Translate

Minggu, 14 Juli 2013

Kekuatan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti

Pertanyaan :
Ibu saya sudah lama tidak bisa berjalan (menggunakan alat bantu). Masalahnya: 3 hari lalu terjadi keributan di rumah kami, dan ibu saya disudutkan dan ditampar, anggap saja oleh si A. Merasa ibu saya terpojok dengan kondisi tidak sehat, ibu saya refleks mengambil alat (anggap saja kayu kecil), dan memukul balas si A. Ibu saya tidak ingin memperpanjang masalah ini dan tidak ingin melaporkan ke polisi, namun si A malah melaporkan kejadian penganiayaan ke pihak berwajib dengan hasil visum berupa luka di dada. Kami sudah berbesar hati untuk meminta maaf, namun ditolak. Intinya: Apakah visum merupakan bukti terkuat dalam dunia hukum? Padahal ibu saya yang tidak bisa apa-apa hanya membela diri karena diserang dan ditampar terlebih dahulu. Kondisinya adalah si A punya bukti berupa hasil visum, sedangkan ibu saya tidak mempunyai bukti kalau si A menampar wajah ibu saya, dan dia berbohong kalau dia tidak pernah menampar ibu saya di depan polisi. Apakah ibu saya bisa dihukum karena seperti itu? Apakah ada pembelaan untuk ibu saya? Bagaimana dari segi kekuatan hukumnya? Terima kasih.

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4fe2d2c8cd279/lt5099e032cc62f.jpg
Terima kasih atas pertanyaan yang telah disampaikan kepada kami. Kami turut prihatin atas kejadian yang menimpa ibu Anda. Kami akan menjelaskan terkait masalah hukum yang sedang Anda atau ibu Anda alami saat ini.
 
Dalam hukum pidana dikenal beberapa jenis alat bukti. Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) menyatakan:
“Alat bukti yang sah ialah:
a.        Keterangan saksi;
b.        Keterangan ahli;
c.         Surat;
d.        Petunjuk;
e.        Keterangan terdakwa.”
 
Bukti visum et repertum ("visum") dikategorikan sebagai alat bukti surat. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 187 KUHAP yang menyatakan:
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah
a.        Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b.        Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan;
c.         Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yagn diminta secara resmi dari padanya;
d.        Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”
 
Dari sini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa visum merupakan surat yang dibuat oleh pejabat dan dibuat atas sumpah jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, visum masuk dalam kategori alat bukti surat. Dengan demikian visum memiliki nilai pembuktian di persidangan.
 
Namun, jika Anda menanyakan apakah bukti visum sebagai bukti terkuat dalam hukum? Dapat kami jelaskan bahwa dalam sistem pembuktian pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk), yang digambarkan dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
 
Hal ini menandakan bahwa sebenarnya di dalam hukum acara pidana Indonesia tidak ada satu alat bukti pun yang dapat dikatakan sebagai alat bukti terkuat, karena setiap putusan pemidanaan nantinya harus TETAP didasarkan dengan 2 alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim (kecuali untuk acara pemeriksaan cepat, cukup 1 alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim) sehingga bukti visum sebagai alat bukti surat yang diajukan tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan harus dilengkapi dengan alat bukti lainnya sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP.
 
Selanjutnya, mengenai pertanyaan Anda apakah ibu Anda dapat dihukum? Dari segi perbuatan, ibu Anda dapat saja diduga melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan:
“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
 
Namun, mengingat bahwa ibu Anda memukul si A karena ingin membela diri, menurut ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP disebutkan:
“Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lian, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sat dekat pada saat itu yang melawan hukum.”
 
Dalam hukum pidana pembelaan yang seperti ini dikenal dengan istilah noodweer. Sehingga berdasarkan Pasal 49 ayat (1) KUHP tersebut, orang yang melakukan pembelaan diri tersebut tidak dapat dipidana (dihukum).
 
Namun kembali lagi, berbicara mengenai hukum harus didasarkan pada bukti-bukti yang cukup. Dalam hal ini, untuk pembelaan, ibu Anda harus dapat membuktikan bahwa si A lah yang memukul ibu Anda terlebih dahulu. Pembuktiannya tentu saja sama dengan sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP sesuai Pasal 184 KUHAP yang mengatur alat-alat bukti yang sah, dengan pertimbangan minimal 2 alat bukti terpenuhi.
 
Demikian yang dapat kami sampaikan, kiranya penjelasan yang kami berikan dapat bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan bagi Anda dan keluarga untuk mengambil langkah hukum.
 
Terima kasih.
 
Dasar Hukum:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar