ANALISIS MASALAH TRAFFICKING
“MENCARI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH TRAFFICKING DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI SOSIAL”
Taufiq Winarno
ABSTRAKSI MASALAH
Traffiking ialah salah satu bentuk masalah sosial yang memiliki dampak negatif sangat besar terhadap kondisi psikologi korban trafficking, para korban cenderung asosiatif serta banyak menimbulkan berbagai kesulitan lain yang lebih parah bagi hidupnya, karena acapkali reference-group bagi korban trafficiking adalah sebuah kelompok sosial yang jauh berbeda dengan membership-groupnya yang jelas-jelas berbenturan dengan kerangka norma, pedoman, ataupun sikap sosial yang dimiliki oleh membership-groupnya dengan pegangan atau pedoman hidup yang mereka yakini didalam dirinya sendiri, Sehingga kemudian terjadi benturan besar yang mampu membentuk prasangka sosial yang negative. Dan kemudian dengan kefrustasiannya, masalah trafficking ini menjelma kedalam tindakan-tindakan diskriminatif, dan terlampau agresif .
CONTOH KASUS
Kasus 1
Tiga bersaudara yang bernama Hasanah-2, Dewi-8, Lastri-11th, biasa mengemis di depan Mitra 1, Surabaya. Mereka mengaku mengemis karena disuruh oleh orang tuanya karena jika tidak mereka bakal dimarahi dan dipukul oleh orang tuanya. Mereka berangkat mengemis sepulang sekolah diantar oleh orang tuanya. Hasil mengemis diserahkan pada orang tuanya katanya untuk dibelikan sepeda, baju, dan biaya sekolah.
Ketika Tim mewawancarainya, ternyata diawasi oleh seorang laki-laki dan mengatakan sesuatu kepada mereka yang intinya bahwa kami adalah orang yang berbahaya.[1]
Kasus 2
Sumiati sudah menikah punya 2 anak, umurnya sekitar 25 tahun. Dia pergi keBatam ikut “joker” dengan membayar sejumlah uang. Suaminya tahu persis apa pekerjaan istrinya di Malaysia nanti. Dan ifarnyalah yang menginformasikan pekerjaan itu, bahkan suaminya memaksa istrinya untuk melakukan hal itu. Karena mereka tidak punya pekerkaan lain selain itu. Sedangkan kakak iparnya berhasil mengumpulkan uang dengan mudah dan cepat dari hasil pekerjaan seksualnya.
Proses recuitingnya oleh joker yang ternyata sudah kenal betul dengan kakk perempuannya, diantar ke Batam. Di batam ada joker berikutnya yang sudah siap mengantarnya keMalaysia, sampai di Malaysia lalu diserahkan kepada joker yang ditempat tersebut.
Sumiati pergi ke Malaysia tidak menggunakan dokumen, o;eh karena itulah dia harus transit di Batam dan menggunakan speed-boat untuk mencapai pantai di Malaysia. Kemudian menuju tempat yang dituju dengan jalan kaki.
Di Malaysia Sumiati beserta 2 orang temannya dibawa kepinggir hutan, disuruh melayani para TKI laki-laki yang non dokumen. Biasanya semalam mereka dipaksa untuk melayani sekitar 25-40 orang pelanggan dengan dibayar 10 ringgit perorang. Sumiati tidak tahu berapa yang diterima oleh jokernya, pokoknya perorang dia hanya diberi 10 ringgit. Mereka melakukan itu sampai 6 bulan. Dan dalam waktu 5 bulan dia sudah bias pulang uang yang sangat banyak dan juga mampu membangun rumahnya. Rumah yang tadinya dari bamboo kini dibangun menjadi rumah mewah. Pada kepergian yang keduanya dia sudah punya mobil. Setelah punya mobil, karena merasa tidak enak dengan bisik-bisik tetangga, maka suami juga pergi ke Malaysia[2].
PENDAHULUAN
Beberapa kasus diatas adalah sebagian bukti dari proses perkembangan kasus traficking (perdagangan orang) di Indonesia sungguh kian mengkhawatirkan. Dari tahun ke tahun, kasus ini meningkat tajam. Seakan-akan, kasus trafficking di Indonesia diibaratkan bak gunung es. Artinya, angka yang tersembunyi di bawah permukaan jauh lebih besar ketimbang yang terlihat di permukaan. Data dari International Organization for Migration (IOM) mencatat hingga April 2006 bahwa jumlah kasus perdagangan manusia di Indonesia mencapai 1.022 kasus, dengan rinciannya: 88,6 persen korbannya adalah perempuan, 52 persen dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga, dan 17,1 persen dipaksa melacur (www.bkkbn.go.id). Sepanjang kasus trafficking mencuat di Indonesia sejak 1993, tahun 2000 merupakan tahun yang paling ramai dengan maraknya kasus ini. Modus tindak pidana trafficking sangat beragam, mulai dari dijanjikan pekerjaan, penculikan korban, menolong wanita yang melahirkan, penyelundupan bayi, hingga memperkejakan sebagai PSK komersil. Umumnya para korban baru menyadari bahwa dirinya merupakan korban trafficking setelah tidak mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, alias dieksploitasi di negeri rantau. Pada bulan Meret 2007, Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia berhasil menyelamatkan 19 orang wanita Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia. Pengungkapan kasus tersebut diawali dengan penangkapan polisi setempat terhadap empat wanita yang dituduh bekerja dengan memakai visa turis. Pihak Kepolisian RI kemudian dilibatkan dalam pemeriksaan terhadap empat wanita tersebut. Terungkap fakta bahwa mereka adalah korban penipuan perdagangan manusia dengan modus menawarkan magang kerja di hotel luar negeri.
Mereka menceritakan bahwa setiap calon korban dimintai uang masing-masing sebesar Rp. 3,5 juta dengan alasan untuk membiayai tiket pesawat, pengurusan visa, dan akomodasi selama magang kerja. Namun, kenyataannya mereka justru harus bekerja nonstop selama setahun penuh tanpa libur dan diupah hanya 400 ringgit Malaysia. Dari upah itu, 50 ringgit dipotong pihak agen tenaga kerja, sehingga korban hanya menerima 350 ringgit atau sekitar Rp. 800 ribu perbulan. Berbekal keterangan tersebut, pihak KBRI dan polisi Malaysia dapat menemukan 15 wanita lain yang bernasib sama. Cerita tersebut menunjukkan betapa pedihnya penderitaan yang dialami para korban trafficking.
DEFINISI TRAFFICKING
Menurut Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) pasal 1 ayat 1 dan hampir sama dengan apa yang didefinisikan oleh PBB[3], definisi trafficking (perdagangan orang) adalah: “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Ada tiga elemen pokok yang terkandung dalam pengertian trafficking di atas. Pertama, elemen perbuatan, yang meliputi: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan, atau meneirma. Kedua, elemen sarana (cara) untuk mengendalikan korban, yang meliputi: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Ketiga, elemen tujuannya, yang meliputi: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, dan sebagainya (Harkristuti Harkrisnowo dikutip dalam www.menkokesra.go.id).
Kasus perdagangan perempuan dengan modus pelacuran di luar negeri adalah kasus yang paling umum terjadi. Bahkan, menurut data yang ada fenomena ini makin meningkat dari tahun ke tahun. Menurut laporan Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) tercatat sepanjang tahun 2005 saja ada 700 perempuan Indonesia telah dijadikan budak seks di negeri orang (www.bkkbn.go.id). Jumlah itu diperkirakan terus meningkat jika penanganannya tidak diatasi secara serius.
DESKRIPSI MASALAH
Contoh kasus seperti yang dialami oleh tiga bersaudara yaitu, Hasanah-2, Dewi-8, Lastri-11th adalah sebagian contoh kecil dari masalah trafficking di Indonesia. Mereka selalu diberikan motivasi oleh ibu kandungnya untuk melakukan semua itu sehingga secara tidak sadar mereka sebenarnya telah dijadikan budak oleh ibu kandungnya sendiri. Sedangkan kasus yang kedua adalah salah satu bentuk eksploitasi seksual dengan modus penipuan karena iklannya adalah lowongan kerja bagi perempuan, muda, berwajah menarik, dsb yang akan dikirim ke Jepang untuk kunjungan seni budaya dengan penghasilan yng tinggi dan hanya 6 bukan. Ternyata dipekerjakan di club-club malam yang siap melayani berbagai pelanggan. Adapun suami dan saudaranya yang mendorong korban untuk memasuki dunia tersebut, jadi ebenarnya mereka merupakan pihak yang turut serta membawa korban kedunia pelacuran. Dan akhirnya, secara psikologis korban akan banyak mengalami gangguan mental jika tidak segera diberi bimbingan yang khusus terhadap mereka.
Adapun elemen Kunci dari masalah trafficking ini adalah:
- Rekruitmen
- Tranportasi (Pengankutan/Pemindahan)
- Transfer / Alih Tangann
- Penampungan
- Penerimaan
Masalah trafficking ini biasanya menggunakan cara:
- Ancaman
- Pemaksaan
- Penyalahgunaan Kekuasaan
- Penculikan
- Penipuan
- Penguasaan atas Korban ( Pembiusan)
Sedangkan bentuk pekerjaan perempuan dan anak menurut tujuan/jenis pekerjaan
- Perdagangan Perempuan dan anak untuk buruh industri
- Untuk Pekerja domistik didalam dan di luar negeri
- Dipekerjakan sebagai Pengemis di dalam negeri
- Untuk peredaran narkotika di dalam negerii
- Untuk dipekerjakan di sebagai pekerja di tempat-tempat hiburan di dalam dan luar negeri
- Untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks di dalam dan luar negeri
- Sebagai konsumsi pedofil di dalam dan luar negeri
- Dalam bentuk “perkawinan-transnasional” diluar negeri (mail order bride)
- Untuk tujuan adopsi palsu di dalam dan luar negeri
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA MASALAH TRAFFICKING
Maraknya isu perdagangan perempuan & anak ( Trafficking ) dewasa ini diawali dengan semakin meningkatnya migrasi tenaga kerja baik antar daerah, wilayah maupun Negara memasuki sector informal maupun pekerjaan rumahan. Sektor ini sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak yang berumur di bawah 18 tahun. Penyebab yang mendorong trafficking di Indonesia adalah: Kemiskinan, terbatasnya akses dan kesempatan kerja, kekerasan dalam rumah tangga, kepatuhan anak terhadap orangtua ( yang terdesak secara ekonomi), konflik sosial dan peperangan serta lemahnya penegakan hokum, serta perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang tidak berkesudahan.
Kondisi ini tidak saja dialami oleh Indonesia. Laporan Survey dunia IV tentang perempuan dan pembangunan (1999) menyebutkan bahwa banyak Negara berkembang di Asia, seperti Vietnam, Laos, Sri Langka, Thailand, dan Philipina mengalami hal yang sama, sebagai akibat ketidakpastian dan ketidak mampuan menghadapi persaingan bebas dari konsep liberalisasi ekonomi di era globalisasi yang mempunyai dampak yang cukup kompleks terutama terhadap peningkatamn peran dan kedudukan perempuan dalam bidang ekonomi baik pada tingkat nasional maupun internasional[4].
PEMECAHAN MASALAH TRAFFICKING
Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah yang amat pelik ini. Menurut laporan Kementerian Koordinator Kesehateraan Rakyat da;am websitenya www.menkokesra.go.id menjelaskan bahwa pencegahan trafficking dapat dilakukan melalaui beberapa cara.
Pertama, pemetaan masalah perdagangan orang di Indonesia, baik untuk tujuan domestik maupun luar negeri.
Kedua, peningkatan pendidikan masyarakat, khususnya pendidikan alternatif bagi anak-anak dan perempuan, termasuk dengan sarana dan prasarana pendidikannya. Ketiga, peningkatan pengetahuan masyarakat melalui pemberian informasi seluas-luasnya tentang perdagangan orang beserta seluruh aspek yang terkait dengannya. Keempat, perlu diupayakan adanya jaminan aksesibilitas bagi keluarga khususnya perempuan dan anak untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan dan pelayanan sosial.
Cara-cara tersebut terkesan sangat ideal, tinggal bagaimana implementasinya secara nyata. Upaya tersebut juga memerlukan keterlibatan seluruh sektor pemerintah, swasta, LSM, badan-badan internasional, organisasi masyarakat, perseorangan, dan termasuk media massa sehingga membentuk interaksi social yang kemudian membentuk pola social positif yang lebih dinamis . kemudian
Tri Astuti mengatakan bahwa langkah yang selama ini baru dilakukan oleh Kantor Pemberdayaan Perempuan Provinsi DIY untuk meminimalisir praktek trafficking adalah dengan mengadakan pelatihan bagi para kepala desa tentang tertib administrasi. Salah satu tujuan utamanya adalah mengantisipasi praktek pemalsuan identitas yang kian marak terjadi dalam hal pengurusan syarat-syarat TKI. Namun, sayangnya mengapa lembaga perempuan tersebut baru melangkah pada tindakan antisipasi yang sifatnya administratif. Padahal, masih banyak bentuk kegiatan lain yang bisa menyentuh masyarakat secara umum, termasuk kaum perempuan di dalamnya yang rentan dengan trafficking. Selain itu pelatihan dalam membentuk psikologi social juga harus menjadi salah satu unsur terpenting dalam mengimbangi pengaruh globalisasi terhadap masyarakat seperti apa yang dikatan Riza Wahyuni, S.Psi, MSi, Psikolog, Humas dan Psikolog PPT Jatim di hadapan peserta” pelatihan teknis pendampingan korban kekerasan dan trafficking” oleh Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur di Batu, Jawa Timur (19/5). masalah trafficking bagi korban adalah berkaitan dengan kesehatan reproduksi, cacat fisik permanen atau sementara, masalah psikologis dari yang paling ringan seperti stres, depresi, sampai kepada gangguan jiwa berat sehingga perlu dilakukan pendampingan yang khusus bagi mereka. Pendampingan bagi korban perlu dilakukan dengan tujuan membantu mereka memahami masalah yang dihadapi dan penguatan kapasitas psikologis, berkaitan dengan kemandirian baik fisik atau psikis agar mereka tidak menjadi korban kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan kapasitas building SDM untuk melakukan pendampingan, dan pemahaman tentang layanan kasus, mulai dari melakukan identifikasi, apa yang harus dilakukann dalam pelayanan medis, psikososial, hukum, dan bekerja dengan jejaring layanan. Kapasitas building yang penting bagi pendamping adalah pemahaman tentang konseling yang bersifat empati bagi korban, dimana bertujukan untuk membantu korban dalam memahami masalahnya, sebagai fasilitator bagi korban untuk pengambilan keputusan dalam upaya kemandirian.
adapun langkah awal yang dapat kita lakukan adalah dengan melakukan kajian akademis untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai trafficking.
Tri Astuti mengatakan bahwa langkah yang selama ini baru dilakukan oleh Kantor Pemberdayaan Perempuan Provinsi DIY untuk meminimalisir praktek trafficking adalah dengan mengadakan pelatihan bagi para kepala desa tentang tertib administrasi. Salah satu tujuan utamanya adalah mengantisipasi praktek pemalsuan identitas yang kian marak terjadi dalam hal pengurusan syarat-syarat TKI. Namun, sayangnya mengapa lembaga perempuan tersebut baru melangkah pada tindakan antisipasi yang sifatnya administratif. Padahal, masih banyak bentuk kegiatan lain yang bisa menyentuh masyarakat secara umum, termasuk kaum perempuan di dalamnya yang rentan dengan trafficking. Selain itu pelatihan dalam membentuk psikologi social juga harus menjadi salah satu unsur terpenting dalam mengimbangi pengaruh globalisasi terhadap masyarakat seperti apa yang dikatan Riza Wahyuni, S.Psi, MSi, Psikolog, Humas dan Psikolog PPT Jatim di hadapan peserta” pelatihan teknis pendampingan korban kekerasan dan trafficking” oleh Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur di Batu, Jawa Timur (19/5). masalah trafficking bagi korban adalah berkaitan dengan kesehatan reproduksi, cacat fisik permanen atau sementara, masalah psikologis dari yang paling ringan seperti stres, depresi, sampai kepada gangguan jiwa berat sehingga perlu dilakukan pendampingan yang khusus bagi mereka. Pendampingan bagi korban perlu dilakukan dengan tujuan membantu mereka memahami masalah yang dihadapi dan penguatan kapasitas psikologis, berkaitan dengan kemandirian baik fisik atau psikis agar mereka tidak menjadi korban kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan kapasitas building SDM untuk melakukan pendampingan, dan pemahaman tentang layanan kasus, mulai dari melakukan identifikasi, apa yang harus dilakukann dalam pelayanan medis, psikososial, hukum, dan bekerja dengan jejaring layanan. Kapasitas building yang penting bagi pendamping adalah pemahaman tentang konseling yang bersifat empati bagi korban, dimana bertujukan untuk membantu korban dalam memahami masalahnya, sebagai fasilitator bagi korban untuk pengambilan keputusan dalam upaya kemandirian.
adapun langkah awal yang dapat kita lakukan adalah dengan melakukan kajian akademis untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai trafficking.
REFERENSI
Buku Pustaka
Syafaat, Rachmad. Dagang Manusia ; Kajian Trafficking terhadap perempuan dan Anak di Jawa Timur. Yogyakarta : LAPPERA PUATAKA UTAMA, 2003
Gerungan. Psikologi Sosial. Bandung : PT Refika Aditama, 2004
[1] . Rahmad Syafaat, SH., M,Si. Dagang Manusia. Kajian Trafficking terhadap perempuan dan Anak di Jawa Timur. ( Yogyakarta : LAPPERA PUATAKA UTAMA. 2003 ) hlm. 92-93
[2] Rahmad Syafaat, SH., M,Si. Dagang Manusia. Kajian Trafficking terhadap perempuan dan Anak di Jawa Timur. ( Yogyakarta : LAPPERA PUATAKA UTAMA. 2003 ) hlm 64
[3] Rahmad Syafaat, SH., M,Si. Dagang Manusia. Kajian Trafficking terhadap perempuan dan Anak di Jawa Timur. ( Yogyakarta : LAPPERA PUATAKA UTAMA. 2003 ) hlm 114
[4] Rahmad Syafaat, SH., M,Si. Dagang Manusia. Kajian Trafficking terhadap perempuan dan Anak di Jawa Timur. ( Yogyakarta : LAPPERA PUATAKA UTAMA. 2003 ) hlm 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar