Pertanyaan:
Dear Hukum Online, mohon saran dan advis mengenai permasalahan kami. Saya bekerja sebagai HR di perusahaan dan sedang menghadapi kasus karyawan mengajukan permohonan PHK dengan perhitungan kompensasi UNFIT untuk bekerja. Atas diagnosa dokter jiwa karyawan tersebut mengalami "Gangguan Kecemasan" dan "Gejala Depresi". Hasil diagnosa tersebut dirangkum oleh dokter umum (rujukan asuransi perusahaan) atas dasar resum pemeriksaan psikiatris. Dalam diagnosa yang kami baca karyawan tersebut disarankan untuk melakukan terapi kurang lebih 6 bulan dan harus menghindari penyebab depresi. Menurut karyawan tersebut pemicu depresi adalah ketidakharmonisan hubungan kerja yang bersangkutan dengan pimpinan di departemennya. Namun, atas konfirmasi pimpinan departemen kepada kami, yang bersangkutan sering melakukan kesalahan kerja atau bekerja tidak sesuai dengan instruksi yang diberikan. Karyawan menyalahkan pimpinan yang keras dan tidak toleran terhadap kesalahannya yang menjadi penyebab depresi. Namun, setahun belakangan karyawan sering sharing kepada kami di HR, kalau ada beberapa permasalahan yang dia hadapi di luar pekerjaan, antara lain: 1. Kegagalan Hubungan Percintaan (karyawan tersebut wanita belum menikah di usia 30 tahun) 2. Dia saat ini menjadi support utama keuangan keluarga. Yang ingin kami tanyakan: 1. Apakah gangguan kesehatan mental tersebut dapat dikategorikan penyakit akibat kerja? 2. Apakah perusahaan harus memberikan kompensasi PHK UNFIT untuk karyawan tersebut (karyawan sudah mengajukan surat permohonan)? Terima kasih atas perhatian dan bantuannya. Salam.
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaannya.
Berdasarkan Pasal 86 dan Pasal 87 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), maka perusahaan wajib menerapkan sistem keselamatan kerja bagi buruh, baik keselamatan fisik atau keselamatan psikis. Seharusnya perusahaan menerapkan sistem kerja yang melindungi para pekerja dari gangguan-gangguan yang bisa mengganggu konsentrasi para pekerja dalam melakukan pekerjaan.
Pasal 86 UUK:
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 87 UUK:
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
Dari kronologis yang disampaikan di atas, depresi pekerja tersebut merupakanketidakharmonisan hubungan kerja pekerja dengan pimpinan di departemennya.Perusahaan tidak bisa memenuhi kehendak dari Pasal 86 UUK. Oleh karena itu,gangguan kerja yang bisa berakibat terhadap kesehatan mental pekerja merupakan penyakit akibat kerja.
Terhadap penyakit akibat hubungan kerja maupun yang bukan diakibatkan hubungan kerja, tidak boleh dilakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”). Hal ini berdasarkan Pasal 153 ayat (1) huruf a dan huruf j UUK yang menyatakan:
“Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
b. ...
c. …
d. …
e. …
g. …
h. …
i. …
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.”
Berdasarkan Pasal 153 ayat (1) huruf a dan huruf j UUK tersebut, maka perusahaan tidak boleh melakukan PHK apabila pekerja sakit baik karena hubungan kerja maupun yang bukan diakibatkan hubungan kerja (kegagalan hubungan cinta dll.). Namun, apabila tetap di-PHK, perusahaan harus memberikan kompensasi PHK UNFIT (sakit) untuk pekerja/karyawan tersebut.
Demikian dan terima kasih.
Catatan editor:
Dalam artikel PHK Kerja Sakit Jiwa, Umar Kasim menulis antara lain sebagai berikut:
“Bagaimana cara mem-PHK dan apa serta berapa hak “pesangon” pekerja yang PHK karena sakit (termasuk sakit jiwa)? Undang-Undang tidak mengatur mekanisme dan hak-hak PHK bagi pekerja yang sakit menahun/berkepanjangan, akan tetapi merujuk pada ketentuan pasal 151 ayat (2) UU No. 13/2003, bahwa setiap pengakhiran hubungan kerja wajib dirundingkan, termasuk merundingkan “pesangon” atau “hak-hak” yang harus diperoleh pekerja yang bersangkutan. Oleh karena itu, saran kami untuk melakukan PHK dimaksud (bila memenuhi kriteria), rundingkanlah dengan yang bersangkutan (atau melalui lembagapengampuan atau curatele untuk sakit jiwa). Bila ada kesepakatan, kemudian dibuat PB (persetujuan bersama) untuk menguatkan aspek hukumnya.”
Dasar hukum:
Sumber : PAHAM INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar