Tb Ronny R Nitibaskara
Terungkapnya hubungan telepon
beberapa pejabat tinggi Kejaksaan Agung dengan Artalyta Suryani, tersangka
penyuap jaksa penyidik kasus BLBI, menyentak kita semua.
Peristiwa itu menunjukkan telah
terjadi upaya sistematis, menggunakan hukum, untuk mengesahkan tindak
kejahatan. Tragisnya, pelaku utama justru aparat penegak hukum yang ditugasi
negara melawan kejahatan yang dikerjakan sendiri.
Lebih memilukan lagi, kejadian
ini melibatkan bawahan-atasan dan jabatan sejajar serta membentuk organized
crime. WJ Chambliss (1988) menyebutnya state- organized crime, tindakan yang
menurut hukum sebagai kejahatan oleh pejabat pemerintah dalam tugas jabatannya
selaku wakil negara.
Kejahatan sempurna
Disadari, kasus BLBI mengandung
kompleksitas tinggi dan terkait dengan aneka penyimpangan. Sejak 8 tahun lalu,
masalah ini menjadi perhatian penulis dan dijadikan obyek kajian kriminologi di
bidang korupsi peradilan (judicial corruption).
Sebelumnya, saat menyoroti
master of settlement and acquisition agreement dan terangkai dengan kasus
sekarang, mendorong pada kesimpulan bahwa perjanjian oleh pihak-pihak tertentu
sengaja dirancang untuk merugikan negara.
Dengan kata lain, bukan hal
baru bila dalam kasus BLBI terjadi bancakan di antara sebagian penegak hukum.
Mengingat banyak fakta semacam itu, saya mengajukan pendekatan baru tentang
fungsi hukum bersifat kriminologi, yakni hukum sewaktu-waktu dapat digunakan
sebagai alat kejahatan (law as a tool of crime).
Jika terbukti, teori itu
agaknya mendapat dukungan empiris. Penghentian penyidikan kasus BLBI oleh
Kejaksaan Agung (Kejagung), Februari 2008, merupakan bagian rencana menggunakan
hukum demi kepentingan pribadi dan melawan hukum.
Penggunaan hukum sebagai alat
kejahatan kami namakan kejahatan sempurna (perfect crime). Dikatakan sempurna
karena tindakan itu sengaja dibungkus dengan hukum yang berlaku sehingga
seolah-olah merupakan bagian penegakan hukum atau kebijakan resmi.
Kejahatan semacam ini umumnya
sulit diungkap. Tanpa bukti-bukti spektakuler antara lain seperti rekaman
pembicaraan telepon, kasus semacam ini akan menjadi dark number. Jabatan,
kewenangan (power of authority) dan alibi hukum menjadi benteng guna menutup
upaya penyidikan. Hal ini dapat dilihat pada penghentian penyidikan perkara
BLBI oleh Kejagung.
Kekuasaan diskresi
Ketika Jampidsus Kemas Yahya
Rahman mengumumkan Kejagung menghentikan penyidikan BLBI karena tak ditemukan
pelanggaran hukum, akal sehat masyarakat menolak. Namun, struktur hukum di
negara kita menghendaki masyarakat berpikir realistis. Artinya, kewenangan
penghentian diberikan undang-undang (UU) sehingga tindakan itu secara hukum
sah. Meski masygul, secara yuridis masyarakat tak diberi hak untuk menghambat
lembaga itu menghentikan penyidikan.
Kewenangan bersifat diskresi
(discretional power) itu sengaja diberikan UU kepada penegak hukum agar mereka
dapat menegakkan hukum dengan menggunakan hukum itu sesuai keadaan yang berlaku
dan cita-cita. Namun, di sinilah persoalannya. Karena hakikat penegakan hukum
adalah pengambilan keputusan (Hartjen, 1989), unsur kepribadian penegak hukum
ikut masuk dalam penegakan hukum. Akhirnya, sebagai sistem rasional, hukum
bersentuhan dengan manusia sebagai subyek mempunyai multiaspek yang tidak hanya
bersifat rasional.
Ketika diterapkan dalam kasus
per kasus, secara sosiologi, hukum bersinggungan dengan aneka kepentingan,
termasuk kepentingan penegak hukum. Di sini terjadi pergulatan antara
menegakkan hukum dan menggunakan hukum.
Dalam penegakan hukum, ada
kehendak agar hukum tegak sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan melalui
instrumen hukum bersangkutan dapat diwujudkan. Sementara dalam penggunaan
hukum, cita-cita dalam aturan hukum belum tentu secara sungguh-sungguh hendak
diraih sebab sebagian hukum itu digunakan untuk membenarkan aneka tindakan yang
dilakukan, seperti dalam kasus BLBI ini.
Dalam buku kami, Tegakkan
Hukum, Gunakan Hukum (2006), dinyatakan, logika di balik menggunakan hukum itu
sering menyesatkan. Orang yang tampak sungguh-sungguh berbicara hukum, bahkan
kelihatan amat keras sampai beradu urat leher, kadang-kadang tidak memiliki
niat agar hukum tegak. Sebaliknya, tidak peduli hukum runtuh karena hal itu.
Paradoks penegakan
hukum
Perilaku menegakkan hukum dan
sikap menggunakan hukum dalam praktik sulit dibedakan karena kedua pendekatan
itu saling berimpitan (coincided). Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum
dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang. Sebaliknya, menggunakan hukum tanpa
niat menegakkan hukum dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa
keadaan seperti tanpa hukum.
Dua kutub antara menegakkan
hukum dan menggunakan hukum merupakan paradoks yang harus diseimbangkan penegak
hukum dalam kekuasaan diskresi. Dengan demikian, masalahnya menjadi sensitif. Setiap
saat hukum dapat diterapkan secara diskriminatif. Hartjen mengingatkan, problem
kekuasaan diskresi penegakan hukum adalah tipisnya batas antara diskresi dan
diskriminasi.
Lebih ekstrem lagi bukan hanya
diskriminatif. Menonjolnya sifat teknikalitas hukum modern, sehingga hanya
dikuasai mereka yang berkecimpung di bidang hukum, dapat mendorong mereka
memegang kekuasaan diskresi, memanfaatkan hukum secara leluasa, hingga
menggunakan hukum sebagai alat kejahatan.
Bergabungnya teknikalitas hukum
dan diskresi memudahkan penegak hukum mendapat pembenaran dalam melakukan aneka
tindakan merugikan negara. Di sini terjadi anomali, yaitu kejahatan yang
memiliki alibi ”demi hukum”, sehingga sulit diungkap seperti kasus BLBI.
Untuk membuktikan hubungan
telepon Artalyta Suryani itu ada unsur melawan hukum. Berbagai pendekatan harus
dilakukan, termasuk interpretasi. Maka, Putusan MA Nomor 275/PID/1983 tanggal
15 Desember 1983 dapat dijadikan dasar.
Berdasarkan yurisprudensi itu
dan peraturan perundang-undangan lain, maka tidak ada alasan untuk tidak
menindak semua pihak yang terlibat perkara sambungan telepon Artalyta Suryani.
Hukum adalah alat untuk menegakkan kebenaran, bukan sebagai alat kejahatan.
Tb Ronny R Nitibaskara
Rektor Universitas Budi Luhur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar