Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan Anda,
Restorative justice dan penyelesaian perkara pencurian ringan
Istilah Restorative Justice merupakan terminologi asing yang baru dikenal di Indonesia belakangan ini dengan istilah Keadilan Restoratif. Definisi restorative justice menurut Black’s Law Dictionary, yaitu:
“An alternative delinquency sanction that focuses on repairing the harm done, meeting the victim’s needs, and holding the offender responsible for his or her actions . . . Restorative justice sanctions use a balanced approach, producing the least restrictive disposition while stressing the offender’s accountability and providing relief to the victim. The offender may be ordered to make restitution, to perform community service, or to make amends in some other way that the court orders.”
Black’s Law Dictionary, 8th ed. (St. Paul, MN: West Thomson, 2004) s.v. “restorative justice”
Dari definisi tersebut di atas, maka Keadilan Restoratif akan bertentangan denganasas legalitas dan kepastian hukum (rechtzakerheid). Hal ini karena Keadilan Restoratif tidak berfokus pada hukuman penjara, melainkan pada bagaimana perbaikan/pemulihan keadaan korban pascaterjadinya suatu tindak pidana. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi, melakukan kerja sosial, atau tindakan wajar lainnya yang diperintahkan oleh penegak hukum/pengadilan.
Menjawab pertanyaan Anda, pada intinya Peraturan Mahkamah Agung (“Perma”) No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP (“Perma No. 2 Tahun 2012”), dikeluarkan oleh Mahkamah Agung untuk menyelesaikan polemik mengenai batasan nilai kerugian dalam suatu tindak pidana ringan, yang ditetapkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) pada waktu dulu dan bagaimana penerapannya pada masa kini. Misalnya, dalam tindak pidana pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), penggelapan ringan (Pasal 373 KUHP), penipuan ringan (Pasal 379 KUHP), dan lain-lain, yang semula nilai kerugiannya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah dan penyesuaian maksimum penjatuhan pidana denda, yang dahulu sebesar dua ratus lima puluh rupiah, kini dilipatkangandakan menjadi 1000 (seribu) kali (Vide: Pasal 3 Perma No. 2 Tahun 2012)
Penyesuaian tersebut dilakukan dengan memperhatikan nilai emas pada saat KUHP peninggalan belanda, yang sebelumnya disesuaikan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan nilai emas pada saat ini. Sehingga dengan adanya penyesuaian tersebut, maka nilai barang atau kerugian dalam tindak pidana ringan, yang semula ditetapkan tidak lebih dari dua puluh lima puluh rupiah sekarang ditetapkan menjadi tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah (Pasal 2 ayat [1] Perma No. 2 Tahun 2012).
Mengenai pertanyaan awal Anda yang menanyakan bahwa apakah dengan adanya Perma No. 2 Tahun 2012, tindak pidana pencurian ringan dapat diselesaikan dengan Restorative Justice, maka menurut hemat saya selaku penjawab, Perma No. 2 Tahun 2012 hanya mengatur mengenai penyesuaian batasan nilai kerugian dan ganti rugi tindak pidana ringan, salah satu contohnya adalah pencurian ringan, dan tidak serta-merta menerapkan Restoratif Justice. Lalu, bagaimana jika seorang pelaku pencurian ringan tidak mempunyai harta lagi untuk membayar denda sebagaimana dimaksud Pasal 3 Perma No. 2 Tahun 2012, karena uang hasil pencurian tersebut sudah dihabiskan untuk membeli “sepotong roti”? Tentunya hal ini masih “jauh panggang dari api” dengan Keadilan Restoratif yang sudah diterapkan oleh negara-negara yang lebih maju.
Kedudukan Perma dalam hierarki peraturan perundang-undangan
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”), maka kedudukan suatu Perma dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah hanya termasuk dalam jenis “Peraturan Perundang-Undangan lainnya”, selain dari yang ada dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR,
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pada prinsipnya, kedudukan Perma sendiri sangat bergantung pada perintah dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Jadi, Perma tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (vide: Pasal 8 ayat [2] UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan)
Latar belakang diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2012
Mengenai latar belakang Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 2 Tahun 2012 tersebut, adalah karena sudah kurang relevannya ketentuan nilai kerugian dan denda tindak pidana ringan dalam KUHP peninggalan Belanda dengan situasi dan kondisi masa kini. Selain itu, alasan lainnya yakni banyaknya perkara yang seharusnya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan namun diproses hukum menjadi tindak pidana biasa. Misalnya, pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), yang ancaman pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah) diproses secara hukum oleh penyidik dan dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum dengan menggunakan ketentuanPasal 362 KUHP, yang ancaman pidana penjaranya paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah, dengan alasan kerugiannya sudah melebihi dua puluh lima rupiah.
Sebagai referensi untuk Anda dan pembaca lainnya, maka pakar Hukum Pidana Indonesia, Andi Hamzah dari kunjungannya ke Belanda, berpendapat bahwa ternyata 60% perkara yang ada di tangan jaksa di Belanda diselesaikan melaluiafdoening buiten process atau settlement out of judiciary (penyelesaian perkara di luar pengadilan) atau dengan kata lain dengan menerapkan Restorative Justice. Sedangkan, di Indonesia yang menganut asas legalitas, Lembaga Pemasyarakatan semakin sesak karena banyak perkara-perkara pidana “orang kecil” yang dilimpahkan ke pengadilan. Padahal, penjatuhan pidana penjara belum tentu menimbulkan efek jera dan diduga menjadi pembelajaran yang negatif bagi seorang narapidana, sebagaimana dikatakan adagium ini: “too short for rehabilitation, too long for corruption” (di dalam penjara, terlalu singkat untuk pemulihan dan terlalu lama untuk pembusukan).
Untuk itu, sudah saatnya dilakukan pembaharuan atas hukum pidana dan hukum acaranya, termasuk di dalamnya memasukan ketentuan mengenai Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana yang tidak hanya cukup diatur oleh peraturan setingkat Perma, melainkan harus dengan kekuatan sebuah Undang-Undang.
Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.
Catatan editor:
Pengertian keadilan restoratif dapat merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) yang berbunyi sebagai berikut:
“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”
Dasar hukum:
5. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP
Sumber : ALBERT ARIES & PARTNERS LAW FIRM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar