Translate

Senin, 11 Maret 2013

HAK ASASI MANUSIA TANPA DUKUNGAN POLITIK



Catatan HAM Awal Tahun 2008
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
1
Bagian 1:
Pendahuluan
Di tahun 2008 ini reformasi politik dan demokrasi telah memasuki usia sepuluh tahun.
Namun dalam sepuluh tahun itu perkembangan demokrasi belum mampu mendukung hak
asasi manusia menjadi acuan utama dalam pembuatan kebijakan publik. Maka dari itu
kinerja aktor politik dan pemerintah serta lembaga-lembaga negara tahun 2008 menjadi
sangat menentukan bagi perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia. Apa lagi di tahun
2008 ini, aktor-aktor politik akan tersedot energinya pada upaya pemenangan pemilu di
tahun 2009.
Agar di tahun 2008 ini agenda demokrasi dan hak asasi manusia menemukan traknya, maka
ELSAM menyampaikan beberapa pandangan dan analis terhadap perkembangan selama
tahun 2007. Dalam menyusun pandangan dan analisis terhadap perkembangan di tahun
2007 tersebut dipakai tiga ukuran. Ukuran pertama adalah kemampuan lembaga-lembaga
negara dan pemerintah untuk menyelesaikan kasus yang diduga sebagai pelanggaran HAM.
Kedua adalah produksi regulasi tentang – dan yang juga berdampak pada – hak asasi
manusia. Ketiga adalah partisipasi aktor-aktor politik dan masyarakat dalam menyokong
perkembangan hak asasi manusia.
Dengan memakai ketiga ukuran itu, analisis tidak lagi diarahkan pada penanganan kasus
semata, melainkan lebih pada tindakan komprehensif negara terhadap hak asasi manusia.
Lebih jauh lagi, dari ketiga ukuran itu pelanggaran hak asasi manusia tidak lagi semata
dilihat pada tataran praktis (berupa kasus atau kebijakan tertentu), melainkan juga pada
tataran teoretis (paradigma dan konsep yang menjadi landasan kebijakan negara terhadap
hak asasi manusia). Dapat dikatakan bahwa situasi HAM global-kontemporer, termasuk
yang terjadi di Indonesia, diwarnai pelanggaran bukan saja secara praktis melainkan juga
secara teoretis. Secara teoretis pelanggaran HAM terjadi dalam iklim demokrasi yang lebih
berfokus pada hak (rights-based) ketimbang pada kebebasan (liberty-based). Konsep HAM
yang demikian ini terjadi sejak adanya pergeseran paradigma dari paham hak kodrat
tradisional yang lebih menekankan ide kebebasan kepada paham hak kodrat modern yang
lebih menekankan ide hak itu sendiri.1
Pergeseran ini pada gilirannya mempengaruhi konsep dan praktik demokrasi itu sendiri.
Kalau pada konsep tradisional yang terutama diwakili Aristoteles, manusia dilihat sebagai
makhluk sosial, maka konsep modern yang terutama diwakili Hobbes melihat manusia
sebagai makhluk yang mencari kepentingan diri sendiri dan kebebasan hanya bermakna
sejauh itu untuk memuaskan kepentingan diri sendiri itu. Para pemikir hak kodrat
tradisional melihat keutamaan, atau kehidupan yang baik, sebagai tujuan baik individu
maupun bersama (komunitas). Sementara, para pemikir modern mengajukan teori hak
1 Lihat Arthur J. Dyck, Rethinking Rights and Responsibilities, The Moral Bonds of Community,
Cleveland, Ohio: The Pilgrim Press, 1994, hlm. 4-5.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
2
yang mengutamakan kepemilikan dan pemuasan hasrat untuk kepentingan sendiri.2 Konsep
dan praktik demokrasi yang diajukan oleh paham tradisional lebih melihat hak manusia
pada jalinan kelindan kebebasan satu sama lain, sementara paham modern lebih melihat
hak manusia sebagai tuntutan individual tanpa memperhatikan kepentingan yang lain
apalagi bersama.
Selain itu, secara geneologis, HAM sekarang memasuki fase ketiga yang diwarnai sekaligus
merupakan respon terhadap ideologi politik neoliberalisme (fundamentalisme pasar) di
satu sisi dan globalisme di sisi lain.3 Jadi, HAM terkepung di tengah dua ideologi besar
kontemporer ini, yang tampak setali tiga uang, tetapi tetap distingtif. Sementara itu, konsep
HAM konvensional sangat menekankan peran negara dalam penegakannya. Inilah sebuah
dilema besar. Di satu sisi ada pandangan yang state-centred, di sisi lain ada upaya
penyelesaian alternatif di luar peran negara yang sangat sentral. Pendekatan state-centred
di satu sisi menuntut penguatan posisi negara di tengah kepungan ideologi
fundamentalisme pasar dan globalisme, di sisi lain berekses pada bahaya kembalinya
otoritarianisme yang, secara genealogis, merupakan ciri khas HAM fase kedua. Pendekatan
alternatif di satu sisi membuka ruang-ruang bagi partisipasi politik rakyat yang berasal dari
“dunia kehidupan” (life-world, Lebenswelt), yang dengan demikian mengandaikan
dikuranginya peran negara dan lebih membuka pendekatan berbasis komunitas
(community-based approach) sebagai misal, di sisi lain membuka pintu bagi cengkeraman
ideologi fundamentamentalisme pasar.
Advokasi HAM kontemporer berfokus pada kemampuan aktor untuk mensintesiskan
pelbagai posisi yang membawa dilema itu. Apa yang tampak sebagai dilema kemudian
ditatap sebagai kemungkinan jalan keluar. Politik demokrasi dan hak asasi manusia tidak
berdasarkan pada ide hak itu sendiri, melainkan pada ide kebebasan; kebebasan tidak
dilihat terutama sebagai bagian dari hak, melainkan sebagai ruang bagi pemenuhan hak.
Itulah demokrasi. Advokasi HAM diarahkan pada peran negara yang fundamental di satu
sisi (tetapi tidak satu-satunya dan terpusat) dan partisipasi publik di sisi lain. Partisipasi
publik ini pulalah – jadi bukan semata peran negara – yang menjadi tameng bagi serbuan
ideologi fundamentalisme pasar dan sapuan globalisme. Pemenuhan hak asasi manusia
dapat terjamin dengan menjaga keseimbangan antara peran “dunia sistem” (negara, aktoraktor
politik, partai politik, termasuk para pemilik modal yang berpolitik) dengan “dunia
kehidupan” (masyarakat sipil, dunia riuh rendah dengan kreativitas yang bahkan chaos,
dunia kebebasan, dunia diskursus). Politik demokrasi seharusnya diarahkan ke sana agar
lebih menjamin hak asasi manusia.
2 Lihat ibid.
3 Untuk uraian lengkap tentang analisis genealogis ini, lihat Eddie Riyadi, “Hak Asasi Manusia: Sebuah
Telusuran Genealogis dan Paradigmatik”, makalah yang dipresentasikan pada Training Hak Sipol
dan Politik Berperspektif Jender dengan materi “Hak Asasi Manusia: Sejarah, Prinsip dan Isinya”,
yang diselenggarakan oleh Lembaga Damar, Lampung, pada 18 September 2006.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
3
Bagian 2:
Pelaksanaan Perlindungan dan Penghormatan HAM di
Indonesia Sepanjang Tahun 2007
2.1. Kemajuan Di Bidang Prosedur Legal Formal
Revisi Undang-Undang Hukum Pidana
Sepanjang tahun 2007, sebetulnya banyak kemajuan berarti yang sudah dicapai. Namun,
kebanyakan dari kemajuan tersebut hanya berada di tataran prosedur legal formal, sekedar
instrumen. Diantaranya adalah proses revisi kitab UU Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), naskah RUU
KUHP yang akan diajukan Pemerintah ke DPR mengandung bahaya kriminalisasi berlebihan
(overcriminalization). Politik kriminal yang dimasukkan dalam RUU KUHP justru
mengancam kebebasan dasar dan hak asasi manusia. Tampak jelas kecenderungan
menggunakan hukum pidana sebagai instrumen penekan, bukan lagi sebagai instrumen
penyelesaian masalah. Rancangan RUU KUHP cenderung melindungi kepentingan politik
negara dan kepentingan masyarakat, sehingga mengancam kebebasan individu.
Beberapa tindak pidana “baru” yang dirumuskan juga terlalu jauh masuk ke wilayah
personal/privat individu, seperti kebebasan berpikir dan kebebasan privat lainnya. Selain
itu, tim penyusun juga mencampur-adukan antara adab kesopanan, norma kepatutan, dan
pelanggaran hukum. Sehingga hampir semua perbuatan dimasukkan sebagai tindak pidana.
Perancang RUU KUHP berupaya membuat kodifikasi baru hukum pidana, misalnya dengan
mengubah sistematika KUHP dari tiga buku menjadi dua buku: Buku 1 memuat tentang
ketentuan umum, dan Buku 2 tentang tindak pidana. Jadi sudah tidak ada lagi pembedaan
antara kejahatan (crime) dengan pelanggaran (violation) sebagaimana terdapat dalam
KUHP yang kini masih berlaku. Akibat penggabungan itu, semua pelanggaran yang
tercantum dalam Buku 3, termasuk Peraturan-peraturan Daerah yang mengatur
pelanggaran, secara otomatis menjadi tindak pidana, sehingga terjadilah kriminalisasi
berlebihan.
Perlindungan Saksi dan Korban
Kemajuan yang hanya di ranah prosedur formal juga diraih di bidang perlindungan saksi
dan korban. Sementara itu, disisi lain, keberadaan para saksi dan korban masih terus
menerus mengalami ancaman, intimidasi dan tidak mendapatkan perlindungan yang
memadai. Berbagai kasus ancaman dan intimidasi kepada saksi dan korban di beberapa
daerah menunjukkan belum efektifnya keberadaan dan implementasi UU Perlindungan
Saksi dan Korban. Dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 13 tahun 2007 tentang Susunan
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
4
Panitia Seleksi, Tata Cara Pelaksanaan Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban merupakan awal yang baik bagi penegakan dan
perlindungan hak-hak saksi dan korban yang sudah sejak lama seringkali diabaikan.
Namun, pembentukan LPSK tanpa diiringi dengan persiapan infrastruktur dan sarana
pendukung lainnya tidak akan membuat LPSK yang diharapkan berjalan sebagaimana
mestinya.
Kondisi ini menunjukkan perlunya internalisasi dan percepatan dalam proses implementasi
UU perlindungan saksi, terutama bagi aparat penegak hukum, pengadilan dan departemen
terkait, khususnya Departemen Hukum dan HAM. Karena selama ini aparat penegak hukum,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan masih menganggap KUHAP sebagai satu-satunya sumber
hukum yang mengatur mengenai saksi dan korban, padahal muatan perlindungan terhadap
hak-hak saksi dan korbannya masih konvensional dan jauh tertinggal.
Proses Reformasi Komnas HAM
Pada September 2007, Komisi Nasional HAM sebagai lembaga yang menjadi ujung tombak
pemajuan HAM di Indonesia telah berganti rupa. 11 anggota baru dipilih melalui sebuah
proses panjang yang relatif lebih transparan dan mengutamakan kapasitas personal para
calon anggota. Proses pembentukan Komnas HAM yang independen, imparsial, transparan,
accountable, dan mencerminkan keragaman ini dimulai ketika Panitia Seleksi memilih dan
menetapkan calon-calon anggota yang dengan pengalaman dalam pemajuan dan penegakan
HAM telah memberikan kontribusi terhadap pemajuan demokrasi dan perlindungan HAM
di Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat dalam proses seleksi anggota Komnas HAM yang
lalu adalah dimungkinkannya partisipasi publik dalam menentukan calon-calon yang layak
sebelum diserahkan kepada DPR untuk uji kelayakan dan kepatutan. Proses selanjutnya di
DPR adalah proses politik.
Jumlah antara 11 orang Anggota barangkali adalah yang paling ideal untuk Komnas HAM
Indonesia untuk menjalankan empat fungsi Komnas HAM,4 yaitu fungsi pengkajian dan
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi. Jumlah keanggotaan yang terlalu besar
dan tidak jelas landasan pemilihannya harus dihindari karena hanya akan menghambat
bahkan melumpuhkan proses pengambilan keputusan. Bahkan institusi yang bersifat multimember
atau inter-departemen pun cenderung lebih efektif jika jumlah Anggotanya (yang
berwenang memutuskan kebijakan lembaga) sedikit. Jumlah anggota yang banyak akan
membuat Komnas HAM lamban, karena membuat Komnas HAM kerap menempuh langkah
voting dalam menyikapi peristiwa-peristiwa sosial-politik yang berdimensi hak asasi
manusia. Lebih celaka lagi, Komnas kadang-kadang terperosok ke jalur voting ini dalam
menyikapi fakta-fakta tentang peristiwa yang diindikasikan ada pelanggaran serius hak
asasi manusia. Ini lah kenyataan di Komnas sepanjang tahun 2002 sampai pertengahan
2007 yang lalu.
Dengan jumlah yang secara hipotetis ideal seperti sekarang ini, Komnas HAM memang
masih harus membuktikan efektivitas kinerjanya, mengingat efektivitas kinerja Komnas
4 Pasal 89 UU No.39/1999
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
5
HAM memegang peranan penting dalam menentukan masa depan pemajuan HAM di
Indonesia. Posisi penting Komnas HAM tidak bisa dipungkiri karena saat ini hanya Komnas
HAM lah satu-satunya institusi yang dimandatkan oleh UU Nomor 39 tahun 1999 untuk
melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang bidang
hak asasi manusia.5 Selain itu wewenang Komnas HAM dalam melakukan fungsi
pemantauan terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia juga diperkuat dengan adanya
kewenangan untuk memanggil saksi secara paksa (subpoena).6 Tidak berhenti di situ,
berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga menempatkan Komnas
HAM sebagai institusi tunggal dalam melakukan penyelidikan pro-justicia atas terjadinya
peristiwa pelanggaran berat HAM di Indonedia.7 Dengan kewenangan seperti di atur oleh
dua UU di atas maka Komnas HAM menjadi barometer bagi perkembangan dan kemajuan
atas penghargaan dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.
Dalam kondisi demikian, Komnas HAM seharusnya jangan terjebak di dalam menangani
masalah hak asasi manusia keseharian, tetapi lebih pada menjalankan fungsi
mengorientasikan arah kebijakan HAM negara. Karena Komnas HAM bukanlah
implementator tetapi sebagai peletak rambu-rambu jalannya perlindungan, pemenuhan,
dan pemajuan HAM di Indonesia. Komnas HAM seharusnya hadir di pusat-pusat politik,
terlibat dalam proses penyusunan regulasi di bidang hak asasi manusia. Komnas HAM
harusnya bisa menjadi rekanan kerja legislatif dan eksekutif dan yudikatif, setidaknya
sebagai consultative body.
2.2. Proses Pembuatan UU di Parlemen: Paket UU Politik Masih Menjadi Prioritas
Prolegnas tahun 2007 menetapkan 78 RUU sebagai RUU yang diprioritaskan
pembahasannya. Dari 78 RUU tersebut, 48 RUU diantaranya merupakan RUU luncuran
prioritas tahun 2005 dan tahun 2006. Namun, dari 78 RUU tersebut paket RUU Politik dan
pemekaran daerah ternyata masih merupakan primadona (high super priority) pembahasan
bagi DPR dan Pemerintah, dimana terhadap RUU ini semaksimal mungkin Pemerintah akan
mengupayakan secepat mungkin dibahas oleh DPR. Pada tahun 2007, setidaknya enam
RUU yang termasuk dalam paket undang-undang politik yang menjadi prioritas utama. RUU
tersebut adalah RUU tentang partai politik, pemilu anggota legislatif, susunan dan
5 Pasal 76 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999
6 Pasal 95 UU No 39 Tahun 1999 menyebutkan ‘Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang
menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan
Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan’.
7 Pasal 18 UU No.26 Tahun 2000
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
6
kedudukan anggota lembaga legislatif, pemilu presiden-wakil presiden, pemilihan kepala
daerah, serta pemerintahan daerah (termasuk perubahan mengenai pemerintahan desa)8.
Seluruh fraksi di DPR sepakat bahwa paket undang-undang bidang politik diupayakan
selesai pada tahun 2007. Alasan yang dikemukakan adalah soal kebutuhan waktu yang
memadai untuk mempersiapkan penyelenggaraan Pemilu 2009. Selain bagi peserta dan
penyelenggara, juga dibutuhkan cukup waktu untuk menyosialisasikannya kepada rakyat9.
Namun, dalam implementasinya, DPR hanya berhasil menyelesaikan 45 RUU menjadi UU,
yang sebagian besar merupakan RUU pemekaran wilayah, RUU ratifikasi perjanjian
internasional, dan RUU tentang penetapan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang) menjadi undang-undang, dimana terhadap RUU-RUU tersebut tidak
memerlukan proses pembahasan yang terlalu rumit10. Yang tidak kelihatan dari RUU yang
disyahkan DPR menjadi UU adalah RUU-RUU yang berkaitan dengan prospek penegakan
hukum dan perlindungan hak asasi manusia, seperti RUU KUHP, RUU KUHAP, dan RUU
tentang Penghapusan Diskriminasi ras dan etnis.
Dari sekian banyak UU yang dihasilkan DPR tersebut, ada dua UU yang harus mendapat
perhatian lebih dari masyarakat, karena kedua UU ini sedikit banyak akan mempengaruhi
proses penegakan hukum dan hak asasi manusia, yaitu UU No. 21 tahun 2007 tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Asing.
UU Tindak Pidana Perdagangan Orang atau UU Trafficking harus mendapat pengawalan
lebih mengingat pentingnya muatan substansi yang terdapat dalam UU ini, yaitu dalam
rangka mencegah, memberantas dan menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang,
khususnya Perempuan dan Anak11. Hal ini harus dilakukan karena sampai saat ini Indonesia
masih dianggap sebagai sebagai sumber, tempat transit, dan termasuk dalam mata rantai
trafficking dunia12, dimana pelecehan seksual dan perdagangan buruh banyak terjadi dari
pedesaan hingga perkotaan di Indonesia. Bahkan, sebagian besar perempuan yang bekerja
ke luar negeri sebagai pembantu rumah tangga rata-rata mengalami ekploitasi dan kondisi
yang buruk. Sehingga adanya UU Trafficking ini diharapkan dapat memberikan landasan
hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana
trafficking13.
8 Badan Legislasi Bersama Pemerintah Sepakati Prolegnas RUU Prioritas tahun 2007 Segera Dibahas,
www.dpr.go.id, 13 Oktober 2006.
9 Paket RUU Politik tersebut tidak selesai pada tahun 2007, sehingga pengesahannya dilakukan pada
awal tahun 2008
10 Hattrick Untuk Kinerja Legislasi Yang Buruk! Saatnya Merombak Total Aturan Main DPR,
Pernyataan Pers PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia) tentang Catatan Akhir Tahun
2007 Mengenai Kinerja Legislasi DPR RI, 26 Desember 2007.
11 Penjelasan Umum UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
12 RI Peringkat Kedua Trafficking,:Koran Sindo 14 Juni 2007
13 Trafficking dan UU PTPPO - www.fajar.co.id, Rabu, 18 July 2007
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
7
Sedangkan UU Penanaman Modal Asing, perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius
mengingat banyaknya ketentuan dalam UU PMA yang merugikan masyarakat dan
“bertentangan” dengan konstitusi UUD 1945 khususnya Pasal 28, Pasal 27 dan Pasal 33,
dimana sebagian besar ketentuan UU PMA ini memberikan peluang yang besar bagi para
pemilik modal untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan modal yang ada di Indonesia.
Misalnya yang berkaitan dengan penguasaan tanah dan jangka waktu penguasaan hak atas
tanah yang lamanya bisa mencapai 85 tahun, bahkan untuk hak guna usaha sampai 95
tahun, yang pada praktiknya hak guna usaha ini hanya dikuasai oleh pemilik modal.
2.3. Problem Dalam Level Implementasi
Lemahnya jaminan hukum atas penghormatan dan perlindungan hak-hak manusia terlihat
dengan masih belum sinkronnya standar dan norma hak-hak asasi manusia internasional ,
terutama yang sudah diratifikasi, dengan ketentuan-ketentuan hukum nasional. Ini juga
mennujukkan negara gagal menjalankan kewajibannya sebagai negara pihak. Sepanjang
tahun 2007, masih ada problem dalam level implementasi State obligation dari instrumeninstrumen
HAM internasional yang sudah diratifikasi. termasuk di dalamnya adalah masih
adanya aturan Perundang-undangan yang bermasalah, khususnya di bidang perburuhan
dan hak Ekosob, serta kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang anti orang
miskin, alih-alih membela mereka.
Kebijakan Yang Anti Rakyat Miskin
Dalam pelaksanaan instrumen hak asasi manusia, khususnya hak ekosob, kinerja
pemerintah sangat lemah. Pemahaman aparat pemerintah terhadap hak asasi, baik di
lembaga eksekutif – termasuk aparat penegak hukum maupun di lembaga legislatif menjadi
hambatan utama bagi pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang sudah
diratifikasi. Pemahaman yang lemah terhadap hak asasi pada umumnya, dan lemahnya
komitmen untuk menjalankan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak
telah berdampak pada meluasnya pelanggaran hak, khususnya terhadap warga yang lemah
secara ekonomi, sosial dan politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi ekonomi pasar
yang pro modal kuat yang telah membawa dua dampak di bidang aturan
hukum/perundangan. Pertama, aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum miskin
dan secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum miskin; Kedua,
diabaikannya/tidak dijalankannya hukum dan peraturan yang secara substansial berpihak
pada kelompok miskin.
Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 hingga 2006, paling tidak ada tiga
perundang-undangan yang selama tahun 2007 selalu mewarnai seluruh dinamika
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
8
perburuhan. Perundang-undangan itu adalah UU No 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh,
UU No 13 tahun 2003, dan UU No 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga
Undang-undang itu kemudian menjadi roh sistem perburuhan di Indonesia.14 Melalui UU No
13 tahun 2003, pemerintah mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja
dengan mengurangi “perlindungan” terhadap buruh. Tingkat upah yang tinggi di Indonesia
sering dipandang membebani kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya
tersebut ditekan.
Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran, justru PHK massal dilegalkan. Akibat PHK
tersebut, ribuan buruh ikut menambah jumlah pengangguran. Berdasarkan survey yang
dilakukan BPS, pada bulan Oktober 2005 tingkat pengangguran terbuka diperkirakan
mencapai 11,6 juta oarang atau 10,84% dari angkatan kerja yang ada yaitu 106,9 juta orang.
Angka ini jauh lebih tinggi 700.000 dibandingkan awal tahun 2005. Kemudian pada
Februari 2006 angka pengangguran mencapai 11,10 juta orang (10,40%). Sementara itu,
pada bulan Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti tetap masih tinggi yaitu sekitar
10,55 juta dengan tingkat pengangguran terbuka mencapai 9,75%.15
Hingga pertengahan tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK)
yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari seluruh kasus tersebut mencapai sekitar 500
milyar rupiah.16 Salah satu di antaranya adalah kasus PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI).
Selama kasus belum terselesaikan, agar tetap hidup, puluhan ribu buruh tersebut kemudian
bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada tahun 2007 buruh kembali
diresahkan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menurutnya akan
mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut.
Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan
Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak.
Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK).
Singkatnya, paket-paket RPP tersebut mengandung arti melestarikan sistem kontrak dan
outsorcing dan mempertegas pelegalan PHK.17 Dengan demikian perjuangan kaum buruh
menuntut hak-hak normatifnya akan semakin jauh dari realitas.
Cengkraman Fundamentalisme Pasar Melalui UU Penanaman Modal
Hantaman terhadap kaum buruh tersebut di atas dilengkapi dengan hantaman terhadap
seluruh rakyat Indonesia dengan kehadiran UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal (UUPM). Yang mengeram di balik undang-undang ini adalah ideologi neoliberalisme
atau fundamentalisme pasar yang mencengkeram hampir seluruh sendi sosial politik
masyarakat, terutama di sektor perkebunan, kehutanan, sumber daya air, pertanian dan hak
14 Catatan diskusi tentang Perburuhan bersama aktivis buruh, Khamid di Elsam tanggal 29 Oktober
2007
15 “Pengangguran Tinggi Cermin Investasi Buruk “, Koran Sindo, Kamis, 17/05/2007
16 Ulfa Ilyas, “Habis Gelap Terbit ‘Suram’, Nasib Pekerja Indonesia”, 18 September 2007,
http://lmnd.wordpress.com
17 ibid
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
9
atas pangan, dan secara khusus mengancam eksistensi masyarakat marjinal seperti
masyarakat adat.18 Politik pembangunan yang diusung oleh UUPM tampak mau mengangkat
rakyat Indonesia dari kemisikinan. Tetapi, kemiskinan yang dibaca dalam kebijakan
investasi ini adalah kemiskinan yang dihitung dari pendapatan per kapita, bukan dari
realitas arus bawah.
Politik pembangunan seperti ini persis merupakan salah satu ciri khas ideologi
neoliberalisme di mana kemakmuran suatu masyarakat dibaca dari rata-rata daya beli dan
serapan konsumsi, bukan dari kenyataan siapakah yang sesungguhnya membeli dan
mengkonsumsi itu. Para pemilik hak asasi manusia dari golongan miskin tidak punya
tempat dalam kompetisi daya beli ala neoliberalisme. Lebih jauh lagi, politik pembangunan
yang diusung oleh UUPM itu mengarah pada komodifikasi ke-Indonesia-an dari entitas
sebagai bangsa dan negara yang berdaulat secara politik dan ekonomi menjadi sebuah
“komoditi” yang siap diperjualbelikan di pasar global dengan logika fundamentalisme pasar.
Padahal salah satu poin penting dalam agenda global yang dicanangkan PBB adalah bahwa
penanaman modal tidak boleh merugikan “kepentingan” (baca: kedaulatan, pen) negara dan
rakyat suatu negara seperti pengalihan aset, devisa yang keluar lebih kecil daripada devisa
yang masuk, dan import yang lebih besar daripada eksport.
Kebijakan ekonomi neoliberal pemerintah, pada kenyataannya, justru semakin
memperburuk pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dan
memperluas kelompok miskin. terjadinya korupsi dan kebocoran anggaran telah
mempengaruhi secara negatif kemampuan pemerintah dalam merealisasi hak-hak ekosob
seperti hak atas pekerjaan, kesehatan dan pendidikan. Lebih jauh, kebijakan ini juga kian
memperparah pemenuhan hak-hak perempuan dengan kian tingginya angka eksploitasi
buruh migran perempuan, rendahnya tingkat pendidikan perempuan, tingginya angka
kematian ibu dan anak, bahkan menyebabkan terjadinya peningkatan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT).
Pengingkaran Hak Untuk Hidup
Hak untuk hidup dapat dikatakan sebagai induk dari segala hak asasi manusia. Pelbagai hak
lain yang termaktub dalam pelbagai standard dan norma merupakan turunan dari hak
untuk hidup. Dengan begitu, pelbagai pengaturan hak lainnya dan hukum yang mengatur
manusia seharusnya selalu diarahkan pada hak untuk hidup tersebut. Pelbagai kebijakan
dan praktik yang berkaitan dengah hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya,
pada akhirnya semua mengarah pada hulu sekaligus muara segala hak itu, yaitu hak untuk
hidup. Kenyataannya, hak tersebut semakin terlanggar baik dalam praktik maupun secara
tertulis, baik dalam kebijakan berkaitan dengan hak sipil dan politik, maupun hak ekonomi,
sosial dan budaya. Banyak sekali kebijakan dan praktik di bidang hak ekonomi, sosial dan
budaya yang tidak mengindahkan hak untuk hidup tersebut. Kasus-kasus pelanggaran di
tempat beroperasinya MNCs/TNCs, kasus busung lapar, dsb., adalah sedikit contoh dari
18 Lihat Laporan Utama ASASI, Edisi Mei-Juni 2007, “UU Penanaman Modal dan Pelumpuhan Sendi
Pembangunan Nasional Indonesia” dan “Cakar Neoliberalisme dan Bahaya bagi HAM: Catatan
Kritis terhadap UU Penanaman Modal”.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
10
pelbagai pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya yang sebenarnya merupakan
pelanggaran terhadap induk segala hak itu, yaitu “hak untuk hidup”. Penghukuman yang
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat juga merupakan contoh yang paling
sadis dari pelanggaran terhadap hak untuk hidup. Dan, yang paling tidak rasional dan etis
adalah penerapan hukuman mati.19
Pidana mati masih tercantum dalam 11 regulasi, meskipun Konstitusi UUD 1945 sebagai
norma hukum tertinggi menjamin Hak Hidup bagi setiap orang. Jaminan konstitusi tersebut
dapat dilihat dalam Pasal 28 E dan 28 I ayat (1) UUD 45. Jaminan ini diperkuat lagi setelah
Indonesia meratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik (ICCPR) menjadi UU No. 12 tahun 2005.
Sementara itu, draft revisi RUU KUHP yang sedang tahap penyusunan juga masih
memberlakukan hukuman mati yaitu dalam Pasal 87-90 meskipun memberikan batasan
yang ketat bagi terpidana, termasuk adanya pertimbangan akhir –lewat evaluasi yang
cukup lama- untuk mempersulit eksekusi mati bagi seorang terpidana. Namun penundaan
eksekusi yang berkepanjangan (death row phenomenon) terhadap seorang narapidana juga
tidak diperkenankan.
2.4. Otonomi Daerah dan Hak Asasi Manusia
Selain upaya perlindungan HAM yang secara umum hanya mencapai ranah legal formal dan
prosedur semata, juga masih ada gap yang persisten antara hukum tertulis dengan
pelaksanaannya di lapangan, serta masih belum sinkronnya peraturan-peraturan yang
berlaku nasional dengan yang berlaku sektoral atau peraturan-peraturan daerah,
khususnya yang berpengaruh terhadap perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia.
Fenomena paling “menarik” belakangan adalah munculnya Peraturan-peraturan daerah
yang justru mendorong intoleransi beragama dan menjadi sumber dari konflik-konflik
komunal dalam masyarakat.
Ketika munculnya era reformasi sejak tahun 1998, Indonesia memulai jejak baru
penyelenggaraan pemerintahan yang tadinya bersifat otoriter dan sentralistik (terpusat),
berangsur-angsur mencoba menguranginya dengan salah satu cara, yaitu otonomi daerah.
Penyesuain dasar hukum terhadap perjalanan konsep otonomi daerah ditandai dengan
adanya perubahan yaitu UU No 22/1999 diganti dengan UU No 32 /2004. Daerah pun lebih
memilki kewenangan untuk mengatur dan mengurusi rumah tangganya sendiri meskipun
diberikan oleh pemerintah pusat, dampak yang timbul kemudian terjadi dewasa ini adalah
banyaknya produk hukum daerah, terutama Peraturan Daerah (Perda) dianggap
bermasalah.
19 Tentang argumentasi tidak rasional sekaligus tidak etisnya hukuman mati silahkan baca tulisan
pendek Eddie Riyadi, “Hukuman Mati: Tidak Rasional dan Etis”, ASASI Edisi Maret-April 2007.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
11
Intoleransi Antar Umat Beragama
Dalam konteks intoleransi beragama, Konstitusi menegaskan bahwa “Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya ...(pasal 28 E ayat 1 UUD 1945).
Sementara itu Pasal 29 UUD 1945 secara tegas menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Namun pada kenyataannya berbagai pembatasan diberlakukan atas
jenis-jenis kegiatan keagamaan tertentu, dan/atau atas agama atau aliran kepercayaan yang
tidak diakui pemerintah. jaminan dari konstitusi ini di kekang oleh Peraturan Presiden No.
1/PNPS/1965 yang mengakui atau tidak mengakui keberadaan suatu agama atau aliran
kepercayaan. Kemudian Peraturan Presiden ini diadopsi di dalam KUHP yaitu Pasal 156 A
tentang Penodaan Agama yang memberi kewenangan negara untuk mengkriminalisasi
agama-agama atau sebuah aliaran Keyakinan/kepercayaan yang dianggap sesat.
Namun, yang terjadi di Indonesia justru menjamurnya berbagai peraturan daerah (perda)
berlatar belakang agama tertentu di beberapa wilayah akibat politik identitas yang tidak
terkontrol. Perda-perda tersebut berbasis pada agama sebagai sampul, bukan agama
sebagai spirit, substansi, atau nilai. Pada rumpun perda kehidupan sosial, kritik tidak
terutama kepada substansi yang hendak diatur, tetapi atas korupsi legislasi yang kerap
membuat suatu perda jatuh pada titik-titik ekstrem: distortif atau eksesif.
Terhadap Perda-perda semacam ini, pemerintah tidak menggunakan wewenangnya untuk
me-review atau membatalkan. Padahal, jika merujuk pada ketentuan Undang-Undang (UU)
Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah, pemerintah dapat membatalkan
perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi.
Perda-Perda Yang Melanggar Hak Asasi Manusia
Sampai saat ini, setidaknya ada 46 Peraturan Daerah (Perda) berbasis Syariah yang berlaku,
dan belum ada satupun yang ditinjau atau dibatalkan oleh Pemerintah pusat meskipun
Perda tersebut melanggar prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi, khususnya
prinsip-prinsip kebebasan beragama dan hak-hak perempuan.
Misalnya saja, 18 dari 22 kabupaten/kota di propinsi Sulawesi Selatan mengadopsi aspekaspek
Syariah dalam Perda-nya. Kabupaten Bulukumba bahkan punya empat Perda yang
menerapkan aspek-aspek Syariah. Kabupaten Bulukumba dan Bone mewajibkan kepala
desa, calon-calon Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS), siswa SMP ke atas, dan mereka yang
akan menikah untuk dapat membaca tulisan Al-Qur’an. Di Padang, Sumatera Barat, walikota
menghimbau seluruh perempuan muslim untuk memakai jilbab, dan kantor Pemda pun
kemudian menerapkan aturan ini terhadap para pegawainya. Perda di kabupaten
Pamekasan mewajibkan pemakaian jilbab bagi PNS perempuan serta mengatur penundaan
semua kegiatan publik pada saat adzan dikumandangkan.
Kota Tangerang sampai saat ini masih menerapkan Perda kota Tangerang No 8/2005
tentang pelarangan pelacuran dimana sering terjadi salah penangkapan pelanggarnya
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
12
dimana perempuan yang berkeliaran tengah malam di kota Tangerang memakai pakaian
minim langsung dianggap WTS kemudian ditangkap/ditertibkan. padahal belum tentulah
perempuan itu sebagai WTS;
Perda lainnya seperti Perda Provinsi Sumbar No 11/2001 tentang pemberantasan dan
pencegahan maksiat; Perda.Kab Solok No 10/2001 tentang kewajiban membaca Alquran
bagi siswa dan pengantin; Perda Kab Solok No 6/2002 tentang pakaian Muslimah; Perda
Kab Padang Pariaman No 2/2004 tentang pencegahan, penindakan, dan pemberantasan
maksiat; Perda No 6/2005 Enrekang (Sulawesi Selatan) tentang busana Muslimah dan baca
tulis Alquran, Perda Gresik No 7/2002 tentang larangan praktik prostitusi; Perda No
6/2000 Kab Garut tentang kesusilaan dan belum lagi Perda-perda yang mengatur tentang
pajak/ restribusi daerah, yang terkadang bertabrakan dengan peraturan pemerintah pusat
mengenai hal itu.
Parahnya, Pemerintah justru bersikap toleran terhadap kekerasan dan intimidasi yang
dilakukan kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok-kelompok keagamaan ini, dan
enggan untuk melakukan proses hukum terhadap para pelaku kekerasan tersebut.
Sepanjang tahun 2007, banyak terjadi kekerasan di mana kelompok masyarakat atau
keagamaan tertentu menindak dan membubarkan aliran-aliran kepercayaan dengan caracara
kekerasan, yang pada dasarnya mengacu pada fatwa dari MUI (Majelis Ulama
Indonesia) yang menyatakan sesat sebuah aliran kepercayaan atau agama. Munculnya
Fatwa MUI ini menimbulkan berbagai aksi kekerasan dan pengrusakan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok masyarakat lain.
Secara historis dan normatif, status keberadaan MUI ini adalah sebagai Organisasi
Masyarakat yang tidak berbeda statusnya dengan Organisasi Masyarakat lainnya. Oleh
karena itu, tidak ada otorisasi dari lembaga manapun yang bisa mengklaim sesat atau tidak
sesatnya berkeyakinan atau beragama seseorang. Fatwa MUI pada prinsipnya tidak boleh
disikapi sebagai sebuah keputusan hukum yang mengikat. Kesalahan polisi sebagai
penanggung jawab keamanan negara dan pelindung masyarakat dalam penanganan kasuskasus
semacam ini adalah mereka baru bersikap setelah adanya keputusan/fatwa dari MUI.
Seharusnya polisi bisa bersikap dan mengambil tindakan –memproses secara hukum aliranaliran
menggunakan cara-cara di luar hukum dalam menyebarkan kepercayaannya, dan
mencegah terjadinya kekerasa dalam masyarakat sebagai reaksi dari kegiatan aliran-aliran
tersebut– sebelum adanya fatwa, karena fatwa MUI bukanlah sebuah keputusan hukum,
karena MUI bukanlah lembaga negara.
Konflik-konflik dan Kekerasan Komunal
Selama kurun waktu 1998-2007 fenomena kekerasan komunal di Indonesia menjadi suatu
hal yang biasa terjadi, bahkan mungkin bisa dibilang menjadi wajah Indonesia. Kekerasan
komunal di sini dideskripsikan sebagai kekerasan sosial yang melibatkan setidaknya dua
kelompok masyarakat, baik dua pihak yang berhadapan maupun satu kelompok diserang
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
13
oleh kelompok yang lain, di mana penyerangan tersebut biasanya dilandasi oleh adanya
perbedaan etnis, agama, kelas sosial, maupun afiliasi politik.
Kekerasan komunal yang terus berulang di nusantara itu di satu sisi memperlihatkan
rendahnya toleransi dalam masyarakat. Di sisi lain, merefleksikan lemahnya kapasitas
pemerintah dalam mengelola konflik di masyarakat. Lemahnya kapasitas pemerintah dalam
mengelola konflik di kala toleransi menyusut di dalam masyarakat tentu menjadi situasi
yang mengkhawatirkan. Kerapnya dipakai garis etnis atau agama dalam tindakan kekerasan
komunal di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini menunjukan proses
pembangunan politik belum mampu beranjak jauh dari ikatan-ikatan primordial.
Berdasarkan pada hasil workshop tentang kekerasan komunal yang diselenggarakan oleh
ELSAM bulan November 2007 lalu, secara umum, ada setidaknya lima ciri dari berbagai
kekerasan komunal yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan, yaitu:
(1) Adanya perebutan atau pengambilan alih aset produksi;
(2) Terjadi tindak kekerasan atau terhadap kelompok yang beridentitas tertentu;
(3) Ada upaya penghilangan sejarah dan jatidiri suatu identitas kelompok/komunitas oleh
kelompok lainnya;
(4) Pengingkaran atau pembatasan akses ekonomi, sosial, dan budaya terhadap kelompok
tertentu; dan
(5) Terjadinya perubahan relasi dalam struktur ekonomi dan politik dalam satu wilayah
tertentu.
Konflik komunal yang banyak terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2007 telah memperluas
kekerasan di tengah masyarakat, yang pada giliranya akan menjadi penghambat bagi
pematangan demokrasi dan pengimplementasian kebijakan-kebijakan yang bernafaskan
perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia. Jika tidak ditangani secara tepat, konflikkonflik
komunal yang terjadi akan menjadi sandungan dalam mewujudkan keadilan kepada
masyarakat, khususnya keluarga korban.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang tadinya diharapkan bisa menjadi sarana
mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan, dalam perkembangannya malah menjadi
lahan subur bagi tumbuhnya berbagai bentuk tindakan intoleransi yang sangat berpotensi
menjadi aksi kekersan. Artinya proses desentralisasi dan otonomi daerah melum mampu
menjadi peluang bagi mengkristalnya toleransi di masyarakat. Kondisi ini lah yang sering
menjadi pola umum bagi merebaknya konflik komunal atau primordial di Indonesia.20 Di
saat pemerintah pusat belum stabil, tumpahnya kewenangan ke daerah inilah yang
kemudian menjadi masalah serius. Lebih jauh dari itu adalah munculnya hasrat untuk
memebentuk provinsi dan atau kabupaten baru di mana-mana demi penunggalan identitas
20 Pertalian antara kekerasan komunal dengan otonomi daerah lihat Tubagus Ronny Rahman
Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah: Sketsa Bayang-bayang Konflik ddalam
Prospek Masa Depan Otnomi Daerah, (Jakarta: Peradaban, 2002)
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
14
etnis atau agama. Bahkan kekerasan komunal menjadi warna tersendiri dalam menentukan
pimpinan di beberapa instansi daerah.21
Di masa mendatang, perlu dikawatirkan bahwa potensi terjadinya kekerasan komunal
justru akan meningkat. Apalagi bila dikaitkan dengan otonomi daerah, pilkada, pemilu dan
perebutan sumber daya ekonomi di daerah. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian
masalah kekerasan komunal sebenarnya tidak bisa hanya melalui pendekatan legal formal
semata. Dibutuhkan suatu upaya ekstra berbasis kajian secara lebih mendasar dengan
menguraikan pokok-pokok permasalahan yang mendasar baik secara sosial, ekonomi,
budaya, maupun politik.
2.4. Partisipasi Politik dan Hak Asasi Manusia
Meski reformasi politik yang menghantar demokrasi beroperasi di Indonesia telah
memasuki bilangan 10 tahun, persoalan hak asasi manusia di tahun 2007 masih dilihat
sebagai ruang gelap oleh banyak kalangan. Bisa dikatakan, banyak kalangan menilai
beberapa kebijakan politik pemerintah di semua level dalam bidang hak asasi manusia
belum menyumbang banyak bagi perbaikan nasib rakyat, khususnya mereka yang menjadi
mangsa dari rezim otoriter di masa lalu dan mereka yang menjadi tumbal dari liberalisasi
ekonomi di era reformasi ini.
Bukan itu saja, kegelapan bidang hak asasi manusia itu juga mengental akibat belum adanya
tindakan operasional yang memadai untuk menjelaskan mengapa gelombang kekerasan di
berbagai daerah yang pecah seiring dengan reformasi politik bisa terjadi begitu masif
dengan ratusan korban jiwa dan harta. Bahkan di Poso kekerasan jenis ini baru mendingin
beberapa bulan lalu, setelah beberapa orang bersenjata digelandang polisi ke tanahan dan
pengadilan. Dalam kekersan komunal seperti itu, soalnya bukan sekedar ditangkapnya
seseorang yang didakwa sebagai pelaku, meski pun itu amat penting, melainkan juga
bagaimana nasib korban? Siapa yang bisa memulihkan trauma dan kerugian yang mereka
hadapi? Siapa yang harus meringankan beban para korban itu, ketika kemiskinan
mendadak menyertai hari-hari mereka setelah segala miliknya dirampas oleh kekerasan?
Jika diajukan pertanyaan seperti ini, terasa memang negara atau pemerintah dalam segala
level absen dari perannya.
Pandangan Komnas HAM tentang kondisi HAM adalah pandangan yang paling representatif
untuk dipakai menunjukan kegelapan ruang HAM itu. Sehingga untuk tahun 2008 Komnas
HAM mencanangkan menjadi tahun untuk para korban. Pendedikasian kerja Komnas HAM
kepada mereka yang menjadi korban selama tahun 2008 menunjukan Komnas HAM masih
21 Kekerasan komunal yang pecah di Poso dan Maluku sangat jeals memperlihatkan hal ini. Mengenai
persoalan pengisian jabatan menjadi picu dari kekerasan di Poso simak Rinady Damanik, Tragedi
Kemanusian Poso, PBHI, Jakarta, 2003. Bandingkan pula dengan Amidhan (dkk), Poso: Kekerasan
yang Tak Kunjung Usai (refleksi 7 tahun konflik Poso), Komnas HAM, Jakarta, 205.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
15
menilai keadaan masih buruk, sama dengan tahun-tahun yang telah berlalu. Sekedar
mengingatkan di tahun 2006 Komnas HAM pernah menyimpulkan: “Tahun 2006, seperti
juga tahun 2005, masih ditandai oleh berlangsungnya tindak pelanggaran hak atas rasa
aman, hak beragama dan menjalankan ibadat, hak bergeak, berpindah dan bertempat
tinggal di mana pun dalam wilayah Republik Indonesia, hak untuk hidup bahagia dan
tentram lahir bathin, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan dan hak atas
lingkungan yang baik.”
Pandangan Komnas HAM yang suram akan keadaan HAM itu, sepertinya mendapat
konfirmasi dari beberapa kalangan pemerhati dan pengiat LSM di akhir tahun 2007.
Pandangan-pandangan itu dapat kita simak di beberapa media massa, pada intinya
menyatakan bahwa aparat pemerintah dan atau negara telah gagal atau lalai menunaikan
tugasnya dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia.
Sebuah kejernihan pandangan, mungkin juga sikap yang tidak bisa dibantah memang.
Namun ada sebuah soal yang tak terang di situ, yaitu melupakan ruang partisipasi yang
terbuka begitu lebar sesunguhnya untuk memepengaruhi si pemerintah atau negara yang
tertuduh itu. Artinya kekuatan-kekuatan politik di luar negara seakan terlupakan sebagai
faktor yang mempengaruhi perkembangan hak asasi manusia. Pada hal kekuatan-kekuatan
politik, khususnya partai politik sangat memiliki peran besar dalam memepengarui arah
dan tujuan dari penyelenggaraan negara.
Untuk itu ELSAM mencoba menawarkan satu cara pandangan lain dalam melihat persoalan
hak asasi manusia. Cara lain ini ditawarkan agar lorong gelap itu mampu menghadirkan
cahaya di ujung. Cara lain itu adalah cara pandang politik, yaitu munculnya ruang
partisipasi, untuk menambahi cara pandang legal formal yang terlalu menekankan
instrumen hukum dan penangganan masalah secara hukum yang titik beratnya selalu pada
negara.
Cara pandang politik lebih menyorot peran aktor dalam memajukan hak asasi manusia.
Aktor yang paling dominan di Indonesia dalam sepuluh tahun ini tak lain dan tak bukan
adalah partai politik. Dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, tak ada sejumput
pun ruang yang tersisa dari jamahan partai politik saat ini. Kehadiran puluhan dan bahkan
ratusan partai politik di setiap tahun menjelang Pemilu adalah berkah bagi hak asasi
manusia. Artinya kehadiran banyak partai politik dengan sendirinya menyediakan banyak
ruang dan pilihan bagi setiap individu untuk menyalurkan keyakinan dan sikap politiknya .
Jika di baca dengan kaca mata hak asasi manusia, kehadiran banyak partai politik di tahun
2007 dan tahun-tahun sebelumnya telah memberikan ruang bagi rakyat Indonesia
menikmati hak asasi manusia yang paling esensial yaitu kebebasan untuk berpartisipasi
secara politik, yaitu dipilih dan memilih secara langsung dan terbuka para pejabat politik.
Terpenuhinya hak paling dasar ini, tidak bisa ditarik lagi.
Hasil dari kebebasan untuk berpartisipasi secara politik kian baik sejak diperkenalkan pula
pemilihan kepala daerah secara langsung. Sejak tahun 2005 sampai akhir tahun 2008 telah
dilangsungkan pemilihan kepala daerah Gubernur dan Bupati/Walikota 300 kali lebih.
Artinya rakyat Indonesia telah memakai hak asasinya yang paling menentukan bagi
republik ini yaitu memilih pemimpin-pemimpinnya secara langsung sebanyak 300 kali lebih
pula.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
16
Seturut dengan itu, sempai tahun 2007 habis, rakyat Indonesia juga menikmati hak asasi
esensial lainnya yaitu, kebebasan berserikat dan berkumpul. Secara politik, tidak ada
lagi halangan untuk setiap orang secara bersama-sama berhimpun kedalam segala macam
bentuk organisasi. Untuk menunjukannya ini ada dua macam organisasi sebagai ukuran.
Pertama tentu organisasi yang memiliki pengaruh politik yang kuat, yaitu partai politik.
Sampai bulan November 2007 paling tidak telah terdaftar 79 partai politik baru di
Departemen Hukum dan HAM. Jika ditambahkan dengan 24 partai politik yang peserta
Pemilu tahun 2004, maka saat ini ada 103 partai politik di Indonesia. Partai-partai itu
memiliki pengurus daerah dan cabang paling tidak 50% dari provinsi dan kabupaten di
seluruh Indonesia yang saat ini berjumlah 470. Bahkan di Aceh setelah perdamaian hadir di
tahun 2005, rakyat Indonesia diperbolehkan pula mendirikan partai politik dalam skala
Provinsi.
Kedua adalah organisasi non pemerintah yang menyatakan dirinya Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Saat ini ditengarai ada ribuan LSM di Indonesia dari Merauke sampai
Sabang. LSM ini menyebar dalam seluruh aktifitas kehidupan masyarakat Indonesia, mulai
dari soal bimbingan beternak ayam sampai pada penanggulangan wabah HIV/ADIS. Mulai
dari soal gerakan nge-wach soal korupsi sampai pada membela kebebasan berkeyakinan.
LSM juga hadir mulai dari kantor DPRD Kabupaten di Wamena sampai di ruang-ruang
sidang di DPR-RI di Senayan. Singkatnya kehadiran LSM sebanding dengan Partai Politik
dalam menjamah setiap relung kehidupan masyarakat.
Seturut dengan itu, hak asasi yang dinikmati dengan luar biasa saat ini adalah kebebasan
menyatakan pendapat secara terbuka.22 Media massa segala jenis hadir di setiap ruang
tanpa ada sensor apalagi ditelpon oleh BAIS atau BIN. Setiap orang boleh bicara dan
menyampaikan pendapatnya di depan umum, asal tidak mencemarkan nama baik dan
fitnah. Setiap orang boleh unjuk rasa setiap hari di semua tempat untuk memprotes segala
hal dan siapa pun. Hak asasi jenis ini tak mungkin lagi meredup, meski pun ada satu dua
pihak mencoba untuk mereduksinya dengan segala cara.
Singkatnya, sepanjang tahun 2007 dan pasti juga sampai tahun 2008 usai, ketiga hak asasi
dasar yang terpapar di atas telah menunjukan kemajuan yang sangat berarti. Dalam
rumusan lain, ketiga hak dasar itu telah menyumbangkan satu kekuatan bagi demokrasi
untuk berkembang lebih baik di Indonesia. Paling tidak dari perkembangan tiga hak asasi
dasar itu, proses demokratisasi tetap bisa dipertahankan sampai sekarang.
Dengan menggaris bawahi ketiga hak asasi dasar itu, ELSAM ingin menekankan bahwa
rakyat Indonesia telah memiliki senjata di tangan untuk terus memperbaiki kualitas
demokrasi dan hak asasi manusia. Dengan modal tiga hak asasi dasar itu, rakyat Indonesia
berperan besar pula dalam menentukan kualitas dari penyelenggaraan pemerintahan dan
perkembangan hak asasi manusia di Indonesia. Di atas tiga hak asasi dasar itu pula lah
harapan selalu tumbuh akan adanya perbaikan di Indonesia.
22 Kebebasan jenis ini memang agak ternoda sedikit oleh tindakan Kejaksaan Agung yang melarang
buku pelajaran sejarah sekolah menengah secara nasional dengan cara membakar, melarang
beredar buku soal Melaniesia di Jayapura yang ditulis oleh orang Papua sendiri dan menyeret
Besihar Lubis ke pengadilan di Depok karena kolomnya menyingung aparat Jaksa.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
17
Bagian 3:
Proyeksi Kondisi HAM di Indonesia 2008
Beranjak dari uraian di atas yang menampilkan dua sisi paradok dari kenyataan politik hak
asasi manusia di Indonesia, kondisi apa yang akan kita hadapi di tahun 2008? Agar tidak
tercebur menjadi paranomal, untuk menjawab pertanyaan itu tentu refleksi dan pemaknaan
terhadap hal-hal yang telah ada selama tahun 2007 menjadi penting.
Sebelum menjawab pertanyaan mendasar itu, maka baik kiranya kita lihat perubahan apa
yang sesunguhnya sedang dihadapi oleh Indonesia selama ini. Saat ini Indonesia adalah
negara yang didadak oleh demokrasi. Di tahun 2007 demokrasi yang mendadak Indonesia
itu secara politik mulai matang secara prosedural. Namun dalam isi demokrasi itu masih
mentah.
Ada setidaknya tiga faktor yang mempengaruhi dan menentukan arah dan nasib
perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia di tahun 2008.
Pertama, telah berkembangnya secara signifikan norma-norma HAM dalam hukum positif
nasional dan telah pula diratifikasikasinya instrumen induk HAM yaitu Kovenan
Internasional Hak SIPOL dan EKOSOB oleh Indonesia di tahun 2005. Lebih dari itu, norma
HAM telah pula menjadi ketentuan pokok dalam Konstitusi Indonesia. Dengan kata lain
tuntutan atas perlindungan dan pemenuhan HAM di masa datang adalah tuntutan yang
konstitusional. Untuk itu telah pula hadir dua lembaga penangungjawab masalah HAM
secara kelembagaan yaitu Komnas HAM dan Direktorat HAM sebagai lembaga ekekutif di
Departemen Hukum dan HAM.
Kedua, berubahnya format politik nasional dari sentralis menjadi desentralis. Dalam format
politik yang terdesentralisasi, instansi di daerah memainkan peran penting dalam
perlindungan dan pemenuhan HAM, khususnya hak dalam klasifikasi EKOSOB. Hal itu
tercermin dari kian leluasa dan besanya peran pemerintaha daerah dan DPRD dalam
membuat kebijakan setingkat Perda. Hal itu ditegaskan pula oleh UU No.32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyatakan “Urusan pemerintahaan yang menjadi urusan
Pemerintah Pusat adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan
fiskal nasional serta agama.” Artinya selain ke lima urusan itu menjadi urusan pemerintah
darah.
Ketiga, dianutnya sistem multi partai dalam politik nasional. Dalam sistem multi partai,
rekrutmen para elit nasional dan lokal baik di jajaran eksekutif mau pun legislative
didominasi oleh partai politik. Konsekwensinya aktor-aktor dari partai politik menjadi
dominan dalam menentukan kebijakan di tingkat nasional dan daerah. Dengan sendirinya
berubahnya komfigurasi elit di tingkat nasional atau daerah yang sejalan dengan naik
turunya dukungan dan kesolitan partai politik akan mempengaruhi konsisi perlindungan
dan pemenuhan HAM.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
18
Perpaduan ketiga hal di atas selama tahun 2007 belum terjadi sehingga, aktor, insitusi dan
instrumen yang ada tidak bisa berjalan sinergis karena ketiadaan dukungan dari aktor
utamanya yaitu partai politik. Di sisi lain partai politik sebagai pemain kunci tidak bisa pula
menyumbangkan dan atau memilih orang yang tepat untuk setiap lembaga yang dibuat
untuk memberikan energi bagi perbaikan kondisi HAM.
Singkatnya selama tahun 2008 akan terjadi stagnasi dalam bidang hak asasi manusia yang
disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, orang-orang dari partai politik yang telah
menerima manfaat dari kebebasan berorganisasi dan kebebasan berpartisipasi secara
politik yang dimiliki rakyat tidak mampu memberikan umpan balik kepada para
penyokongnya itu untuk memejaukan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, partai politik
gagal menghadirkan orang-orang yang memiliki kemampuan untuk memajukan hak asasi
manusia, baik di level kabupaten mau pun provinsi. Implikasinya adalah rakyat yang
merasa dikhianati akan merasa kebebasan berorganisasi dan berpartisipasi secara politik
menjadi tak berguna memperbaiki kehidupan sosial mereka. Akibatnya hak-hak itu akan
digunakan untuk melancarkan aksi massa yang menghadirkan tindakan kekerasan karena
kekecewaan yang mengumpal. Gejala ini telah muncul saat ini.
Kedua, otonomi daerah yang semestinya menjadi wahana utama untuk meningkatkan
perbaikan hak asasi manusia menjadi bumerang karena menimbulkan dua gejala yaitu
teritorilisasi identitas (etnik atau agama) di satu sisi dan sisi lain menjadi pengukuhan
oligarhi elit. Teritoriliasi identitas implikasinya adalah akan mengancam pluralitas karena
akan sangat menekankan ketunggalan. Gejala ini telah tampak saat ini dengan munculnya
gerakan komunitas dengan kekerasan untuk menghadapi dan menghancurkan apa yang
tidak sama dengan komunitas itu. Perda-perda yang mengandung nilai intoleransi dalam
beragama, penyerangan tempat ibadah dan kelompok keagamanan semacam Ahmadiah
adalah manifestasi dari ini.
Sementara implikasi dari oligarkhi elit adalah terjadi arus balik para elit lama di Jakarta ke
daerah dalam memperebutkan kekuasaan mulai dari tingkat bupati sampai gubernur.
Oligarkhi elit lama ini pada gilirannya akan menyumbat sirkulasi elit di daerah yang
akibatnya adalah pembaharuan baik secara personil mau pun orientasi akan macet di level
daerah. Selain itu rakyat di daerah diseret kedalam pertarung politik yang terjadi di pusat.
Implikasinya adalah pertarungan politik antar elit di Jakarta, sekaligus menjadi pertarungan
antar kekuatan politik di daerah. Hasilnya adalah otonomi daerah tidak menjadi kendaraan
untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia di daerah, melainkan menjadi ajang
rebutan kekudukan antar elit dalam rangka menguasai sumberdaya ekonomi.
Ketiga, adanya ruang kosong antara pimpinan pusat dan daerah. Konsekwensi dari
keadaan ini secara operasional adalah instrumen di tingkar pusat tak terjabarkan di tingkat
daerah. Artinya pemerintah dan pimpinan politik di pusat dan daerah jalan sendiri-sendiri
dalam memaknai arti dari demokrasi. Implikasinya adalah banyak kebijakan pusat yang
ramah HAM menjadi tidak operasional di daerah, dan sebaliknya banyak inisitif daerah
yang mengedepankan HAM menjadi tidak mendapat sokongan dari pusat. Hal ini telah
tampak di Aceh dan Papua.
Sampai saat ini, belum ada inisiatif yang memadai dari pusat dalam mendukung berjalannya
agenda pemenuhan hak-hak korban di Aceh dan Papua meskipun di kedua daerah ini ada
inisiatif untuk itu. Contoh yang paling faktual di Aceh adalah belum memadainya sokongan
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
19
pemerintah pusat dan pimpinan partai politik dalam menuntaskan masalah reintegrasi.
Sementara di Papua, dalam kerangka melindungi hak-hak asasi orang Papua asli sampai
saat ini belum ada arahan dari Jakarta, bagaimana hal itu mesti diformulasikan.
Terakhir, tantangan terberat dalam memajukan, menegakan dan memenuhi hak asasi
manusia di tahun-tahun mendatang khususnya tahun 2008 adalah menguatnya identitas
teritorial di satu sisi dan mengencangnya intoleransi dalam beragama di sisi lain. Teritorial
identitas akan menyeret Indonesia masuk kedalam kubangan tindakan kekerasan dengan
aroma etnis yang dimanifestasikan dalam segala bentuk tuntutan pembentukan dan
penolakan provinsi dan kabupaten/baru sampai kecamatan baru. Intoleransi beragama
akan membenamkan Indonesia kedalam lumpur kekerasan yang sporadis si berbagai
daerah dengan dalil membasmi aliran sesat atau menolak siar agama lain.23
Sejurus dengan itu adalah kian merasuknya penetrasi sisitem ekonomi modal kedalam
segala lapisan kehidupan sosial. Dominasi sisitem ekonomi modal ini pada gilirannya tidak
lagi menghadirkan barang-barang kebutuhan rakyat di semua pelosok nusantara,
melainkan hanya menyediakan barang-barang yang mendatangkan keuntungan. Artinya
barang kebutuhan rakyat hanya akan ada di daerah dimana ada daya beli. Kosenwensinya
adalah kelaparan dan kurangi gizi, ketiadaan minyak tanah, ketiadaan air bersih, ketiadaan
obat-obatan di daerah tertentu dan sementara di daerah lain melimpah. Ini lah paradok
sisitem ekonomi yang tidak menimbang sisi keadilan dari perspektif hak asasi manusia.
23 Selam tahun 2007 gejala ini sangat dominan.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
20
Bagian 4:
Penutup dan Rekomendasi
Dari paparan di atas ada beberapa kesimpulan yang bisa ELSAM kemukakan.
Pertama, kelemahan mendasar dari Pemerintahan SBY-JK dalam pemajuan, perlindungan
dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tidak adanya program pemerintah yang
dirumuskan secara spesifik sedari awal. Akibatnya setelah tiga tahun memerintah SBY-JK
belum mampu mengorientasikan seluruh jajaran pemerintah di pusat dan daerah untuk
memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Kelemahan ini kian tampak dari
tidak aplikatifnya RAN HAM yang dibuat oleh MenhukHAM. Hal itu terjadi karena masingmasing
instansi pemerintah pusat dan daerah jalan sendiri-sendiri dalam menterjemahkan
dan menjalankan agenda HAM-nya. Di samping agenda HAM di berabgai level terlalu
dipercayakan pada birokrasi yang sama sekali tidak memilik budaya HAM.
Kedua, selama tahun 2007 dan mungkin 2008 perkembangan Hak Asasi Manusia di
Indonesia sunguh berada dalam situasi yang ironi. Ada dua hal yang menunjukan gejala itu,
pertama adalah hak asasi manusia melambat di saat semua perangkat hukum dan insitusi
untuk mengembangkannya ada. Kedua substansi hak asasi mausia yaitu keadilan dilupakan
dikala semua pihak berebutan bicara soal keadilan dan demokrasi.
Ketiga, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Mausia selama tahun 2007 semuanya
ditumpukan pada pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah dan partai politik
berlomba untuk mengagahi kekuasaan dan kewenangan yang telah ada pada mereka.
Artinya para pemerintah daerah (yang disokong oleh para Partai Politik) lepas tangan
dengan masalah hak asasi manusia di daerahnya dengan menyalahkan pusat terusmenerus.
Maka dari itu, agar hak asasi manusia bisa menjadi kenyataan yang riil dirasakan
oleh rakyat di seluruh Indonesia, pemerintah daerah dan partai politik harus lebih banyak
menunjukan kepedulian mereka.
Keempat, dalam menilai kondisi Hak Asasi Manusia secara ke seluruhan hanya ditumpukan
kepada pemerintah bukan saatnya lagi. Yang wajib dikemukan sekarang adalah bahwa
partai politik adalah lembaga utama yang berpengaruh terhadap maju atau stagnannya
agenda hak asasi manusia. Sebab, hampir di semua lapisan pemerintahan partai politik
berperan dominan. Selain itu dalam skala pemerintahan pusat, kekuatan partai politik
sangat menentukan, karena DPR-RI adalah centrum dari kekuasaan saat ini di samping
Presiden. Selain itu hampir semua partai besar menempatkan pimpinannya dalam Kabinet,
yang artinya semua partai politik itu turut serta bertanggungjawab atas maju atau
stagnannya agenda HAM di Indonesia.
Kelima, aparat keamanan yang menjadi tumpuan masyarakat untuk bebas dari intimidasi
dan ketakutan adalah kepolisian. Kurang handalnya lembaga kepolisian dalam
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
21
mengantisipasi keadaan akan membuat kondisi HAM mudah memburuk. Gejala-gejala
menggilanya aksi penyerangan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda menunjukan
kekuranghandalan aparat kepolisian selama tahun 2007.
Keenam, lembaga Kehakiman (MA) dan Kejaksaan secara ketatanegaraan adalah palu
keadilan bagi mereka yang hak-haknya terampas. Namun selama tahun 2007, kedua
lembaga ini belum menunjukan hal itu, malah masih kuat menjadi palu para pencuri
keadilan dengan membebaskan para koruptor, penjahat kemanusian dan pembalak hutan.
Ketujuh, adalah ruang demokrasi yang terbuka lebar yang semestinya mendatangkan
keadilan dan pemajuan agenda HAM tidak maksimal terpakai daya pasangnya, karena
kekuatan-kekuatan pembaharuan (reformis) gagal memanfaatkannya untuk memperbesar
pengaruh dan pengikut. Implikasinya, ruang demokrasi yang lebar itu dipakai secara
maksimal bahkan melebih kapasitas oleh kelompok-kelompok konservatif yang
menginginkan demokrasi direm dan dikendalikan oleh kelompok mereka sendiri. Hal inilah
yang membuat agenda HAM menjadi terseok-seok tanpa arah saat ini.
***
ELSAM menyadari bahwa sebagaimana dinyatakan dalam UU dan norma internasional
dalam bidang hak asasi manusia bahwa negara adalah penanggungjawab dalam
perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia. Namun demikian kewajiban
itu tidak bisa dipikul oleh negara, khususnya pemerintah pusat sendiri jika tidak didukung
oleh aktor-aktor politik dominan, yaitu partai politik dan pemerintah daerah.
Hal ini sejalan dengan perubahan besar yang terjadi dalam politik Indonesia yaitu dari
pemerintahan otoriter yang tunggal menjadi pemerintahan demokratis yang desentralisasi
dengan sisitem multi partai. Artinya jika terus menerus menekan semuanya adalah
tanggung jawab pemerintah pusat, berarti kita terus menerus pula mengingkan
pemerintahan yang sentralis dan otoriter. Oleh karena itu dalam menakar kemampuan
pemerintah pusat dalam memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia,
takaran juga diarahkan kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten. Para penguasa
daerah ini, sekarang kerap partainya berbeda dengan partainya Presiden. Maka dari itu
peran Partai Politik menjadi besar pula dalam menyokong jalannya pemerintahan di semua
level dalam bidang hak asasi manusia.
Bertumpu pada beberapa pemikiran di atas maka ELSAM dalam tahun 2008 ini
merekomendasikan beberapa hal, diantaranya adalah:
1. Sudah saatnya partai-partai politik menjadikan agenda hak asasi manusia sebagai
agenda partainya masing-masing. Artinya partai politik yang tidak memiliki
program pemajuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia akan menjadi
partai terbelakang, oleh karena itu partai-partai tersebut akan berwatak otoriter
atau prodemokrasi palsu. Tahun 2008 adalah tahun emas bagi (golden years) bagi
partai-partai politik untuk menunjukan kepeduliannya terhadap HAM, sebab di
tahun 2009 akan dilangsungkan Pemilu.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
22
2. Otonomi daerah sesungguhnya ditujukan untuk mensejahterakan rakyat di daerah
agar hak asasi rakyat itu terpenuhi dan terlindungi. Maka dari itu setiap kepala
daerah dan pimpinan partai di daerah (provinsi dan kabupaten) menyusun agenda
HAM nya secara sistematis dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah kemiskinan,
penganguran dan kekurangan pangan serta gizi. Seturut dengan itu juga para
pejabat daerah dan partai di daerah harus menghormati HAM dan menekankan
perlunya toleransi dalam kehidupan sosial, politik dan beragama dengan cara tidak
membuat peraturan-peraturan daerah yang memberikan peluang tumbuhnya sikapsikap
intoleransi dan permisif terhadap aksi-aksi brutal.
3. Pemajuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia bisa pula ditempuh dengan
memberikan jaminan akses rakyat, khususnya kelompok rentan dalam setiap
pembuatan kebijakan politik dan ekonomi. Oleh karena itu pemerintah pusat dan
daerah di tahun 2008 ini harus memulai satu langkah kongrit untuk memberikan
peluang bagi organisasi-organisasi non politik, tetapi menghimpuan bakyak orang
seperti organisasi perempuan, buruh, tani, nelayan dan pekerja seni untuk
mendapatkan ruang partisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
4. Ormas keagamaan dan sosial yang besar sangat kuat pengaruhnya di tengah
masyarakat. Maka dari itu, ormas-ormas tersebut seharusnya mengambil langkahlangkah
responsif dan konstruktif dalam mengembangkan dan memajukan hak
asasi manusia, khususnya dalam meneguhkan sikap tolerasi dalam kehidupan sosial
dan keagamaan. Tanpa keterlibatan ormas-ormas, kita akan terus-menerus berada
dalam kepungan ketakutan akan sikap intoleransi yang mengedepankan pemurnian
agama, suku, etnis atau kelompok yang pada gilirannya akan membahayakan
masalah hak asasi manusia, serta bangsa ini secara keseluruhan.
5. Demi perlindungan terhadap setiap hak individu dan kelompok, aparat kepolisian
harus siap dalam menghadapi perubahan politik agar mampu merespon persoalan
HAM. Artinya, bertambah banyaknya kabupaten serta provinsi dan partai politik,
kebebasan menyatakan pendapat serta berorganisasi yang dinikmati oleh rakyat
Indonesia menuntut kinerja polisi yang prima. Keprimaan kinerja polisi itu harus
ditunjukan di tahun 2008 ini, sebab tanpa kinerja polisi yang prima maka semua
kemajuan dalam ruang demokrasi dan HAM tidak akan berarti karena akan mudah
dirusak oleh kelompok-kelompok ekstrim. Selama tahun 2007, kinerja yang prima
itu belum ditunjukkan oleh aparat kepolisian secara signifikan.
6. Agar hak asasi manusia menjadi lebih terjamin dalam kerangka instrumen hukum,
lembaga kehakiman dan kejaksaan harus lebih mempertimbangkan asas keadilan
bagi korban ketimbang ruwet dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang. Dengan
kata lain, Hakim dan Jaksa jangan terus-menerus semata-mata menjadi corong
Undang-Undang dalam menegakan hukum di bidang HAM agar keadilan bagi
korban terpenuhi, karena Undang-Undang dapat terus berubah dan diperbaiki
sesuai tuntutan jaman.
-o0oCatatan
HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
23
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Jl. Siaga 2 no.31 Pejaten Barat
Pasarminggu, Jakarta 12510
Tel. 79192564, 7972662
Fax. 79192519
Email: office@elsam.or.id
URL www.elsam.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar