Blog ini bertujuan agar mempermuda Mahasiswa untuk memperoleh informasi dalam studinya.
Translate
Senin, 11 Maret 2013
PENEGAKAN HUKUM DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN DAN ANAK YANG MENJADI KORBAN TRAFFICKING
Oleh Riza Nizarli,S.H.,M.H.2
A. Pendahuluan
Masalah perdagangan perempuan dan anak atau dikenal dengan istilah human trafficking akhir-akhir ini
muncul menjadi suatu masalah yang banyak diperdebatkan baik ditingkat regional maupun global dan dikatakan
sebagai bentuk perbudakan masa kini serta melanggar HAM. Sebenarnya perdagangan manusia bukanlah hal
baru, namun baru beberapa tahun belakangan, masalah ini muncul ke permukaan dan menjadi perhatian tidak
saja pemerintah Indonesia, namun juga menjadi masalah transnasional.
Perdagangan manusia merupakan bagian kelam bangsa Indonesia, artinya persoalan trafficking manusia
adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Namun demikian, persoalan trafficking belum mendapat perhatian yang
memadai untuk diatasi, hal ini sering menjadi sensualitas pemberitaan di media massa yang berusaha untuk
menarik perhatian pihak-pihak yang berwenang. Kemudia ketika kasus ini masuk ke pengadilan, pelaku sering
mendapat ganjaran hukuman yang ringan, sementara aktor intelektualnya tidak tersentuh oleh aparat penegakan
hukum.
Berbagai latar belakang dapat dikaitkan dengan meningkatnya masalah perdagangan perempuan dan
anak seperti; lemahnya penegakan hukum, peraturan perundang-undangan yang ada, peran pemerintah dalam
penaganan maupun minimnya informasi tentang trafficking.
Jika kita berbicara tentang penegakan hukum, maka kita sejak lahir bahkan anak yang masih dalam
kandungan hingga mati selalu berurusan dengan hukum, tidak ada waktu dan tempat yang terlewatkan dari
sentuhan hukum. Begitu banyak aturan yang memperlakukan persyaratan dan prosedur hukum, dari masalah
membuang sampah, keparkiran sampai masalah kelembagaan di tingkat nasional bahkan internasional.
Manakala orang awam ditanyakan tentang hukum ingatannya tertuju pada bangunan pengadilan, sosok
hakim, advokat, juru sita dan polisi. Undang-undang tidak pernah diketahuinya, didengarnya apalagi membaca di
Lembaran Negara, namun pada umumnya pernah berada di ruang sidang pengadilan3 sedangkan mengenai
trafficking banyak orang belum memahaminya walaupun dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi.
Dalam rangka pemberantasan berbagai kejahatan yang marak seperti trafficking, pelanggaran HAM,
korupsi, pencucian uang, narkotika dan lain sebagainya, berbagai pihak mengeluhkan penegakan hukum yang
dilakukan. Berbagai media massa memberitakan aparat hukum terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap.
Menghadapi kebobrokan hukum dan peradilan ini membuat masyarakat menjadi tidak bermoral (normless) dan
tidak mempercayai hukum (losing trust). Hukum seolah-olah dapat dimainkan, diplintir, bahkan hanya berpihak
pada mereka yang memiliki status sosial tinggi.4 Keadaan yang demikian membuat penegakan hukum semakin
sulit dilakukan. Tidak terlalu berlebihan bila berbagai kalangan menilai penegakan hukum lemah dan telah
kehilangan kepercayaan dari masyarakat termasuk dalam trafficking perempaun dan anak. Masyarakat menjadi
apatis, mencemohkan dan dalam keadaan tertentu kerap melakukan proses pengadilan jalanan (street justice).
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalan
kehidupan masyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan proses penegakan hukum sebagaimana dimaksudkan
di atas, dibutuhkan suatu organisasi yang cukup kompleks, tanpa adanya organisasi tersebut (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) hukum tidak dapat dijalankan dalam masyarakat.
Keempat elemen tersebut di atas merupakan intrumen hukum pidana yang sangat penting dalam kerangka
penegakan hukum, karena itu harus dapat menjalin hubungan kerjasama untuk dapat dikatakan integrated
criminal justice system.
Jika berbicara tentang trafficking maka korban yang paling rentan adalah perempuan dan anak, terutama
dari keluarga miskin, perempuan dari pedesaan, perempuan dan anak putus sekolah yang mencari pekerjaan.
1 Disampaikan pada Workshop, Penguatan Materi tentang Konsep HAM Perempuan dan Gender dalam Mata Kuliah di Fakultas Hukum dan
Syar’iah , kerjasama Fakultas Hukum Unsyiah dengan The Asia Foundation, Hotel Polonia, Medan, tanggal 15-17 Juli 2006
2 Dosen Fak.Hukum Unsyiah/Unmuha, Staf Unit Kajian Hukum Humaiter dan HAM FH. Unsyiah, Ketua Bid. Advokasi Lembaga
Perlindungan Anak Prov.NAD.
3M Laica Marzuki, “Membangun Sistem Penegakan Hukum Yang Akuntabel, Jurnal Keadilan, Vol.4.No.2,2005/2006:7
4 Hikmahanto Yuwana ”Penegakan Hukum Dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen Bagi Solusi di Indonesia”,
Pidado Ilmiah, disampaikan pada Dies Natalis Ke-56 UI, 4 Pebruari 2006 , Depok, hal. 1.
2
Oleh karena itu penegakan hukum terhadap pelaku trafficking perlu adanya kerjasama dengan berbagai instansi
penegak hukum
Trafficking perempuan dan anak memiliki pengertian yang berbeda dengan perdagangan perempuan dan
anak. Perdagangan perempuan dan anak adalah sebuah transaksi penjualan antara penjual dan pembeli dengan
harga yang telah disepakati. Sedangkan trafficking merupakan paksaan, penipuan, ancaman kekerasan serta
penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi.
Fenomena perdagangan perempuan dan anak sudah lama berkembang di berbagai negara, seperti; Saudi
Arabia, Jepang, Malaysia, Hongkong Taiwan, Singapura dan termasuk juga Indonesia. Tidak ada Negara yang
kebal terhadap trafficking, setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki, perermpuan dan anak
diperdagangkan menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional5.
Report dari pemerintahan AS memperkirakan lebih dari seperuh dari para korban yang diperdagangkan
secara internasional diperjual-belikan untuk eksploitasi seksual.6 Menurut PBB perdagangan manusia ini adalah
sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan 9,5 juta US$ dalam pajak tahunan
menurut itelijen AS. Perdangan manusia juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang paling
menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian uang (money laundring), perdagangan narkoba, pemalsuan
dokumen dan penyeludupan manusia. Hal ini merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri dan perdagangan ini
tidak lagi terbatas pada batas wilayah negara melainkan berlangsung lintas batas. Pola perdagangannyapun
mengalami perubahan, tidak lagi hanya dilakukan oleh perseorangan melainkan sindikat-sindikat terorganisir yang
disinyalir memiliki kegiatan illegal lainnya seperti penjualan obat-obatan adiktif dan senjata.
Menurut catatan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, daerah yang memiliki kasus traficking
tertinggi di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Namun tidak
berarti wilayah lain "bersih". Jawa tengah, Lampung, Sumatera Utara, dan Nusa tenggara Timur adalah wilayah
lain yang potensial. Sedangkan Jakarta, Riau, Batam, Bali, Balikpapan, dan Papua dikenal sebagai daerah
tujuan perdagangan orang, khususnya untuk keperluan eksploitasi seksual.
Di Provinsi NAD pasca Tsunami juga dikejutkan dengan adanya berita di media massa yang mengatakan
bahwa sebanyak 300 anak korban Tsunami telah di bawa ke luar Aceh secara diam-diam dan beberapa kasus
lainnya diperdagangkan ke Riau dan Medan.
Dalam kenyataannya di masyarakat dapat disaksikan begitu banyak peristiwa yang menimpa anak-anak
sehingga merenggut masa kecilnya dan bahkan masa depannya. Hal ini dapat dilihat di kota-kota besar dengan
adanya praktek eksploitasi terhadap anak yang dijadikan pengemis, pengamen jalanan, pekerja anak, pekerja seks
komersial, diperdagangkan dan sebagainya.
Berbagai kasus perempuan dan anak yang diperdagangkan seringkali mereka dipekerjakan di sektor yang
berbahaya, pekerjaan terlarang, kurir narkoba, untuk kerja paksa, pembantu rumah tangga, korban ekploitasi
seksual dalam pornografi, prostitusi dan tidak jarang anak diperdagangkan untuk kepentingan adopsi atau
dimanfaatkan organ tubuhnya untuk kepentingan medis bagi transplantasi untuk orang-orang kaya yang
membutuhkan7.
Berkaitan dengan perkembangan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) hak-hak asasi anak kembali
menjadi perhatian yang selama ini belum mendapat perhatian serius mengingat masih banyaknya kasus-kasus
yang menimpa anak Indonesia. Dalam laporan Deplu AS mengenai traficking in person, bersama 22 negara
lainnya Indonesia termasuk negara yang menjadi sumber trafficking, baik untuk kepentingan dalam negeri maupun
manca Negara.
Menurut laporan American Center for International Labor Solidarity (ACILS) dan Jaringan Penanggulangan
Anak Indonesia (JARAK), khusus untuk Propinsi Jawa Timur, daerah yang rawan dan potensi terjadinya women
and child trafficking adalah Bayuwangi, Malang, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek. Aparat Kepolisian Surabaya
berhasil mengungkapkan praktek perdagangan anak perempuan yang dipaksakan bekerja di sektor prostitusi8 dan
di Lampung lebih memprihatinkan lagi, bahwa trafficking anak perempuan dilakukan oleh orang tua kandungnnya
sendiri karena ekonomi. Kasus perdagangan anak yang lebih tragis pernah juga terjadi di Lampung dan di
5Laporan Perdagangan Manusia, Deplu AS, 14 Juni 2004.
6 Lihat Report ADB yang menyatakan palin tidak sebanyak satu s.d dua juta jiwa diestimasi telah diperjual-belikan setiap tahun di seluruh dunia.
Sebagaian besar penjualan orang berasal dari negara miskin 150.000 dari Negara Asia Barat dan 225.000 dari Negara Asia Tenggara.
7Riza Nizarli, ”Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak, ”Makalah disampaikan pada Seminar tentang HAM Anak kerjasama Depkeh HAM Prov.NAD
dengan Unicef, 21 Juli 2004.
8Kompas, 27 Juli 2002
3
Kalimatan Barat, anak-anak diperdagangkan untuk diadopsi; yakni menghilangkan identitas keturunan dan
keluarga anak yang bersangkutan.
Oleh karena itu perlu adanya penegakan hukum yang tegas, karena negara mempunyai kewajiban dan
bertanggungjawab untuk mencegah, menginvestigasi, dan menghukum tindakan perdagangan perempuan dan
anak, serta menyediakan perlindungan bagi para korban. Menurut Deklarasi Hak Asasi Manusia serta beberapa
instrument Internasional lainnya. Pemerintah bertanggungjawab dengan menegakkan hukum untuk memberi
perlindungan kepada orang-orang yang diperdagangan, wajib bertindak secermat-cermatnya untuk mencegah,
menginvestigasi, dan menghukum pelanggaran HAM dan memberikan penyembuhan dan ganti rugi kepada
korban pelanggaran.
Akhir-akhir ini pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan untuk mengurangi bahkan menghapuskan
bentuk-bentuk kejahatan ini. Pada tahun 2002, berdasarkan Keppres No. 88/2002, pemerintah mengeluarkan
RAN Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A). Di samping itu pemerintah juga telah
menyerahkan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUUTPO) ke DPR di samping
telah menyiapkan RUUKHUP yang salah satu bagiannya mengatur mengenai kejahatan Perdaganaga Manusia
Perdagangan perempuan dan anak telah dikriminalisasi (proses penetapan menjadi suatu tindak pidana)
dalam hukum Indonesia, tetapi tidak ada definisi resmi tentang perdagangan perempuan dan anak di dalam Pasal
297 KUHP atau di dalam Undang-undang HAM Nomor 39 Tahun 1999, sehingga dalam praktiknya pasal-pasal ini
sulit untuk digunakan.
B. PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK SEBAGAI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
Fenomena Perdagangan Manusia khususnya anak dan perempuan atau dikenal dengan istilah Trafficking
bukanlah merupakan hal yang asing lagi dewasa ini. Traffiic dalam Edisi kedelapan Black’s Law Dictionary adalah
To trade or deal in goods, illicit drugs or other contraband.9 Perdagangan manusia ini diartikan sebagai suatu
fenomena perpindahan orang atau sekelompok orang dari satu tempat ketempat lain, yang kemudian dibebani
utang untuk biaya proses berimigrasi ini.10
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 297 menyebutkan, “Perdagangan wanita
dan anak laki-laki yang belum cukup umur dipidana selama-lamanya enam tahun”. Pasal ini tidak menyebutkan
dengan jelas pengertian dari perdagangan itu sendiri. Pasal tersebut juga tidak melarang perdagangan perempuan
muda, anak perempuan dan anak laki-laki dewasa. Karena itu tidak ada penjelasan oleh Negara mengenai
pengertian dari “perdagangan” dalam Pasal 297 KUHP tersebut, maka Indonesia tidak memiliki definisi resmi
mengenai apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia.11
Dalam Pasal 10 laporan HAM yang dilaporkan oleh Pelapor Khusus Kekerasan Terhadap Perempuan
dikemukakan sebagai berikut, “Saat ini tidak ada definisi perdagangan yang secara internasional disetujui.
Terminologi trafficking dipakai oleh berbagai aktor untuk menggambarkan berbagai aktivitas yang berkisar mulai
dari sukarela, migrasi yang difasilitaskan hingga ke eksploitasi pelacuran, ke perpindahan manusia oleh ancaman,
paksaan, kekerasan dan sebagainya yang tujuan dan sifatnya eksploitatif.12
Mengingat masalah trafficking sebagai masalah yang serius, maka pada tahun 1994 Sidang Umum PBB
menyetujui Resolusi menentang perdagangan perempuan dan anak, yaitu:
Pemindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melawan hukum, terutama
dari Negara berkembang dan dari Negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak
perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secar seksual dan ekonomi, sebagaimana juga
tinduk illegal lainnya, yang berhuhungan dengan perdagangan perempuan seperti pekerja paksa domestik, kawin
palsu, pekerja gelap dan adopsi palsu demi kepentingan perekrut, pedagang, dan sindikat kejalhatann.(Rachmad
Syafaat, 2002:12)
Pengertian perdagangan perempuan yang paling sering digunakan adalah pengertian yang diberikan oleh
Protokol Perdagangan Manusia.
9 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief 2004, hal. 1534.
10 Ruben Achmad, “Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Perdagangan Manusia”, Makalah, Disampaikan pada seminar BKS-PTN Bidang
Ilmu Hukum di Pontianak, 5 oktober, 2004, hal. 1.
11Ibid, hal. 2.
12 Kutipan dari laporan Pelapor Khusus Kekerasan terhadap Perempuan di sesi ke-56 Komisi HAM, http://www.kompas.comcetak/
0209/16/dikbud/perd36.htm.
4
Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahtanganan, penampungan atau
penerimaan orang, dengan menggunakan cara-cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau berbagai
bentuk paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
penyulahgunaan posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan bayaraan atau keuntungan lain guna
mendapat persetujuan dari seseorang yang mempunyai kendali terhadap orang lain, untuk kepentingan
eksploitasi.
Eksploitasi mencakup, sedikitnya eksploitasi prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya,
kerja paksa, perbudakan atau praktik praktik sejenisnya perhambaan atau pengambilan organ-organ
tuhuh.13
Pada Sidang Umum 1995, Sekretaris Jendral PBB dalam laporannya menfokuskan pengertian perdagangan
perempuan pada kegiatan untuk tujuan prostitusi dengan memasukkan aspek lain yaitu kerja paksa dan penipuan
.
Bentuk perdagangan perempuan dan anak tidak hanya terbatas pada prostitusi paksaan atau perdagangan
seks, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk eksploitasi, kerja paksa dan praktek seperti perbudakan di beberapa
wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan. Berbagai bentuk kekerasanpun dialami
oleh para korban, seperti kekerasan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami baik sejak saat perekrutan
maupun pemilik tempat kerja.
Eksploitasi dapat meliputi, paling tidak adalah:
1. Eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual;
2. Kerja atau pelayanan paksa;
3. Perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan;
4. Penghambaan;
5. Pengambilan organ-organ tubuh.14
Lebih lanjut dalam Pasal 3 sub-paragraf (a) Lampiran II-Protokol Perdagangan Manusia Palermo (The
Palermo Trafficking Protocol) (2000), mengurai definisi dari perdagangan manusia secara lebih rinci, yakni:
(a) Perdagangan Manusia” adalah perekrutan, pengangkutan, transpor, penyembunyian, dan penerimaan
orang dengan ancaman, atau menggunakan kekerasan atau bentuk pemaksaan lainnya, penculikan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi rentan atau
memberikan atau menerima pembayaran, atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang
memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Pada sub paragraf (c) dijelaskan,“ Perekrutan, transportasi, transfer, penyembunyian atau penerimaan
seorang anak untuk maksud eksploitasi harus dianggap memperdagangkan manusia bahkan bila hal ini tidak
melibatkan semua cara yang disebutkan dalam sub paragraf (a) Pasal ini”.
Protokol tersebut memuat definisi trafficking yang cukup komprehensif, yaitu sebagai “perekrutan,
pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, atau penggunaan
kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau menfaat untuk memperoleh izin dari orang yang
punya wewenang atas orang lain untuk tujuan eksploitasi”. Menurut Rheny Wahyuni Pulungan, eksploitasi yang
menjadi tujuan dari segala bentuk perdagangan manusia setidak-tidaknya akan meliputi eksploitasi dalam bentuk
pemelacuran orang lain atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupai perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.15
Menurutnya, unsur-unsur perdagangan anak meliputi:
1. Adanya proses rekruitmen dan pemindahan manusia;
2. Berlakunya cara-cara pemaksaan;
3. Termasuk ancaman akan terjadinya pemaksaan atau kekerasan, penipuan atau;
4. Penyalahgunaan kekuasaan;
13 Komnas Perempuan, Edisi : 9/IX/Jan/2003
14 Ann Jorda, The Annotated Guide to the Complete UN Trafficking Protocol, International Human Rights law Group, Washington D.C, May, 2002,
http://www.hrlawgroup.prg/resources/content/Traff_AnnoProtocol.pdf., diakses tanggal 22 April 2006.
15 Rheny Wahyuni Pulungan, “Penanggulangan Kejahatan Perdagangan Perempuan dan Anak”, Makalah, Disampaikan dalam Semiloka Strategi
Penanggulangan kejahatan Lintas Batas, Fakultas Hukum Universitas Tanjung Pura, Pontianak, tanggal 5-6 Oktober 2004 hal. 5.
5
5. Adanya tujuan akhir yang bersifat eksploitatif.
Adapun tujuan akhir yang bersifat eksploitatif itu dapat berupa:
1. Prostitusi atau tujuan seksual;
2. Pekerja Rumah Tangga (PRT);
3. Prostitusi dan pornografi;
4. Pekerja jermal (pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan);
5. Pengemis;
6. Adopsi di daerah-derah konflik;
7. Perkawinan;
8. Perdagangan obat/drug;
9. Buruh perkebunan;
10. Eksploitasi seksual oleh fedopil.16
UNICEF mendefinisikan perdagangan anak adalah tindakan perekrutan, transportasi, transfer,
menyembunyikan atau menemui seorang anak dengan tujuan untuk eksploitasi baik di dalam maupun diluar suatu
negara.17
Pada Pasal 3 huruf (a) Konvensi ILO No. 182 menyebutkan bahwa bentuk terburuk pekerjaan untuk anak
didefinisikan sebagai segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan
perdagangan anak, kerja ijin dan perhambaan, wajib kerja atau kerja paksa, termasuk pengerahan anak secara
wajib atau paksa untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata.
Selanjutnya Konvensi ILO No. 182 melarang adanya perbudakan, penjualan dan perdagangan anak-anak,
kerja paksa dan kerja ijon (termasuk pengerahan anak-anak dalam konflik bersenjata), serta penyediaan, atau
pemanfaatan anak-anak untuk pelacuran, pornografi, obat-obatan terlarang, dan pekerjaan, yang karena
hakekatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilaksanakan, mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan
atau moral anak-anak18.
Pasal 2 Optional Protocol to the CRC on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography
(2000) atau Protokol Opsional terhadap Konvensi Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Pelacuran Anak, dan
Pornografi Anak (2000), selanjutnya disebut Protokol Opsional KHA Tahun 2000, mengartikan penjualan anak
adalah segala tindakan atau transaksi di mana seorang anak ditransfer oleh segala orang atau kelompok orang ke
orang lain untuk mendapatkan imbalan atau pertimbangan lainnya. Dalam hubungannya dengan Pasal 3 Protokol
Palermo, dan Konvensi ILO No. 182, hal ini berarti bahwa perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan
atau menerima seorang anak di bawah usia 18 tahun untuk tujuan pelacuran dan pornografi harus dianggap
sebagai perdagangan manusia.
Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM berat terhadap
perempuan, karena di dalamnya ada unsur ancaman, penyiksaan, penyekapan, kekerasan seksual, sebagai
komoditi yang dapat diperjual belikan, yang semuanya merupakan pelanggaran terhadap HAM. Dalam situasi
perempuan dan anak yang diperdagangkan, hak-hak mereka terus dilanggar, karena mereka kemudian ditawan,
dilecehkan dan dipaksa untuk bekerja di luar keinginan mereka. Mereka ditempatkan dalam kondisi seperti
perbudakan, tidak lagi memiliki hak untuk menemukan nasib sendiri, hidup dalam situasi ketakutan dengan rasa
tidak aman. Bahkan kadang diperburuk oleh keadaan ketika dia tidak memiliki identitas yang jelas, sehingga
mereka takut meminta bantuan kepada pihak yang berwenang karena takut diusut dan dideportasi. Juga status
sosial mereka menyebabkan mereka dilecehkan oleh majikan.
Eksploitasi perempuan dlan anak-anak oleh industri seks lokal maupun global adalah petanggaran
hak asasi manusia karena jelas telah mereduksi tubuh mereka menjadi komoditi. Sementara itu,
perdagangan perempuan clan anak-anak telah dianggap sebagai "kenikmatan" bagi para pengguna jasa
seks dan sebagai sumber penghasilan bagi mereka yang bergerak di dalam industri seks, prostitusi,
perdagangan perempuan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan bisnis. Pada dasarnya,
perdagangan perempuan dan anak-anak ini merupakan bentuk kekerasan seksual clan menempatkan
perempuan dan anak-anak dalam suatu kondisi fisik clan mental yang sangat merusak dan tergradasi.
16 Ibid, hal. 5
17 UNICEF, Pedoman Untuk Perlindungan Hak-Hak Anak Korban Perdagangan Manusia, UNICEF, 2003, hal. 1.
18 Ibid, hal.27.
6
Dalam Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia 1948 ditegaskan, bahwa "setiap orang dilahirkan
mempunyai hak akan kehebasan dan martabat yang setara". Penegasan ini merupakan simbol suatu kehidupan
bermasyarakat dengan suatu visi tentang perlunya menghormati kemanusiaan setiap orang tanpa membedakan
ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa dan jenis kelamin. Dengan demikian perempuan dan anak
berhak memperoleh perlindungan hak asasi manusia.
Perdagangan perempuan dan anak merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM, karena melanggar;
1. Hak atas kehidupan
2. Hak atas persamaan
3. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi
4. Hak atas perlindungan yang sama di muka umum
5. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya
6. Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik
7. Hak untuk pendidikan lanjut
8. Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara
tidak manusiawi yang sewenang-wenang.
Bentuk-bentuk pelanggaran HAM tersebut dapat terjadi pada saat proses perekrutan, transpotasii saat
sampai di negara tujuan, dan saat proses perdagangan. Pelanggaran yang terjadi berupa: penipuan, penyekapan,
ancaman dan penggunaan kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan pemutusan akses dengan keluarga dan/atau
bantuan jenis apapun, hak atas informasi, penyiksaan, kondisi hidup yang buruk, perempuan dipaksa melacur ,
kondisi kerja yang tidak layak, penghapusan akses ke kesehatan, penyitaan identitas dan dokumen perjalanan,
pelanggaran terhadap aspek budaya/agama, penolakan akses kebangsaan, pendidikan, perempuan dipaksa
menikah dengan orang yang tidak mereka inginkan, diskriminasi, kehilangan kontrol terhadap hidup, penyangkalan
terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. penahanan dan dipenjara/penahanan illegal dengan tuduhan
palsu, penganiayaan dan perkosaan dalam penahanan, pelanggaran dalam aspek hukum, pemaksaan
pemeriksaan dan perawatan kesehatan.19
Bentuk perdagangan perempuan dan anak tidak hanya terbatas pada prostitusi paksaan atau perdagangan
seks, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk eksploitasi, kerja paksa dan praktek seperti perbudakan di beberapa
wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan. Berbagai bentuk kekerasanpun dialami
oleh para korban, seperti kekerasan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami baik sejak saat perekrutan
maupun pemilik tempat kerja.
Perdagangan perempuan dan anak dapat terjadi di dalam atau di luar negara, tidak selalu melibatkan
penyeberangan perbatasan Negara. Sangat penting untuk disadari, bahwa perempuan dan . anak yang
diperdagangkan adalah korban yang sudah dipindahkan ke lingkungan asing, dipisahkan dari lingkungan keluarga,
masyarakat dan teman, dan dipisahkan dari jaringan pendukung fisik, emosional atau dengap bahasa atau budaya
yang dikenalnya.
Menurut GAATW (Global Alliance Against Traffic in Women) trafficking adalah :"Semua usaha atau
tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, transpotasi di dalam atau melintasi perbatasan, pembelian, penjualan,
transfer, pengiriman atau penerimaan .seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan termasuk
penggunaan utuk ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan
tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar ataupun tidak, untuk kerja yang tidak
diinginkannya (domestik, seksual atau reproduktif), dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi seperti
perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan
untuk lilitan hutang pertama kali20.
Ruth Rosenberg mengusulkan definisi perdagangan perempuan adalah seluruh tindakan yang dilakukan
dalam rangka perekrutan dan atau pengiriman orang perempuan di dalam dan ke luar negeri untuk pekerjaan
dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dominant,
penjeratan utang, penipuan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain". 5
Pengertian perdagangan perempuan tersebut mengandung arti penting, karena yang disoroti tidak hanya
proses perekturan dan pengiriman yang menentukan bagi perdagangan, tetapi juga, kondisi eksploitatif terkait ke
mana orang diperdagangkan,
19 HAM Dalam Praktek, Panduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak, 2000, hal. 33 -35 .
20 Ruth Rosenberg, Perdagangan perempuan Dan Anak Di Indonesia, 2003, hal. 13
7
Menurut Global Survival Network dalam Laporan PBB tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan anak
ada empat jenis situasi yang mengakibatkan perempuan dan anak perempuan terlibat dalam perdaganan seks,
yang juga dapat diterapkan pada bentuk-bentuk kerja yang lain yang menyebabkan perempuan bermigrasi atau
diperdagangkan:
1. Mencakup perempuan yang ditipu mentah-mentah dan dipaksa dengan kekerasan. Mereka tidak
mengetahui sama sekali kemana mereka akan pergi atau pekerjaan apa yang akan mereka lakukan.
2. Perempuan yang diberitahu separoh kebenaran oleh orang yang merekrut mereka rnengenai
pekerjaan yang akan dilakukan dan kemudian ; dipaksa bekerja untuk apa yang sebelumnya tidak
mereka setujui dan rnereka hanya mempunyai sedikit atau tidak ada samasekali pilihan lainnya.
3. Perempuan yang mendapat informasi mengenai jenis pekerjaan yang akan mereka lakukan.
Walaupun mereka tidak mau mengerjakan pekerjaan semacam itu, mereka tidak melihat adanya
pilihan ekonomi lain yang bisa mereka kerjakan.
4. Perempuan yang mendapat informasi sepenuhnya mengenai pekerjaan yang akan mereka lakukan,
tidak keberatan untuk mengerjakannya. Pada kelompok yang ke empat ini tidak ada kondisi
mengenai pekerjaan yang tidak diketahui sehingga tidak termasuk dalam perdagangan perempuan.21
I
C. KETENTUAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM HUKUM NASIONAL
Di Indonesia praktik perdagangan perempuan sebagaimana juga terjadi di negara-negara Asia Tenggara
biasanya identik dengan kekerasan dan pekerjaan-pekerjaan yang diketahui paling banyak dijadikan sebagai
tujuan perdagangan perempuan dan anak adalah : buruh migran, pekerja Seks, perbudakan berkedok pernikahan
dalam bentuk pengantin pesanan, pekerja anak, pekerja di jermal, pengemis, pembantu rumah tangga, adopsi,
pernikahan dengan laki-laki asing untuk tujuan eksploitasi, pornognafi, pengedar obat terlarang dan dijadi korban
pedofilia22
Latar belakang terjadinya perdagangan perempuan dan anak merupakan multi faktor, dan dapat dikatakan
bukanlah masalah yang sederhana, sehingga diperlukan kerjasama yang sinergi dari berbagai instansi aparat
penegak hukum. Pemberdayaan sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang dapat dilaksanakan
untuk pencegahan terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Beberapa faktor latar belakang terjadinya
perdagangan tersebut dapat disebutkan, yaitu karena :
1. Kemiskinan.
2. Pendidikan rendah.
3. Pengangguran.
4. Migrasi keluar desa dan keluar negeri.
5. Ketahanan keluarga yang rapuh.
6. Faktor ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan (gender) dan budaya patriarkhi.
7. Konsumerisme.
8. Meningkatnya permintaan. ,
9. Dorongan penyiaran dan tulisan yang porno di media massa.
10. Penegakan hukum terhadap pelaku masih belum tegas dan konsisten.
11. Kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang trafficking belum memadai.
Di dalam Hukum Nasional Indonesia upaya-upaya hukum untuk menangani kejahatan perdagangan
perempuan dan anak dilakukan dengan Pasal 296, 297, 298, KUHP, namun pasal-pasal ini cenderung tidak
mampu menjerat para pelaku perdagangan perempuan, karena cakupannya terlalu sempit dan rancu. Peraturan
yang lain adalah dalam Pasal 65 UU No 39/1999 tentang HAM.
Selain itu beberapa Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia antara lain :
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi ILO Nomor 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk Bagi Anak, Undang-Undang No 7 Tahun 1984 Tentang Ratifkasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Anak dan lain-lainnya. Selain membuat instrumen hukum Pemerintah Indonesia telah membuat
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Peremnpuan dan Anak yang ditetapkan melalui Keppres
21Laporan Pelapor Khusus PBB “tentang kekerasan Terhadap Perempuan, Perdagangan Perempuan, Migrasi, Perempnan dan Kekerasan
terhadap Perempuan” Penyebab dan Akibatnya, 29 Pebruari 2000, hal. 25
22 Kementrian Pemberdayaan Perempuan, leaflet Trafficking (Perdagangan) Perempuan Dan Anak, dliperbanyak oleh Biro Kesra Setda Jateng,
2004.
8
Nomor 88 Tahun 2002. RAN ini dimaksudkan sebagai landasan dan pedoman bagi pemerintah Indonesia dan
masyarakat dalam melaksanakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak.
Data tentang Perdagangan perempuan dan anak di Indonesia pada tahun 2002-2004 tercatat ada 562
kasus yang dilaporkan oleh 9 lembaga mencakup: 5 LSM (nasional dan internasional) dan Organisasi Perempuan,
Kepolisian (Reskrim dan RPK), Kejaksaan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. 23 Indonesia dikategorikan sebagai
negara yang tidak serius berupaya menanggulangi perdagangan perempuan bahkan sudah mendapat cap sebagai
salah satu negara terburuk dalam menangani perdagangan perempuan dan anak. Berbagai strategi telah
dilakukan oleh organisasi pemerintah maupun non-pemerintah dalam menghadapi perdagangan perempuan dan
anak. Strategi tersebut dibutuhkan baik bersifat preventif maupun represif, yaitu penguatan pada kebijakan migrasi
serta hukum pidana untuk perlindungan hukum bagi perempuan dan anak sebagai korban, serta diupayakan
penanganan sebagai korban tanpa mengesampingkan hak-haknya sebagai perempuan dan anak.
Instrumen hukum nasional yang dimiliki untuk menangani kompleksitas persoalan trafficking sangat lemah
jika hanya menggunakan Pasal 297 KUHP dan akan berdampak pada penanganan korban. Merupakan kewajiban
negara untuk memberikan perlindungan dan memastikan dilakukannya langkah dan tindakan yang tepat dalam
melakukan pencegahan, pembuatan peraturan perundang-undangan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan
pada korban.
Di dalam konvensi ILO 182 dinyatakan bahwa penjualan dan perdagangan anak sesungguhnya adalah
"Suatu bentuk perbudakan atau praktek serupa perbudakan yang pada hakekatnya sama saja dengan perbudakan
itu sendiri ". Karena itu penjualan dan perda;gangan anak termasuk salah satu bentuk terburuk Perburuhan Anak.
Konvensi ILO No. 182 ini menekankan pentingnya pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk
terburuk Perburuhan Anak. Oleh karena itu negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi ini berkewajiban
untuk menuangkannya daiam bentuk peraturan perundang-undangan dan melaksanakannya melalui programprogram
aksi yang ditujukan untuk memberantas dan mencegah bentuk-bentuk terburuk Perburuhan Anak.
Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sudah
seharusnya setiap manusia baik dewasa maupun anak-anak wajib dilindungi dari upaya-upaya
mempekerjakannya pada pekerjaan-pekerjaan yang merendahkan harkat dan martabat manusia atau
pekerjaarr yang tidak manusiawi.
Secara umum maupun khuhsus pngaturan tentang perlindungan hukum terhadap perdagangan
perempuan dan anak sudah diatur di dalam hukum positif di Indonesia, antara lain :
1. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
3. Undang-Undang Nomor 23/2004 t:entang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
4. Rancangan KUHP
Ad. 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Di dalam Pasal 297 KUHP ditentukan "Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup
umur dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) tahun". Ada beberapa hat yang perlu
dicermati terhadap ketentuan pasal tersebut :
a. Pasal ini tidak mencantumkan ancaman denda.
b. Pasal ini tidak menyebutkan dengan jelas apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia.
c. Pasal ini tidak melarang perdagangan perempuan muda, anak-anak perempuan, maupun lakilaki
dewasa.
d. Pasal ini bersifat umum, sehingga tidak mampu mewadahi kasus yang sifatnya lebih spesifik.
Ad. 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA).
Di dalam Pasal 83 disebutkan ”Setiap orang yang memperdagangkan, mrrenjual, atau menculik anak untuk
diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (limabelas) tahun dan paling
23Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004: Rumah, Pekarangan dan Kebun. Catatan tahunan Tentang kekerasan Terhadap Perempuan
2005, Komnas Perempuan 8 Maret 2005, hal 6
9
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
R.p. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari ketentuan pasal tersebut :
a. Pasal ini tidak merinci apa yang dimaksud dengan perdagangan anak dan untuk tujuan apa anak itu
dijual.
b. Pasal ini hanya mampu mengakomodasi kejahatan terhadap anak saja, akan tetapi tidak dapat
dikenakan terhadap perempuan dewasa.
c. Pasal ini cukup melindungi anak dari ancarnan penjualan anak dengan memberikan sanksi hukuman
yang lebih berat dibandingkan dengan KUHP. Jika dalam KUHP ancamannya adalah 0-6 tahun
penjara, sedangkan dalam UUPA ancamannya 3-15 tahun penjara dan denda 60-300 juta rupiah.
Ad. 3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Apabila dicermati terdapat beberapa ketentuan yaitu :
a. Perbuatan perdagangan perempuan dan anak dapat dikaitkan dengan kekerasan psikis apabila hal
itu dilakukan dalam lingkup rumah tangga, yaitu: perbuatan itu mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak , rasa tidak berdaya, dan /atau
penderitaan psikis berat pada seseorang. (Pasal 7).
b. Selain itu juga dapat dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat 2 yaitu "pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang; lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu". Dalam hal ini, pelaku melakukannya dengan
tujuan untuk mendapatkan keuntungan komersial atas perbuatan yang dilakukan terhadap orang
yang berada di dalam lingkup rumah tangga.
c. Pengaturan dalam UU ini tidak dapat dikenakan kepada perdagangan perempuan dan anak yang
terjadi di luar rumah tangga.
Ad. 4. Rancangan KUHP.
Di dalam Rancangan KUHP telah mengakomodir pasal-pasal yang terkait dengan perdagangan
orang secara eksplisit meliputi :
a. Tindak Pidana Perdagangan Orang
b. Memasukkan orang ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan.
c. Mengeluarkan orang dari wiiayah Indonesia untuk diperdagangkan
d. Perdagangan orang yang mengakibatkan luka berat atau penyakit.
e. Perdagangan arang oleh kelompok yang terorganisasi.
f. Persetubuhan dan pencabulan terhadap orang yang diperdagangkan.
g. Pemasulan dokumen atau identitas untuk memudahkan perdagangan orang.
h. Penyalahgunaan kekuasaan untuk perdagangan orang.
i. Menyembunyikan orang yang melakukan perdagangan orang.
j. Perdagangan orang di kapal.
Apabila dicermati mengenai hal-hal di dalam Rancangan KUHP :
a. Pasal-pasal tersebut lebih bersifat preventif.
b. Pengaturan tentang korban perempuan dan anak lebih bersifat generalL, sehingga dianggap belum
sesuai dengan kebutuhan yang memerlukaan aturan yang lebih spesifik.
Tidak adanya hukum yang khusus yang mengatur tentang masalah perdagangan perempuan dan anak,
mengakibatkan meningkatnya jumlah kasus perdagangan dan lemahnya penegakan hukumnya. Aturan yang
diberlakukan sementara ini adalah berdasarkan KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2002, maupun UU Nomor 23 Tahun
2004. Namun sebenarnya aturan tersebut tidak efektif dalam menjerat pelaku perdagangan orang yang pada
umumnya sifatnya terorganisasi (dalam jaringan sindikat), sehingga dapat dikatakan upaya pemberantasan
terhadap kejahatan perdagangan perempuan dan anak tersebut tidak terungkap.
Masalah perdagangan perempuan dan anak atau Traficking di Indonesia hingga tahun 2005 ini bisa
dikatakan masih belum ada titik terang. Keadaan ini disebabkan karena beberapa hal yaitu :
1. karena tidak ada sanksi yang tegas bagi pelaku.
2. karena pemerintah kurang serius menanganinya.
3. karena penyebaran informasi tentang bahaya trafficking kurang tersosialisasi hingga ke pelosok-pelosok
pedesaan.
10
Maraknya Trafficking di Indonesia dikarenakan Indonesia itu tidak hanya sebagai negara sumber,
transit, maupun penerima, akan tetapi juga menjadi negara yang termasuk bagian dari sindikat Internasional.
Kadang-kadang meningkatnya perdagangan perempuan dan anak ini dipengaruhi juga oleh faktor lain yaitu
adanya "permintaan dan penawaran" dari pihak yang ingin menikmati, menggunakan, maupun mendapatkan
keuntungan dari korban, di sampimg itu tidak menutup kemungkinan kondisi dan situasi dari korban itu sendiri yang
menyebabkan timbulnya kejahatan perdagangan perempuan dan anak.
D. Ketentuan Perdagangan Anak dalam Hukum Internasional
Sejarah Perdagangan Manusia pertama kali tercatat dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 20, ”Dan mereka
menjual Yusuf dengan harga murah, yaitu beberapa dirham saja karena mereka tidak tertarik kepadanya”.24
Perkembangan historis yang diungkapkan oleh Chew dan Wijers memperlihatkan dinamika dan berbagai
upaya yang dilakukan baik di tingkat nasional, regional maupun internasional untuk memberantas perdagangan
perempuan yang merupakan perbudakan modern serta merendahkan hak asasi perempuan.25 Masyarakat
Internasional telah berulang kali mencoba untuk menghapuskan praktek perdagangan melalui instrumen
intenasional sejak tahun 1904.26 Usaha penghapusan tersebut ditandai dengan diselenggarakannya konferensi
internasional perdagangan manusia pertama kali, yakni konferensi mengenai perdagangan wanita atau ”trafficking
in women” diadakan di Paris tahun 1895. Sembilan tahun kemudian pada tahun 1904, di kota yang sama, 16
negara kembali mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan internasional pertama menentang
Perdagangan Budak Berkulit Putih yang dikenal dengan istilah Intenational Agreement the Supresssion of White
Slave Traffic. Kesepakatan tersebut menentang dipindahkannya perempuan ke luar negeri dengan tujuan
pelanggaran kesusilaan.
Konvensi awal ini membatasi diri pada penentangan bentuk pemaksaan dalam perdagangan perempuan,
tetapi sama sekali tidak mempermasalahkan tiadanya bukti pemaksaan atau penyalahgunaan kekuasaan dalam
perekrutannya.27 Kesepakatan tersebut dalam prakteknya tidak berjalan efektif karena gerakan anti perdagangan
manusia pada saat itu lebih didorong karena adanya ancaman terhadap kemurnian populasi perempuan kulit putih.
Pada sisi lain, kesepakatan tersebut juga lebih banyak memfokuskan perhatian kepada perlindungan korban
daripada menghukum pelaku kejahatannya28, sehingga tepat enam tahun kemudian, yakni pada tahun 1910
disetujui Internasional Convention for the Supression of White Slave Traffic (Konvensi Internasional tanggal 4 Mei
1910 untuk Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih, diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 3
Desember 1948)29. Konvensi tersebut kemudian mewajibkan negara untuk menghukum siapa pun, yang membujuk
orang lain, baik dengan cara menyelundupkan atau dengan menggunakan kekerasan, paksaan, penyalahgunaan
kekuasaan, atau dengan cara lain dalam memaksa, mengupah, menculik atau membujuk perempuan dewasa
untuk tujuan pelanggaran kesusilaan.30
Dalam perkembangan selanjutnya dengan dibantu oleh Liga Bangsa-bangsa, ditandatanganilah
Convention on the Supression of Traffic in Women and Children pada tahun 1921 (Konvensi Internasional tanggal
4 Mei 1910 untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, diamandemen dengan Protokol PBB tanggal
20 Oktober 1947) dan International Convention of the Supression of Traffic in Women of Full Age di tahun 1933
(Konvensi Internasional tanggal 11 Oktober 1933 untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan Dewasa,
diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 20 Oktober 1947).
Keempat konvensi tersebut kemudian dikonsolidasikan oleh PBB pada tahun 1949 ke dalam Convention
for the Supression of the Traffic in Person and of the Exploitation of the Prostitution of Others. Konvensi ini
mewajibkan negara peserta untuk menghukum mereka yang menjerumuskan orang-orang, bahkan korban jika
menyetujuinya, demi memuaskan manusia lainnya. Dalam konvensi ini juga disebutkan bahwa negara peserta juga
terikat untuk menghukum mereka yang mengeksploitasi pelacur. Konvensi ini juga mencakup mereka yang secara
24 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Syaamil Cipta Media, 2004, hal. 237.
25 Sulistyowatirianto-Lim Sing Meij-Firliana Purwanti -Luki Widiastuti, Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 12-13.
26 ELSAM, Position Paper Advokasi RUU KUHAP Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP, 2005, hal. 4.
27 Sulistyowatirianto-Lim Sing Meij-Firliana Purwanti -Luki Widiastuti, Op.Cit, hal. 13.
28 ELSAM, Op.Cit, hal. 4.
29 Ibid, hal. 4.
30 Sulistyowatirianto-Lim Sing Meij-Firliana Purwanti -Luki Widiastuti, Op.Cit, hal. 13.
11
finansial terlibat dalam pengelolaan atau pengoperasian rumah pelacur atau siapapun yang menyewakan atau
menyewa tempat-tempat untuk melacurkan orang-orang lain.31
Pada tahun 1926, lahirlah sebuah instrumen internasional yang secara tegas melarang praktek
perbudakan. Konvensi ini kemudian ditandatangani di Jenewa pada tanggal 25 September 1926. Konvensi ini
mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah guna pengahapusan sesegera mungkin perangkatperangkat
kelembagaan serta praktek-praktek yang meliputi perbudakan berdasarkan hutang, perhambaan,
pertunangan anak dan praktek-praktek perkawinan dimana seorang perempuan diperlakukan sebagai harta milik,
baik oleh keluarganya sendiri maupun keluarga suaminya, atau bisa diwariskan setelah kematian suaminya.32
Selanjutnya pada tanggal 15 November 2000, Majelis Umum PBB, berdasarkan Resolusi Majelis Umum
PBB 55/25 mengadopsi Konvensi tentang United Nations Convention against Transnational Organized Crime atau
Konvensi mengenai Kejahatan Terorganisir (Organized Crime Convention) beserta ketiga protokolnya, yakni:
1. Protocol against the Smuggling of Migrants by Land Air and Sea, supplementing the United Nations
Convention against Transnational Organized Crime;
2. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children,
supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime;
3. Protocol against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, Their Parts and Components and
Ammunition, supplementing United Nations Convention against Transnational Organized Crime.
Sampai saat ini, pengertian trafficking yang umumnya paling banyak dipakai adalah pengertian yang
diambil dari Pasal 3 Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and
Children atau Trafficking Protocol.
Berkenaan dengan anak-anak, yakni mereka yang belum mencapai usia delapan belas (18) tahun,
pemerintah negara-negara harus merujuk dan meleburkannya ke dalam peraturan domestik mereka dengan
beberapa peraturan dari PBB mengenai Konvensi Hak Anak dalam bagian pembahasan mengenai perdagangan
anak, anak yang dilacurkan dan dieksploitasi untuk tujuan pornografi serta Konvensi ILO NO. C182 tentang
Pencegahan dan Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk dari Anak. Adapun Instrumen internasional
yang menjadi acuan dasar bagi penghapusan bentuk-bentuk perdagangan perempuan dan anak antara lain:
1. Konvensi Hak-hak Anak 1989 (Psl 1,3,9,10,11,19,20,32,33,34-36,39)
2. (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women Cedaw 1979 (Psl 6)
3. Konvensi 28 Den Haag tentang Aspek-aspek Perdata Penculikan Anak 1980 (Psl 1-13)
4. Konvensi PBB Melawan Kejahatan Transnasional Terorganisasi (United Nation Convention Against
Trasnational Organizational Organised Crime) (The Palermo Convention) (2000); Psl 3 (4), (13),(14),
(15)
5. Resolusi Majelis Umum PBB 2000 No.UNGA 55/67 tentang Perdagangan Perempuan dan Anak.
6. Protokol tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia,
Khususnya Perempuan dan Anak, yang merupakan suplemen (Annex) dari UNCATOC Psl 3,7,8
7. Optional Protocol tahun 2000 bagi Konvensi Hak-Hak Anak Tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan
Pornognafi Anak. (Psl 2,3)
Pasal 2
Yang dimaksud dalam Protokol ini:
a. Penjualan anak adalah segala tindakan seorang atau transaksi dimana seorang anak ditransfer oleh
segala orang atau kelompok orang keorang lain untuk mendapatkan imbalan atau pertimbangan
lainnya.
b. Prostitusi anak adalah penggunaan anak dalam kegiatan-kegiatan seksual untuk mendapatkan
imbalan atau bentuk-bentuk pertimbangan lain.
c. Pornografi anak adalah penyajian dengan cara apapun, dari seorang anak yang terlibat dalam kegiatan
seksual eksplisit yang nyata atau disimulasikan atau penyajian bagian seksual seorang anak terutama
untuk tujuan-tujuan seksual.
Protokol KHA ini juga menyatakan bahwa tiap Negara harus menjamin bahwa standard minimum
perbuatan dan aktivitas berikut ini dianggap sebagai tindak kriminal atau melanggar hukum pidana,
31 ELSAM, Op.Cit, hal. 4.
32Ibid,hal. 5.
12
apakah kejahatan tersebut dilakukan di dalam negeri atau antar Negara atau berbasis individu atau
terorganisir sebagaimana yang termuat dalam Pasal 3 Protokol KHA ini.
Pasal 3
Masing-masing Negara peserta harus menjamin bahwa, setidak-tidaknya, tindakan-tindakan dan
kegiatan-kegiatan berikut sepenuhnya tercakup di bawah hukum pidana, apakah pelanggaran seperti itu
dilakukan di dalam negeri atau secara trasnasional atau berbasis individual maupun kelompok;
a. Dalam konteks penjualan anak sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 2;
(i) Menawarkan, mengirimkan, atau menerima, dengan cara apapun, seorang anak dengan maksud
untuk:
(a) Eksploitasi seksual anak tersebut;
(b) Transfer organ anak tersebut untuk mendapatkan keuntungan;
(c) Melibatkan anak tersebut dalam kerja paksa;
(ii) Secara tidak semestinya meminta ijin, sebagai perantara, untuk adopsi anak yang merupakan
pelanggaran atas instrumen hukum internasional yang berlaku mengenai adopsi.
b. Menawarkan, mendapatkan, atau membeli atau menyediakan anak untuk pelacuran anak,
sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 2;
c. Memproduksi, mendistribusikan, menyebarkan, mengimpor, pengekspor, menawarkan, menjual
atau memiliki pornografi anak dengan maksud di atas sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 2.
8. Konvensi ILO tentang Larangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terbutuk buat Anak No. C182/2000.
9. Resolusi Majelis Umum PBB tahun 2002 tentang perdagangan Perempuan dan Anak.
10. Prinsip-prinsi Umum HAM dan Perdagangan Manusia 2002
11. Pedoman Untuk Upaya Khusus Bagi Korban Perdagangan Manusia yang direkomendasikan PBB 2002 .
6.Lampiran II-Protokol untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Perdagangan Manusia, Khususnya
Wanita dan Anak-Anak, sebagai suplemen untuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Kejahatan
Transnasional Terorganisasi (Annex II-Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,
Especially Women and Children, supplementing the United National Convention Againts Transnasional
Organised Crime (The Palermo Trafficking Protocol) (2000), pada Pasal 3 sub paragraf (a) memuat definisi
Trafficking secara komprehensif:
(a) Perdagangan Manusia” adalah perekrutan, pengangkutan, transpor, penyembunyian, dan penerimaan
orang dengan ancaman, atau menggunakan kekerasan atau bentuk pemaksaan lainnya, penculikan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi rentan atau memberikan
atau menerima pembayaran, atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memegang
kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Kemudian pada sub paragraf (c) disebutkan:
(c) Perekrutan, transportasi, transfer, penyembunyian atau penerimaan seorang anak untuk maksud
eksploitasi harus dianggap memperdagangkan manusia bahkan bila hal ini tidak melibatkan semua cara
yang disebutkan dalam sub paragraf (a) Pasal ini.
Berdasarkan Pasal 3 tersebut di atas, United Nation Trafficking Protocol menegaskan bahwa
sepanjang berkaitan dengan anak-anak sebagai korban, maka tidak satu pun dari cara-cara pemaksaan atau
penipuan perlu digunakan untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak kejahatan perdagangan manusia.
Berarti bahwa setiap rekruitmen, transportasi, dan seterusnya seperti yang disebut dalam subparagraph (a)
dari anak-anak dengan tujuan eksploitasi dengan ataupun tanpa persetujuan dari anak yang bersangkutan
dan juga dengan tanpa digunakannya paksaan ataupun penipuan, harus dapat dikategorikan sebagai tindak
kejahatan perdagangan manusia. Dengan kata lain, hukum sama sekali tidak mengizinkan anak baik dalam
situasi apapun untuk bekerja atau dipekerjakan untuk tujuan eksploitasi.33
33 ELSAM, Op.cit, hal. 14.
13
7. Konvensi ILO tentang Larangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak No. C182 (ILO Convention Concerning the Prohibition and Immediate Action for the elimination of
the Worst Forms of Child Labour No. C 182) (2000), pada Pasal 3 menyatakan sebagai berikut:
Pasal 3
Istilah “bentuk terburuk pekerjaan untuk anak” didefinisikan sebagai berikut:
a) segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan
perdagangan anak, kerja ijon dan perhambaan, wajib kerja atau kerja paksa, termasuk pengerahan
anak secara wajib atau paksa untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
b) pemanfaatan, penyediaan, atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau
untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk dimanfaatkan dalam kegiatan terlarang
khususnya untuk pembuatan dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian
internasional yang relevan;
d) pekerjaan, yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan, dapat membehayakan kesehatan,
keamanan atau moral anak-anak.
Berbagai jenis pekerjaan pada dasarnya membahayakan, seperti penambangan, konstruksi,
penangkapan ikan laut dalam dan bekerja dengan bahan radioaktif, dan kimia berbahaya. Namun pekerjaan
lainnya juga dapat membahayakan anak, misalnya pekerjaan-pekerjaan di sektor pertanian dengan resiko
terpapar pestisida, mengangkut beban berat dan memulung di tempat pembuangan sampah. Selain bahaya
yang mereka timbulkan pada anak-anak, beberapa bentuk pekerjaan anak melibatkan “pelanggaran hak asasi
manusia” yang telanjang, dan karenanya sungguh tidak dapat diberi toleransi. Konvensi ILO 182 ini melarang
adanya perbudakan, penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja paksa dan kerja ijon (termasuk pengerahan
anak-anak dalam konflik bersenjata), serta penyediaan, atau pemanfaatan anak-anak untuk pelacuran,
pornografi, obat-obatan terlarang, dan pekerjaan yang karena hakekatnya atau lingkungan tempat pekerjaan
itu dilaksanakan, mungkin dapat daja membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.34
8. Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman yang direkomendasikan mengenai HAM dan Perdagangan Manusia
oleh Komite Tinggi Urusan HAM PBB (Recommended Principles and Guidelines on Human Rights and Human
Trafficking) (2003);
9. Pedoman-pedoman untuk Upaya-upaya Khusus bagi Hak-hak Anak Korban Perdagangan oleh UNICEF
(Guidelines for Protection of the Rights of Children Victims of Trafficking) (2003)35.
Indonesia sebagai negara anggota PBB telah ikut menandatangani beberapa Instrumen Hukum
Internasional di atas, namun sampai saat ini belum semuanya diratifikasi. Walaupun demikian bukan berarti
Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan Hukum Internasioual tersebut. Indonesia tetap
berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan Hukum Internasional yang ada, karena Konvensi dan Protokol
tersebut memuat tentang Prinsip-prinsip Umum Hukum Internasional yang telah diterima oleh masyarakat
Internasional.
D. Penegakan Hukum Dalam Rangka Perlindungan HAM
Perlindungan HAM perempuan dan anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari HAM. Menghormati,
menegakkan dan mengimplementasikan hak asasi anak sejalan dengan penegakan dan implementasi HAM itu
sendiri. Namun kenyataannya hak asasi anak masih berada pada posisi yang terpinggirkan dan dianggap sebagai
masalah sekunder dalam penegakan HAM.
Akibat kurangnya perlindungan terhadap anak, maka mereka sering di eksploitasi untuk mendatangkan
keuntungan. Meskipun perbudakan telah dinyatakan sebagai tindakan melanggar hukum, namun banyak keadaan
membuat kehidupan anak yang bekerja mendekati perbudakan. Hal ini mencakup eksploitasi buruh anak,
penjualan anak, pelacuran yang dipaksa, serta penjualan narkotika dengan perantaraan anak-anak.
Secara yuridis, Indonesia telah mempunyai seperangkat peraturan perundang-undangan untuk menjamin
hak-hak anak untuk mengurangi dampak bekerja dari anak seperti UUD 1945, ratifikasi Konvensi ILO No. 138
menjadi UU No. 20/1999 tentang Usia Minimum untuk dperbolehkan Bekerja, ratifikasi Konvensi ILO 182 menjadi
34 UNICEF, Op.Cit, hal. 27.
35 Terre des Homes, Op.cit hal. 45
14
UU No. 1/2000 tentang Pelanggaran dan Tindakan segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak, UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Walaupun ada seperangkat peraturan perundag-undangan yang melindungi pekerja anak, tetapi
kecenderungan kualitas permasalahan pekerjaan anak dari tahun ke tahun bertambah komplek menuju bentukbentuk
pekerjaan terburuk eksploitasi dan membahayakan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, moral,
sosial dan intelektual anak. Jenis pekerjaan terburuk semakin marak ditemukan, seperti anak yang dilacurkan,
diperdagangkan, bekerja di pertambangan, anak jermal dan lain-lain.
Dari segi hak anak, yang sangat memprihatinkan adalah anak-anak yang bekerja umumnya berada dalam
posisi rentan untuk diperlakukan salah, termasuk eksploitasi oleh orang dewasa atau suatu sistem yang
memperoleh keuntungan dari tenaga anak. Berbagai studi dan pengamatan menunjukkan bahwa pekerja anak
umumnya sangat rentan terhadap eksploitasi ekonomi. Di sektor industri formal, mereka umumnya berada dalam
kondisi jam kerja yang panjang, berupah rendah, menghadapi risiko kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan
atau menjadi sasaran pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa.36 Kasus-kasus eksploitasi hak-hak
anak yang terabaikan selama melakukan pekerjaan mereka, justru sering kali terjadi dan dilakukan oleh orang
dekat si anak. Misalnya pekerjaan anak dalam dunia hiburan maupun sebagai penyanyi.
Masalah lain, adalah mengenai media hiburan dan iklan untuk anak-anak. Komnas Perlindungan anak
mencatat dari seluruh televisi di Indonesia baik swasta maupun pemerintah telah mengeksploitasi anak sebagai
obyek komersial, baik dalam bentukk iklan, hiburan yang disajikan anak tidak lagi memiliki kebebasan untuk
bermain, berkreasi secara sehat, anak-anak dipasung oleh film atau cerita yang tidak bermutu, banyak cerita
perkelahian atau perang.
Data lainnya menunjukkan bahwa, eksploitasi anak tidak hanya di sektor industri dan pekerjaan. Sejak lahir
hak dan kesejahteraan anak sudah dieksploitasi. Untuk memperoleh hak paling awal, yakni hak untuk diakui
identitasnya melalui akta kelahiran, ternyata tidak semua anak mendapatkannya. Hal ini terjadi karena selain
biayanya terlalu mahal, birokrasi pengurusannya juga berbeli-belit. Menurut data Komnas Perlindungan Anak,
hampir 75 % anak-anak diseluruh Indonesia belum memiliki akte kelahiran. Berdasarkan catatan UNICEF,
Indonesia menempati urutan ke 109 dari 119 negara di dunia dalam hal pengembangan SDM, cukup ironis jika
dibandingkan dengan Vietnam dan Srilangka, ternyata Indonesia cukup tertinggal 37
Berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan hak anak, pemerintah telah melakukan beberapa kegiatan baik
dalam bentuk merumuskan maupun legislasi peratuan perundang-undangan. Dalam legislasi undang-undang
pemerintan memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan jaminan hukum bagi perlindungan anak, namun
secara empiris Implementasi undang-undang belum menampakkan hasil yang memuaskan.
Kegiatan empiris yang dilakukan antara lain:secara nasional telah dibentuk Komisi Nasional Perlindungan
anak, Komisi ini dibentuk pada tahun 1998 yang mempunyai tugas untuk memberikan pertimbangan kepada
pemerintah, khususnya Presiden dalam masalah kesehatan, kesejahteraan anak. Komisi juga dapat melakukan
pemantauan terhadap pelaksanaan program pengembangan anak dan penegakan hukum berkaitan dengan
masalah perlindungan anak.
Dalam produk hukum telah menghasilakn undang-undang Pengadilan Anak, yang memberikan jaminan
perlindungan hak anak yang terlibat perkara pidana. Kemudian diadopsinya konvensi PBB tentang Perlindungan
Anak dalam beberapa undang-undang seperti UU No.23/2003 tentang Perlindungan Anak.
Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada
tidaknya hukum. Bila penegakan lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum tidak ada dan seolah-olah
mereka berada dalam hutan rimba, sebaliknya, bila penegakan hukum kuat dan dilakukan secara konsisten,
barulah masyarakat mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk.
Dalam konteks demikian, masyarakat masih dalam taraf masyarakat yang takut pada (aparat penegak)
hukum dan belum dapat dikatagorikan sebagai masyarakat yang taat pada hukum. Masyarakat yang takut pada
hukum, mereka tidak akan tunduk pada hukum bila penegak hukum lemah, inkonsisten dan tidak dapat dipercaya.
Oleh karenanya penegak hukum yang tegas dan berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat sangat
diperlukan. Patuh hukum bukanlah tataran tertinggi, melainkan adalah setiap individu dalam masyarakat yang
bersikap di bawah alam sadar sesuai dengan tujuan.
Secara tradisional institusi hukum yang melakukan penegakan hukum adalah kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga pemasyarakatan. Problem dalam penegakan hukum perlu dipotret dan dipetakan
36 Bagong Suyanto, Sri Sanituti Hariadi, dan Addriono, Pekerja Anak di Sektor Berbahaya, Surabaya, 2001, hal. 9-10.
37 Mokh. Najih, “Perlindungan Hak Asasi Anak Dalam Hukum Indonesia ”Jurnal Legality, Vol. 11 No. 2 September 2003-Februari 2004, hal.284
15
agar para pengambil keputusan dapat mengupayakan jalan keluar. Adapun problem yang dihadapi dalam
penegakan hukum adalah;38 problem pada pembuatan peraturan perundang-undangan, masayarakat pencari
kemenangan bukan keadailan, uang mewarnai penegakan hukum, penegakan hukum sebagai komoditas politik,
penegakan hukum yang diskriminatif, lemahnya kualitas dan integritas SDM, advokat tahu hukum versus advokat
tahu koneksi, keterbatasan anggara, penegakan hukum yang dipicu oleh media massa.
Untuk penegakan hukum kita juga perlu mengkaji konsep Friedman39 yang menjelaskan 3 komponen
penting dari sebuah sistem hukum yaitu; 1. substsansi, 2. struktur dan 3. kultur yang berjalannya harus sinergis
dan sistemik untuk mewujudkan penanggulangan trafficking perempuan dan anak.
Dalam perspektif substansi; aturan yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan trafficking
masih sangat konvensional dan belum dianggap sebagai tindak pidana khusus, sebagian besar masih
berdasarkan KUHP yang secara substansial belum dapat mengakomodir terhadap upaya pencegahan dan
pemberantasan trafficking secara maksimal (Pasal 295 KUHP yang memudahkan perbuatan cabul, Pasal 297
KUHP melarang perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur, Pasal 301 KUHP melarang
perdagangan anak yang belum cukup umur untuk melakukan pengemisan atau pekerjaan yang berbahaya.
Meskipun telah dikeluarkan Keppres No. 88/2003 tentang RAN Penghapusan Perdagangan Perempuan dan
Anak realitasnya belum ada perubahan yang signifikan. Tampaknya pemerintah cukup berpuas diri dengan
Keppres tersebut tanpa merasa perlu menerbitkan dan mengimplementasikan kebijakan peraturan perundangundangan
yang diperlukan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan trafficking perempuan dan anak.
Dalam agenda pemerintahan, persoalan trafficking tidak menjadi concern utama. Dalam beberapa
pertemuan regional yang terkait (APEC dan ASEAN), pemerintah Indonesia belum mengupayakan mendesak
agenda trafficking dalam forum regional tersebut.
Realita ini masih diperparah lagi dengan belum meratanya pemahaman dan upaya pencegahan secara
sistemik dari para aparatur penegak hukum yang merupakan komponen dari struktur hukum. Hal ini dapat dilihat
dari praktek apartur penegak hukum dan pemerintah daerah di kantong trafficking masih ada yang melakukan,
pembiaran, dan mem-backing.
Aspek lain yang penting adalah kultur hukum yang kondusif untuk bekerjanya substansi dan struktur hukum.
Kultur hukum di sini berkaitan dengan sikap sosial dan nilai-nilai sosial yang telah terpatri yang dipergunakan
sebagai acuan normatof dalam perilaku. Permasalahan yang krusial di sini, kalau kultur ternyata tidak bersinergi
dengan substansi dan struktur yang harus ditegakkan, misal; (1). kultur aparatur penegak hukum yang terkooptasi
dengan konstruksi sosial yang mempersepsikan trafficking sebagai kejahatan biasa, sehingga memposisikan
penanganannya dilakukan secara konvensional, (2) kultur patriarkhi yang mengakibatkan bahwa laki-laki yang
paling berhak dan berkuasa mengatur perempuan dan anak, akibatnya dalam relasi antara perempuan dengan
laki-laki mengalami perlakuan yang diskriminatif., dalam kasus trafficking perempuan (korban) dianggap sebagai
suatu kewajaran (komoditi). Karena menurut nilai sosial, suami/laki-laki adalah kepala rumah tangga dan orang
yang paling berkuasa. Kultur yang demikian, jelas bertentangan dengan Konvensi Penaghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan yang diratifikasi dalam UU No. 7/1984; (3), kultur yang berhubungan dengan
sikap sosial, misalnya main hakim sendiri, ini mencerminkan sikap deviasi perilaku yang sangat membahayakan
bagi proses penegakan hukum. Dalam negara hukum, hanya aparat penegak hukum yang berhak menindak
pelaku kejahatan melalui prosedur dan hukum acara yang berlaku.
Untuk penegakan hukum terhadap trafficking yang mendesak dilakukan adalah:
(1) mereview dan membuat aturan hukum (pembenahan aspek substansial) yang lebih akomodatif;
(2) meningkatkan profesionalisme, perlunya jalinan yang padu dan sistemik antar aparatur penegak
hukum, Pemerintah Daerah dan seluruh steakholder yang concern dan terkait dalam upaya
penanggulangan maraknya trafficking, jika perlu dibentuk suatu badan atau komisi yang secara
khusus menangani trafficking (pembenahan aspek struktural);
(3) peningkatan pemahaman tentang kejahatan trafficking, sekaligus untuk mengikis konstruksi sosial
yang mempersepsikan traffricking sebagai bentuk kejahatan biasa/komvensional dan maraknya kultur
patriarkhi yang mengakibatkan semakin sulitnya pencegahan dan pemberantasan trafficking.
Untuk upaya strategis yang tidak kalah pentingnya dalam rangka pembenahan dari aspek substansi, struktur
dan kultur adalah peran Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Hukum melalui bentuk sajan mata kuliah yang
38 Hikmahanto Yuhana, Loc.Cit. hal. 12
39 Lawrence M. Friedman, Law and Society; Introduction, New Jersey, Preintice Hall, 1977. hal.14.
16
spesifik mengakomodasi permasalahan trafficking seperti; HAM, Hukum Perlindungan Anak. Dalam mata kuliah
tersebut diharapkan substansinya tidak hanya bersifat aplikatif tetapi juga menampilkan perkembangan teori-teori
yang dapat dipergunakan untuk merancangbangun model penanggulangan maraknya trafficking secara lebih
terpadu dan sistemik.
Di samping itu kiranya perlu juga ditumbuh kembangkan lahirnya LSM yang memiliki akses atau jejaring
dengan Fakultas Hukum, seperti LBH Anak, LBH APIK yang kiprahnya secara signifikan dalam upaya trafficking
dengan melibatkan para steakholder dan perguruan tinggi.
E. Penutup
Masalah trafficking perempuan dan anak dengan alasan dan tujuan apapun tetap merupakan suatu bentuk
pelanggaran terhadap HAM. Indonesia sebagai anggota PBB bertanggungjawab secara`moral dan hukum untuk
menjamin keberadaan harkat dan martabat yang dimiliki oleh seorang manusia.
Permasalahan trafficking belum dapat tersosialisasi secara menyeluruh, khususnya ke pelosok-pelosok
pedesaan yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan dan anak, di mana salah satu alasan penyebab
terjadinya perdagangan perempuan dan anak karena faktor ekonomi (kemiskinan). Pada umumnya hal ini tidak
disadari oleh mereka mengenai dampak dari terjadinya perdagangan orang, khususnya terhadap anak di mana
keadaan tersebut dapat menyebabkan anak menjadi trauma dan akan membekas pada diri anak. Padahal anak
seharusnya untuk tumbuh dan kembang tidak boleh ada tekanan maupun paksaan.
Masih lemahnya perangkat hukum yang memadai yang dapat menjerat pada pelaku trafficking perempuan
dan anak maupun dapat memberikan perlindungan kepada korban yang umumnya terjadi pada perempuan
dewasa dan anak perempuan. Sehingga hal ini akan menyebabkan lebih meningkatnya tidak pidana trafficking,
lebih-lebih bila dicermati bahwa pelaku trafficking perempuan dan anak itu terorganisasi dengan rapi baik dalam
jaringan nasional maupun internasional.
Dibutuhkannya Undang-Undang yang khusus mengatur trafficking perempuan dan anak sebagai salah satu
upaya untuk memberantasnya. Pengaturan khusus ini tujuannya untuk memberikan perlindungan hukum terutama
kepada anak, mengingat anak itu belum dapat memperkirakan dampak yang terjadi pada dirinya sebagai akibat
trafficking tersebut. Hal ini berbeda yang dialami perempuan dewasa setidak-tidaknya yang bersangkutan sudah
dapat memperkirakan hal-hal apa yang akan dialaminya. Sehingga tidak cukup kalau landasan hukumnya hanya
berdasarkan pada Undang-Undang tentang Perlindungan Anak saja, karena yang dialaminya itu dapat mernbuat
trauma yang berkepanjangan. Selain itu sanksi hukuman terhadap pelaku harus diberikan hukuman yang lebih
berat apabila korbannya adalah anak.
Kurangnya keseriusan dari pihak pemerintah dalam menangani kasus trafficking maka dapat dipastikan
akan meningkatnya secara tajam trafficking perempuan dan anak baik dalam tingkat nasional maupun
internasional.
Daftar Pustaka
Amir Syamsuddin, “Antara Pengacara Nekat dan Sukses”, Kompas.
Bagong Suyanto, Sri Sanituti Hariadi, dan Addriono, Pekerja Anak di Sektor Berbahaya, Surabaya, 2001.
Hikmahanto Yuwana ” Penegakan Hukum Dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen Bagii
Solusi di Indonesia”, Pidado Ilmiah, disampaikan pada Dies Natalis Ke-56 UI, 4 Pebruari 2006 , Depok
Lawrence M. Friedman, Law and Society; Introduction, New Jersey, Preintice Hall, 1977.
Lukman Sutrisno "Sikap Keliru Masyarakat Dorong Mantan Napi Berbuat", Republika, 28 Agustus, 1994.
HAM Dalam Praktek, Panduan Melawan Perdagangan Perempuan Dan Anak, Lembaga Advokasi Buruh Migran
Indonesia Solidaritas Perempuan, 2000.
17
Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap perempuan 2004: Rumah,. Pekarangan, Dan kebun. Catatan
Tahunan Tentang kekerasan Terhadap Perempuan 2005
-------, Lembar Informasi L'disi : 9/IXl,Iunl2003.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan, leaflet Kesetaraan dan keadilan, Trafficking (Perdagangan) Perempuan
dan Anak.Diperbanyak oleh Biro kesra Setda Jateng.
Laporan Pelapor Khusus PBB Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, F'erdagangan Perempuan, Migrasi
Pere(trafficking) (trafficking)mpuan dan kekerasan Terhadap perempuan :Penyebab dan Akibatnya, 2000.
Laica Marzuki, “Membangun Sistem Penegakan Hukum Yang Akuntabel, Jurnal Keadilan, Vol.4.No.2,2005/2006.
Mokh. Najih, “Perlindungan Hak Asasi Anak Dalam Hukum Indonesia ”Jurnal Legality, Vol. 11 No. 2 September
2003-Februari 2004.
Rachmad Syafaat, Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur, Lappera
Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002.
Riza Nizarli, ”Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak, ”Makalah disampaikan pada Seminar tentang HAM Anak
kerjasama Depkeh HAM Prov.NAD dengan Unicef, 21 Juli 2004.
Ruth Rosenberg, Editor, Perdagangan Perempuan Dan Anak Di Indonesia,Catholic Migration Commision (ICMC),
American Center
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang.
Sudarto, ”Uraian Pokok-pokok Permasalahan dalam Seminar Krimonologi ke IV”, FH-UNDIP, Semarang, l980.
Sri Nurhartanto, G. Perdagangan Perempuan Di Indonesia (Tinjauan Aspek Yuridis), Lokakarya Persiapan
Kompetisi Peradilan Semu (Moot Court) Wilayah Jawa Tengah dan Yogjakarta 2005, 1-2 Pebruari 2005.
18
PENEGAKAN HUKUM DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HAM
PEREMPUAN DAN ANAK YANG MENJADI
KORBAN TRAFFICKING
Oleh:
Riza Nizarli, S.H.,M.H.
Disampaikan Pada Workshop,
Penguatan Materi tentang Konsep HAM Perempuan dan Gender
dalam Mata Kuliah di Fakultas Hukum dan Syar’iah ,
kerjasama
Fakultas Hukum Unsyiah dengan The Asia Foundation,
Hotel Polonia, Medan,
15-17 Juli 2006
1
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar