat kekeliruan dalarn memutus. Tetapi itu
tidak berlaku bagi orang yang sudah terlanjur mati dieksekusi. Sengkon dan
Karta masih hidup di penjara, waktu ada seorang yang kemudian mengaku
me1akukan pembunuhan yang didakwakan kepada kedua orang tersebut.
1 Donald Black, Sociological Justice, N.Y. : Oxford University Press, 1998

JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim


8


Penghukuman terhadap Sengkon dan Karta tidak dilakukan olehmassa yang
marah, melainkan melalui proses peradilan biasa, yang mengikuti sekalian
persyaratan yang dibutuhkan, sebelum menjatuhkan hukuman. Sebagaimana
diuraikan di muka, penghukuman mati merupakan cara untuk menyalurkan
keguncangan emosi para pihak yang dekat dengan korban kejahatan. Hukum
adalah salah satu eara untuk melakukan pembalasan (retaliation) terhadap
pelaku kejahatan, atau penyaluran naluri melakukan pembalasan yang ada pada
manusia.

Penelitian mahasiswa pada program doktor hukum Universitas
Diponegoro, menunjukkan pentingnya para penegak hukum menjalankan
tugasnya dengan jujur dan beramanah. Cara menjalankan tugas seperti ini akan
mencegah rakyat untuk melakukan pembalasan sendiri. Tetapi, seperti
penelitian di berbagai wilayah di Sulawesi Selatan, rakyat sulit ditahan untuk
tidak melakukan pembalasan dengan bertindak sendiri (selfhelp), apabila
perbuatan para penjahat telah begitu merajalela, sedang para penegak hukum
kurang mampu bertindak. Kepercayaan rakyat yang sudah menjadi tipis
memaksa mereka untuk melakukan pembalasan sendiri terhadap para penjahat.

Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk. Banyak
faktoryang menyumbang kepada kemajemukan tersebut, salah satunya adalah
keragaman etnis yang cukup tinggi. Keragaman tersebut juga membawa
kemajemukan nilai-nilai serta tradisi. Kita bukan bangsa yang monolitik,
padahal pada saat yang sama kita menjadi satu bangsa, yaitu nasion Indonesia.
ltu berarti, bahwa pada waktu yang sarna, di atas basis kemajemukan itu kita
dituntut untuk membuat satu putusan.

Kemajemukan atau keragaman juga merambah ke ranah pendidikan
dan kemajuan. Saya tidak tahu bagaimana peta situasinya secara kuantitatif,

JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim


9


tetapi diperkirakan wilayah yang sudah bersifat urban jauh lebih kecil daripada
yang bersifat pedesaan atau rural. Penduduk di wilayah perkotaan memperoleh
kelebihan untuk menggunakan teknologi informasi dunia mutakhir, termasuk
konsep-konsep modem di bidang sosial, politik dan hukum. Dengan demikian
mereka juga akan memperoleh informasi jauh lebih banyak dan lebih mutakhir
daripada bangsa Indonesia yang tinggal di wilayah pedesaan. Saya kira
keadaan tersebut berpengaruh besar terhadap pandangan tentang pidana mati.

Demikian ulasan terhadap masalah pidana mati dari optik sosiologi
hukum. la tidak ingin mengintervensi permasalahan, melainkan hanya
melakukan pengamatan (observe), mendeskripsikannya. Sosiologi hukum
bukan suatu ilmu yang menghukumi sesuatu (normerende wetenschap).
Berdasarkan hal-hal yang dapat diamati tersebut sosiologi hukum berusaha
untuk mencari dan membuat penjelasannya. Ia merupakan ilmu yang
menjelaskan (verklarende wetenschap). Dengan situasi yang demikian itu,
maka ia menyediakan bahan bagi pembuat hukum pada waktu akan
memutuskan tentang pidana mati itu. Para pengambiI putusan boleh
mengambilnya atau tidak sebagai bahan untuk menentukan apa yang akan
dilakukan oleh hukum Indonesia mengenai pidana mati itu.

* Sumber dari Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 4, Desember 2007 :36-42.
Direktoral Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM
RI, Jakarta
**Anggota Komnas HAM, 1993-2001 ; Anggota Tim Gabungan Pemberantasan
Korupsi Tindak Pidana Korupsi, 2000-2001 ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia.

JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim



Tidak ada komentar:

Posting Komentar