Translate

Senin, 21 Oktober 2013

Pembinaan dan Pemasyarakatan

POLA PEMBINAAN BAGI PARA TAHANAN DAN NARAPIDANA SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN HAM
RUTAN DAN LAPAS DI SUMATERA UTARA

Oleh: Alvi Syahrin

I.    Pidana masih diperlukan kehadirannya dalam masyarakat sekalipun dengan berbagai pembatasan. Pidana digunakan secara manusiawi pada tujuan-tujuan yang berorientasi serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, maka ia (pidana) masih relevan digunakan sebagai sarana (penjamin) dalam kehidupan bermasyarakat.
Fungsi hukuman sebagai salah satu alat untuk “menghadapi” kejahatan, mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan, dari satu cara yang  bersifat “pembalasan” terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan berubah menjadi alat untuk melindungi individu dari gangguan kejahatan, terus berubah dan berkembang ke arah fungsi hukuman khususnya hukuman penjara sebagai wadah pembinaan narapidana untuk pengembalian ke dalam masyarakat.
Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan terpadu (integrated criminal justice system). Dengan demikian, pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan, dan petuga pemasyarakatan, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakan hukum.
Memperlakukan narapidana sesuai dengan tujuan pidana penjara, di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak juga membimbing terpidana agar bertobat serta mendidiknya supaya ia menjadi anggota masyarakat Indonesia yang berguna. Dengan demikian tujuan pidana penjara ialah “pemasyarakatan”.
Memperhatikan rumusan di atas, jelas bahwa tidak saja masyarakat di ayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Selanjutnya menjatuhi pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara, oleh karena tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan melainkan pidana kehilangan kemerdekaan.
Negara yang telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan terhadap masyarakat. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia dipenjarakan.


II.     Berdasarkan Pasal 1 angka (21) KUHAP,  Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
          Penahanan berdasarkan Pasal 20 KUHAP dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan, atau untuk kepentingan penuntutan atau untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan.  Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 KUHAP),  Dan Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
 Jenis penahanan berdasarkan Pasal 22 KUHAP, dapat berupa: a. penahanan rumah tahanan negara, b. penahanan rumah, c. penahanan kota.
Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik hanya berlaku paling lama 20 hari, dan jika diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari. Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum berlaku paling lama 20 hari, dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama 30 hari. Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 30 hari, dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama 60 hari. Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 30 hari, apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama 60 hari.  Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 50 hari, dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 60 puluh hari. Setelah waktu 110 hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Terhadap mereka (tersangka atau terdakwa) dapat ditempatkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang merupakan unit pelaksana teknis tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pembinaan dan pola pembinaan tahanan meliputi tahanan, pelayanan tahanan yang berupa segala kegiatan yang dilaksanakan dari mulai penerimaan sampai dengan tahap pengeluaran tahanan, yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti).
Kegiatan yang diberikan kepada tahanan bukan hanya semata-mata dimaksudkan sebagai kegiatan pengisi waktu agar terhindar dari pemikiran-pemikiran yang negatif (seperti berusaha melarikan diri), tetapi harus lebih dititikberatkan pada penciptaan kondisi yang dapat melancarkan jalannya proses pemeriksaan perkaranya di Pengadilan.
Bentuk pembinaan terhadap tahanan berupa pelayanan tahanan yang dapat berupa:
a. Bantuan Hukum.
1) Setiap tahanan berhak memperoleh bantuan hukum dari penasehat hukum.
2) Kepada tahanan diberikan penyuluhan hukum dan untuk keperluan ini Kepala Rutan/Cab Rutan dapat mengadakan kerjasama dengan instansi penegak hukum dan pemerintah setempat.
3) Dalam upaya untuk memberikan kesempatan mendapatkan bantuan hukum perlu disediakan:
a) Alat tulis menulis.
b)Tempat untuk pertemuan dengan penasehat hukum yang dapat dilihat/diawas: tetapi tidakdapat didengar oleh orang lain/petugas.
4) Kunjungan atau pertemuan dengan penasehat hukum hanya dapat dilaksanakan pada hari kerja dan jam kerja, atau hari jadwal kunjungan.
5) Kunjungan atau pertemuan dengan penasehat hukum dicatat dalam buku Khusus Kunjungan Bantuan Hukum.
b. Penyuluhah Rohani.
1) Kegiatan penyuluhan Rohani meliputi :
a) Ceramah, penyuluhan dan pendidikan agama.
b) Ceramah, penyuluhan dan pendidikan umum.
2) Untuk keperluan ceramah, penyuluhan dan pendidikan sebagaimana dimaksud butir 1), Kepala Rutan/Cabrutan dapat mengadakan kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah setempat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
3) Pokok-pokok materi ceramah, penyuluhan atau pendidikan yang akan disampaikan kepada tahanan, harus terlebih dahulu diketahui Kepala Rutan/Cabrutan dan kegiatannya tidak boleh menyinggung perasaan atau menimbulkan keresahan para tahanan.
4) Setiap kegiatan baik berupa ceramah, penyuluhan atau pendidikan perlu diawasi agar tidak dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban Rutan/Cabrutan maupun negara.
5) Untuk (maksud) memberikan ceramah, penyuluhan dan pendidikan disediakan ruangan dan sarana yang diperlukan.
c. Penyuluhan jasmani.
1) Untuk menjaga kondisi kesehatan jasmani, kepada tahanan diberikan kegiatan olah raga, kesenian dan rekreasi di dalam Rutan/Cabrutan sesuai dengan fasilitas yang tersedia.
2) Dalam upaya memenuhi fasilitas yang dibutuhkan untuk kegiatah sebagaimana dimaksud pada butir 1), tahanan diperkenankan membawa sendiri peralatan yang diperlukan, sepanjang tidak merugikan atau mengganggu keamanan dan ketertiban Rutan/ Cabrutan.
3) Senam pagi tahanan dipimpin oleh petugas Rutan/Cabrutan dan dilaksanakan sekurangkurangnya dua kali seminggu.
4) Penyelenggaraan kegiatan olahraga, berupa bola volly, bulutangkis, tenis meja, sepak bola, catur dan lain-lain, dilaksanakan di dalam Rutan/Cabrutan dan dalam penga-wasan petugas.
5) Kegiatan rekreasi bagi tahanan di dalam Rutan/Cabrutan meliputi :
a) Penyelenggaraan kesenian yang dilakukan oleh tahanan dan atau team yang didatangkan dari luar, terutama pada saat-saat menjelang atau pada hari-hari besar nasional.
b) Penyelenggaraan pertunjukan berupa pemutaran film, video atau televisi dan lain-lain.
6) Memberikan kesempatan pada tahanan untuk melakukan kegiatan sosial/bakti sosial yang bersifat sukarela misalnya donor darah.
d. Bimbingan Bakat.
1) Untuk mengetahui bakat masing-masing tahanan, maka perlu diadakan penelitian kepada mereka yang baru masuk Rutan/Cabrutan terutama pada saat mengikuti masa pengenalan lingkungan.
2) Bimbingan bakat terhadap tahanan dilakukan melalui penyaluran dan pengembangan atas kecakapan alami yang dimiliki tahanan, misalnya melukis, mengukir dan lain-lain.
e. Bimbingan Ketrampilan.
1) Untuk mengetahui minat masing-masing tahanan dalam mengikuti bimbingan ketrampilan, dilakukan dengan mengadakan penelitian pada setiap tahanan yang baru masuk Rutan/Cabrutan.
2) Bimbingan ketrampilan sedapat mungkin diarahkan kepada jenis-jenis ketrampilan yang bermanfaat di masyarakat dan yang dapat dikembangkan lebih lanjut di Lapas apabila kelak telah diputus menjadi narapidana, seperti keperluan industri kecil (pertukangan), pertanian. perkebunan dan sebagainya.
f. Perpustakaan.
1) Untuk mengisi waktu terluang dan guna menyalurkan minat baca, maka disediakan perpustakaan.
2) Perpustakaan yang diselenggarakan Rutan/Cabrutan, meliputi buku Agama, pengetahuan umum, kejuruan dan lain-lain yang dipandang tidak mengganggu keamanan dan ketertiban Rutan/Cabrutan serta bermanfaat bagi tahanan.
3) Buku-buku bacaan yang ada di perpustakaan dapat dipinjam oleh tahanan yang waktu dan tempatnya diatur oleh Kepala Rutan/ Cabrutan.
g. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan Bimbingan Kegiatan.
1) Bimbingan kegiatan tahanan meliputi
a) Bimbingan bakat.
b) Bimbingan ketrampilan.
2) Bimbingan kegiatan hanya dapat diikuti oleh tahanan secara sukarela.
3) Pada setiap awal bulan, program kegiatan bimbingan bakat dan ketrampilan tahanan, dikirimkankepada instansi yang menahan untuk diketahui. Apabila dipandang perlu, pihak yang menahan dapat mengajukan keberatan atas keikutsertaan salah seorang atau beberapa orang tahanan yang berada dalam wewenangnya.
4) Kegiatan yang diberikan kepada tahanan harus bersifat jangka pendek.
5) Untuk keperluan bimbingan kegiatan di samping yang telah disediakan Rutan/Cabrutan, tahanan dapat membawa sendiri peralatan dan bahan-bahan yang diperlukan, sepanjang tidak mengganggu keamanan dan ketertiban serta tidak ada ikatan yang merugikan Rutan/Cabrutan.
6) Setiap tahanan yang mengikuti bimbingan kegiatan dalam bentuk pekerjaan yanq produktif (berproduksi), diberi upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
7) Tahanan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan lebih dari tujuh jam setiap hari.
8) Bimbingan kegiatan bagi tahanan dilaksanakan di dalam Rutan/ Cabrutan.
9) Semua hasil karya tahanan baik yang berasal dari kegiatan bimbingan bakat maupun ketrampilan dicatat dalam buku hasil karya tahanan.
10) Semua hasil karya tahanan disimpan dengan baik dan tertib dalam gudang penyimpanan.
11) Hasil karva tahanan dapat dijual sesuai peraturan yang berlaku.

III.       Pembinaan dan bimbingan dalam sistem pemasyarakatan, pada permulaan tahun 1964 tercantum dalam Piagam Pemasyarakatan. Piagam Pemasyarakatan Indonesia yang tersusun dalam konperensi kerja Direktorat Pemasyarakatan pada tanggal 27 April – 9 Mei 1964 di Bandung, merupakan arti pembinaan menurut pasal 1, 2, dan 6 sebagai berikut:
... sistem pemasyarakatan Indonesia mengandung arti pembinaan narapidana yang berintegrasi dengan masyarakat dan menuju kepada integritas kehidupan dan penghidupan.
Pemasyarakatan sebagai proses bergerak dengan menstimulir timbulnya dan berkembangnya self propelling adjustment di antara elemen integritas, sehingga narapidana yang bersangkutan menuju ke arah perkembangan pribadi melalui asosiasinya sendiri menyesuaikan dengan integritas kehidupan dan penghidupan.
            Kemudian, Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyarakatan No.K.P.10/3/1 tanggal 8 Februari 1965 yang menyempurnakan Surat Keputusan No. J.H. G.8/922 tanggal 26 Desember 1964 tentang Konsepsi Pemasyarakatan, menentukan bahwa Pemasyarakatan adalah suatu proses therapoutie, yang sejak itu narapidana lalu mengalami pembinaan, yang dilaksanakan berdasarkan asas : Perikemanusiaan, Pancasila, Pengayoman, dan Tut Wuri Handayani.
           Upaya pembinaan atau bimbingan yang menjadi inti dari kegiatan sistem pemasyarakatan, merupakan suatu sarana perlakuan cara baru terhadap narapidana untuk mendukung pola upaya baru pelaknsaan pidana penjara agar mencapai keberhasilan peranan negara mengeluarkan narapidana untuk kembali menjadi anggota masyarakat.
         Perlakuan cara baru terhadap narapidana dalam permasyarakatan melibatkan peran-serta masyarakat, hal ini disebabkan timbulnya salah satu doktrin bahwa narapidana tidak dapat diasingkan hidupnya dari masyarakat.
       Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaa yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diti dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.
        Arah pembinaan harus tertuju kepada (1) membina pribadi narapidana agar jangan sampai mengulangi kejahatan dan mentaati peraturan hukum, (2) membuna hubungan antara narapidana dengan masyarakat luar, agar dapat berdiri sendiri dan diterima menjadi anggotanya.
           Pemidanaan agar sejalan dengan peminaan narapidana tersebut, maka harus sesuai dengan perspektif Pancasila, yang berorientasi pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, pengakuan manusia (Indonesia) sebagai Makhluk Tuhan yang Maha Esa. Wujud pemidanaan tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama maupun yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan terhadap seseorang harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana, melalui mana ia dapat bertobat dan menjadi manusia yang beriman dan taat. Dengan kata lain, pemidanaan harus berfungsi pembinaan mental orang yang dipidana dan menstranformasikan orang tersebut menjadi seorang manusia religius.
Kedua,      pengakuan tentang keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Pemidaan tidak boleh menciderai hak-hak asasnya yang paling dasar serta tidak boleh merendahkan martabatnya dengan alasan apa pun. Implikasinya adalah, bahwa meskipun terpidana berada dalam lembaga permasyarakatan, unsur-unsur dan sifat perikemanusiaannya tidak boleh dikesampingkan demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran, sifat, kebiasaan, dan tingkah laku jahatnya.
Ketiga,     menumbuhkan solidaritas kebangsaan dengan orang lain, sebagai sesama warga bangsa. Pelaku harus diarahkan pada upaya untuk meningkatkan toleransi dengan orang lain, menumbuhkan kepekaan terhadap kepentingan bangsa, dan mengarahkan untuk tidak mengulangi melakukan kejahatan. Dengan kata lain, bahwa pemidaan perlu diarahkan untuk menanamkan rasa kecintaan terhadap bangsa.
Keempat, menumbuhkan kedewasaan sebagai warga negara yang berkhidmat, mampu mengendalikan diri, berdisiplin, dan menghormati serta menaati hukum sebagai wujud keputusan rakyat.
Kelima,    menumbuhkan kesadaran akan kewajiban setiap individu sebagai makhluk sosial, yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain sebagai sesama warga masyarakat. Dalam kaitan itu, perlu diingat bahwa pemerintah dan rakyat harus ikut bertanggung jawab untuk membebaskan orang yang berpidana dari kemelut dan kekejaman kenyataan sosial yang melilitnya menjadi penjahat.

IV.         Narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan Narapidana atau Anak Pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai.
            Untuk mencapai sistem pencapaian yang baik partisipasi bukan hanya datang dari petugas, tetapi juga dari masyarakat di samping narapidana itu sendiri. Dalam usaha memberikan partisipasinya, seorang petugas pemasyarakatan senantiasa bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip permasyarakatan. Seorang petugas permasyarakatan barulah dapat dianggap berpartisipasi jika ia sanggup menunjukkan sikap, tindakan dan kebijaksanaannya dalam mencerminkan pengayoman baik terhadap masyarakat maupun terhadap narapidana.
            Lembaga Permasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Permasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Permasyarakatan dalam Undang-Undang ini ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum.
            Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai Warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Permasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
           Untuk mendidik terpidana untuk menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna, maka:
1.    selama ia kehilangan kemerdekaan bergerak ia harus dikenalkan dengan masyarakat, dan tidak boleh diasingkan daripadanya;
2.    pekerjaan dan didikan yang diberikan kepadanya tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan kepenjaraan atau kepentingan negara sewaktu saja. Pekerjaannya harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan ditujukan kepada pembangunan nasional;
3.    bimbingan dan didikannya harus berdasarkan Pancasila.
Negara harus memperlakukan para narapidana menurut kepribadian kita sendiri dan tidak mencari-cari di luar negeri bagaimana memperlakukan narapidana di Indonesia. Tentang teknik boleh kita belajar dari negeri-negeri yang maju tekniknya.
Pokok dari dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadiaan kita ialah:
1.    tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat; tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat, sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia;
2.    tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan; tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat; narapidana harus kembali ke masyarakat sebagai warga yang berguna; dan sedapat-dapatnya tidak terbelakang;
3.    narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan bergerak. Jadi perlu diusahakan supaya di samping atau sesudah mendapat didikan berangsur-angsur, mendapat upah untuk pekerjaanya.
Bagi Pemasyarakatan, tujuan spesifiknya ialah satu integritas kehidupan dan penghidupan, dalam hal ini integritas itu sendiri dari individu narapidana yang bersangkutan dan masyarakat di luarnya, yang sanggup menghadapi dan mengatasi tantangan-tantangan hidup dalam mewujudkan, mempertahankan dan menyempurnakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Sistem Pemasyarakatan sebagai suatu proses pembinaan baru akan sempurna juka di dalam pelaksanaannya ditunjang oleh fasilitas-fasilitas pembinaan yang betul-betul memenuhi syarat. Yang dimaksud dengan fasilitas pembinaan di sini adalah fasilitas yang disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan dalam usaha mengembalikan narapidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik kembali dan menjadi manusia yang seutuhnya.
V.   Dalam sistem pemasyarakatan, Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan berhak mendapatkan pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan lain sebagainya.
         Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya.
            Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:
a.    pengayoman;
b.    persamaan perlakuan dan pelayanan;
c.    pendidikan;
d.    pembimbingan;
e.    penghormatan harkat dan martabat manusia;
f.     kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan
g.    terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Penjelasan terhadap asas-asas tersebut di atas adalah:
“Pengayoman” adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidupnya kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.
“Persamaan perlakuan dan pelayanan” adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.
“Pendidikan” adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.
“Penghormatan harkat dan martabat manusia” adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlukan sebagai manusia.
“Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan” adalah Warga Negara Pemasyarakatan harus berada di dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS, (Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan, keterampilan, olah raga, atau rekreasi).
“Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluargadan orang-orang tertentu” adalah bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus tetap dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.
Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dilaksanakan: secara intramural (di dalam LAPAS) dan secara ekstramural (di luar LAPAS). Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan di LAPAS disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan secara ekstramural juga dilakukan oleh BAPAS yang disebut inregrasi, yaitu proses pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS.
Pembimbingan oleh BAPAS dilakukan terhadap:
a.    Terpidana bersyarat;
b.   Narapidana, Anak Pidana dan Anak Negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;
c.   Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaan diserahkan kepada orang tua atau badan sosial;
d.  Anak negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau Pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan orang tua atau badan sosial; dan
e.   Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya. (Pasal 6 ayat (3)).
Pembimbingan oleh BAPAS terhadap Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembimbingnya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial, karena pembimbingannya, masih merupakan tanggung jawab Pemerintah. Terhadap Anak Negara yang berdasarkan keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial, pembimbingannya tetap dilakuan oleh BAPAS karena anak tersebut masih berstatus Anak Negara. Pembimbingannya oleh BAPAS terhadap Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya dilakukan sepanjang ada permintaan dari orang tua atau walinya kepada BAPAS.
Adapun fasilitas pembinaan yang dimaksud adalah fasilitas pembinaan fisik  maupun fasilitas pembinaan mental. Akan dapat kita bayangkan jika seandainya suatu Lembaga Pemasyarakatan tidak memiliki fasilitas-fasilitas sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka apa yang menjadi cita-cita serta harapan dari Sistem Pemasyarakatan hanya akan berhasil dalam hal teori saja.
Pembinaan yang ditujukan terhadap fisik/jasmaniah narapidana, agar pada saat mereka selesai menjalani masa pidananya sudah betul-betul siap kembali ke dalam masyarakat. Maksud dari kata fisik disini bukan saja berarti jasad dari narapidana, tetapi juga kepandaian, keterampilan, ketangkasan dan daya karya, mampu untuk berdiri sendiri serta mencari nafkah yang halal yang kesemuanya ini diperoleh selama mereka berada di Lembaga Pemasyarakatan. (misalnya, kekaryaan, kerajinan tangan, pendidikan keterampilan, pendidikan jasmani dan lain sebagainya).
Pembinaan yang ditujukan terhadap mental/rokhaniah narapidana sebagai bekal untuk kembali ke dalam masyarakat, dalam hal peningkatan darya cipta, rasa dan karsa, kesusilaan, kejujuran dan sopan santun. (misalnya, pendidikan agama, kesenia, ceramah rohani, keorgnaisasian dan lain-lainnya).
Di samping tersedia fasilitas pembinaan selama narapidana berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, juga harus dipikirkan fasilitas pembinaan narapidana yang sudah menjelang lepas (pre release treatment) dan fasilitas pembinaan narapidana sesudah lepas (post release treatment).
Terhadap pembinaan narapidana yang menjelang lepas fasilitas pembinaan yang harus diprogramkan adalah:
-    pendidikan/sekolah di masyarakat bebas,
-    bekerja di kantor-kantor, perusahaan-perusahaan, atau tempat pekerjaan bukan milik Lembaga Pemasyarakatan,
-    rekreasi,
-    kunjungan keluarga,
-    cuti, dan lain sebagainya.
Terhadap narapidana yang sudah lepas atau yang sudah menjalani tahap asimilasi maupun integrasi, narapidana yang bersangkutan sudah dibiasakan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat, sehingga dalam menjalani kehidupan di dalam masyarakat narapidana yang bersangkutan sudah tidak merasa canggung lagi.

VI.      Pola pelayanan terhadap tahanan atau pembinaan terhadap narapidana diselenggarakan dalam rangka membentuk tahanan atau warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat berperan aktif dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai warganegara yang baik dan bertanggungjawab.


DAFTAR PUSTAKA
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Penerbit: Liberty, Yogyakarta.
Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pidana Penjara di Indonesia, Penerbit: PT. Refika Aditama, Bandung.
Eddy Djunaedi Karnasudirdja, ---, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan Narapidana
Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit: Alumni, Bandung.
--------- (Ed.)., 2005, Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep & Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Penerbit: PT Refika Aditama, Bandung.
Tongat, 2004, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia, Penerbit: UMM Press, Malang
Widiada Gunakaya, 1988, Sejarah dan KOnsepsi Pemasyarakatan, Penerbit: CV. Armico, Bandung.

Catatan:
Tulisan ini,  disampaikan penulis pada acara “Kegiatan Bimbingan Teknis (BIMTEK) HAM Tahun Anggaran 2009” Departemen Hukum dan HAM R.I. Kantor Wilayah Sumatera Utara, di Hotel Madani Medan, tanggal 06-07 Mei 2009.

Perguruan Tinggi Negeri badan hukum (PTN-bh)

POLA PENGELOLAAN KEUANGAN PTN-bh*

Oleh: Alvi Syahrin


I.          Pola pengelolaan keuangan PTN-bh berdasarkan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT), masih menimbulkan problematika ditandai dengan belum di terbitkannya peraturan pelaksana yang ditentukan oleh beberapa  pasal antara lain Pasal 64,  65 ayat (2), Pasal 66, Pasal 68, Pasal 97 huruf c dan d. Belum diterbitkannya peraturan pelaksana dalam UUPT dapat melahirkan tafsiran hukum yang berbeda dalam pelaksanaan pola pengelolaan keuangan PTN-bh.

II.       Metode  yuridis sistemik melakukan analisis pasal-pasal dalam peraturan dan harus mengkaitkannya satu sama lainnya sebagai satu kesatuan yang utuh.
Pasal 97 huruf c  UU No. 12 Tahun 2012 yang berbunyi:
Pengelolaan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara dan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara yang telah berubah menjadi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan Pemerintah dengan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum ditetapkan sebagai PTN Badan Hukum dan harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun.
dan Pasal 97 huruf d  UU No. 12 Tahun 2012 yang berbunyi:
Pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam huruf c mengikuti Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sampai dengan diterbitkannya peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.
           Berdasarkan Pasal 97 huruf c UU No. 12 Tahun 2012, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga, ditetapkan menjadi PTN bh yang harus menyesuaikan tata kelolanya paling lambat tanggal 10 Agustus 2014.
         Berdasarkan Pasal 97 huruf d UU No. 12 Tahun 2012, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga, ditetapkan menerapkan pengelolaan keuangan BLU sampai diterbitkannya peraturan pelaksana UU No. 12 Tahun 2012. Sedangkan PTN-bh yang telah berubah menjadi PT Pemerintah yang menggunakan pola keuangan BLU (dalam hal ini ITB dan UPI)  tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 97 huruf d.
     Peraturan pelaksana dimaksud dalam Pasal 97 huruf d belum ada, maka terjadi kekosongan hukum dan solusinya adalah dapat diberlakukan peraturan yang lama yaitu   PP No. 23 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah oleh PP No. 74 Tahun 2012. Selanjutnya PP No. 74 Tahun 2012 ini bukan merupakan peraturan pelaksana UU No. 12 Tahun 2012 karena PP No. 74 Tahun 2012 dalam konsiderannya tidak mencantumkan UU No. 12 Tahun 2012.
        Berdasarkan Pasal 62 UUPT, Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola  sendiri lembaganya. Otonomi PT meliputi bidang akademik dan non akademik (Pasal 64 ayat (1) UUPT). Otonomi di bidang non akademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional, serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaaan dan sarana prasarana (Pasal 64 ayat (3) UUPT). Bahwa  otonomi Perguruan Tinggi diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 68 UUPT). Sampai saat ini peraturan pemerintah dimaksud pada Pasal 68 UUPT belum terbit. Artinya PTN-bh yang ada saat ini belum memiliki ketentuan dasar hukum (rechtsgrond) penyelenggaraan otonomi PT termasuk terkait pengelolaan keuangan yang didasarkan dalam UUPT.
         Belum terbitnya ketentuan dasar hukum penyelenggaraan otonomi PT termasuk terkait pengelolaan keuangan yang didasarkan dalam UUPT ini menyebabkan penyelenggaraan pengelolaan keuangan 7 PTN-bh berada dalam ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid).
            Pengelolaan keuangan pada 7 (tujuh) PTN-bh, diselenggarakan berdasarkan PPK-BLU dengan status BLU secara penuh sampai 31 Desember 2012, dan pengalihan kekayaannya wajib diselesaikan 28 September 2013 (Pasal 37A jo 40A PP No.74 Tahun 2012). Dalam penjelasan Pasal 40A ayat (1) PP 74 Tahun 2012 penerapan PPK-BLU dalam ketentuan ini antara lain meliputi tarif layanan, standar biaya, serta perencanaan dan penganggaran (penyusunan RBA dan RKA-K/L). Tarif layanan dan standar biaya yang digunakan saat ini (existing) masih tetap berlaku sampai dengan 31 Desember 2012 dan dapat dipergunakan dalam penyusunan RKA-K/L tahun 2012 dan 2013.
Penegasan lebih lanjut tentang pendelegasian kewenangan penetapan tarif layanan sesuai dengan Pasal 9 ayat (9) PP No. 74 Tahun 2012 Menteri Keuangan sesuai dengan kewenangannya dapat mendelegasikan penetapan tarif layanan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan atau Pimpinan BLU. Pendelegasian kewenangan penetapan tarif layanan sebagaimana dimaksud ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan (Pasal 9 ayat (10) PP No. 74 Tahun 2012) namun sampai saat ini Peraturan tersebut belum terbit.
Untuk menghindari kekosongan hukum dalam penetapan tarif layanan berdasarkan pasal 40A ayat (1) PP No. 74 Tahun 2012 dan penjelasannya, PTN-bh dapat menerapkan norma hukum ini, dengan kata lain Rektor PTN-bh sebagai pimpinan lembaga berwenang menetapkan tarif layanan, standar biaya, serta perencanaan dan penganggaran (penyusunan RBA dan RKA-K/L) dengan pedoman teknis yang dimiliki sesuai dengan otonomi perguruan tinggi.
          Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan  negara diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dikaitkan dengan pengelolaan keuangan Pendidikan Tinggi yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2012 dapat diberlakukan asas hukum "lex specialis derogat lex generalis" (ketentuan UU No. 12 Tahun 2012 mengeyampingkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khusus menyangkut pengelolaan keuangan  pendidikan tinggi PTN-bh).

III.  Berdasarkan Pasal 34 ayat (3) PP 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU yang berbunyi:
Dalam pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk dewan pengawas”
Dan ayat (4) yang berbunyi:
Pembentukan dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku pada BLU yang memiliki realisasi omzet tahunan menurut laporan realisasi anggaran atau nilai aset menurut neraca yang memenuhi syarat minimum yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 
Maka dapat dikatakan berdasarkan sifat norma hukum (rechtsnorm karakter) pembentukan dewan pengawas tidak bersifat memaksa (dwingen) dan mengikat (binden) untuk dilaksanakan karena redaksional pada ayat (3) menggunkan kata “dapat”. Dilihat dari ilmu hukum normatif (normative rechtswetenschap) bahwa norma hukum yang dimaksudkan tidak memuatought to be atau het van behoren, sehingga USU dan 6 PTN-bh lainnya tidak harus mematuhinya. Selain itu, norma hukum yang demikian hanya bersifat dispositif (aanvullenrecht, dispositief recht).
          Dalam ayat (5) ditegaskan bahwa dewan pengawas BLU di lingkungan pemerintah pusat dibentuk dengan keputusan menteri/pimpinan lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan.
         Ketentuan pasal 34 ayat (3), (4), dan (5) apabila ditentukan dengan Pasal 40A PP No. 74 tahun 2012 berikut dengan penjelasannya maka dewan pengawas bagi PTN-bh khususnya, yaitu Majelis Wali Amanat, sebabMajelis Wali Amanat bertugas untuk menetapkan kebijakan umum universitas dalam bidang non akademik yakni melaksanakan pengawasan dan pengendalian umum atas pengelolaan universitas.
           
IV.       UUPT memberikan otonomi kepada PTN-bh di antaranya dalam hal pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan PTN-bh berdasarkan UUPT menerapkan PPK BLU sampai 10 Agustus 2014 atau sampai keluarnya peraturan pelaksanaan, namun demikian peraturan pelaksanaannya belum terbit sampai saat ini. Untuk mengisi kekosongan hukum karena belum terbitnya peraturan pelaksana dari UUPT mengenai pengelolaan keuangan, maka  PTN-bh dalam pengelolaan keuangan berpedoman kepada PP No. 74 Tahun 2012.  Pendelegasian kewenangan mengenai penetapan tarif layanan yang diatur dalam PP No. 74 Tahun 2012, seharusnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan hingga saat ini belum terbit, sehingga Rektormasih berwenang dalam menetapkan tarif layanan sampai waktu yang ditentukan (10 Agustus 2014) atau sampai terbitnya peraturan pemerintah yang mengatur tentang pendanaan PTN-bh.
          Pembentukan Dewan Pengawas tidak bersifat memaksa, sehingga PTN-bh tidak harus membentuknya.


*Catatan:
Analisis hukum yang diuraikan merupakan hasil diskusi dari tim Hukum USU yang terdiri dari Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH.MS, Prof. Dr. Tan Kamello, Bachtiar Hamzah, SH.MH., M. Hayat, SH., Edy Ikhsan, SH. MA, Dr. Agusmidah, SH.MHum., Armansyah, SH.MH.

Izin Lingkungan dan Isu hukumnya

IZIN LINGKUNGAN DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRATIF BERDASARKAN UUPPLH
TERHADAP USAHA/KEGIATAN YANG TELAH MEMILIKI IZIN USAHA/KEGIATAN

Oleh: Alvi Syahrin


I.                    Izin lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka (35) UUPPLH). Selanjutnya, izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka (36) UUPPLH). Izin usaha dan/atau kegiatan berdasarkan penjelasan Pasal 40 ayat (1) UUPPLH termasuk izin yang disebut nama lain seperti izin operasi dan izin konstruksi.
          Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPLH, belum mengenal/mengatur mengenai izin lingkungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPLH, untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan bagi usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan. Selanjutnya,  izin usaha dan atau kegiatan tersebut diberikan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dalam izin tersebut dicantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan. Kemudian, penjelasan Pasal 18 ayat (2) UUPLH, menjelaskan bahwa dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan harus ditegaskan kewajiban yang berkenan dengan penaatan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan usaha dan/atau kegiatannya. Bagi usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau melaksanakan amdal, maka rencana pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib dilaksanakan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan harus dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah, syarat mutu limbah yang boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup, dan kewajiban yang berkaitan dengan pembuangan limbah, seperti kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau tersebut kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan hidup. Apabila suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku diwajibkan melaksanakan analisis dampak lingkungan hidup, maka persetujuan atas analisis mengenai dampak lingkungan hidup tersebut harus diajukan bersama dengan permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
        Menyimak ketentuan Pasal 18 UUPPLH berikut penjelasannya dan dikaitkan dengan Pasal 19 UUPLH yang menegaskan bahwa dalam menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan wajib memperhatikan rencana tata ruang, pendapat masyarakat, pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan, menunjukkan bahwa aspek pengelolaan lingkungan hidup diintegrasikan ke dalam izin usaha dan/atau kegiatan, dan izin dilakukan secara terpadu sebagai suatu sistem. Kemudian, setelah adanya izin usaha dan/atau kegiatan juga perlu mengurus izin yang berkaitan dengan pembuangan dan pengelolaan limbah. Artinya, berdasarkan UUPLH, tidak diperlukan adanya izin lingkungan sebagai prasyarat untuk terbitnya izin usaha dan/atau kegiatan. Izin usaha dan/atau kegiatan hanya mencantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan.

II.                 Izin lingkungan berdasarkan  UUPPLH merupakan prasyarat untuk mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan, dan izin tersebut diberikan dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 36 UUPPLH, izin lingkungan diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan atau rekomendasi UKL-UPL dan izin lingkungan wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. Ketentuan lebih lanjut mengenai izin lingkungan berdasarkan Pasal 41 UUPPLH, diatur dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang izin lingkungan saat ini, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan (PP 27/2012). Berdasarkan Pasal 42 PP 27/2017, permohonan izin lingkungan diajukan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan selaku pemrakarsa kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota (sesuai kewenangannya) dan disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian Andal dan RKL-RPL atau pemeriksaan UKL-UPL. 
           Izin lingkungan yang diterbitkan paling sedikit memuat: a. persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau rekomendasi UKL-UPL, b. persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota; dan c. berakhirnya izin lingkungan (Pasal 48 ayat (1) PP 27/2012). Selanjutnya, berdasarkan Pasal 48 ayat (2) PP 27/2012, izin lingkungan di dalamnya juga harus mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 48 ayat (2) PP 27/2012 menjelaskan bahwa izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antara lain  izin pembuangan limbah cair, izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah, izin penyimpanan sementara limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pengumpulan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pemanfaatan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pembuangan air limbah ke laut, izin dumping, izin reinjeksi ke dalam formasi, dan/atau izin venting. Menyimak ketentuan Pasal 48 ayat (2) PP 27/2012, izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus di cantumkan dalam izin lingkungan, dan izin-izin tersebut harus dipenuhi/diurus oleh pemrakarsa setelah izin usaha dan/atau kegiatan diterbitkan. Artinya, izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan terbit setelah kegiatan dan/atau usaha berjalan.
            Dicantumkannya segala izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam izin lingkungan, menjadikan apakah pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan (kewajiban-kewajiban) dalam  izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap izin lingkungan. Menurut penulis, pelanggaran terhadap izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juga dianggap sebagai melanggar (pelanggaran) terhadap izin lingkungan, sebab dalam izin lingkungan mencantumkan kewajiban untuk memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan selanjutnya persyaratan/kewajiban yang tercantum dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus dipatuhi oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan.
         Pelanggaran terhadap izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dianggap sebagai pelanggaran terhadap izin lingkungan, maka berdasarkan Pasal 76 UUPPLH, Menteri, gubernur dan/atau walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menerapkan sanksi administratif kepada pelaku usaha jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin-izin yang ada dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sanksi administratif yang dijatuhkan dapat berupa: a. teguran tertulis, b. paksaan pemerintah, c. pembekuan izin lingkungan, atau d. pencabutan izin lingkungan.
          Menteri Negara Lingkungan Hidup berdasarkan Pasal 77 UUPLH, dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggungjawab usaha dan atau kegiatan jika pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 72 PP 27/2012, sanksi administratif di dasarkan atas:
a.       Efektifitas dan efesiensi terhadap pelestarian fungsi lingkungan hidup;
b.      Tingkat atau beratnya ringannya jenis pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang izin lingkungan;
c.      Tingkat ketaatan pemegang izin lingkungan terhadap pemenuhan perintah atau kewajiban yang ditentukan dalam izin lingkungan;
d.      Riwayat ketaatan pemegang izin lingkungan; dan/atau
e.  Tingkat pengaruh atau implikasi pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang izin lingkungan pada lingkungan hidup.

III.                Izin lingkungan sebagaimana diatur dalam UUPPLH, berisikan suatu keputusan mengenai kelayakan lingkungan atas suatu usaha dan/atau kegiatan. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 angka (35) dan Pasal 1 angka (1) PP No. 27/2012 yang memberikan batasan izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, dan Pasal 47 PP No. 27/2012 yang menegaskan izin lingkungan diterbitkan untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL.
       Izin sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan bukti legalitas yang menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan tertentu. Sebagai dokumen, izin yang dikeluarkan harus yang tertulis. Izin tertulis diberikan dalam bentuk keputusan tata usaha negara.
     Ketentuan Pasal 73 PP 27/2012 menegaskan bahwa dokumen lingkungan yang telah mendapat persetujuan sebelum berlakunya PP 27/2012 dinyatakan tetap berlaku dan dipersamakan sebagai izin lingkungan. Walaupun dokumen lingkungan dipersamakan sebagai izin lingkungan, perlu adanya suatu bentuk keputusan.  Memperhatikan Pasal 52 PP 27/2012, yang mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan izin lingkungan diatur dalam peraturan menteri, maka Menteri Negara Lingkungan Hidup dapat menerbitkan peraturan menteri mengenai penerbitan izin lingkungan bagi kegiatan usaha dan/kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan sebelum berlakunya ketentuan UUPPLH dan PP 27/2012. Dalam peraturan menteri tersebut diatur pemberian izin lingkungan dan siapa yang berwenang untuk memberikan/menerbitkan keputusan izin lingkungan secara tertulis, guna terdapatnya dokumen atas izin lingkungan bagi setiap kegiatan usaha dan/kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan sebelum berlakunya ketentuan UUPPLH dan PP 27/2012.
               Bagaimana halnya terhadap kegiatan usaha yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan, namun setelah habis berakhirnya masa/tenggang waktu sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 121 UUPPLH, tetapi tidak menyelesaikan audit lingkungan hidup atau membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
             Menteri Negara Lingkungan Hidup, telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup  Nomor 14 Tahun 2010  Tentang  Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan  Yang Telah Memiliki Izin Usaha Dan/Atau Kegiatan Tetapi  Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup (PermenLH No: 14/2010) dalam rangka penerapan Pasal 121 UUPPLH. Berdasarkan Pasal 1 angka (1) PermenLH No. 14/2010, Audit Lingkungan Hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dokumen yang dihasilkan dari audit lingkungan akan berupa Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) yaitu dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang merupakan bagian dari proses audit lingkungan hidup yang dikenakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal. Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) merupakan dokumen lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 PP No. 27/2012, dan dokumen tersebut dipersamakan sebagai izin lingkungan.
           Dokumen Lingkungan (Hidup) berdasarkan Pasal 1 angka (2) PermenLH No: 14/2010 adalah dokumen yang memuat pengelolaan  dan pemantauan lingkungan hidup yang terdiri atas analisis mengenai  dampak lingkungan hidup (amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), surat pernyataan  kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL),  dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (DPPL), studi evaluasi mengenai dampak lingkungan hidup (SEMDAL), studi evaluasi  lingkungan hidup (SEL), penyajian informasi lingkungan (PIL), penyajian  evaluasi lingkungan (PEL), dokumen pengelolaan lingkungan hidup  (DPL), rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan  lingkungan (RKL-RPL), dokumen evaluasi lingkungan hidup (DELH),  dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPLH), dan Audit Lingkungan.
              Kemudian, Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka (4) PermenLH No: 14/2010 adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan  lingkungan hidup  yang dikenakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang  sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki  UKL-UPL. Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan Dokumen Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 PP No. 27/2012, dan dokumen tersebut dipersamakan sebagai izin lingkungan.
                Bagaimana halnya jika usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi tidak melaksanakan Pasal 121 UUPPLH, dapatkah ia dikategorikan sebagai kegiatan dan/atau usaha yang tidak memiliki izin lingkungan? Oleh karena dengan tidak dilaksanakannya Pasal 121 UUPPLH oleh yang menjalankan kegiatan dan/atau usaha tersubut, maka ia tidak akan memiliki dokumen lingkungan, yang berdasarkan Pasal 73 PP No. 27/2012, dokumen lingkungan tersebut dipersamakan sebagai izin lingkungan.
              Menyimak ketentuan Pasal 121 UUPPLH dan Pasal 73 PP No. 27/2012, maka kegiatan dan/atau usaha yang telah memiliki izin kegiatan dan/atau usaha, namun tidak melaksanakan Pasal 121 UUPPLH dan PermenLH No: 14/2010, maka usaha dan/atau kegiatan tersebut ditafsirkan sebagai usaha/kegiatan yang tidak memiliki izin lingkungan.  Oleh karena usaha dan/atau kegiatan tersebut ditafsirkan sebagai usaha/kegiatan yang tidak memiliki izin lingkungan, maka usaha dan/atau kegiatan tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) UUPPLH, sehingga usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) UUPPLH.
                Berdasarkan uraian di atas, walaupun usaha dan/atau kegiatan dapat dinyatakan telah melakukan pelanggaran terhadap izin lingkungan, akan tetapi pelaku usaha dan/atau kegiatan yang telah mendapat izin usaha dan atau kegiatan dapat mengajukan pembelaan bahwa mereka tidak perlu memiliki izin lingkungan, sebab izin lingkungan diperlukan sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan serta ketentuan undang-undang yang membebankan mereka untuk memiliki izin lingkungan tidak dapat berlaku surut.

IV.               Menyimak uraian terdahulu, ada isu hukum yang perlu di bahas lebih lanjut, antara lain: a. dapatkan pelaku usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan mengajukan argumentasi tidak perlu lagi  memiliki izin lingkungan sampai izin usaha dan/atau kegiatannya berakhir?; b. Apakah dengan telah dimilikinya dokumen pengelolaan lingkungan bagi usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan, tidak perlu lagi memiliki izin lingkungan secara tertulis karena dokumen pengelolaan lingkungannya sudah dipersamakan sebagai izin lingkungan?; c. apabila usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan namun tidak melaksanakan Pasal 121 UUPPLH jo PermenLH No: 14/2010, dapat digugat secara administratif atas izin usaha dan/atau kegiatan yang telah dimilikinya untuk dicabut?; d. siapakah yang seharusnya mengajukan gugatan administratif tersebut? e. bagaimana argumentasi hukum yang dibangun untuk mencegah terjadinya daluwarsa gugatan administratif tersebut oleh karena izin usaha dan/atau kegiatannya yang dimiliki tersebut terbitnya sudah lewat/lebih dari 90 (sembilan puluh hari)? f. apakah pelaku usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan namun tidak melaksanakan Pasal 121 UUPPLH jo PermenLH No: 14/2010 dapat dikenakan Pasal 109 UUPPLH?