Translate

Minggu, 14 Juli 2013

Bentuk-Bentuk Perlindungan terhadap Anak Korban Perdagangan Orang (Trafficking)

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 butir 1 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Anak memiliki hak khusus menurut hukum internasional dan hukum Indonesia dan Pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi
Perdagangan orang (Trafficking) adalah tindakan merekrut, mengirim, memindahkan, menampung atau menerima orang untuk tujuan eksploitasi baik di dalam maupun di luar negeri dengan cara kekerasan ataupun tidak. Karena anak dianggap belum cakap melakukan perbuatan hukum maka meskipun anak tersebut bersedia atau menerima kondisi eksploitasi, namun hak-hak mereka harus tetap dilindungi dan apabila terjadi pelanggaran maka hal tersebut masuk dalam kategori perdagangan manusia.
Di Indonesia, hal tersebut di atas sering terjadi pada saat anak direkrut dari desanya. Kemudian dipindahkan ke daerah lain baik dalam maupun di luar negeri, dijual oleh perekrut atau agen untuk tujuan mendapatkan keuntungan, dan mereka dipaksa untuk bekerja dan dieksploitasi oleh majikan atau pembeli. Selain dieksploitasi anak-anak dan perempuan tersebut juga merasakan penderitaan dan keterasingan akibat adanya perbedaan bahasa, budaya dan agama di lingkungan barunya. Ilustrasi di atas adalah salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dalam hal ini perdagangan manusia. Anak dijadikan objek eksploitasi yang memberikan keuntungan bagi pelaku kekerasan, namun menimbulkan banyak penderitaan bagi korban.
Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

Dari tindakan eksploitasi yang terjadi, muncullah permasalahan yang menarik untuk dikaji. Yaitu bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban kejahatan secara umum yang berlaku selama ini dan bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban perdagangan orang secara khusus. Sehingga dengan diketahuinya masalah tersebut dan dilakukan analisa atau kajian yang mendalam. Maka akan diketahui atau didapat jawaban mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban kejahatan secara umum dan bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban perdagangan orang (trafficking).
Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban kejahatan secara umum?
2. Bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban perdagangan orang (trafficking)?
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban kejahatan secara umum.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban pedagangan orang (trafficking).

BAB II
PEMBAHASAN
1. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan Secara Umum
Setiap terjadi kejahatan, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Pasti akan memunculkan korban yang mana pada korban tersebut akan timbul kerugian yang bersifat materiil maupun immaterial. Penderitaan yang dialami oleh korban dan keluarganya tentu tidak akan berakhir dengan ditangkap dan diadilinya pelaku kejahatan, terlebih apabila penderitaan itu berakibat korban menderita cacat seumur hidup atau meninggal dunia. 
Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Sebagai contoh, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/ uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan ental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara materiil (seperti harta bendanya hilang) pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan.
Oleh karena itu, dengan mengacu pada beberapa kejahatan yang pernah terjadi, ada beberapa bentuk perlindungan terhadap kejahatan yang lazim diberikan, antara lain sebagai berikut:
1. Pemberian Restitusi dan Kompensasi
Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2000 memberikan pengertian kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu: ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa:
a. Pengembalian harta milik;
b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan;atau
c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu;
Pengertian kompensasi dalam penjelasan Pasal 35 dari Undang-Undang No.26 Tahun 2000 memilki kemiripan dengan pengertian dalam Bacic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power, yang menyataan: when compensation is not fully available from the offender or other source, states should endeavour to provide financial compensation.
Pengertian Restitusi dan Kompensasi merupakan yang istilah dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun, menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negera (the responsible of society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana (the responsibility of the offender).
2. Konseling
Pada umumnya perlindungan ini diberkan kepada korban akibat munculnya dampak negative yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana. Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti pada kasus-kasus menyangkut kesusilaan.
3. Pelayanan/Bantuan Medis
Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang menimpanya ke aparat untuk kepolisian untuk ditindaklanjutinya.

4. Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Di indonesia bantuan ini bnyak diberikan oleh Lembaga Swdaya Masyarakat (LSM), misalnya pada kasus Trisakti 1998, kasus Tanjung Priok, dan sebagainya. Penggunaan bantuan hukum yang disediakan oleh pemerintah jarang dipergunakan oleh korban kejahatan karena masih banyak masyarakat yang meragukan kredibilitas bantuan hukum yang disediakan oleh Pemerintah.
5. Pemberian Informasi
Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban, perberian informasi ini memegang yang sangat penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah diharpkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan baik.
Perlindungan saksi dan korban yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Anak Korban Trafficking.
Anak dalam peraturan perundang-undangan memiliki hak-hak khusus termasuk untuk mendapat perlindungan dalam kedudukannya sebagai korban tindak pidana. Dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak jelas disebutkan tentang hak mereka untuk mendapatkan perlindungan khusus. Pasal tersebut berbunyi: “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 64 ayat (1) dan ayat (3) yang berbunyi: “(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
1. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
2. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
3. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
4. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Disamping Untuk hak-hak yang diperoleh di atas. Dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Anak korban tindak pidana perdagangan orang mendapatkan perlindungan khusus berupa pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Pasal 68 ayat (1) tersebut berbunyi: “Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
Untuk anak korban perdagangan orang juga berlaku perlindungan sebagaimana yang diatur dalam UU RI No. 36 Tahun 2006 Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini sesuai dengan amanah Pasal 43 Undang-Undang RI No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi: “Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.
Dalam hal Bersaksi di pengadilan adalah hal yang sulit dan menakutkan bagi korban perdagangan manusia tetapi akan lebih sulit dan menakutkan bagi anak-anak, Harus ada ketentuan khusus yang wajib dipertimbangkan dan di implementasikan untuk memastikan bahwa anak-anak tersebut terlindungi saat mereka bersaksi di pengadilan. Berkaitan dengan anak sebagai saksi korban dalam proses hukum dalam KUHAP ada beberapa pasal yang berkaitan dengan proses hukum di pengadilan misalnya:
Anak memiliki hak untuk diperiksa di pengadilan dalam ruang sidang tertutup untuk umum ( KUHAP 153 ayat (3) dan Undang-undang No 3 tahun 1997 pasal 57 ayat (1)

Anak memiliki hak untuk bersaksi tanpa disumpah (KUHAP 171a)
Selain hal tersebut diatas berkaitan dengan kebutuhan yang diperlukan oleh korban setelah menjadi saksi dalam proses hukum korban juga membutuhkan akan rasa aman bagi dirinya seperti shelter ,kebutuhan akan asertivitas dan self esteme. Selain itu juga

BAB III
KESIMPULAN
Beberapa bentuk perlindungan terhadap kejahatan ya lazim diberikan antara lain:
6. Pemberian Restitusi dan Kompensasi
7. Konseling
8. Pelayanan/Bantuan Medis
9. Bantuan Hukum
10. Pemberian Informasi
Perlindungan saksi dan korban yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu:
n. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
o. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
p. memberikan keterangan tanpa tekanan;
q. mendapat penerjemah;
r. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
s. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
t. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
u. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
v. mendapat identitas baru;
w. mendapatkan tempat kediaman baru;
x. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
y. mendapat nasihat hukum; dan/atau
z. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak korban perdagangan orang yaitu:
1. Upaya pengawasan;
2. upaya perlindungan;
3. upaya pencegahan;
4. upaya perawatan;
5. dan upaya rehabilitasi oleh perintah dan masyarakat.
(Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak )
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana:
1. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
2. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
3. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
4. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
(Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak)

Dalam hal Bersaksi di pengadilan;
Anak memiliki hak untuk diperiksa di pengadilan dalam ruang sidang tertutup untuk umum ( KUHAP 153 ayat (3) dan Undang-undang No 3 tahun 1997 pasal 57 ayat (1)
Anak memiliki hak untuk bersaksi tanpa disumpah (KUHAP 171a)


DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Sumber : http://ullahexplorer.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar