Translate

Senin, 11 Maret 2013

MEIN


Aku tak bisa menanggung lagi, Zal.” Vi memulai kesedihannya; bersedih lagi setelah berusaha bertahan untuk beberapa hari dalam keriangan palsu, selalu palsu.
            “Kau tahu aku mencintainya seperti saudaraku sendiri, kau tahu, kan?” Aku mengerdip, bukan untuk menjawabnya. Ya, itulah kenapa q merelakanmu mencintainya. Laki-laki lain, yang punya tanggal lahir sama denganku, yang tinggal tak jauh dari rumahmu. Seperti apa rupanya aku hanya tahu dari foto-foto berukuran kecil di telepon genggammu.
            Namanya Mein—Vi melafalkannya seperti kata “mine” dalam bahasa inggris. Setelah satu bulan Vi mengenal dan berpacaran dengan anak muda itu, aku kembali dari luar kota dan menyuruhnya tinggal bersamaku, mengingat empat tahun yang pernah kami lalui bersama. Dan mengingat betapa dia satu-satunya orang yang selalu benar-benar kusayangi. Juga betapa aku tahu hanya aku yang selalu disayanginya sebagai kekasih. Baru setelah Mein memutuskannya, Vi menerima tawaranku. Aku tinggal dirumahnya.
Aku masih ingat, Vi menangis di malam itu. Dia merasa sungguh tak tahu apa salahnya. Dia menyambut kedatanganku kembali dalam hidupnya dengan mengatakan betapa dia mencintai seseorang dan betapa seseorang telah mematahkan hatinya. Satu hal lagi, betapa dia hanya bisa menceritakan semuanya kepadaku.
Aku membawakan Vi minuman kaleng. Dia meminumnya setengah kaleng dan menciumiku dengan rakus. Setelah puas menatapa wajahku di akhir ciuman-ciumannya, Vi meringkuk diketiakku dan mulai mengeluh lagi.
“Hanya karena aku tak menceritakan masalahku?”
Dia pun menangis lagi malam itu.
“Jika kau tahu betapa sakitnya aku menunggu terjadinya hubungan itu dahulu. Menjalani hari-hari, minggu-minggu di mana harapan-harapan yang manis meluncur deras sementara kepastian hanya dalam mimpi-mimpiku. Aku telah menjadi canggung dan kehilangan kepercayaan diri. Aku merasa sangat tidak pantas mendapatkannya. Kapan, coba, kapan terakhir kali aku gagal merebuthati orang yang kuinginkan? Aku bisa mendapatkan tiga orang dalam tiga minggu itu. Tapi tak kuambil kesempatan-kesempatan itu. Aku hany menginginkannya. Dan aku tidak yakin apakah aku bisa memenangkan hatinya.
“Dan tahukah, aku tidak merasa amat jatuh cinta padanya. Aku tidak meledak-ledak seperti—kau tahu. Aku menyanyanginya dari dalam, pelahan-lahan, seperti membiarkan sebuah tanaman terus tumbuh didalam hatiku, di dalam diriku, sampai seseorang di luar diriku bersedia merawatnya bersamaku.
“Kini tanaman itu telah menguasai seluruh diriku, mencengkeramku dari dalam tanpa seorang pun dapat menyadarinya. Dan tepat pada saat ini! Tepat pada saat ini, Zal ,ia menyuruhku merawat tanaman itu sendirian?””
Vi telah mencengkeram salah satu bagian kemejaku seperti pelacur yang marah kepada seorang bajingan. Aku tak mengatakan apa-apa. Untuk mengalihkan perasaan ini aku hanya memandang sembarang arah dan mengedipkedipkan mataku dengan kaku.
“Oh, Zal. Adakah tanaman besar ini akan menguatkanku atau menumbangkanku sendirian.”Aku tetap diam. Vi terpejam.
Aku ingin menciumnya pada saat-saat seperti ini. Tak seperti malam itu, Vi duduk dimeja makan. Menundukkan kepala dana mengangkatnya kembali bukan untuk menatapa apa pun. Dia menggigit bibirnya sesekali. Saat beradu pandang denganku, metanya penuh rasa bersalah. Dia telah lupa dirinya. Dia suci seperti santa di dunia sekuler saat ini. Aku tidak begitu yakin bagian mana aku menghiburnya?
“Kali ini, Zal. Ia tidka mau tidur denganku. Tidak,” katanya memulai lagi.
Oh, aku telah mendengar berita macam ini berulang kali, dan selalu akhirnya mereka melakukannya lagi. Lagi dan lagi seperti para kekasih mudah yang selalu lemah dan ragu-ragu. Pertama kali aku mendengar pengulangan ini, aku mengingatkannya akan saat sebelumnya. Namun Vi mendesak bahwa ada hal khusus dari berita serupa kali itu.
Aku ingat waktu Vi menceritakan bagian ini:
“aku mendengar ia memadamkan lampu kamar dan mengunci pintu, lalu menyusulku ke tempat tidur. Ia berbaring di sebelahku. Aku thau ia yakin aku belum tidur. Dengan sikap yang angkuh dan ragu-ragu ia menempelkan telapak kakinya ke kakiku, begitu samar. Hany karena hatiku begitu peka akibat mencintainya begitu besarlah aku bisa merasakan sentuhan itu.
“Aku diam beberapa saat, kemudian dengan keraguan yang sama, tapi tanpa keangkuhan, aku menyilangkan kakiku yang lain kepinggangnya. Ia tidak mengelak! Tak lama kemudian ia berpaling ke arahku, menempelkan wajahnya sangat dekat ke wajahku sehingga kami bahkan tak bisa bertatapan. Kami berciuman. Dan seakan begitu merindukanku, ia mendekap dan menciumiku dengan tenaga yang besar. Kami melakukannya! Lagi! Begitu indah!”
Setelah bagian ini Vi tiba-tiba terdiam, menarik dan menghembuskan napas dengan berat, lalu melanjutkan: “Setelah semuanya selesai, Zal, ia menggeser tubuhnya dengan cepat, menjauhi tubuhku. Aku menatapnya dalam gelap. Ia tampak tidak senang, sangat berubah! Menjawab tatapanku, ia berkata, `Sudah ya. Kamu bukan pacarku lagi. Sebaiknya kita berteman saja. Aku merasa tidak enak dengan ini semua. Kamu tidak apa-apa ‘kan?’ Lalu ia tersenyumpadaku. Berusaha tersenyum, tepatnya.
“Pada kali ini hatiku telah terlatih untuk tidak secara langsung mengirimkan energi sedih ke wajahku. Aku juga tidak bilang terakhir unutuk hari ini dengan gaya penuh humor untuk menutupi kekecewaanku atau kesedihanku. Aku tersenyum kepadanya dan bilang OK.
“Tapi sekarang aku merasa itu adalah jawaban yang buruk. Paling buruk! Sebab beberapa jam kemudian ia tampak inferior, seperti sedang merasa tak berharga karena aku tak menunjukkan perhatianku yang besar seperti biasa, perhatianku yang tulus dan dungu. Aku amat merasa bersalah. Dan seperti biasa, aku merasa menanggung seluruh kesalahan yang pernah kulakukan, khususnya padanya, sekaligus dalam satu waktu.
“Apa yang seharusnya kulakukan, Zal? Tanggal lahir kalian sama, apa yang laki-laki seperti kalian ingin kulakukan? Aku sungguh putus asa.”
Aku tidak mengatakan apa-apa waktu itu. Tapi tiba-tiba pada saat itu aku mempercayai astrologi. Aku berpikir, barangkali laki-laki seperti kami memang ditakdirkan tidak pandai mengungkapkan perasaan. Kami menyanyangi seseorang selalu dengan cara yang tidak diharapkan. Kami pasif. Dan lebih sering lagi angkuh. Aku tak pernah bilang aku mencintainya, kupikir anak muda itu juga tak pernah. Tapi selama empat tahu Vi tentu sangat menyadari betapa aku sangat mencintainya.
Karena kepasifan dan keangkuhanku, aku pun tak pernah mengatakan betapa aku merasakan suatu gangguan yang menyakitkan, entah dimana setiap kali dia menceritakan betapa dia mencintai orang lain, tak peduli apakah orang itu melukainya atau tidak. Betapapun Vi mengatakan dia mencintai mantan pacarnya seperti seorang anak, aku tetap merasakan gangguan itu. Bagaimanapun, aku mengetahui bahwa hubungan seks pertamanya terjadi dengan abangnya sendiri meski justru pada kasus itu Vi sama sekali tidak menyanyangi saudaranya yang barbar itu. Maksudku, incess bukanlah hal yang mustahil disini.
Sekarang aki hany bisa menunggu ada hak khusus apa lagi mengenai berita yang mematahkan hati itu.
“Ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tidak bilang ini yang terakhir ya atau sebaliknya kita benar-benar berteman saja atau aku merasa tidak enak terus-terusan melakukan ini’. Sekarang, jika aku tidur di tempat tidurnya, ia akan menahan kantuk sampai pagi, sampai siang. Jika aku tetap bertahan di tempat tidurnya, ia akan akhirnya tidur di ruangan tengah.
“Apa yang telah kulakukan? Dan apa yang telah kulakukan kali ini? Bukan tidur tidur itu soalnya. Bukan itu. Aku hanya ingin menyentuhnya. Aku hanya ingin mencium bau dari tubuhnya. Aku hanya ingin berada di dekatnya, dan merasakan dalam-dalam betapa ia pernah begitu mencintaiku—atau betapa aku pernah merasa ia begitu mencintaiku, dan betapa aku telah kehilangan dirinya, dan cintanya. Dan sementara meresapi pikiran-pikiran itu, aku bisa menahan tangisanku dengan menyadari bahwa ia berada didekatku saat itu, menemaniku melewatkan kesedihan dan akan membiarkanku mengurusnya lagi seperti sebelum-sebelumnya, seperti anakku sendiri. Dan itu membuatku merasa penuh.
“Dan kini tidak akan ada saat-saat seperti itu lagi, Zal. Sama sekali.”
Vi mengisap rokoknya dan menghembuskan asapnya samar-samar. Aku masih saja diam, bermain-main dengan pikiranku sendiri. Seandainya Mein itu lenyap sepenuhnya, akankah Vi berhenti membicarakannya, berhenti bersedih dan menangis?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar