Oleh
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[2]
Abstrak: Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the
rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ Yang dibayangkan
sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.
Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum
atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Kata Kunci: .‘rechtsstaat’,‘the rule of law’, Negara Hukum
Pendahuluan
Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam
demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma,
sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai factor penentu
dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi
itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai
kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey,
hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule
of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang
sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.
Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggeris dengan judul “The Laws”[3], jelas tergambar bagaimana
ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani
Kuno.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah
Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius
Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi
Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey
dengan sebutan “The Rule of Law”.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah
‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1.
Perlindungan hak asasi manusia.
2.
Pembagian kekuasaan.
3.
Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4.
Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting
dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”,
yaitu:
1.
Supremacy of Law.
2.
Equality before the law.
3.
Due Process of Law.
Keempat prinsip
‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada
pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di
zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”,
prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas
dan tidak memihak (independence and
impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak
diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri
penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu
adalah:
1.
Negara harus tunduk pada hukum.
2.
Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3.
Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum
formil atau Negara hukum klasik, dan negara hukum materiel atau Negara hukum
modern[4]. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil
dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan
yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula
pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan
antara ‘rule of law’ dalam arti formil
yaitu dalam arti ‘organized public power’,
dan ‘rule of law’ dalam arti materiel
yaitu ‘the rule of just law’.
Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud
secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri
dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula
dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku
dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian
negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum
tentu menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga
dikembangikan istilah ‘the rule of just
law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian
keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang
bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk
menyebut konsepsi tentang Negara hukum di zaman sekarang.
Dari uraian-uraian di atas, menurut pendapat saya,
kita dapat merumuskan kembali adanya dua-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman
sekarang. Kedua-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang
menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai
Negara Hukum (The Rule of Law,
ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang
sebenarnya.
1.
Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya
pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua
masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif
supremasi hukum (supremacy of law),
pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia,
tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative
mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum
dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang
tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang
‘supreme’. Bahkan, dalam republik
yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang
sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan
presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala
pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2.
Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya
persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui
secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip
persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali
tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan
mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat
tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang
sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih
maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus
melalui ‘affirmative actions’ yang
tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat
suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya
terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi
perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum
wanita ataupun anak-anak terlantar.
3.
Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam
setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya (due process of law), yaitu
bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis
tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau
perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau
tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya
seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena
itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para
pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal
secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan
oleh peraturan yang sah.
4.
Pembatasan Kekuasaan:
Adanya
pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan
prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara
horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki
kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan
oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt,
and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus
dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang
bersifat ‘checks and balances’ dalam
kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama
lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke
dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan
tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang
memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5.
Organ-Organ Eksekutif Independen:
Dalam
rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya
pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi
kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti
Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, lembaga Ombudsman, Komisi
Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini
sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi
sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan
hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun
pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut
dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat
disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi
tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi
pro-demokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber
kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu
pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan
kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat
penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.
6.
Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya
peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent
and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak
harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim
tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan
(politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan
kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan
putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan
eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa.
Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga
kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan
tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka,
dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati
nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya
bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan,
melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup
di tengah-tengah masyarakat.
7.
Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun
peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak
memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum
tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka
kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat
administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat
administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut
tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh
keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang
berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan
tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan
hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha
Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha
negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’
tersebut di atas.
8.
Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
Di
samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan
tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim
mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.
Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional
courts) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja
dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini dibweri
fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang yang
merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai
bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan
negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai
negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat
ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern.
9.
Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya
perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum
bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak
asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan
penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang
penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya
menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.
Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara
tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan
itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang
disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia
terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya
tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat
disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10. Bersifat
Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau
kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah
masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh
ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan
penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum
memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang
berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa
kecuali. Dengan demikian, negara hukum (rechtsstaat)
yang dikembangkan bukanlah ‘absolute
rechtsstaat’, melainkan ‘democratische
rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain,
dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya
demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin
penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai
Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat):
Hukum
adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum
itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan
melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy)
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita
nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa
Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi
sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia
tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak
menjadi sekedar ‘rule-driven’,
melainkan tetap ‘mission driven’,
tetapi ‘mission driven’ yang tetap
didasarkan atas aturan.
12. Transparansi dan
Kontrol Sosial:
Adanya
transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan
dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam
mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh
peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka
menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena
sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai
satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari
‘representation in presence’, karena
perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau
aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur
kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan,
semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien
serta menjamin keadilan dan kebenaran.
Dalam sistem
konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan.
Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu
tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa
Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’,
bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi
RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula
dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum
dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001
terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini
kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung 12
ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.
Daftar Pustaka
Plato: The Laws,
Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata pengantar
oleh Trevor J. Saunders.
Utrecht,
Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962
[1]. Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana
HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Indonesia.
[3]
Lihat Plato: The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan
diberi kata pengantar oleh Trevor J. Saunders.
[4] Utrecht,
Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar