Blog ini bertujuan agar mempermuda Mahasiswa untuk memperoleh informasi dalam studinya.
Translate
Senin, 11 Maret 2013
DEFINISI KORUPSI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM DAN E-ANNOUNCEMENT UNTUK TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG LEBIH TERBUKA, TRANSPARAN DAN AKUNTABEL
KPK
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
REPUBLIK INDONESIA
DEFINISI KORUPSI MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM DAN E-ANNOUNCEMENT UNTUK TATA
KELOLA PEMERINTAHAN YANG LEBIH
TERBUKA, TRANSPARAN DAN AKUNTABEL
Disampaikan oleh:
DR. M. Syamsa Ardisasmita, DEA
Deputi Bidang Informasi dan Data KPK
SEMINAR NASIONAL
UPAYA PERBAIKAN SISTEM PENYELENGGARAAN
PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
JAKARTA, 23 AGUSTUS 2006
1
DEFINISI KORUPSI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM DAN
E-ANNOUNCEMENT UNTUK TATA KELOLA PEMERINTAHAN
YANG LEBIH TERBUKA, TRANSPARAN DAN AKUNTABEL
M. Syamsa Ardisasmita
Deputi Bidang Informasi dan Data
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. Ir. H. Juanda No. 36, Jakarta 10110
Tel. (021) 3505122, Fax. (021) 3532622, HP. 08159707138
E-mail: syamsa.ardisasmita@kpk.go.id
ABSTRAK
Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan bagian yang paling banyak dijangkiti
korupsi, kolusi dan nepotisme. Indikasi kebocoran dapat dilihat dari banyaknya proyek
pemerintah yang tidak tepat waktu, tidak tepat sasaran, tidak tepat kualitas dan tidak
efisien. Akibatnya banyaknya alat yang dibeli tidak bisa dipakai, atau ambruknya
bangunan gedung dan pendeknya umur konstruksi jalan raya karena banyak proyek
pemerintah yang masa pakainya hanya mencapai 30-40 persen dari seharusnya
disebabkan tidak sesuai atau lebih rendah dengan ketentuan dalam spesifikasi teknis.
Maraknya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dapat dilihat dari 33 kasus
korupsi yang ditangani KPK pada tahun 2005, 24 kasus atau 77% merupakan kasus
tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Memahami definisi dan modus operandi korupsi dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah adalah penting untuk dapat mengantisipasi dan membasminya. Menurut
perspektif hukum, definisi tindak pidana korupsi secara gamblang telah dijelaskan
dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK dengan tugas
Monitor berwenang melakukan pengkajian dan langkah pencegahan korupsi dalam
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Salah satu penyebab korupsi adalah lelang
yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak diumumkan secara luas ke
masyarakat. Bermacam-macam cara digunakan untuk membatasi informasi lelang,
diantaranya memasang iklan palsu di koran atau tender arisan dimana peserta lelang
sudah diatur terlebih dahulu pemenangnya baik oleh panitia pengadaan maupun di
tingkat asosiasi. Penyimpangan inilah yang merangsang terjadinya mark-up dan
korupsi. Karena itu KPK mendorong penerapan e-Announcement sebagai tahap awal
dari e-Procurement yaitu mengumumkan rencana pengadaan dan pelaksanaan lelang
di website pengadaan nasional yang dapat diakses secara online melalui internet.
Sistem tersebut diharapkan dapat meningkatkan keterbukaan, transparansi dan
akuntabilitas di instansi pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, BUMN, BUMD,
BHMN dan Badan Layanan Umum.
I. LATAR BELAKANG
Transparency International, sebuah organisasi non-pemerintah yang banyak berusaha
untuk mendorong pemberantasan korupsi, menempatkan Indonesia sebagai salah satu
negara paling korup di dunia dengan nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2005
2
adalah 2,2 (nilai nol sangat korup dan nilai 10 sangat bersih) yaitu jatuh pada urutan
ke-137 dari 159 negara yang disurvei. IPK merupakan hasil survei tahunan yang
mencerminkan persepsi masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas
pengusaha) terhadap tingkat korupsi di suatu negara. Tingkat korupsi tersebut
terutama dikaitkan dengan urusan ijin-ijin usaha, pajak, pengadaan barang dan jasa
pemerintah, beacukai, pungutan liar dan proses pembayaran termin-termin proyek.
Sebagai penegasan bahwa Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia
adalah hasil survei yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultancy Ltd
(PERC) pada tahun 2005 terhadap 900 ekspatriat di Asia sebagai responden, dimana
Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se-Asia.
Tabel 1 – Posisi negara berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi
Posisi
Negara Nama Negara IPK Posisi
Negara Nama Negara IPK
1 Islandia 9,7 137 Indonesia 2,2
2 Findlandia 9,6
3 Selandia Baru 9,6 152 Pantai Gading 1,9
4 Denmark 9,5 153 Guenia 1,9
5 Singapura 9,4 154 Nigeria 1,9
6 Swedia 9,2 155 Haiti 1,8
7 Swiss 9,1 156 Burma 1,8
8 Norwegia 8,9 157 Turkmenistan 1,8
9 Australia 8,8 158 Bangladesh 1,7
10 Austria 8,7 159 Chad 1,7
Pengadaan barang dan jasa Pemerintah merupakan bagian yang paling banyak
dijangkiti korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyakit ini sangat merugikan keuangan
negara, sekaligus dapat berakibat menurunnya kualitas pelayanan publik dan
berkurangnya jumlah pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah kepada
masyarakat. Tidak heran kalau begawan ekonomi, Prof. Sumitro Djojohadikusumo,
mengidentifikasi adanya kebocoran 30 – 50 % pada dana pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Demikian juga hasil kajian Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang
tertuang dalam ”Country Procurement Assesment Report (CPAR)” tahun 2001
menyebutkan kebocoran dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah sebesar 10
hingga 50 persen. Merupakan jumlah yang besar karena alokasi anggaran pengadaan
barang dan jasa pemerintah pada tahun 2001 adalah senilai Rp 67,229 triliun. Indikasi
kebocoran dapat dilihat dari banyaknya proyek pemerintah yang tidak tepat waktu,
tidak tepat sasaran, tidak tepat kualitas, dan tidak efisien. Akibatnya banyaknya alat
3
yang dibeli tidak bisa dipakai, ambruknya bangunan gedung dan pendeknya umur
konstruksi jalan raya karena banyak proyek pemerintah yang masa pakainya hanya
mencapai 30-40 persen dari seharusnya akibat tidak sesuai atau lebih rendah dengan
ketentuan dalam spesifikasi teknis.
President Bank Dunia, Paul Wolkofitz, dalam kunjungan kerja ke KPK pada tanggal 12
April 2006 menyatakan bahwa banyak bantuan Bank Dunia untuk proyek infrastruktur
menjadi bangunan konstruksi biaya tinggi dengan kebocoran besar dan penyimpangan
prosedur, norma dan standar teknik sehingga menghasilkan bangunan konstruksi
berkualitas rendah. Akibatnya pembangunan jalan raya bantuan Bank Dunia yang
katanya untuk masa pakai 10 tahun, ternyata baru enam bulan telah terjadi kerusakan
berat. Karena itu Bank Dunia mendorong dibentuknya Independent Monitoring Unit
untuk mengawasi proyek-proyek infrastruktur dimana para auditor akan diberi
pengetahuan forensic auditing selain kemampuan financial auditing, agar bisa
mengungkap penyimpangan dari segi kualitas dan spesifikasi teknik. Kegagalan
Indonesia membangun infrastruktur yang kuat dan pembangunan konstruksi yang
bermartabat disebabkan melemahnya profesionalitas, terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha yang tidak sehat yang berlatar belakang Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme yang berakibat rendahnya daya saing global.
Kami di KPK memiliki angka-angka yang cukup signifikan berkaitan dengan tindak
pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Dari 33 kasus atau perkara yang
ditangani KPK tahun 2005, 24 kasus atau 77% merupakan kasus tindak pidana korupsi
yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, baik di tingkat
Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah. Bentuk tindak korupsi yang
ditemukan dalam patologi pengadaan barang dan jasa, yaitu meliputi mark-up harga,
perbuatan curang, pemberian suap, penggelapan, pengadaan fiktif, pemberian komisi,
pemerasan, penyalahgunaan wewenang, bisnis orang dalam, nepotisme dan
pemalsuan. Modus operandi korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa
terutama adalah mark-up dimana supplier bermain mematok harga tertinggi walaupun
barangnya bukan lagi barang baru. Misal perkara pertama yang ditangani KPK yaitu
mark-up pada pengadaan dua unit Helikopter jenis MI-2 buatan Rostov-Rusia oleh
Pemda NAD dengan terdakwa Sdr. Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. (mantan Gubernur
Nanggroe Aceh Darussalam). Pengadilan Tipikor dan diperkuat oleh MA telah
mengvonis Ir. H. Abdullah Puteh 10 tahun penjara, uang pengganti 4,5 miliar rupiah
4
dan denda 0,5 miliar rupiah. Sampai dugaan tindak pidana korupsi proyek fiktif dalam
pelaksanaan Proyek Indonesian Investment Year 2003 dan 2004 di Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) dengan tersangka THEODORUS F. TOEMION (Mantan
Kepala BKPM Tahun 2001 - 2005).
II. DEFINISI KORUPSI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13
buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasalpasal
tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa
dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana
korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap-menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi
Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas, masih ada
tindak pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang
pada UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Jenis tindak pidana yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah:
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
memberikan keterangan palsu
6. Saksi yang membuka identitas pelapor
5
Pasal-pasal berikut dibawah ini dapat dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dalam
pengadaan barang dan jasa pemerintah.
2.1. Melawan Hukum untuk Memperkaya Diri
Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Rumusan korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada
masuknya kata ”dapat” sebelum unsur ”merugikan keuangan/perekonomian negara”
pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk paling
banyak digunakan untuk memidana koruptor.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini,
harus memenuhi unsur-unsur:
1. Setiap orang atau korporasi;
2. Melawan hukum;
3. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2.2. Menyalahgunakan Kewenangan
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
6
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Rumusan korupsi pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada
masuknya kata ”dapat” sebelum unsur ”merugikan keuangan/perekonomian negara”
pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk paling
banyak digunakan untuk memidana koruptor.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini,
harus memenuhi unsur-unsur:
1. Setiap orang;
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana;
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2.3. Menyuap Pegawai Negeri
Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Rumusan korupsi pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 209
ayat (1) angka 1 dan 2 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3
Tahun 1971, dan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang
kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
7
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 5 ayat
(1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:
1. Setiap orang;
2. Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu;
3. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
4. Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya,
yang bertentangan dengan kewajibannya.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 5 ayat
(1) huruf b UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:
5. Setiap orang;
6. Memberi sesuatu;
7. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
8. Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
2.4. Pemborong Berbuat Curang
Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)::
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang,
atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a;.
c. ...
d. ...
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1) huruf a dan b UU No. 20 Tahun 2001 berasal
dari Pasal 387 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c
UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 7 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana
korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
8
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 7 ayat
(1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:
1. Pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan;
2. Melakukan perbuatan curang;
3. Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan;
4. Yang dapat membahayakan keamanan orang atau keamanan barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 7 ayat
(1) huruf b UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:
1. Pengawas bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan;
2. Membiarkan dilakukannya perbuatan curang pada waktu membuat bangunan
atau menyerahkan bahan bangunan;
3. Dilakukan dengan sengaja;
4. Sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf a.
2.5. Pegawai Negeri Menerima Hadiah/Janji Berhubungan dengan Jabatannya
Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Rumusan korupsi pada Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 418 KUHP,
yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 11 UU
No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang
pada UU No. 20 Tahun 2001
2.6. Pegawai Negeri Memeras dan Turut Serta Dalam Pengadaan Diurusnya
Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
9
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):
a. ...
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau
menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri;
f. ...
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan,
yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan
untuk mengurus atau mengawasinya.
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf e dan i UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari
Pasal 423 dan 435 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun
1971, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang
kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001
2.7. Gratifikasi dan Tidak Lapor KPK
Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut::
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi;;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda
10
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12 C UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi
dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) diatur dalam Undangundang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan tindak
pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001. Untuk menyimpulkan
apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20
Tahun 2001, harus memenuhi unsaur-unsur:
1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2. Menerima gratifikasi (pemberian dalam arti kata luas);
3. Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya;
4. Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka
waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.
III. PERSEKONGKOLAN DAN KORUPSI DALAM TENDER
Temuan yang diperoleh KPPU bahwa persekongkolan dalam tender sudah terjadi
semenjak perencanaan pengadaan yaitu tahap awal dalam kegiatan pengadaan
barang dan jasa pemerintah. Perencanaan pengadaan mempersiapkan dan
11
mencantumkan secara rinci mengenai target, lingkup kerja, SDM, waktu, mutu, biaya
dan manfaat yang akan menjadi acuan utama dalam pelaksanaan pengadaan barang
dan jasa pemerintah dalam bentuk paket pekerjaan yang dibiayai dari dana
APBN/APBD maupun Bantuan Luar Negeri. Persekongkolan bisa terjadi antara pelaku
usaha dengan sesama pelaku usaha (penyedia barang dan jasa pesaing) yaitu dengan
menciptakan persaingan semu diantara peserta tender. Ini lebih dikenal dengan tender
arisan dimana pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu. Persekongkolan juga
dapat terjadi antara satu atau beberapa pelaku usaha dengan panitia tender atau
panitia lelang misalnya rencana pengadaan yang diarahkan untuk pelaku usaha
tertentu dengan menentukan persyaratan kualifikasi dan spesifikasi teknis yang
mengarah pada sutu merk sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut tender.
Akibatnya kompetisi untuk memperoleh penawaran harga yang paling menguntungkan
tidak terjadi. Pemaketan pengadaan yang seharusnya dilaksanakan dengan
mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektifitas, namun pada prakteknya banyak
yang direkayasa untuk kepentingan KKN.
Panitia pengadaan bekerja secara tertutup dan tidak memberikan perlakuan yang
sama diantara para peserta tender. Tender dilakukan hanya untuk memenuhi
persyaratan formal sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa. Hal ini
terjadi karena calon pemenang biasanya sudah ditunjuk terlebih dahulu pada saat
tender berlangsung yaitu karena adanya unsur suap kepada panitia atau pejabat yang
mempunyai pengaruh. Disamping itu penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atau
owner's estimate (OE) biasanya sudah direkayasa untuk mempunyai margin tertentu
yang bisa disisihkan untuk dibagi-bagi (rente ekonomi atau laba abnormal).
Bermacam-macam cara digunakan untuk membatasi informasi tender, diantaranya
memasang iklan palsu di Koran. Padahal hal inilah yang merangsang terjadinya markup
dan korupsi. Pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa haruslah terbuka,
transparan dan tidak diskriminatif, karena menyembunyikan proyek melanggar
Keppres No 80/2003 yang mensyaratkan adanya pengumuman kepada masyarakat
luas baik di awal pengadaan maupun hasilnya. Prosesnya harus transparan dan
transparansi disini mencakup kecukupan informasi mengenai syarat-syarat pengadaan,
aturan-aturan dan kriteria pemenang. Keterbukaan mencakup pengumuman rencana
pengadaan, pengumuman lelang, peserta lelang dan pengumuman pemenang lelang
pada papan pengumuman instansi atau melalui website pengadaan nasional.
12
Kesimpulannya, tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat
dan korupsi adalah:
1. Tender yang bersifat tertutup dan tidak transparan, yang tidak diumumkan secara
luas dan bersifat diskriminatif sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang
berminat dan memenuhi kualifikasi tidak dapat mengikutinya;
2. Jangka waktu pengumuman tender dibuat singkat sehingga hanya pelaku usaha
tertentu yang sudah dipersiapkanlah yang punya peluang besar;
3. Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah
kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.
IV. PERPRES NO. 8 TAHUN 2006
Pada tanggal 20 Maret 2006 telah ditetapkan Perpres No. 8 Tahun 2006 tentang
Perubahan Keempat atas Kepres No. 80 Tahun 2003. Pertimbangan keluarnya
Perpres tersebut adalah:
1. Upaya meningkatkan transparansi dan kompetisi dalam pengadaan barang/jasa
serta mewujudkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan negara.
2. Mengatur kembali batas waktu kewajiban syarat sertifikasi bagi Pejabat Pembuat
Komitmen (Pengguna barang/jasa) dan Panitia/Pejabat Pengadaan sampai dengan
tanggal 31 Desember 2007.
Dalam Perpres No. 80 Tahun 2003 dikenal istilah surat kabar nasional, surat kabar
provinsi dan website pengadaan nasional yang didefinisikan dengan:
• Surat kabar nasional adalah surat kabar yang beroplah besar dan memiliki
peredaran luas secara nasional, yang tercantum dalam daftar surat kabar nasional
yang ditetapkan oleh Menteri Kominfo.
• Surat kabar provinsi adalah surat kabar yang beroplah besar dan memiliki
peredaran luas di daerah provinsi, yang tercantum dalam daftar surat kabar yang
ditetapkan oleh Gubenur.
• Website pengadaan nasional adalah website yang dikoordinasikan oleh Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas untuk mengumumkan
rencana pengadaan barang/jasa di Departemen/Lembaga/Komisi/BI/Pemerintah
Daerah/BHMN/ BUMN/BUMD dan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah
13
Pada pasal 17 disebutkan bahwa dalam pemilihan penyedia barang/jasa melalui
metode pelelangan umum maka harus diumumkan secara luas sekurang-kurangnya di
satu surat kabar nasional dan/atau satu surat kabar provinsi serta harus diumumkan
minimal melalui papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bila
memungkinkan melalui internet. Untuk pengadaan bernilai sampai satu miliar rupiah
diumumkan sekurang-kurangnya di surat kabar provinsi di lokasi kegiatan
bersangkutan atau di satu surat kabar nasional jika penyedia barang/jasa yang mampu
melaksanakan kegiatan tersebut yang berdomisili di provinsi setempat kurang dari tiga.
Sedangkan untuk pengadaan bernilai diatas satu miliar rupiah harus diumumkan
sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional dan satu surat kabar provinsi di lokasi
kegiatan bersangkutan.
Demikian juga pemilihan jasa konsultasi yang dilakukan melalui seleksi umum menurut
Pasal 22 daftar pendek pesertanya dipilih melalui proses prakualifikasi yang
diumumkan secara luas secara luas sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional
dan/atau satu surat kabar provinsi dan diumumkan sekurang-kurangnya di papan
pengumuman resmi untuk penerangan umum dan diupayakan diumumkan di website
pengadaan nasional. Menurut Pasal 25A, untuk pengadaan jasa konsultasi dengan
metode seleksi umum/seleksi terbatas dengan nilai diatas dua ratus juta rupiah wajib
diumumkan sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional dan satu surat kabar
provinsi di lokasi kegiatan bersangkutan. Sedangkan jika bernilai sampai dengan dua
ratus juta rupiah, wajib diumumkan sekurang-kurangnya di satu surat kabar provinsi di
lokasi kegiatan bersangkutan atau sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional
jika kegiatan dimaksud tidak dapat dipenuhi oleh sekurang-kurangnya lima penyedia
jasa konsultasi di kabupaten/kota/provinsi yang bersangkutan.
IV. E-ANNOUNCEMENT SEBAGAI TAHAP AWAL E-PROCUREMENT
Pemerintah harus meningkatkan efisiensi pengadaan barang dan jasa mengingat
tingginya tingkat korupsi pada bidang ini. Sampai kini sudah diterbitkan tiga Instruksi
Presiden yaitu Inpres No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan e-Government, Inpres No. 5 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Perekonomian Menjelang dan Sesudah IMF, dan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menugaskan Departemen Keuangan,
14
BAPPENAS dan Departemen Kominfo untuk menyiapkan infrastruktur, membangun
sistem aplikasi, uji-coba dan sosialisasi e-Procurement dibawak koordinasi Menko
Ekonomi dan Keuangan. Departemen Kominfo telah membangun dan mengoperasikan
SePP (Sistem e-Procurement Pemerintah) yang dapat dipakai oleh semua instansi
pemerintah tanpa dipungut biaya sejak 16 Desember 2005. Departemen PU sudah
melakukan uji coba Semi e-Procurement pada tahun 2001 dan sejak tahun 2004 telah
mengumumkan paket pengadaan barang dan jasa secara elektronik di situs web
Departemen PU. Tetapi peminatnya masih sedikit mungkin karena infrastuktur belum
mendukung (melalui Warnet). Demikian juga Pemkot Surabaya sudah menerapkan
Semi e-Procurement sejak tahun 2003 yang disebut SePS (Surabaya e-Procurement
System). Perlu diketahui bahwa aplikasi e-Procurement belum dapat dilaksanakan
secara efektif di Indonesia karena belum adanya Undang-undang tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik dan Perpres tentang e-Procurement.
KPK dengan tugas Monitor berwenang melakukan pengkajian dan langkah-langkah
pencegahan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Belajar dari
pengalaman penerapan Semi e-Procurement oleh Pemkot Surabaya dimana pada
awalnya menghadapi resistensi luar biasa yaitu dari:
1. Para pengusaha, khususnya pengusaha besar yang kalah tender, karena tender
seringkali dimenangkan oleh pengusaha kecil yang bermodal kecerdikan.
2. Dinas-dinas di Pemkot Surabaya, mereka mencari berbagai alasan untuk tidak
mengisi data pengumuman (tidak ada komputer, jalur masuknya sulit, dll).
Kesulitan utama implementasi e-Procurement adalah merubah budaya orang
(merubah pola pikir dan perilaku), sedangkan teknologi tidak sulit. Belajar dari
pengalaman penerapan e-Procurement di Pemkot Surabaya, maka masalah
menghadapi perilaku manusia akan lebih dominan dan sulit, sedangkan masalah
teknologi informasi adalah yang paling mudah diselesaikan asal tersedia anggarannya.
Karena itu KPK mendorong adanya quick-win, dimulai dengan e-Announcement yang
lebih mudah dan sederhana sebagai tahap awal dari e-Procurement yaitu tersedianya
website untuk mengumumkan pengadaan barang dan jasa seluruh instansi pemerintah.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan keterbukaan dan transparansi pada
pengumuman perencanaan pengadaan demikian juga pada pelaksaannya. Seluruh
pelaksanaan tender harus diumumkan secara online di website pengadaan nasional
15
sehingga dapat diakses dengan cepat oleh partisipan dengan tidak dibatasi oleh
tempat dan waktu.
Aplikasi e-Announcement telah dibangun oleh Depkominfo sebagai bagian dari website
pengadaan nasional dengan alamat URL sementara ini adalah:
www.pengadaannasional.depkominfo.go.id yang dalam waktu dekat akan diganti agar
sesuai dengan Perpres No.8 Tahun 2006 yaitu www.pengadaannasionalbappenas.
go.id. Proses Pengumuman yang dimaksud meliputi:
• Pengumuman Daftar Isian Perencanaan Anggaran (DIPA)
• Pengumuman Daftar Rencana Pelaksanaan Anggaran
• Pengumuman Pelaksanaan Anggaraan yang terdiri dari:
o Pengumuman Lelang
o Pengumuman Lulus Teknis (Pekerjaan Jasa Konsultansi)
o Pengumuman Pemenang
Jadi disini Website Pengadaan Nasional tidak hanya untuk mengumumkan rencana
pengadaan tetapi juga untuk mengumumkan pelaksanaan pengadaan. Selanjutnya
Website Pengadaan Nasional juga dipersiapkan untuk Portal e-Procurement dimasa
yang akan datang. Perpres No.80 Tahun 2006 sudah memberikan payung hukum bagi
penerapan e-Announcement tetapi menurut Perpres tersebut dikatakan bahwa
pengumuman pada website pengadaan nasional bersifat “bila memungkinkan” atau
“diupayakan” yang akan menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan dan
pemanfaatan e-Announcement. Walaupun alasan digunakannya dua istilah diatas
karena belum seluruh daerah di Indonesia sudah tercakup layanan jaringan Internet
yang memadai sehingga dikhawatirkan akan menjadi kendala bagi pemerintah daerah
Penerapan e-Announcement tahun 2006 diimulai dengan pilot project yang mengikut
sertakan 20 instansi pionir yang telah memiliki infrastruktur jaringan yaitu:
1. KPK 11. Kota Bekasi
2. Departemen Kominfo 12. Kota Bogor
3. Departemen Keuangan 13. Kota Bandung
4. Bappenas 14. Kabupaten Tangerang
5. Departemen PU 15. Kabupaten Bekasi
6. Departemen ESDM 16. Propinsi D.I. Yogyakarta
7. Departemen Nakertrans 17. Propinsi Banten
16
8. Kementerian Ristek dan LPND dibawahnya 18. Propinsi Jawa Barat
9. Departemen Kesehatan 19. Propinsi DKI Jakarta
10. Kota Depok 20. Propinsi NAD
Sampai awal Agustus 2006, KPK dan Tim e-Announcement Depkominfo telah
melakukan Sosialisasi, Demo dan Pelatihan e-Announcement di 17 instansi yang
meliputi:
1. KPK 10. Kota Depok
2. Departemen Kominfo 11. Kota Banda Aceh
3. Departemen Keuangan 12. Kabupaten Tangerang
4. Departemen Nakertrans 13. Propinsi D.I. Yogyakarta
5. Kementerian Ristek 14. Propinsi Banten
6. BATAN 15. Propinsi Jawa Barat
7. BAPETEN 16. Propinsi DKI Jakarta
8. BPPT 17. Propinsi NAD
9. LIPI
Ada 5 instansi yang belum dilakukan Sosialisasi dan Demo e-Announcement di
instansinya masing-masing tetapi telah mengirim wakilnya untuk Pelatihan ToT pada
tanggal 15-16 Februari 2006 di Departemen Kominfo yaitu : (1) Departemen
Kesehatan ; (2) Departemen ESDM ; (3) Departemen PU ; (4) Kota Bekasi dan (5)
Kota Tangerang. Ternyata tidak mudah untuk meyakinkan instansi Pemerintah untuk
melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik melalui keterbukaan dan
transparansi dalam pengadaan barang dan jasa dengan mengumumkan rencana
pengadaan dan pelaksanaan lelang melalui e-Announcement.
Sebagai contoh yang kurang baik adalah Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
yang telah menerima e-Government Award sebagai juara pertama pada tingkat
Pemerintah Daerah Provinsi tahun 2003 dan 2004, dan juara kedua pada tahun 2005
dari Warta Ekonomi. KPK dan Tim e-Announcement Depkominfo telah melakukan
Sosialisasi dan Demo e-Announcement di Kepatihan Danurajan Pemprov DIY.
Kemudian pelatihan bagi KPA, PPK dan PP di Balai Pelatihan Pemprov DIY dimana
KPA dan PP telah memasukkan data paket pengadaan mereka, tetapi Kepala-kepala
Dinas sebagai KPA belum berani menyetujui untuk mengumumkannya di Website
Pengadaan Nasional sebelum adanya surat perintah dari Gubenur Kepala Daerah DIY.
17
Deputi KPK Bidang Informasi dan Data kemudian mohon waktu untuk bertemu dengan
Gubenur DIY dan diterima pada tanggal 20 April 2006 oleh Wagub DIY yang
menyatakan kesediaannya untuk mengeluarkan surat perintah tersebut. Tetapi setelah
ditunggu-tunggu ternyata tidak juga diumumkan sampai adanya gempa bumi di DIY.
Contoh yang baik adalah Pemkot Depok yang telah mengumumkan rencana
pengadaan sebanyak 208 paket pada Website Pengadaan Nasional berkat komitmen
yang kuat dari Walikota Depok untuk menerapkan e-Announcement. Demikian juga
Pemkot Banda Aceh, walaupun belum memiliki fasilitas akses ke Internet tetapi
mempunyai keinginan untuk turut serta dalam e-Announcement. Beberapa Dinas di
Pemkot Banda Aceh telah memasukkan data e-Announcement melalui Warnet dan
fasilitas akses ke Internet yang ada di Kantor Penghubung KPK di Gedung AAC
Universitas Syiah Kuala. Pelajaran yang dapat dipetik dari kegiatan e-Announcement
ini adalah bahwa ternyata yang penting bukan kemampuan tetapi kemauan untuk
melaksanakan tata pemerintahan yang baik. Laporan dari perkembangan Pilot Project
e-Announcement pada Tabel 2 memperlihatkan sejauh mana kemauan dan itikad baik
instansi Pemerintah untuk melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik melalui
keterbukaan dan transparansi dalam pengadaan barang/jasa mereka.
Tabel 2 – Laporan Perkembangan e-Announcement
Yang Diumumkan
No Instansi Unit Satker Paket Nilai Pagu Lelang Nilai Kontrak
1 Pemkot Depok 21 21 208 80,920,025,630 15
2 BATAN 1 20 58 29,012,546,580 34 1,486,307,000
3 BAPETEN 1 3 30 15,076,326,000 0
4 KPK 1 1 26 106,092,915,000 11 1,834,208,000
5 Depkominfo 6 37 25 40,039,954,600 16 175,000,000
6 BPPT 1 23 19 8,512,555,000 1
7 Depkeu 8 8 17 28,370,155,000 2
8 Menristek 1 6 14 29,310,590,000 10 -
9 Depnakertrans 2 3 2 443,000,000 0
10 Depkes 1 1 2 2,500,000,000 1
11 Deptan 2 2 1 280,000,000 1
12 Pemkot Banda Aceh 3 3 5 3,055,800,000 0 -
13 Pemprov DKI Jakarta 3 3 5 14,004,855,540 4 -
14 Pemprov NAD 4 4 5 7,948,000,000 0
TOTAL 55 135
417 365,566,723,350 95 3,495,515,000
18
Pada Website Pengadaan Nasional (www.pengadaannasional.depkominfo.go.id) telah
muncul 10 instansi Pemerintah Pusat, 2 instansi Pemerintah Provinsi dan 2 instansi
Pemerintah Kota yang mengumumkan rencana pengadaan sebanyak 417 paket
dengan nilai pagu anggaran total sebesar Rp 365.566.723.350,-. Sepuluh instansi
telah memuat pengumuman lelang sebanyak 95 paket dan tiga instansi (BATAN, KPK,
Depkominfo) telah memuat pengumuman pemenang lelang dengan nilai kontrak
sebesar Rp 3.495.515.000,-. Jumlah paket rencana pengadaan yang diumumkan oleh
beberapa instansi pemerintah ternyata masih relatif kecil. Sedangkan paket rencana
pengadaan yang diumumkan oleh Depkes dan Deptan adalah paket-paket yang
dikelola dan dimasukkan ke Website Pengadaan Nasional oleh dinas-dinas terkait di
Pemprov DIY.
Departemen Keuangan dan BAPPENAS yang oleh Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi diinstruksikan secara khusus untuk melakukan
kajian dan uji coba pelaksanaan sistem e-Procurement yang dapat dipergunakan
bersama oleh Instansi Pemerintah, ternyata masih kurang mendukung keberhasilan
pelaksanaan e-Announcement. Sekjen Depkeu memang telah mengumumkan 17
paket pengadaan di lingkungan Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan, tetapi
hanya berasal dari dua Satuan Kerja yaitu 1 paket dari Sekretariat Pengadilan Pajak
dan 16 paket dari Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. Sedangkan BAPPENAS
sampai saat ini masih belum bersedia mengikuti e-Announcement karena menurut
Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik,
BAPPENAS, e-Announcement yang dikembangkan oleh Depkominfo tidak compatible
dengan aplikasi e-Procurement yang dikembangkan oleh Pemkot Surabaya yang
katanya akan digunakan BAPPENAS.
V. KESIMPULAN
Dengan memahami pengertian korupsi menurut perspektif hukum yang dijabarkan
dalam 13 buah Pasal dari UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diharapkan kebiasaan berperilaku koruptif
yang berlangsung dikalangan pegawai negeri, penyelenggara negara dan masyarakat
yang selama ini dianggap sebagai hal yang wajar dan lumrah dapat segera dicegah.
19
Pengumuman rencana pengadaan pada Website Pengadaan Nasional, menurut
Perpres No. 8 Tahun 2006, tidak wajib tetapi bersifat “bila memungkinkan” atau
“diupayakan” sehingga menimbulkan ketidak pastian dalam penerapannya. Karena itu
penerapan e-Announcement dimulai dengan pilot project dengan mengikut sertakan 20
instansi pada tahun 2006 sebagai ukuran keinginan instansi pemerintah untuk
mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) melalui
transparansi dalam pengadaan barang dan jasa mereka.
E-Announcement menurut kesepakatan bersama Tim lintas instansi (KPK, Depkeu,
BAPPENAS, Depkominfo, Menristek, Dep. PU, Pemkot Surabaya) adalah tahap
pertama dari sistem e-Procurement yang dapat meningkatkan keterbukaan,
transparansi dan akuntabilitas pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan
mengumumkannya di Website Pengadaan Nasional. Tetapi dalam pelaksanaannya
belum adanya persamaan persepsi dengan BAPPENAS bahwa e-Announcement yang
dikembangkan oleh Depkominfo adalah bagian dari website pengadaan nasional
sehingga tidak perlu adanya duplikasi pekerjaan.
Kesulitan utama implementasi e-Announcement adalah merubah budaya orang
(merubah pola pikir dan perilaku), sedangkan teknologi tidak sulit. Karena itu
penerapan e-Announcement harus diikuti dengan sosialisasi dan pelatihan bagi Kuasa
Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen dan Panitia/Pejabat Pengadaan di
setiap instansi pemerintah serta penyediaan kemudahan sarana dan prasarana agar
usaha kecil dapat berperan serta secara aktif.
20
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar