Translate

Senin, 11 Maret 2013

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2001


KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 48 TAHUN 2001
TENTANG
SEKRETARIAT JENDERAL
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia,
dipandang perlu menetapkan Sekretariat Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dengan Keputusan Presiden;
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
3. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3890);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan
Struktural (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4018);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG SEKRETARIAT JENDERAL KOMISI NASIONAL HAK ASASI
MANUSIA.
BAB I
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI
Pasal 1
1. Sekretariat Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini
disebut Sekretariat Jenderal Komnas HAM adalah Aparatur Pemerintah yang berbentuk badan kesekretariatan.
2. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretariat Jenderal Komnas HAM berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Ketua Komnas HAM.
Pasal 2
Sekretariat Jenderal Komnas HAM mempunyai tugas menyelenggarakan dukungan di bidang teknis operasional dan
administratif kepada Komnas HAM dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta pembinaan terhadap seluruh
unsur dalam lingkungan Sekretariat Jenderal Komnas HAM.
Pasal 3
Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Sekretariat Jenderal Komnas HAM
menyelenggarakan fungsi:
a. memberikan dukungan teknis operasional kepada Komnas HAM;
b. menyelenggarakan kegiatan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi administrasi kegiatan dan tindak lanjut
Komnas HAM;
c. memberikan pelayanan administrasi dalam penyusunan rencana dan program kerja Komnas HAM;
d. memberikan pelayanan administrasi dalam kerja sama Komnas HAM dengan lembaga pemerintah dan lembaga
non pemerintah terkait baik di dalam negeri maupun di luar negeri;
e. menyelenggarakan pelayanan kegiatan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data serta penyusunan laporan
kegiatan Sekretariat Jenderal Komnas HAM;
f. menyelenggarakan kegiatan administrasi keanggotaan Komnas HAM serta melaksanakan pembinaan
organisasi, administrasi kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana Sekretariat Jenderal Komnas HAM.
BAB II
ORGANISASI
Pasal 4
1. Sekretariat Jenderal Komnas HAM dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal Komnas HAM, yang selanjutnya
dalam Keputusan Presiden ini disebut Sesjen Komnas HAM.
2. Sesjen Komnas HAM dijabat oleh seorang Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM.
Pasal 5
Sesjen Komnas HAM mempunyai tugas memimpin Sekretariat Jenderal Komnas HAM sesuai dengan tugasnya,
membina seluruh satuan organisasi di lingkungan Sekretariat Jenderal Komnas HAM agar berdaya guna dan
berhasil guna, menentukan kebijaksanaan teknis pelaksanaan kegiatan Sekretariat Jenderal Komans HAM, serta
membina dan melaksanakan hubungan kerja sama dengan instansi/lembaga lain di luar Sekretariat Jenderal Komnas
HAM.
Pasal 6
1. Dalam melaksanakan tugasnya Sesjen Komnas HAM dibantu oleh sebanyak-banyaknya 5 (lima) biro.
2. Biro terdiri dari sebanyak-banyaknya 4 (empat) Bagian dan masing-masing Bagian terdiri dari sebanyakbanyaknya
3 (tiga) Sub Bagian.
3. Di lingkungan Sekretariat Jenderal Komnas HAM dapat diangkat jabatan fungsional, yang pelaksanaannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
KEPANGKATAN, PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN
Pasal 7
1. Sesjen Komnas HAM adalah jabatan eselon Ia.
2. Kepala Biro adalah jabatan eselon IIa.
3. Kepala Bagian adalah jabatan eselon IIIa.
4. Kepala Sub Bagian adalah jabatan eselon IVa.
Pasal 8
1. Sesjen Komnas HAM diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Sidang Paripurna Komnas HAM.
2. Kepala Biro dan jabatan-jabatan di bawahnya diangkat dan diberhentikan oleh Sesjen Komnas HAM.
3. Pejabat jabatan fungsional diangkat dan diberhentikan oleh Sesjen Komnas HAM.
BAB IV
TATA KERJA
Pasal 9
Seluruh unsur di lingkungan Sekretriat Jenderal Komnas HAM dalam melaksanakan tugasnya, wajib menerapkan
prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi, baik di lingkungan Sekretariat Jenderal Komnas HAM sendiri
maupun dalam hubungan antar instansi/lembaga sesuai dengan tugas masing-masing.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 10
Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Sekretariat Jenderal Komnas HAM dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 11
Jika dipandang perlu untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsinya, Sekretariat Jenderal Komnas HAM dapat
membentuk kelompok kerja.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Rincian dan rumusan tugas, fungsi dan susunan organisasi, serta tata kerja Sekretariat Jenderal Komnas HAM
ditetapkan oleh Sesjen Komnas HAM, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.
Pasal 13
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka segala ketentuan yang mengatur mengenai Sekretariat Jenderal
Komnas HAM dalam Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 April 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
ABDURRAHMAN WAHID
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
ttd
Edy Sudibyo

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002



PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2002

TENTANG
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI TERHADAP
KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kompensasi,
Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
2. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM meliputi Pengadilan HAM
dan Pengadilan HAM Ad Hoc, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
3. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik,
mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk
korban adalah ahli warisnya.
4. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
5. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak
ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
6. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau
hak-hak lain.
7. Instansi Pemerintah Terkait adalah instansi Pemerintah termasuk Departemen Keuangan yang secara
tegas disebut dalam amar putusan.
Pasal 2
1. Kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang
merupakan ahli warisnya.
2. Pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak.
BAB II
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
Pasal 3
1. Instansi Pemerintah Terkait bertugas melaksanakan pemberian kompensasi dan rehabilitasi
berdasarkan putusan Pengadilan HAM yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Dalam hal kompensasi dan atau rehabilitasi menyangkut pembiayaan dan perhitungan keuangan
negara, pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Pasal 4
Pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam
amar putusan Pengadilan HAM.
Pasal 5
Pelaksanaan putusan Pengadilan HAM oleh Instansi Pemerintah Terkait sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) wajib dilaporkan kepada Pengadilan HAM yang mengadili perkara yang bersangkutan dan
Jaksa Agung paling lamb at 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan dilaksanakan.
BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN
Pasal 6
1. Pengadilan HAM mengirimkan salinan putusan Pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah
Agung, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Jaksa Agung.
2. Jaksa Agung melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan membuat berita
acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada Instansi Pemerintah Terkait untuk melaksanakan
pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi, dan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan
pemberian restitusi.
Pasal 7
Instansi Pemerintah Terkait melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi serta pelaku atau
pihak ketiga melaksanakan pemberian restitusi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diterima.
Pasal 8
1. Pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi, dilaporkan oleh Instansi
Pemerintah Terkait, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan HAM yang memutus perkara,
disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi tersebut.
2. Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
warisnya.
3. Setelah Ketua Pengadilan HAM menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua
Pengadilan HAM mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang
bersangkutan.
Pasal 9
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada pihak korban
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, korban atau keluarga korban yang
merupakan ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada Jaksa Agung.
(2) Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Instansi Pemerintah
Terkait, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
Pasal 10
Dalam hal pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi dapat dilakukan secara bertahap, maka
setiap tahapan pelaksanaan atau kelambatan pelaksanaan harus dilaporkan kepada Jaksa Agung.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Maret 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Maret 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 7
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2002
TENTANG
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI TERHADAP
KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT
I. UMUM
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Dalam hal terjadi pengabaian, pengurangan dan perampasan hak asasi manusia, terutama terjadi
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang baik
sipil, militer, maupun polisi, maka pihak korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya
berhak memperoleh kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi secara tepat, cepat, dan layak dalam arti
bahwa pihak korban atau ahli warisnya berhak memperoleh ganti kerugian atau pengembalian hak-hak
dasarnya yang dilakukan sesuai dengan sasaran yakni korban dan penggantian kerugiannya,
pelaksanaannya segera diwujudkan, dan pengembalian haknya harus patut sesuai dengan rasa keadilan.
Ganti kerugian atau pengembalian hak, misalnya pengembalian kebutuhan dasar yang meliputi
kebutuhan fisik dan kebutuhan non fisik, yang masuk dalam lingkup kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi diputus oleh
Pengadilan HAM di setiap tingkatan pengadilan. Mengenai besarnya ganti kerugian atau pemulihan
kebutuhan dasar tersebut diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang memutus perkara yang
dicantumkan dalam amar putusannya. Jadi, hakim diberikan kebebasan sepenuhnya secara adil, layak,
dan cepat mengenai besarnya ganti kerugian tersebut berdasarkan hasil penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan beserta bukti-bukti yang mendukungnya.
Peraturan Pemerintah ini dibentuk sebagai pelaksanaan Pasal 35 ayat (3) Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang berbunyi:
1. Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
2. Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam
amar putusan Pengadilan HAM.
3. Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang diberikan
kepada korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Kompensasi dan rehabilitasi yang
menyangkut pembiayaan dan perhitungan keuangan negara dilaksanakan oleh Departemen Keuangan.
Sedangkan mengenai kompensasi, dan rehabilitasi di luar pembiayaan dan perhitungan keuangan
negara dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah Terkait.
Disamping itu, Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai tata cara pelaksanaan kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi kepada pihak korban, dari mulai proses diterimanya salinan putusan kepada
Instansi Pemerintah Terkait dan korban sampai dengan pelaksanaan pengumuman pengadilan dan
pelaksanaan laporan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "ahli waris" adalah ahli waris sesuai dengan penetapan pengadilan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tepat" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak
lainnya diberikan kepada korban yang memang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak
asasi manusia yang berat.
Yang dimaksud dengan "cepat" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak
lainnya diberikan kepada korban sesegera mungkin dalam rangka secepatnya mengurangi penderitaan
korban.
Yang dimaksud dengan "layak" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak
lainnya diberikan kepada korban secara patut berdasarkan rasa keadilan.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ketentuan ini dimaksudkan sebagai pengawasan terhadap Instansi Pemerintah Terkait dalam
melaksanakan putusan Pengadilan HAM.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan agar tercipta adanya keterbukaan kepada masyarakat mengenai
pelaksanaan kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada pihak korban.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan keringanan kepada pelaku atau Pemerintah dalam
pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi untuk dilakukan secara bertahap karena
keterbatasan kemampuan bila dilaksanakan sekaligus.
Pasal 11
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4172

Pemilu 1955.

Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu
Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat
minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benarbenar
tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh
Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan
keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu
dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta
tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai
politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan
MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu
pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu
bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955
dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggotaanggota
DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota
Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan
diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada
Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala
yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri.
Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan
pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk
mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan
negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap
pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara
teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang
mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang
diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU
Pemilu;
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan
politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga
masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan
konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan
perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk
menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan
politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU
No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun
1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum
yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak
langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada
waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan
akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi
menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai
program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang
dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum
kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia
Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan
oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu
berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa
anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undangundang
pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada
masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun
1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU
No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang
mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku
lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil
diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu
1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing.
Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar
kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkom-petisi secara
sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan
menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan
otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan
partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang
menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali
ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota
Dewan Kons-tituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.
No.Partai/Nama Daftar Suara % Kursi
1.Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57
2.Masyumi 7.903.886 20,92 57
3.Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45
4.Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39
5.Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.091.160 2,89 8
6.Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1.003.326 2,66 8
7.Partai Katolik 770.740 2,04 6
8.Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5
9.Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI) 541.306 1,43 4
10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 483.014 1,28 4
11.Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2
12.Partai Buruh 224.167 0,59 2
13.Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 219.985 0,58 2
14.Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2
15.Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 200.419 0,53 2
16.Murba 199.588 0,53 2
17.Baperki 178.887 0,47 1
18.Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 178.481 0,47 1
19.Grinda 154.792 0,41 1
20.Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 149.287 0,40 1
21.Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1
22.PIR Hazairin 114.644 0,30 1
23.Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.131 0,22 1
24.AKUI 81.454 0,21 1
25.Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1
26.Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 72.523 0,19 1
27.Angkatan Comunis Muda (Acoma) 64.514 0,17 1
28.R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1
29.Lain-lain 1.022.433 2,71 -
Jumlah 37.785.299100,00 257
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955.
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang
memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil
pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI
meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua,
perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam
pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan
kursi itu adalah sebagai berikut:
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.
No.Partai/Nama Daftar Suara % Kursi
1.Partai Nasional Indonesia (PNI) 9.070.21823,97 119
2.Masyumi 7.789.61920,59 112
3.Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.33318,47 91
4.Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.232.51216,47 80
5.Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.059.922 2,80 16
6.Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 988.810 2,61 16
7.Partai Katolik 748.591 1,99 10
8.Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10
9.Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 544.803 1,44 8
10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 465.359 1,23 7
11.Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3
12.Partai Buruh 332.047 0,88 5
13.Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 152.892 0,40 2
14.Partai Rakyat Indonesia (PRI) 134.011 0,35 2
15.Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 179.346 0,47 3
16.Murba 248.633 0,66 4
17.Baperki 160.456 0,42 2
18.Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 162.420 0,43 2
19.Grinda 157.976 0,42 2
20.Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 164.386 0,43 2
21.Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3
22.PIR Hazairin 101.509 0,27 2
23.Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 74.913 0,20 1
24.AKUI 84.862 0,22 1
25.Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1
26.Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 143.907 0,38 2
27.Angkatan Comunis Muda (Acoma) 55.844 0,15 1
28.R.Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1
29.Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1
30.Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1
31.Radja Keprabonan 33.660 0,09 1
32.Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI) 39.874 0,11
33.PIR NTB 33.823 0,09 1
34.L.M.Idrus Effendi 31.988 0,08 1
lain-lain 426.856 1,13
Jumlah 37.837.105 514
Periode Demokrasi Terpimpin.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan
hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan
pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno
sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante
dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden
Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim
demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam
istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada
democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960
ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu
menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak
dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan
MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul
tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan
itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut
UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau
sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan
Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik,
ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang
kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun
menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat
menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup.
Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat
tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Sumber : KPU

MEIN


Aku tak bisa menanggung lagi, Zal.” Vi memulai kesedihannya; bersedih lagi setelah berusaha bertahan untuk beberapa hari dalam keriangan palsu, selalu palsu.
            “Kau tahu aku mencintainya seperti saudaraku sendiri, kau tahu, kan?” Aku mengerdip, bukan untuk menjawabnya. Ya, itulah kenapa q merelakanmu mencintainya. Laki-laki lain, yang punya tanggal lahir sama denganku, yang tinggal tak jauh dari rumahmu. Seperti apa rupanya aku hanya tahu dari foto-foto berukuran kecil di telepon genggammu.
            Namanya Mein—Vi melafalkannya seperti kata “mine” dalam bahasa inggris. Setelah satu bulan Vi mengenal dan berpacaran dengan anak muda itu, aku kembali dari luar kota dan menyuruhnya tinggal bersamaku, mengingat empat tahun yang pernah kami lalui bersama. Dan mengingat betapa dia satu-satunya orang yang selalu benar-benar kusayangi. Juga betapa aku tahu hanya aku yang selalu disayanginya sebagai kekasih. Baru setelah Mein memutuskannya, Vi menerima tawaranku. Aku tinggal dirumahnya.
Aku masih ingat, Vi menangis di malam itu. Dia merasa sungguh tak tahu apa salahnya. Dia menyambut kedatanganku kembali dalam hidupnya dengan mengatakan betapa dia mencintai seseorang dan betapa seseorang telah mematahkan hatinya. Satu hal lagi, betapa dia hanya bisa menceritakan semuanya kepadaku.
Aku membawakan Vi minuman kaleng. Dia meminumnya setengah kaleng dan menciumiku dengan rakus. Setelah puas menatapa wajahku di akhir ciuman-ciumannya, Vi meringkuk diketiakku dan mulai mengeluh lagi.
“Hanya karena aku tak menceritakan masalahku?”
Dia pun menangis lagi malam itu.
“Jika kau tahu betapa sakitnya aku menunggu terjadinya hubungan itu dahulu. Menjalani hari-hari, minggu-minggu di mana harapan-harapan yang manis meluncur deras sementara kepastian hanya dalam mimpi-mimpiku. Aku telah menjadi canggung dan kehilangan kepercayaan diri. Aku merasa sangat tidak pantas mendapatkannya. Kapan, coba, kapan terakhir kali aku gagal merebuthati orang yang kuinginkan? Aku bisa mendapatkan tiga orang dalam tiga minggu itu. Tapi tak kuambil kesempatan-kesempatan itu. Aku hany menginginkannya. Dan aku tidak yakin apakah aku bisa memenangkan hatinya.
“Dan tahukah, aku tidak merasa amat jatuh cinta padanya. Aku tidak meledak-ledak seperti—kau tahu. Aku menyanyanginya dari dalam, pelahan-lahan, seperti membiarkan sebuah tanaman terus tumbuh didalam hatiku, di dalam diriku, sampai seseorang di luar diriku bersedia merawatnya bersamaku.
“Kini tanaman itu telah menguasai seluruh diriku, mencengkeramku dari dalam tanpa seorang pun dapat menyadarinya. Dan tepat pada saat ini! Tepat pada saat ini, Zal ,ia menyuruhku merawat tanaman itu sendirian?””
Vi telah mencengkeram salah satu bagian kemejaku seperti pelacur yang marah kepada seorang bajingan. Aku tak mengatakan apa-apa. Untuk mengalihkan perasaan ini aku hanya memandang sembarang arah dan mengedipkedipkan mataku dengan kaku.
“Oh, Zal. Adakah tanaman besar ini akan menguatkanku atau menumbangkanku sendirian.”Aku tetap diam. Vi terpejam.
Aku ingin menciumnya pada saat-saat seperti ini. Tak seperti malam itu, Vi duduk dimeja makan. Menundukkan kepala dana mengangkatnya kembali bukan untuk menatapa apa pun. Dia menggigit bibirnya sesekali. Saat beradu pandang denganku, metanya penuh rasa bersalah. Dia telah lupa dirinya. Dia suci seperti santa di dunia sekuler saat ini. Aku tidak begitu yakin bagian mana aku menghiburnya?
“Kali ini, Zal. Ia tidka mau tidur denganku. Tidak,” katanya memulai lagi.
Oh, aku telah mendengar berita macam ini berulang kali, dan selalu akhirnya mereka melakukannya lagi. Lagi dan lagi seperti para kekasih mudah yang selalu lemah dan ragu-ragu. Pertama kali aku mendengar pengulangan ini, aku mengingatkannya akan saat sebelumnya. Namun Vi mendesak bahwa ada hal khusus dari berita serupa kali itu.
Aku ingat waktu Vi menceritakan bagian ini:
“aku mendengar ia memadamkan lampu kamar dan mengunci pintu, lalu menyusulku ke tempat tidur. Ia berbaring di sebelahku. Aku thau ia yakin aku belum tidur. Dengan sikap yang angkuh dan ragu-ragu ia menempelkan telapak kakinya ke kakiku, begitu samar. Hany karena hatiku begitu peka akibat mencintainya begitu besarlah aku bisa merasakan sentuhan itu.
“Aku diam beberapa saat, kemudian dengan keraguan yang sama, tapi tanpa keangkuhan, aku menyilangkan kakiku yang lain kepinggangnya. Ia tidak mengelak! Tak lama kemudian ia berpaling ke arahku, menempelkan wajahnya sangat dekat ke wajahku sehingga kami bahkan tak bisa bertatapan. Kami berciuman. Dan seakan begitu merindukanku, ia mendekap dan menciumiku dengan tenaga yang besar. Kami melakukannya! Lagi! Begitu indah!”
Setelah bagian ini Vi tiba-tiba terdiam, menarik dan menghembuskan napas dengan berat, lalu melanjutkan: “Setelah semuanya selesai, Zal, ia menggeser tubuhnya dengan cepat, menjauhi tubuhku. Aku menatapnya dalam gelap. Ia tampak tidak senang, sangat berubah! Menjawab tatapanku, ia berkata, `Sudah ya. Kamu bukan pacarku lagi. Sebaiknya kita berteman saja. Aku merasa tidak enak dengan ini semua. Kamu tidak apa-apa ‘kan?’ Lalu ia tersenyumpadaku. Berusaha tersenyum, tepatnya.
“Pada kali ini hatiku telah terlatih untuk tidak secara langsung mengirimkan energi sedih ke wajahku. Aku juga tidak bilang terakhir unutuk hari ini dengan gaya penuh humor untuk menutupi kekecewaanku atau kesedihanku. Aku tersenyum kepadanya dan bilang OK.
“Tapi sekarang aku merasa itu adalah jawaban yang buruk. Paling buruk! Sebab beberapa jam kemudian ia tampak inferior, seperti sedang merasa tak berharga karena aku tak menunjukkan perhatianku yang besar seperti biasa, perhatianku yang tulus dan dungu. Aku amat merasa bersalah. Dan seperti biasa, aku merasa menanggung seluruh kesalahan yang pernah kulakukan, khususnya padanya, sekaligus dalam satu waktu.
“Apa yang seharusnya kulakukan, Zal? Tanggal lahir kalian sama, apa yang laki-laki seperti kalian ingin kulakukan? Aku sungguh putus asa.”
Aku tidak mengatakan apa-apa waktu itu. Tapi tiba-tiba pada saat itu aku mempercayai astrologi. Aku berpikir, barangkali laki-laki seperti kami memang ditakdirkan tidak pandai mengungkapkan perasaan. Kami menyanyangi seseorang selalu dengan cara yang tidak diharapkan. Kami pasif. Dan lebih sering lagi angkuh. Aku tak pernah bilang aku mencintainya, kupikir anak muda itu juga tak pernah. Tapi selama empat tahu Vi tentu sangat menyadari betapa aku sangat mencintainya.
Karena kepasifan dan keangkuhanku, aku pun tak pernah mengatakan betapa aku merasakan suatu gangguan yang menyakitkan, entah dimana setiap kali dia menceritakan betapa dia mencintai orang lain, tak peduli apakah orang itu melukainya atau tidak. Betapapun Vi mengatakan dia mencintai mantan pacarnya seperti seorang anak, aku tetap merasakan gangguan itu. Bagaimanapun, aku mengetahui bahwa hubungan seks pertamanya terjadi dengan abangnya sendiri meski justru pada kasus itu Vi sama sekali tidak menyanyangi saudaranya yang barbar itu. Maksudku, incess bukanlah hal yang mustahil disini.
Sekarang aki hany bisa menunggu ada hak khusus apa lagi mengenai berita yang mematahkan hati itu.
“Ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tidak bilang ini yang terakhir ya atau sebaliknya kita benar-benar berteman saja atau aku merasa tidak enak terus-terusan melakukan ini’. Sekarang, jika aku tidur di tempat tidurnya, ia akan menahan kantuk sampai pagi, sampai siang. Jika aku tetap bertahan di tempat tidurnya, ia akan akhirnya tidur di ruangan tengah.
“Apa yang telah kulakukan? Dan apa yang telah kulakukan kali ini? Bukan tidur tidur itu soalnya. Bukan itu. Aku hanya ingin menyentuhnya. Aku hanya ingin mencium bau dari tubuhnya. Aku hanya ingin berada di dekatnya, dan merasakan dalam-dalam betapa ia pernah begitu mencintaiku—atau betapa aku pernah merasa ia begitu mencintaiku, dan betapa aku telah kehilangan dirinya, dan cintanya. Dan sementara meresapi pikiran-pikiran itu, aku bisa menahan tangisanku dengan menyadari bahwa ia berada didekatku saat itu, menemaniku melewatkan kesedihan dan akan membiarkanku mengurusnya lagi seperti sebelum-sebelumnya, seperti anakku sendiri. Dan itu membuatku merasa penuh.
“Dan kini tidak akan ada saat-saat seperti itu lagi, Zal. Sama sekali.”
Vi mengisap rokoknya dan menghembuskan asapnya samar-samar. Aku masih saja diam, bermain-main dengan pikiranku sendiri. Seandainya Mein itu lenyap sepenuhnya, akankah Vi berhenti membicarakannya, berhenti bersedih dan menangis?

Hukum sebagai Alat Kejahatan


Tb Ronny R Nitibaskara
Terungkapnya hubungan telepon beberapa pejabat tinggi Kejaksaan Agung dengan Artalyta Suryani, tersangka penyuap jaksa penyidik kasus BLBI, menyentak kita semua.
Peristiwa itu menunjukkan telah terjadi upaya sistematis, menggunakan hukum, untuk mengesahkan tindak kejahatan. Tragisnya, pelaku utama justru aparat penegak hukum yang ditugasi negara melawan kejahatan yang dikerjakan sendiri.
Lebih memilukan lagi, kejadian ini melibatkan bawahan-atasan dan jabatan sejajar serta membentuk organized crime. WJ Chambliss (1988) menyebutnya state- organized crime, tindakan yang menurut hukum sebagai kejahatan oleh pejabat pemerintah dalam tugas jabatannya selaku wakil negara.
Kejahatan sempurna
Disadari, kasus BLBI mengandung kompleksitas tinggi dan terkait dengan aneka penyimpangan. Sejak 8 tahun lalu, masalah ini menjadi perhatian penulis dan dijadikan obyek kajian kriminologi di bidang korupsi peradilan (judicial corruption).
Sebelumnya, saat menyoroti master of settlement and acquisition agreement dan terangkai dengan kasus sekarang, mendorong pada kesimpulan bahwa perjanjian oleh pihak-pihak tertentu sengaja dirancang untuk merugikan negara.
Dengan kata lain, bukan hal baru bila dalam kasus BLBI terjadi bancakan di antara sebagian penegak hukum. Mengingat banyak fakta semacam itu, saya mengajukan pendekatan baru tentang fungsi hukum bersifat kriminologi, yakni hukum sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai alat kejahatan (law as a tool of crime).
Jika terbukti, teori itu agaknya mendapat dukungan empiris. Penghentian penyidikan kasus BLBI oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), Februari 2008, merupakan bagian rencana menggunakan hukum demi kepentingan pribadi dan melawan hukum.
Penggunaan hukum sebagai alat kejahatan kami namakan kejahatan sempurna (perfect crime). Dikatakan sempurna karena tindakan itu sengaja dibungkus dengan hukum yang berlaku sehingga seolah-olah merupakan bagian penegakan hukum atau kebijakan resmi.
Kejahatan semacam ini umumnya sulit diungkap. Tanpa bukti-bukti spektakuler antara lain seperti rekaman pembicaraan telepon, kasus semacam ini akan menjadi dark number. Jabatan, kewenangan (power of authority) dan alibi hukum menjadi benteng guna menutup upaya penyidikan. Hal ini dapat dilihat pada penghentian penyidikan perkara BLBI oleh Kejagung.
Kekuasaan diskresi
Ketika Jampidsus Kemas Yahya Rahman mengumumkan Kejagung menghentikan penyidikan BLBI karena tak ditemukan pelanggaran hukum, akal sehat masyarakat menolak. Namun, struktur hukum di negara kita menghendaki masyarakat berpikir realistis. Artinya, kewenangan penghentian diberikan undang-undang (UU) sehingga tindakan itu secara hukum sah. Meski masygul, secara yuridis masyarakat tak diberi hak untuk menghambat lembaga itu menghentikan penyidikan.
Kewenangan bersifat diskresi (discretional power) itu sengaja diberikan UU kepada penegak hukum agar mereka dapat menegakkan hukum dengan menggunakan hukum itu sesuai keadaan yang berlaku dan cita-cita. Namun, di sinilah persoalannya. Karena hakikat penegakan hukum adalah pengambilan keputusan (Hartjen, 1989), unsur kepribadian penegak hukum ikut masuk dalam penegakan hukum. Akhirnya, sebagai sistem rasional, hukum bersentuhan dengan manusia sebagai subyek mempunyai multiaspek yang tidak hanya bersifat rasional.
Ketika diterapkan dalam kasus per kasus, secara sosiologi, hukum bersinggungan dengan aneka kepentingan, termasuk kepentingan penegak hukum. Di sini terjadi pergulatan antara menegakkan hukum dan menggunakan hukum.
Dalam penegakan hukum, ada kehendak agar hukum tegak sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan melalui instrumen hukum bersangkutan dapat diwujudkan. Sementara dalam penggunaan hukum, cita-cita dalam aturan hukum belum tentu secara sungguh-sungguh hendak diraih sebab sebagian hukum itu digunakan untuk membenarkan aneka tindakan yang dilakukan, seperti dalam kasus BLBI ini.
Dalam buku kami, Tegakkan Hukum, Gunakan Hukum (2006), dinyatakan, logika di balik menggunakan hukum itu sering menyesatkan. Orang yang tampak sungguh-sungguh berbicara hukum, bahkan kelihatan amat keras sampai beradu urat leher, kadang-kadang tidak memiliki niat agar hukum tegak. Sebaliknya, tidak peduli hukum runtuh karena hal itu.
Paradoks penegakan hukum
Perilaku menegakkan hukum dan sikap menggunakan hukum dalam praktik sulit dibedakan karena kedua pendekatan itu saling berimpitan (coincided). Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang. Sebaliknya, menggunakan hukum tanpa niat menegakkan hukum dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa keadaan seperti tanpa hukum.
Dua kutub antara menegakkan hukum dan menggunakan hukum merupakan paradoks yang harus diseimbangkan penegak hukum dalam kekuasaan diskresi. Dengan demikian, masalahnya menjadi sensitif. Setiap saat hukum dapat diterapkan secara diskriminatif. Hartjen mengingatkan, problem kekuasaan diskresi penegakan hukum adalah tipisnya batas antara diskresi dan diskriminasi.
Lebih ekstrem lagi bukan hanya diskriminatif. Menonjolnya sifat teknikalitas hukum modern, sehingga hanya dikuasai mereka yang berkecimpung di bidang hukum, dapat mendorong mereka memegang kekuasaan diskresi, memanfaatkan hukum secara leluasa, hingga menggunakan hukum sebagai alat kejahatan.
Bergabungnya teknikalitas hukum dan diskresi memudahkan penegak hukum mendapat pembenaran dalam melakukan aneka tindakan merugikan negara. Di sini terjadi anomali, yaitu kejahatan yang memiliki alibi ”demi hukum”, sehingga sulit diungkap seperti kasus BLBI.
Untuk membuktikan hubungan telepon Artalyta Suryani itu ada unsur melawan hukum. Berbagai pendekatan harus dilakukan, termasuk interpretasi. Maka, Putusan MA Nomor 275/PID/1983 tanggal 15 Desember 1983 dapat dijadikan dasar.
Berdasarkan yurisprudensi itu dan peraturan perundang-undangan lain, maka tidak ada alasan untuk tidak menindak semua pihak yang terlibat perkara sambungan telepon Artalyta Suryani. Hukum adalah alat untuk menegakkan kebenaran, bukan sebagai alat kejahatan.
Tb Ronny R Nitibaskara Rektor Universitas Budi Luhur

Definisi Negara


Definisi pemikir dahulu:

Aristotle menyatakan Negara adalah: perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.

Sedangkan Cicero pemikir Roma menegaskan Negara adalah: timbulnya pemikiran sehat masyarakat banyak bersatu untuk keadilan, dan berpartisipasi bersama dalam keuntungan.



Dilain pihak Penulis Francis Jean Bodin mengatakan Negara adalah: asosiasi beberapa keluarga dengan kesejahteraan yang layak, dengan alasan yang sehat setuju untuk dipimpin oleh penguasa tertinggi.

Definisi diatas terdapat beberapa kerusakan:
1. Tidak ada Negara yang bisa berdiri sendiri.
2. Tidak ada kesempurnaan/ keuntungan hidup secara mutlak terdapat dalam Negara.
3. tidaklah mungkin semua masyarakat didalam Negara bisa menyantuni kesejahteraan rakyatnya.

Definisi orang moderat:

Phillimore menyatakan Negara adalah: orang- orang yang secara permanent mendiami suatu wilayah tertentu, dijilid dengan hukum- hukum kebersamaan, kebiasaan dan adat- istiadat didalam satu kebijaksanaan.

Bluntschli mengatakan Negara adalah: organisasi kebijaksanaan orang- orang diwilayah tertentu.

Gettell menegaskan Negara adalah: komunitas oknum- oknum, secara permanent mendiami wilayah tertentu, menuntut dengan sah kemerdekaan diri dari luar dan mempunyai sebuah organisasi pemerintahan, dengan menciptakan dan menjalankan hukum secara menyeluruh didalam lingkungan.

Definisi Gattel lebih menggena dari pada definisi yang lainnya, wilayah yang dihuni oleh komunitas masyarakat, karna merasa tertindas, maka merdeka menjadi hak mereka menentukan hidup mereka sendiri.

Subyek: menurut wikipedia   

Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.

Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang berbeda dengan bentuk organisasi lain terutama karena hak negara untuk mencabut nyawa seseorang. Untuk dapat menjadi suatu negara maka harus ada rakyat, yaitu sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.


Subyek: negara menurut para ahli   Sun Nov 23, 2008 8:46 am

·         Georg Jellinek
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
* Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
* Roelof Krannenburg
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
* Roger H. Soltau
Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
* Prof. R. Djokosoetono
Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
* Prof. Mr. Soenarko
Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
* Aristoteles
Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.
* Prof. Dr. Ing. Vicky Rahadian F.
Negara adalah suatu tempat yang bisa diduduki dan ditinggali.

Subyek: Asal Mula Terjadinya Negara Berdasarkan fakta sejarah   Sun Nov 23, 2008 8:46 am

·         Pendudukan (Occupatie)

Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai, kemudian diduduki dan dikuasai.Misalnya,Liberia yang diduduki budak-budak Negro yang dimerdekakan tahun 1847.

* Peleburan (Fusi)

Hal ini terjadi ketika negara-negara kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang baru.Misalnya terbentuknya Federasi Jerman tahun 1871.

* Penyerahan (Cessie)

Hal ini terjadi Ketika suatu Wilayah diserahkan kepada negara lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu.Misalnya,Wilayah Sleeswijk pada Perang Dunia I diserahkan oleh Austria kepada Prusia,(Jerman).

* Penaikan (Accesie)

Hal ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat penaikan Lumpur Sungai atau dari dasar Laut (Delta).Kemudian di wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga terbentuklah Negara.Misalnya,wilayah negara Mesir yang terbentuk dari Delta Sungai Nil.


CITA NEGARA HUKUM INDONESIA KONTEMPORER [1]

Oleh
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[2]

Abstrak: Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’  Yang dibayangkan sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Kata Kunci: .rechtsstaat’,‘the rule of law’, Negara Hukum

Pendahuluan
Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”[3], jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1.      Perlindungan hak asasi manusia.
2.      Pembagian kekuasaan.
3.      Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4.      Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1.      Supremacy of Law.
2.      Equality before the law.
3.      Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah:

1.      Negara harus tunduk pada hukum.
2.      Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3.      Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan negara hukum materiel atau Negara hukum modern[4]. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’.

Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang Negara hukum di zaman sekarang.

Dari uraian-uraian di atas, menurut pendapat saya, kita dapat merumuskan kembali adanya dua-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya.

1.      Supremasi Hukum (Supremacy of Law):

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

2.      Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

3.      Asas Legalitas (Due Process of Law):

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

4.      Pembatasan Kekuasaan:

Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

5.      Organ-Organ Eksekutif Independen:

Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi pro-demokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.

6.      Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

7.      Peradilan Tata Usaha Negara:

Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.

8.      Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):

Di samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional courts) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini dibweri fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern.

9.      Perlindungan Hak Asasi Manusia:

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10.  Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.

11.  Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat):

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’ yang tetap didasarkan atas aturan.

12.  Transparansi dan Kontrol Sosial:

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.

            Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung 12 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.



Daftar Pustaka


Plato: The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Trevor J. Saunders.

Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962





[1]. Orasi  ilmiah Pada Wisuda Sarjana HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004


[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.


[3] Lihat Plato: The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Trevor J. Saunders.


[4] Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 9.



Bagaimana Sebuah Bangsa Terbentuk?


Donna Sorenty Moza
Sekretaris DPD I Partai Persatuan Pembebasan Nasional Lampung
Apakah nasionalisme? Soekarno memaknai nasionalisme dengan bercermin akan landasan pemahaman nilai-nilai kemanusian, terbangunnya persatuan di atas nilai keadilan tanpa menindas. Nilai dasar inilah yang melandasi keinginan manusia membentuk sebuah nation atau bangsa. Namun secara umum, nasionalisme lebih dimaknai dalam konsep penguasaan wilayah atau teritorial tertentu.
Keinginan membentuk nation bersama muncul karena adanya persamaan nasib dan sejarah sehingga menimbulkan persatuan dalam suatu komunitas masyarakat membentuk kesadaran berbangsa. Kesamaan itu meliputi aspek budaya, bahasa, agama dan tradisi. Inilah proses yang mendasari terbentuknya sebuah kesadaran bersatu, bergabung dan berbangsa di mana pun di seluruh dunia.
Ribuan tahun lalu kalau kita kaji kembali corak perkembangan masyarakat periode awal manusia, yakni pada zaman prasejarah sampai terbentuknya masyarakat modern, didahului tahap fase masyarakat komunal primitif adanya kehadiran komunitas-komunitas yang terdiri dari kelompok suku-suku. Suku-suku pada masa tersebut saling berperang memperebutkan wilayah basis pertahanan hidup dan ekonomi masing-masing. Suku yang kalah takluk dan menjadi budak bagi suku yang menang.
Pola komunal primitif ini terjadi di belahan dunia mana pun dan berkontribusi besar bagi perkembangan peradaban besar di berbagai dunia seperti halnya di kawasan Eropa yang meliputi peradaban Yunani, di kawasan Amerika yakni peradaban Aztec, Maya dan Inca. Sementara di kawasan benua Asia yakni meliputi peradaban sungai Indus, Nil, Eufrat dan Tigris, Yang Tse Kiang, dll.
Dalam perjalanan zaman tersebut, suku-suku yang menang kian membesar dan berkuasa dan bertransformasi menjadi kerajaan-kerajaan lokal, kemudian mengalamai evolusi sehingga menjadi kerajaan-kerajaan yang lebih besar seperti halnya Kerajaan Romawi Kuno yang berbasis di Eropa berkembang besar dan mengalami puncak kejayaan selama beberapa abad.
Dalam sejarah modern sekarang, kejayaan Kerajaan Romawi kita kenal dengan nama Imperium Romawi, yang mampu meluaskan penaklukan jajahannya dengan ekspansi militer meliputi hampir seluruh kawasan Eropa dan ekspansi kekuasaan ke berbagai kerajaan sampai benua Afrika dan Asia, khususnya Timur Tengah. Merebut kejayaan dan pekembangan peradaban yang ada di wilayah-wilayah tersebut.
Kerajaaan-kerajaan besar seperti Romawi ataupun Mesir kemudian membentuk sistem administrasi kependudukan dan menetapkan wilayah teritori kekuasaan, membentuk pranata dan aturan bersama mengikat komunitas-komunitas masyarakat dan kerajaan-kerajaan yang ditaklukkannya.
Imperium Romawi ini pun kemudian jatuh dan terpecah-pecah kembali dan membebaskan diri menjadi kerajaan-kerajaan kecil mewakili tiap teritori wilayah. Seperti hadirnya bangsa Prancis berawal dari rumpun yang menguasai daerah Galia, bangsa Jerman berdiri dari rumpun Germania, Inggris berdiri atas invasi suku bangsa Viking dan Skandinavia, dll. Kerajaan-kerajaan inilah yang kini menjadi cikal bakal sebuah organisasi modern yang bernama negara atau bangsa yang kita kenal.
Termasuk juga di Indonesia. Sebelum terbentuknya kerajaan lokal seperti Samudra Pasai; Aceh; Malaka; Maluku dll., semuanya diawali proses dari terbentuknya komunitas suku maupun kelompok antarmarga. Kemudian bermunculan kerajaan yang melakukan ekspansi militer dan ingin menaklukkan wilayah dan kerajaan lokal-lokal kecil sehingga membangun sebuah wilayah penaklukkan kerajaan besar.
Sebutlah seperti Kerajaan Majapahit ataupun Mataram melakukan ekspansi sampai Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, Malaka yang kini kita kenal Malasya dan ke berbagai wilayah luar Jawa. Selain faktor adanya upaya pemaksaan ekspansi kekuasaan, juga adanya keinginan secara sukarela mengikat diri menjadi bagian sebuah kerajaan-kerajaan tersebut karena sejumlah persamaan sejarah mereka dan membentuk rasa persaudaraan dan sistem kekerabatan lewat pengikatan pernikahan.
Bagaimanakah sebuah bangsa terbentuk? Rasa kebangsaan muncul karena munculnya kebutuhan individu-individu masyarakat maupun kelompok-kelompok masyarakat membentuk aturan bersama yang saling menguntungkan dan disepakati bersama-sama mengatur distribusi untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan, mengikat mereka bersatu.
Bagaimanakah komunitas ini mau bersatu dan bergabung membentuk bangsa? Di antaranya adalah faktor persamaan nasib, persamaan budaya baik itu bahasa, tradisi, kepercayaan atau agama yang akhirnya membentuk bangunan emosional yang kuat. Sehingga sesungguhnya perasaan dan semangat kebangsaan yang hakiki harusnya lahir dari keinginan bersatu secara sukarela.
Namun, perkembangan sejarah menjelaskan kepada kita bahwa suatu kerajaan, bangsa atau negara seringkali dibangun di atas penaklukkan secara paksa dan bahkan dengan cara berperang. Sejarah masyarakat modern membuktikan dengan jelas bagaimana bangsa dan negara ini dibangun dengan cara kolonialisme dan ekspansi militer seperti yang dilakukan oleh negara-negara besar di Eropa yang maju seperti Portugis (Portugal), Spanyol, Belanda, Inggris, Perancis.
Negara-negara di Eropa sendiri merupakan hasil perpecahan dari kejayaan Bangsa Romawi. Motif penjajahan atau kolonialisme ini didasari kebutuhan untuk merampok hasil alam dan menindas masyarakat yang terjajah demi kepentingan bangsa penakluk yakni para raja-raja dan bangsawan mereka.
Sebagaimana yang pernah dialami bangsa Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda, Inggris juga Jepang. Rasa kebangsaan untuk lepas dari penindasan dan ketertindasan yang dilakukan kolonialisme Belanda juga Jepanglah pada akhirnya menimbulkan persamaan nasib masyarakat Indonesia mau merubah nasib sehingga bersatu dan berjuang membentuk nation atau bangsa sendiri.
Kesadaran berbangsa untuk mengatur diri sendiri secara bebas dan mendapatkan keadilan kesejahteraan yang lebih baik. Inilah persatuan yang mendasari kemunculan organisasi-organisasi pergerakan melawan penjajahan Belanda awal abad 20.
Aksi-aksi dan perlawanan radikal secara masif digalang oleh kaum muda saat itu sampai munculnya perbedaan pandang dan ideologi di antara organisasi dan kaum muda saat itu. Apakah perlu melakukan aksi-aksi radial dan berpolitik membentuk partai sendiri atas masyarakat Hindia Belanda yang terjajah (Indonesia) atau sekadar menuntut akses ekonomi.
Perdebatan ini dapat kita lihat dengan kemunculan Serikat Dagang Indonesia (SDI) yang kemudian pecah menjadi Serikat Islam (SI). SI pun pecah menjadi SI Putih dan SI Merah. SI Putih bersikap antipartisan dan tidak mau melawan kolonialisme Belanda secara radikal, sementara Serikat Rakyat (SR) membentuk partai politik dan menerapkan aksi-aksi dan perlawanan radikal melawan Belanda.
Perspektif dan kesadaran mendirikan partai politik pun mewarnai jalan panjang intelektual kaum muda berjuang membangun perluasan kesadaran masyarakat pribumi untuk berbangsa dengan meraih kemerdekaan dan mulai mengusung nama Indonesia.
Semangat ini bergema dan disambut oleh masyarakat kolonial Hindia Belanda di seluruh wilayah dan teritori kekuasaan Belanda dari Sumatera sampai beberapa wilayah Indonesia bagian Timur. Semangat ini muncul karena persamaan ditindas dan ditekan dan meluasnya penggunaan bahasa melayu mempermudah komunikasi dan persatuan yang muncul.
Jadi sesungguhnya, nasionalisme muncul karena kerelaan dan persamaan nasib dan cita-cita dan harapan akan nilai rasa keadilan dan persamaan dalam segala hal. Demikian juga kini segenap masyarakat Indonesia paska-Revolusi Kemerdekaan 1945 memiliki harapan-harapan ini.
Jadi wajarlah bila ada sekelompok masyarakat Indonesia yang ingin lepas dari NKRI ketika mereka tidak mendapatkan harapan dan kenyataan ini, seperti yang dicerminkan dengan kemunculan pergolakan Rakyat Aceh juga di beberapa wilayah timur Indonesia, seperti dulu Timor Timur dan kini sebagian besar Rakyat Papua.
Semangat nasionalisme inilah yang harus kita pahami kembali setelah Indonesia Merdeka 62 tahun lamanya, lepas dari penjajahan dan kolonialisme Belanda dan Jepang. Ironis bila penguasa negeri ini dalam perjalanan sejarah penjadi penindas bagi bangsanya sendiri dan mengangkangi konstitusi pendiri bangsa yang telah berjuang sampai berdirinya nation Indonesia. Jadi kini, janganlah penguasa bertanya mengapa pergolakan rakyat terus terjadi.
Kemiskinanlah yang telah membuat rakyat Indonesia kian menggelora dan menggeliat kepanasan dan bukan tidak mungkin akan terjadi suatu letupan gerakan sosial yang lebih besar di masa yang akan datang bila penguasa negeri ini tidak mampu memberikan cita-cita bersama ini bagi semua rakyat Indonesia.