Translate

Senin, 11 Maret 2013

Hukum sebagai Alat Kejahatan


Tb Ronny R Nitibaskara
Terungkapnya hubungan telepon beberapa pejabat tinggi Kejaksaan Agung dengan Artalyta Suryani, tersangka penyuap jaksa penyidik kasus BLBI, menyentak kita semua.
Peristiwa itu menunjukkan telah terjadi upaya sistematis, menggunakan hukum, untuk mengesahkan tindak kejahatan. Tragisnya, pelaku utama justru aparat penegak hukum yang ditugasi negara melawan kejahatan yang dikerjakan sendiri.
Lebih memilukan lagi, kejadian ini melibatkan bawahan-atasan dan jabatan sejajar serta membentuk organized crime. WJ Chambliss (1988) menyebutnya state- organized crime, tindakan yang menurut hukum sebagai kejahatan oleh pejabat pemerintah dalam tugas jabatannya selaku wakil negara.
Kejahatan sempurna
Disadari, kasus BLBI mengandung kompleksitas tinggi dan terkait dengan aneka penyimpangan. Sejak 8 tahun lalu, masalah ini menjadi perhatian penulis dan dijadikan obyek kajian kriminologi di bidang korupsi peradilan (judicial corruption).
Sebelumnya, saat menyoroti master of settlement and acquisition agreement dan terangkai dengan kasus sekarang, mendorong pada kesimpulan bahwa perjanjian oleh pihak-pihak tertentu sengaja dirancang untuk merugikan negara.
Dengan kata lain, bukan hal baru bila dalam kasus BLBI terjadi bancakan di antara sebagian penegak hukum. Mengingat banyak fakta semacam itu, saya mengajukan pendekatan baru tentang fungsi hukum bersifat kriminologi, yakni hukum sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai alat kejahatan (law as a tool of crime).
Jika terbukti, teori itu agaknya mendapat dukungan empiris. Penghentian penyidikan kasus BLBI oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), Februari 2008, merupakan bagian rencana menggunakan hukum demi kepentingan pribadi dan melawan hukum.
Penggunaan hukum sebagai alat kejahatan kami namakan kejahatan sempurna (perfect crime). Dikatakan sempurna karena tindakan itu sengaja dibungkus dengan hukum yang berlaku sehingga seolah-olah merupakan bagian penegakan hukum atau kebijakan resmi.
Kejahatan semacam ini umumnya sulit diungkap. Tanpa bukti-bukti spektakuler antara lain seperti rekaman pembicaraan telepon, kasus semacam ini akan menjadi dark number. Jabatan, kewenangan (power of authority) dan alibi hukum menjadi benteng guna menutup upaya penyidikan. Hal ini dapat dilihat pada penghentian penyidikan perkara BLBI oleh Kejagung.
Kekuasaan diskresi
Ketika Jampidsus Kemas Yahya Rahman mengumumkan Kejagung menghentikan penyidikan BLBI karena tak ditemukan pelanggaran hukum, akal sehat masyarakat menolak. Namun, struktur hukum di negara kita menghendaki masyarakat berpikir realistis. Artinya, kewenangan penghentian diberikan undang-undang (UU) sehingga tindakan itu secara hukum sah. Meski masygul, secara yuridis masyarakat tak diberi hak untuk menghambat lembaga itu menghentikan penyidikan.
Kewenangan bersifat diskresi (discretional power) itu sengaja diberikan UU kepada penegak hukum agar mereka dapat menegakkan hukum dengan menggunakan hukum itu sesuai keadaan yang berlaku dan cita-cita. Namun, di sinilah persoalannya. Karena hakikat penegakan hukum adalah pengambilan keputusan (Hartjen, 1989), unsur kepribadian penegak hukum ikut masuk dalam penegakan hukum. Akhirnya, sebagai sistem rasional, hukum bersentuhan dengan manusia sebagai subyek mempunyai multiaspek yang tidak hanya bersifat rasional.
Ketika diterapkan dalam kasus per kasus, secara sosiologi, hukum bersinggungan dengan aneka kepentingan, termasuk kepentingan penegak hukum. Di sini terjadi pergulatan antara menegakkan hukum dan menggunakan hukum.
Dalam penegakan hukum, ada kehendak agar hukum tegak sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan melalui instrumen hukum bersangkutan dapat diwujudkan. Sementara dalam penggunaan hukum, cita-cita dalam aturan hukum belum tentu secara sungguh-sungguh hendak diraih sebab sebagian hukum itu digunakan untuk membenarkan aneka tindakan yang dilakukan, seperti dalam kasus BLBI ini.
Dalam buku kami, Tegakkan Hukum, Gunakan Hukum (2006), dinyatakan, logika di balik menggunakan hukum itu sering menyesatkan. Orang yang tampak sungguh-sungguh berbicara hukum, bahkan kelihatan amat keras sampai beradu urat leher, kadang-kadang tidak memiliki niat agar hukum tegak. Sebaliknya, tidak peduli hukum runtuh karena hal itu.
Paradoks penegakan hukum
Perilaku menegakkan hukum dan sikap menggunakan hukum dalam praktik sulit dibedakan karena kedua pendekatan itu saling berimpitan (coincided). Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang. Sebaliknya, menggunakan hukum tanpa niat menegakkan hukum dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa keadaan seperti tanpa hukum.
Dua kutub antara menegakkan hukum dan menggunakan hukum merupakan paradoks yang harus diseimbangkan penegak hukum dalam kekuasaan diskresi. Dengan demikian, masalahnya menjadi sensitif. Setiap saat hukum dapat diterapkan secara diskriminatif. Hartjen mengingatkan, problem kekuasaan diskresi penegakan hukum adalah tipisnya batas antara diskresi dan diskriminasi.
Lebih ekstrem lagi bukan hanya diskriminatif. Menonjolnya sifat teknikalitas hukum modern, sehingga hanya dikuasai mereka yang berkecimpung di bidang hukum, dapat mendorong mereka memegang kekuasaan diskresi, memanfaatkan hukum secara leluasa, hingga menggunakan hukum sebagai alat kejahatan.
Bergabungnya teknikalitas hukum dan diskresi memudahkan penegak hukum mendapat pembenaran dalam melakukan aneka tindakan merugikan negara. Di sini terjadi anomali, yaitu kejahatan yang memiliki alibi ”demi hukum”, sehingga sulit diungkap seperti kasus BLBI.
Untuk membuktikan hubungan telepon Artalyta Suryani itu ada unsur melawan hukum. Berbagai pendekatan harus dilakukan, termasuk interpretasi. Maka, Putusan MA Nomor 275/PID/1983 tanggal 15 Desember 1983 dapat dijadikan dasar.
Berdasarkan yurisprudensi itu dan peraturan perundang-undangan lain, maka tidak ada alasan untuk tidak menindak semua pihak yang terlibat perkara sambungan telepon Artalyta Suryani. Hukum adalah alat untuk menegakkan kebenaran, bukan sebagai alat kejahatan.
Tb Ronny R Nitibaskara Rektor Universitas Budi Luhur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar