Blog ini bertujuan agar mempermuda Mahasiswa untuk memperoleh informasi dalam studinya.
Translate
Senin, 11 Maret 2013
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2001
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 48 TAHUN 2001
TENTANG
SEKRETARIAT JENDERAL
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia,
dipandang perlu menetapkan Sekretariat Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dengan Keputusan Presiden;
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
3. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3890);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan
Struktural (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4018);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG SEKRETARIAT JENDERAL KOMISI NASIONAL HAK ASASI
MANUSIA.
BAB I
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI
Pasal 1
1. Sekretariat Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini
disebut Sekretariat Jenderal Komnas HAM adalah Aparatur Pemerintah yang berbentuk badan kesekretariatan.
2. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretariat Jenderal Komnas HAM berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Ketua Komnas HAM.
Pasal 2
Sekretariat Jenderal Komnas HAM mempunyai tugas menyelenggarakan dukungan di bidang teknis operasional dan
administratif kepada Komnas HAM dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta pembinaan terhadap seluruh
unsur dalam lingkungan Sekretariat Jenderal Komnas HAM.
Pasal 3
Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Sekretariat Jenderal Komnas HAM
menyelenggarakan fungsi:
a. memberikan dukungan teknis operasional kepada Komnas HAM;
b. menyelenggarakan kegiatan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi administrasi kegiatan dan tindak lanjut
Komnas HAM;
c. memberikan pelayanan administrasi dalam penyusunan rencana dan program kerja Komnas HAM;
d. memberikan pelayanan administrasi dalam kerja sama Komnas HAM dengan lembaga pemerintah dan lembaga
non pemerintah terkait baik di dalam negeri maupun di luar negeri;
e. menyelenggarakan pelayanan kegiatan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data serta penyusunan laporan
kegiatan Sekretariat Jenderal Komnas HAM;
f. menyelenggarakan kegiatan administrasi keanggotaan Komnas HAM serta melaksanakan pembinaan
organisasi, administrasi kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana Sekretariat Jenderal Komnas HAM.
BAB II
ORGANISASI
Pasal 4
1. Sekretariat Jenderal Komnas HAM dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal Komnas HAM, yang selanjutnya
dalam Keputusan Presiden ini disebut Sesjen Komnas HAM.
2. Sesjen Komnas HAM dijabat oleh seorang Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM.
Pasal 5
Sesjen Komnas HAM mempunyai tugas memimpin Sekretariat Jenderal Komnas HAM sesuai dengan tugasnya,
membina seluruh satuan organisasi di lingkungan Sekretariat Jenderal Komnas HAM agar berdaya guna dan
berhasil guna, menentukan kebijaksanaan teknis pelaksanaan kegiatan Sekretariat Jenderal Komans HAM, serta
membina dan melaksanakan hubungan kerja sama dengan instansi/lembaga lain di luar Sekretariat Jenderal Komnas
HAM.
Pasal 6
1. Dalam melaksanakan tugasnya Sesjen Komnas HAM dibantu oleh sebanyak-banyaknya 5 (lima) biro.
2. Biro terdiri dari sebanyak-banyaknya 4 (empat) Bagian dan masing-masing Bagian terdiri dari sebanyakbanyaknya
3 (tiga) Sub Bagian.
3. Di lingkungan Sekretariat Jenderal Komnas HAM dapat diangkat jabatan fungsional, yang pelaksanaannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
KEPANGKATAN, PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN
Pasal 7
1. Sesjen Komnas HAM adalah jabatan eselon Ia.
2. Kepala Biro adalah jabatan eselon IIa.
3. Kepala Bagian adalah jabatan eselon IIIa.
4. Kepala Sub Bagian adalah jabatan eselon IVa.
Pasal 8
1. Sesjen Komnas HAM diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Sidang Paripurna Komnas HAM.
2. Kepala Biro dan jabatan-jabatan di bawahnya diangkat dan diberhentikan oleh Sesjen Komnas HAM.
3. Pejabat jabatan fungsional diangkat dan diberhentikan oleh Sesjen Komnas HAM.
BAB IV
TATA KERJA
Pasal 9
Seluruh unsur di lingkungan Sekretriat Jenderal Komnas HAM dalam melaksanakan tugasnya, wajib menerapkan
prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi, baik di lingkungan Sekretariat Jenderal Komnas HAM sendiri
maupun dalam hubungan antar instansi/lembaga sesuai dengan tugas masing-masing.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 10
Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Sekretariat Jenderal Komnas HAM dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 11
Jika dipandang perlu untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsinya, Sekretariat Jenderal Komnas HAM dapat
membentuk kelompok kerja.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Rincian dan rumusan tugas, fungsi dan susunan organisasi, serta tata kerja Sekretariat Jenderal Komnas HAM
ditetapkan oleh Sesjen Komnas HAM, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.
Pasal 13
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka segala ketentuan yang mengatur mengenai Sekretariat Jenderal
Komnas HAM dalam Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 April 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
ABDURRAHMAN WAHID
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
ttd
Edy Sudibyo
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2002
TENTANG
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI TERHADAP
KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kompensasi,
Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
2. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM meliputi Pengadilan HAM
dan Pengadilan HAM Ad Hoc, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
3. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik,
mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk
korban adalah ahli warisnya.
4. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
5. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak
ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
6. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau
hak-hak lain.
7. Instansi Pemerintah Terkait adalah instansi Pemerintah termasuk Departemen Keuangan yang secara
tegas disebut dalam amar putusan.
Pasal 2
1. Kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang
merupakan ahli warisnya.
2. Pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak.
BAB II
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
Pasal 3
1. Instansi Pemerintah Terkait bertugas melaksanakan pemberian kompensasi dan rehabilitasi
berdasarkan putusan Pengadilan HAM yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Dalam hal kompensasi dan atau rehabilitasi menyangkut pembiayaan dan perhitungan keuangan
negara, pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Pasal 4
Pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam
amar putusan Pengadilan HAM.
Pasal 5
Pelaksanaan putusan Pengadilan HAM oleh Instansi Pemerintah Terkait sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) wajib dilaporkan kepada Pengadilan HAM yang mengadili perkara yang bersangkutan dan
Jaksa Agung paling lamb at 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan dilaksanakan.
BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN
Pasal 6
1. Pengadilan HAM mengirimkan salinan putusan Pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah
Agung, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Jaksa Agung.
2. Jaksa Agung melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan membuat berita
acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada Instansi Pemerintah Terkait untuk melaksanakan
pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi, dan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan
pemberian restitusi.
Pasal 7
Instansi Pemerintah Terkait melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi serta pelaku atau
pihak ketiga melaksanakan pemberian restitusi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diterima.
Pasal 8
1. Pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi, dilaporkan oleh Instansi
Pemerintah Terkait, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan HAM yang memutus perkara,
disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi tersebut.
2. Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
warisnya.
3. Setelah Ketua Pengadilan HAM menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua
Pengadilan HAM mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang
bersangkutan.
Pasal 9
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada pihak korban
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, korban atau keluarga korban yang
merupakan ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada Jaksa Agung.
(2) Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Instansi Pemerintah
Terkait, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
Pasal 10
Dalam hal pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi dapat dilakukan secara bertahap, maka
setiap tahapan pelaksanaan atau kelambatan pelaksanaan harus dilaporkan kepada Jaksa Agung.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Maret 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Maret 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 7
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2002
TENTANG
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI TERHADAP
KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT
I. UMUM
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Dalam hal terjadi pengabaian, pengurangan dan perampasan hak asasi manusia, terutama terjadi
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang baik
sipil, militer, maupun polisi, maka pihak korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya
berhak memperoleh kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi secara tepat, cepat, dan layak dalam arti
bahwa pihak korban atau ahli warisnya berhak memperoleh ganti kerugian atau pengembalian hak-hak
dasarnya yang dilakukan sesuai dengan sasaran yakni korban dan penggantian kerugiannya,
pelaksanaannya segera diwujudkan, dan pengembalian haknya harus patut sesuai dengan rasa keadilan.
Ganti kerugian atau pengembalian hak, misalnya pengembalian kebutuhan dasar yang meliputi
kebutuhan fisik dan kebutuhan non fisik, yang masuk dalam lingkup kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi diputus oleh
Pengadilan HAM di setiap tingkatan pengadilan. Mengenai besarnya ganti kerugian atau pemulihan
kebutuhan dasar tersebut diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang memutus perkara yang
dicantumkan dalam amar putusannya. Jadi, hakim diberikan kebebasan sepenuhnya secara adil, layak,
dan cepat mengenai besarnya ganti kerugian tersebut berdasarkan hasil penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan beserta bukti-bukti yang mendukungnya.
Peraturan Pemerintah ini dibentuk sebagai pelaksanaan Pasal 35 ayat (3) Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang berbunyi:
1. Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
2. Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam
amar putusan Pengadilan HAM.
3. Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang diberikan
kepada korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Kompensasi dan rehabilitasi yang
menyangkut pembiayaan dan perhitungan keuangan negara dilaksanakan oleh Departemen Keuangan.
Sedangkan mengenai kompensasi, dan rehabilitasi di luar pembiayaan dan perhitungan keuangan
negara dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah Terkait.
Disamping itu, Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai tata cara pelaksanaan kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi kepada pihak korban, dari mulai proses diterimanya salinan putusan kepada
Instansi Pemerintah Terkait dan korban sampai dengan pelaksanaan pengumuman pengadilan dan
pelaksanaan laporan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "ahli waris" adalah ahli waris sesuai dengan penetapan pengadilan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tepat" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak
lainnya diberikan kepada korban yang memang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak
asasi manusia yang berat.
Yang dimaksud dengan "cepat" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak
lainnya diberikan kepada korban sesegera mungkin dalam rangka secepatnya mengurangi penderitaan
korban.
Yang dimaksud dengan "layak" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak
lainnya diberikan kepada korban secara patut berdasarkan rasa keadilan.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ketentuan ini dimaksudkan sebagai pengawasan terhadap Instansi Pemerintah Terkait dalam
melaksanakan putusan Pengadilan HAM.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan agar tercipta adanya keterbukaan kepada masyarakat mengenai
pelaksanaan kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada pihak korban.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan keringanan kepada pelaku atau Pemerintah dalam
pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi untuk dilakukan secara bertahap karena
keterbatasan kemampuan bila dilaksanakan sekaligus.
Pasal 11
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4172
Pemilu 1955.
Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu
Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat
minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benarbenar
tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh
Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan
keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu
dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta
tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai
politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan
MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu
pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu
bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955
dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggotaanggota
DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota
Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan
diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada
Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala
yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri.
Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan
pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk
mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan
negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap
pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara
teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang
mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang
diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU
Pemilu;
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan
politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga
masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan
konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan
perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk
menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan
politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU
No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun
1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum
yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak
langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada
waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan
akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi
menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai
program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang
dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum
kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia
Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan
oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu
berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa
anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undangundang
pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada
masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun
1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU
No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang
mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku
lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil
diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu
1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing.
Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar
kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkom-petisi secara
sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan
menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan
otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan
partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang
menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali
ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota
Dewan Kons-tituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.
No.Partai/Nama Daftar Suara % Kursi
1.Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57
2.Masyumi 7.903.886 20,92 57
3.Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45
4.Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39
5.Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.091.160 2,89 8
6.Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1.003.326 2,66 8
7.Partai Katolik 770.740 2,04 6
8.Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5
9.Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI) 541.306 1,43 4
10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 483.014 1,28 4
11.Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2
12.Partai Buruh 224.167 0,59 2
13.Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 219.985 0,58 2
14.Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2
15.Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 200.419 0,53 2
16.Murba 199.588 0,53 2
17.Baperki 178.887 0,47 1
18.Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 178.481 0,47 1
19.Grinda 154.792 0,41 1
20.Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 149.287 0,40 1
21.Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1
22.PIR Hazairin 114.644 0,30 1
23.Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.131 0,22 1
24.AKUI 81.454 0,21 1
25.Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1
26.Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 72.523 0,19 1
27.Angkatan Comunis Muda (Acoma) 64.514 0,17 1
28.R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1
29.Lain-lain 1.022.433 2,71 -
Jumlah 37.785.299100,00 257
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955.
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang
memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil
pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI
meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua,
perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam
pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan
kursi itu adalah sebagai berikut:
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.
No.Partai/Nama Daftar Suara % Kursi
1.Partai Nasional Indonesia (PNI) 9.070.21823,97 119
2.Masyumi 7.789.61920,59 112
3.Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.33318,47 91
4.Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.232.51216,47 80
5.Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.059.922 2,80 16
6.Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 988.810 2,61 16
7.Partai Katolik 748.591 1,99 10
8.Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10
9.Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 544.803 1,44 8
10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 465.359 1,23 7
11.Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3
12.Partai Buruh 332.047 0,88 5
13.Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 152.892 0,40 2
14.Partai Rakyat Indonesia (PRI) 134.011 0,35 2
15.Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 179.346 0,47 3
16.Murba 248.633 0,66 4
17.Baperki 160.456 0,42 2
18.Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 162.420 0,43 2
19.Grinda 157.976 0,42 2
20.Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 164.386 0,43 2
21.Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3
22.PIR Hazairin 101.509 0,27 2
23.Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 74.913 0,20 1
24.AKUI 84.862 0,22 1
25.Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1
26.Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 143.907 0,38 2
27.Angkatan Comunis Muda (Acoma) 55.844 0,15 1
28.R.Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1
29.Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1
30.Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1
31.Radja Keprabonan 33.660 0,09 1
32.Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI) 39.874 0,11
33.PIR NTB 33.823 0,09 1
34.L.M.Idrus Effendi 31.988 0,08 1
lain-lain 426.856 1,13
Jumlah 37.837.105 514
Periode Demokrasi Terpimpin.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan
hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan
pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno
sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante
dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden
Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim
demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam
istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada
democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960
ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu
menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak
dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan
MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul
tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan
itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut
UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau
sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan
Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik,
ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang
kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun
menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat
menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup.
Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat
tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Sumber : KPU
Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat
minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benarbenar
tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh
Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan
keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu
dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta
tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai
politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan
MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu
pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu
bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955
dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggotaanggota
DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota
Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan
diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada
Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala
yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri.
Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan
pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk
mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan
negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap
pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara
teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang
mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang
diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU
Pemilu;
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan
politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga
masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan
konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan
perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk
menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan
politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU
No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun
1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum
yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak
langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada
waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan
akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi
menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai
program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang
dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum
kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia
Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan
oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu
berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa
anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undangundang
pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada
masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun
1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU
No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang
mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku
lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil
diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu
1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing.
Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar
kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkom-petisi secara
sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan
menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan
otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan
partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang
menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali
ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota
Dewan Kons-tituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.
No.Partai/Nama Daftar Suara % Kursi
1.Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57
2.Masyumi 7.903.886 20,92 57
3.Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45
4.Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39
5.Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.091.160 2,89 8
6.Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1.003.326 2,66 8
7.Partai Katolik 770.740 2,04 6
8.Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5
9.Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI) 541.306 1,43 4
10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 483.014 1,28 4
11.Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2
12.Partai Buruh 224.167 0,59 2
13.Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 219.985 0,58 2
14.Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2
15.Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 200.419 0,53 2
16.Murba 199.588 0,53 2
17.Baperki 178.887 0,47 1
18.Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 178.481 0,47 1
19.Grinda 154.792 0,41 1
20.Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 149.287 0,40 1
21.Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1
22.PIR Hazairin 114.644 0,30 1
23.Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.131 0,22 1
24.AKUI 81.454 0,21 1
25.Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1
26.Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 72.523 0,19 1
27.Angkatan Comunis Muda (Acoma) 64.514 0,17 1
28.R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1
29.Lain-lain 1.022.433 2,71 -
Jumlah 37.785.299100,00 257
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955.
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang
memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil
pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI
meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua,
perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam
pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan
kursi itu adalah sebagai berikut:
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.
No.Partai/Nama Daftar Suara % Kursi
1.Partai Nasional Indonesia (PNI) 9.070.21823,97 119
2.Masyumi 7.789.61920,59 112
3.Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.33318,47 91
4.Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.232.51216,47 80
5.Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.059.922 2,80 16
6.Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 988.810 2,61 16
7.Partai Katolik 748.591 1,99 10
8.Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10
9.Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 544.803 1,44 8
10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 465.359 1,23 7
11.Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3
12.Partai Buruh 332.047 0,88 5
13.Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 152.892 0,40 2
14.Partai Rakyat Indonesia (PRI) 134.011 0,35 2
15.Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 179.346 0,47 3
16.Murba 248.633 0,66 4
17.Baperki 160.456 0,42 2
18.Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 162.420 0,43 2
19.Grinda 157.976 0,42 2
20.Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 164.386 0,43 2
21.Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3
22.PIR Hazairin 101.509 0,27 2
23.Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 74.913 0,20 1
24.AKUI 84.862 0,22 1
25.Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1
26.Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 143.907 0,38 2
27.Angkatan Comunis Muda (Acoma) 55.844 0,15 1
28.R.Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1
29.Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1
30.Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1
31.Radja Keprabonan 33.660 0,09 1
32.Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI) 39.874 0,11
33.PIR NTB 33.823 0,09 1
34.L.M.Idrus Effendi 31.988 0,08 1
lain-lain 426.856 1,13
Jumlah 37.837.105 514
Periode Demokrasi Terpimpin.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan
hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan
pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno
sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante
dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden
Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim
demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam
istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada
democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960
ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu
menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak
dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan
MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul
tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan
itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut
UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau
sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan
Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik,
ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang
kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun
menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat
menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup.
Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat
tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Sumber : KPU
MEIN
Aku tak bisa menanggung lagi, Zal.” Vi memulai kesedihannya; bersedih
lagi setelah berusaha bertahan untuk beberapa hari dalam keriangan palsu,
selalu palsu.
“Kau tahu aku mencintainya seperti
saudaraku sendiri, kau tahu, kan?” Aku mengerdip, bukan untuk menjawabnya. Ya,
itulah kenapa q merelakanmu mencintainya. Laki-laki lain, yang punya tanggal
lahir sama denganku, yang tinggal tak jauh dari rumahmu. Seperti apa rupanya
aku hanya tahu dari foto-foto berukuran kecil di telepon genggammu.
Namanya Mein—Vi melafalkannya
seperti kata “mine” dalam bahasa
inggris. Setelah satu bulan Vi mengenal dan berpacaran dengan anak muda itu,
aku kembali dari luar kota dan menyuruhnya tinggal bersamaku, mengingat empat
tahun yang pernah kami lalui bersama. Dan mengingat betapa dia satu-satunya
orang yang selalu benar-benar kusayangi. Juga betapa aku tahu hanya aku yang
selalu disayanginya sebagai kekasih. Baru setelah Mein memutuskannya, Vi
menerima tawaranku. Aku tinggal dirumahnya.
Aku masih ingat, Vi menangis di malam itu. Dia merasa sungguh tak tahu
apa salahnya. Dia menyambut kedatanganku kembali dalam hidupnya dengan
mengatakan betapa dia mencintai seseorang dan betapa seseorang telah mematahkan
hatinya. Satu hal lagi, betapa dia hanya bisa menceritakan semuanya kepadaku.
Aku membawakan Vi minuman kaleng. Dia meminumnya setengah kaleng dan
menciumiku dengan rakus. Setelah puas menatapa wajahku di akhir
ciuman-ciumannya, Vi meringkuk diketiakku dan mulai mengeluh lagi.
“Hanya karena aku tak menceritakan masalahku?”
Dia pun menangis lagi malam itu.
“Jika kau tahu betapa sakitnya aku menunggu terjadinya hubungan itu
dahulu. Menjalani hari-hari, minggu-minggu di mana harapan-harapan yang manis
meluncur deras sementara kepastian hanya dalam mimpi-mimpiku. Aku telah menjadi
canggung dan kehilangan kepercayaan diri. Aku merasa sangat tidak pantas
mendapatkannya. Kapan, coba, kapan terakhir kali aku gagal merebuthati orang
yang kuinginkan? Aku bisa mendapatkan tiga orang dalam tiga minggu itu. Tapi
tak kuambil kesempatan-kesempatan itu. Aku hany menginginkannya. Dan aku tidak
yakin apakah aku bisa memenangkan hatinya.
“Dan tahukah, aku tidak merasa amat jatuh cinta padanya. Aku tidak
meledak-ledak seperti—kau tahu. Aku menyanyanginya dari dalam, pelahan-lahan,
seperti membiarkan sebuah tanaman terus tumbuh didalam hatiku, di dalam diriku,
sampai seseorang di luar diriku bersedia merawatnya bersamaku.
“Kini tanaman itu telah menguasai seluruh diriku, mencengkeramku dari
dalam tanpa seorang pun dapat menyadarinya. Dan tepat pada saat ini! Tepat pada
saat ini, Zal ,ia menyuruhku merawat tanaman itu sendirian?””
Vi telah mencengkeram salah satu bagian kemejaku seperti pelacur yang
marah kepada seorang bajingan. Aku tak mengatakan apa-apa. Untuk mengalihkan
perasaan ini aku hanya memandang sembarang arah dan mengedipkedipkan mataku
dengan kaku.
“Oh, Zal. Adakah tanaman besar ini akan menguatkanku atau
menumbangkanku sendirian.”Aku tetap diam. Vi terpejam.
Aku ingin menciumnya pada saat-saat seperti ini. Tak seperti malam itu,
Vi duduk dimeja makan. Menundukkan kepala dana mengangkatnya kembali bukan
untuk menatapa apa pun. Dia menggigit bibirnya sesekali. Saat beradu pandang
denganku, metanya penuh rasa bersalah. Dia telah lupa dirinya. Dia suci seperti
santa di dunia sekuler saat ini. Aku tidak begitu yakin bagian mana aku
menghiburnya?
“Kali ini, Zal. Ia tidka mau tidur denganku. Tidak,” katanya memulai
lagi.
Oh, aku telah mendengar berita macam ini berulang kali, dan selalu
akhirnya mereka melakukannya lagi. Lagi dan lagi seperti para kekasih mudah
yang selalu lemah dan ragu-ragu. Pertama kali aku mendengar pengulangan ini,
aku mengingatkannya akan saat sebelumnya. Namun Vi mendesak bahwa ada hal
khusus dari berita serupa kali itu.
Aku ingat waktu Vi menceritakan bagian ini:
“aku mendengar ia memadamkan lampu kamar dan mengunci pintu, lalu
menyusulku ke tempat tidur. Ia berbaring di sebelahku. Aku thau ia yakin aku
belum tidur. Dengan sikap yang angkuh dan ragu-ragu ia menempelkan telapak
kakinya ke kakiku, begitu samar. Hany karena hatiku begitu peka akibat
mencintainya begitu besarlah aku bisa merasakan sentuhan itu.
“Aku diam beberapa saat, kemudian dengan keraguan yang sama, tapi tanpa
keangkuhan, aku menyilangkan kakiku yang lain kepinggangnya. Ia tidak mengelak!
Tak lama kemudian ia berpaling ke arahku, menempelkan wajahnya sangat dekat ke
wajahku sehingga kami bahkan tak bisa bertatapan. Kami berciuman. Dan seakan
begitu merindukanku, ia mendekap dan menciumiku dengan tenaga yang besar. Kami
melakukannya! Lagi! Begitu indah!”
Setelah bagian ini Vi tiba-tiba terdiam, menarik dan menghembuskan
napas dengan berat, lalu melanjutkan: “Setelah semuanya selesai, Zal, ia
menggeser tubuhnya dengan cepat, menjauhi tubuhku. Aku menatapnya dalam gelap.
Ia tampak tidak senang, sangat berubah! Menjawab tatapanku, ia berkata, `Sudah
ya. Kamu bukan pacarku lagi. Sebaiknya kita berteman saja. Aku merasa tidak
enak dengan ini semua. Kamu tidak apa-apa ‘kan?’ Lalu ia tersenyumpadaku.
Berusaha tersenyum, tepatnya.
“Pada kali ini hatiku telah terlatih untuk tidak secara langsung
mengirimkan energi sedih ke wajahku. Aku juga tidak bilang terakhir unutuk hari
ini dengan gaya penuh humor untuk menutupi kekecewaanku atau kesedihanku. Aku
tersenyum kepadanya dan bilang OK.
“Tapi sekarang aku merasa itu adalah jawaban yang buruk. Paling buruk!
Sebab beberapa jam kemudian ia tampak inferior, seperti sedang merasa tak
berharga karena aku tak menunjukkan perhatianku yang besar seperti biasa,
perhatianku yang tulus dan dungu. Aku amat merasa bersalah. Dan seperti biasa,
aku merasa menanggung seluruh kesalahan yang pernah kulakukan, khususnya
padanya, sekaligus dalam satu waktu.
“Apa yang seharusnya kulakukan, Zal? Tanggal lahir kalian sama, apa
yang laki-laki seperti kalian ingin kulakukan? Aku sungguh putus asa.”
Aku tidak mengatakan apa-apa waktu itu. Tapi tiba-tiba pada saat itu
aku mempercayai astrologi. Aku berpikir, barangkali laki-laki seperti kami
memang ditakdirkan tidak pandai mengungkapkan perasaan. Kami menyanyangi
seseorang selalu dengan cara yang tidak diharapkan. Kami pasif. Dan lebih
sering lagi angkuh. Aku tak pernah bilang aku mencintainya, kupikir anak muda
itu juga tak pernah. Tapi selama empat tahu Vi tentu sangat menyadari betapa
aku sangat mencintainya.
Karena kepasifan dan keangkuhanku, aku pun tak pernah mengatakan betapa
aku merasakan suatu gangguan yang menyakitkan, entah dimana setiap kali dia
menceritakan betapa dia mencintai orang lain, tak peduli apakah orang itu
melukainya atau tidak. Betapapun Vi mengatakan dia mencintai mantan pacarnya
seperti seorang anak, aku tetap merasakan gangguan itu. Bagaimanapun, aku
mengetahui bahwa hubungan seks pertamanya terjadi dengan abangnya sendiri meski
justru pada kasus itu Vi sama sekali tidak menyanyangi saudaranya yang barbar
itu. Maksudku, incess bukanlah hal
yang mustahil disini.
Sekarang aki hany bisa menunggu ada hak khusus apa lagi mengenai berita
yang mematahkan hati itu.
“Ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tidak bilang ini yang terakhir ya
atau sebaliknya kita benar-benar berteman saja atau aku merasa tidak enak
terus-terusan melakukan ini’. Sekarang, jika aku tidur di tempat tidurnya, ia
akan menahan kantuk sampai pagi, sampai siang. Jika aku tetap bertahan di
tempat tidurnya, ia akan akhirnya tidur di ruangan tengah.
“Apa yang telah kulakukan? Dan apa yang telah kulakukan kali ini? Bukan
tidur tidur itu soalnya. Bukan itu. Aku hanya ingin menyentuhnya. Aku hanya
ingin mencium bau dari tubuhnya. Aku hanya ingin berada di dekatnya, dan
merasakan dalam-dalam betapa ia pernah begitu mencintaiku—atau betapa aku
pernah merasa ia begitu mencintaiku, dan betapa aku telah kehilangan dirinya,
dan cintanya. Dan sementara meresapi pikiran-pikiran itu, aku bisa menahan
tangisanku dengan menyadari bahwa ia berada didekatku saat itu, menemaniku melewatkan
kesedihan dan akan membiarkanku mengurusnya lagi seperti sebelum-sebelumnya,
seperti anakku sendiri. Dan itu membuatku merasa penuh.
“Dan kini tidak akan ada saat-saat seperti itu lagi, Zal. Sama sekali.”
Vi mengisap rokoknya dan menghembuskan asapnya samar-samar. Aku masih
saja diam, bermain-main dengan pikiranku sendiri. Seandainya Mein itu lenyap
sepenuhnya, akankah Vi berhenti membicarakannya, berhenti bersedih dan
menangis?
Hukum sebagai Alat Kejahatan
Tb Ronny R Nitibaskara
Terungkapnya hubungan telepon
beberapa pejabat tinggi Kejaksaan Agung dengan Artalyta Suryani, tersangka
penyuap jaksa penyidik kasus BLBI, menyentak kita semua.
Peristiwa itu menunjukkan telah
terjadi upaya sistematis, menggunakan hukum, untuk mengesahkan tindak
kejahatan. Tragisnya, pelaku utama justru aparat penegak hukum yang ditugasi
negara melawan kejahatan yang dikerjakan sendiri.
Lebih memilukan lagi, kejadian
ini melibatkan bawahan-atasan dan jabatan sejajar serta membentuk organized
crime. WJ Chambliss (1988) menyebutnya state- organized crime, tindakan yang
menurut hukum sebagai kejahatan oleh pejabat pemerintah dalam tugas jabatannya
selaku wakil negara.
Kejahatan sempurna
Disadari, kasus BLBI mengandung
kompleksitas tinggi dan terkait dengan aneka penyimpangan. Sejak 8 tahun lalu,
masalah ini menjadi perhatian penulis dan dijadikan obyek kajian kriminologi di
bidang korupsi peradilan (judicial corruption).
Sebelumnya, saat menyoroti
master of settlement and acquisition agreement dan terangkai dengan kasus
sekarang, mendorong pada kesimpulan bahwa perjanjian oleh pihak-pihak tertentu
sengaja dirancang untuk merugikan negara.
Dengan kata lain, bukan hal
baru bila dalam kasus BLBI terjadi bancakan di antara sebagian penegak hukum.
Mengingat banyak fakta semacam itu, saya mengajukan pendekatan baru tentang
fungsi hukum bersifat kriminologi, yakni hukum sewaktu-waktu dapat digunakan
sebagai alat kejahatan (law as a tool of crime).
Jika terbukti, teori itu
agaknya mendapat dukungan empiris. Penghentian penyidikan kasus BLBI oleh
Kejaksaan Agung (Kejagung), Februari 2008, merupakan bagian rencana menggunakan
hukum demi kepentingan pribadi dan melawan hukum.
Penggunaan hukum sebagai alat
kejahatan kami namakan kejahatan sempurna (perfect crime). Dikatakan sempurna
karena tindakan itu sengaja dibungkus dengan hukum yang berlaku sehingga
seolah-olah merupakan bagian penegakan hukum atau kebijakan resmi.
Kejahatan semacam ini umumnya
sulit diungkap. Tanpa bukti-bukti spektakuler antara lain seperti rekaman
pembicaraan telepon, kasus semacam ini akan menjadi dark number. Jabatan,
kewenangan (power of authority) dan alibi hukum menjadi benteng guna menutup
upaya penyidikan. Hal ini dapat dilihat pada penghentian penyidikan perkara
BLBI oleh Kejagung.
Kekuasaan diskresi
Ketika Jampidsus Kemas Yahya
Rahman mengumumkan Kejagung menghentikan penyidikan BLBI karena tak ditemukan
pelanggaran hukum, akal sehat masyarakat menolak. Namun, struktur hukum di
negara kita menghendaki masyarakat berpikir realistis. Artinya, kewenangan
penghentian diberikan undang-undang (UU) sehingga tindakan itu secara hukum
sah. Meski masygul, secara yuridis masyarakat tak diberi hak untuk menghambat
lembaga itu menghentikan penyidikan.
Kewenangan bersifat diskresi
(discretional power) itu sengaja diberikan UU kepada penegak hukum agar mereka
dapat menegakkan hukum dengan menggunakan hukum itu sesuai keadaan yang berlaku
dan cita-cita. Namun, di sinilah persoalannya. Karena hakikat penegakan hukum
adalah pengambilan keputusan (Hartjen, 1989), unsur kepribadian penegak hukum
ikut masuk dalam penegakan hukum. Akhirnya, sebagai sistem rasional, hukum
bersentuhan dengan manusia sebagai subyek mempunyai multiaspek yang tidak hanya
bersifat rasional.
Ketika diterapkan dalam kasus
per kasus, secara sosiologi, hukum bersinggungan dengan aneka kepentingan,
termasuk kepentingan penegak hukum. Di sini terjadi pergulatan antara
menegakkan hukum dan menggunakan hukum.
Dalam penegakan hukum, ada
kehendak agar hukum tegak sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan melalui
instrumen hukum bersangkutan dapat diwujudkan. Sementara dalam penggunaan
hukum, cita-cita dalam aturan hukum belum tentu secara sungguh-sungguh hendak
diraih sebab sebagian hukum itu digunakan untuk membenarkan aneka tindakan yang
dilakukan, seperti dalam kasus BLBI ini.
Dalam buku kami, Tegakkan
Hukum, Gunakan Hukum (2006), dinyatakan, logika di balik menggunakan hukum itu
sering menyesatkan. Orang yang tampak sungguh-sungguh berbicara hukum, bahkan
kelihatan amat keras sampai beradu urat leher, kadang-kadang tidak memiliki
niat agar hukum tegak. Sebaliknya, tidak peduli hukum runtuh karena hal itu.
Paradoks penegakan
hukum
Perilaku menegakkan hukum dan
sikap menggunakan hukum dalam praktik sulit dibedakan karena kedua pendekatan
itu saling berimpitan (coincided). Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum
dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang. Sebaliknya, menggunakan hukum tanpa
niat menegakkan hukum dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa
keadaan seperti tanpa hukum.
Dua kutub antara menegakkan
hukum dan menggunakan hukum merupakan paradoks yang harus diseimbangkan penegak
hukum dalam kekuasaan diskresi. Dengan demikian, masalahnya menjadi sensitif. Setiap
saat hukum dapat diterapkan secara diskriminatif. Hartjen mengingatkan, problem
kekuasaan diskresi penegakan hukum adalah tipisnya batas antara diskresi dan
diskriminasi.
Lebih ekstrem lagi bukan hanya
diskriminatif. Menonjolnya sifat teknikalitas hukum modern, sehingga hanya
dikuasai mereka yang berkecimpung di bidang hukum, dapat mendorong mereka
memegang kekuasaan diskresi, memanfaatkan hukum secara leluasa, hingga
menggunakan hukum sebagai alat kejahatan.
Bergabungnya teknikalitas hukum
dan diskresi memudahkan penegak hukum mendapat pembenaran dalam melakukan aneka
tindakan merugikan negara. Di sini terjadi anomali, yaitu kejahatan yang
memiliki alibi ”demi hukum”, sehingga sulit diungkap seperti kasus BLBI.
Untuk membuktikan hubungan
telepon Artalyta Suryani itu ada unsur melawan hukum. Berbagai pendekatan harus
dilakukan, termasuk interpretasi. Maka, Putusan MA Nomor 275/PID/1983 tanggal
15 Desember 1983 dapat dijadikan dasar.
Berdasarkan yurisprudensi itu
dan peraturan perundang-undangan lain, maka tidak ada alasan untuk tidak
menindak semua pihak yang terlibat perkara sambungan telepon Artalyta Suryani.
Hukum adalah alat untuk menegakkan kebenaran, bukan sebagai alat kejahatan.
Tb Ronny R Nitibaskara
Rektor Universitas Budi Luhur
Definisi Negara
Definisi pemikir dahulu:
Aristotle menyatakan Negara adalah: perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.
Sedangkan Cicero pemikir Roma menegaskan Negara adalah: timbulnya pemikiran sehat masyarakat banyak bersatu untuk keadilan, dan berpartisipasi bersama dalam keuntungan.
Dilain pihak Penulis Francis Jean Bodin mengatakan Negara adalah: asosiasi beberapa keluarga dengan kesejahteraan yang layak, dengan alasan yang sehat setuju untuk dipimpin oleh penguasa tertinggi.
Definisi diatas terdapat beberapa kerusakan:
1. Tidak ada Negara yang bisa berdiri sendiri.
2. Tidak ada kesempurnaan/ keuntungan hidup secara mutlak terdapat dalam Negara.
3. tidaklah mungkin semua masyarakat didalam Negara bisa menyantuni kesejahteraan rakyatnya.
Definisi orang moderat:
Phillimore menyatakan Negara adalah: orang- orang yang secara permanent mendiami suatu wilayah tertentu, dijilid dengan hukum- hukum kebersamaan, kebiasaan dan adat- istiadat didalam satu kebijaksanaan.
Bluntschli mengatakan Negara adalah: organisasi kebijaksanaan orang- orang diwilayah tertentu.
Gettell menegaskan Negara adalah: komunitas oknum- oknum, secara permanent mendiami wilayah tertentu, menuntut dengan sah kemerdekaan diri dari luar dan mempunyai sebuah organisasi pemerintahan, dengan menciptakan dan menjalankan hukum secara menyeluruh didalam lingkungan.
Definisi Gattel lebih menggena dari pada definisi yang lainnya, wilayah yang dihuni oleh komunitas masyarakat, karna merasa tertindas, maka merdeka menjadi hak mereka menentukan hidup mereka sendiri.
Aristotle menyatakan Negara adalah: perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.
Sedangkan Cicero pemikir Roma menegaskan Negara adalah: timbulnya pemikiran sehat masyarakat banyak bersatu untuk keadilan, dan berpartisipasi bersama dalam keuntungan.
Dilain pihak Penulis Francis Jean Bodin mengatakan Negara adalah: asosiasi beberapa keluarga dengan kesejahteraan yang layak, dengan alasan yang sehat setuju untuk dipimpin oleh penguasa tertinggi.
Definisi diatas terdapat beberapa kerusakan:
1. Tidak ada Negara yang bisa berdiri sendiri.
2. Tidak ada kesempurnaan/ keuntungan hidup secara mutlak terdapat dalam Negara.
3. tidaklah mungkin semua masyarakat didalam Negara bisa menyantuni kesejahteraan rakyatnya.
Definisi orang moderat:
Phillimore menyatakan Negara adalah: orang- orang yang secara permanent mendiami suatu wilayah tertentu, dijilid dengan hukum- hukum kebersamaan, kebiasaan dan adat- istiadat didalam satu kebijaksanaan.
Bluntschli mengatakan Negara adalah: organisasi kebijaksanaan orang- orang diwilayah tertentu.
Gettell menegaskan Negara adalah: komunitas oknum- oknum, secara permanent mendiami wilayah tertentu, menuntut dengan sah kemerdekaan diri dari luar dan mempunyai sebuah organisasi pemerintahan, dengan menciptakan dan menjalankan hukum secara menyeluruh didalam lingkungan.
Definisi Gattel lebih menggena dari pada definisi yang lainnya, wilayah yang dihuni oleh komunitas masyarakat, karna merasa tertindas, maka merdeka menjadi hak mereka menentukan hidup mereka sendiri.
Subyek: menurut wikipedia
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang
kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur
oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang berbeda dengan bentuk organisasi lain terutama karena hak negara untuk mencabut nyawa seseorang. Untuk dapat menjadi suatu negara maka harus ada rakyat, yaitu sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang berbeda dengan bentuk organisasi lain terutama karena hak negara untuk mencabut nyawa seseorang. Untuk dapat menjadi suatu negara maka harus ada rakyat, yaitu sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.
Subyek: negara menurut para ahli Sun Nov 23, 2008 8:46 am
·
Georg Jellinek
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
* Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
* Roelof Krannenburg
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
* Roger H. Soltau
Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
* Prof. R. Djokosoetono
Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
* Prof. Mr. Soenarko
Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
* Aristoteles
Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.
* Prof. Dr. Ing. Vicky Rahadian F.
Negara adalah suatu tempat yang bisa diduduki dan ditinggali.
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
* Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
* Roelof Krannenburg
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
* Roger H. Soltau
Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
* Prof. R. Djokosoetono
Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
* Prof. Mr. Soenarko
Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
* Aristoteles
Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.
* Prof. Dr. Ing. Vicky Rahadian F.
Negara adalah suatu tempat yang bisa diduduki dan ditinggali.
Subyek: Asal Mula Terjadinya Negara Berdasarkan fakta
sejarah Sun Nov 23, 2008 8:46 am
·
Pendudukan (Occupatie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai, kemudian diduduki dan dikuasai.Misalnya,Liberia yang diduduki budak-budak Negro yang dimerdekakan tahun 1847.
* Peleburan (Fusi)
Hal ini terjadi ketika negara-negara kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang baru.Misalnya terbentuknya Federasi Jerman tahun 1871.
* Penyerahan (Cessie)
Hal ini terjadi Ketika suatu Wilayah diserahkan kepada negara lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu.Misalnya,Wilayah Sleeswijk pada Perang Dunia I diserahkan oleh Austria kepada Prusia,(Jerman).
* Penaikan (Accesie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat penaikan Lumpur Sungai atau dari dasar Laut (Delta).Kemudian di wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga terbentuklah Negara.Misalnya,wilayah negara Mesir yang terbentuk dari Delta Sungai Nil.
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai, kemudian diduduki dan dikuasai.Misalnya,Liberia yang diduduki budak-budak Negro yang dimerdekakan tahun 1847.
* Peleburan (Fusi)
Hal ini terjadi ketika negara-negara kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang baru.Misalnya terbentuknya Federasi Jerman tahun 1871.
* Penyerahan (Cessie)
Hal ini terjadi Ketika suatu Wilayah diserahkan kepada negara lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu.Misalnya,Wilayah Sleeswijk pada Perang Dunia I diserahkan oleh Austria kepada Prusia,(Jerman).
* Penaikan (Accesie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat penaikan Lumpur Sungai atau dari dasar Laut (Delta).Kemudian di wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga terbentuklah Negara.Misalnya,wilayah negara Mesir yang terbentuk dari Delta Sungai Nil.
CITA NEGARA HUKUM INDONESIA KONTEMPORER [1]
Oleh
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[2]
Abstrak: Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the
rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ Yang dibayangkan
sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.
Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum
atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Kata Kunci: .‘rechtsstaat’,‘the rule of law’, Negara Hukum
Pendahuluan
Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam
demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma,
sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai factor penentu
dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi
itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai
kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey,
hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule
of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang
sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.
Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggeris dengan judul “The Laws”[3], jelas tergambar bagaimana
ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani
Kuno.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah
Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius
Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi
Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey
dengan sebutan “The Rule of Law”.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah
‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1.
Perlindungan hak asasi manusia.
2.
Pembagian kekuasaan.
3.
Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4.
Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting
dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”,
yaitu:
1.
Supremacy of Law.
2.
Equality before the law.
3.
Due Process of Law.
Keempat prinsip
‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada
pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di
zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”,
prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas
dan tidak memihak (independence and
impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak
diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri
penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu
adalah:
1.
Negara harus tunduk pada hukum.
2.
Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3.
Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum
formil atau Negara hukum klasik, dan negara hukum materiel atau Negara hukum
modern[4]. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil
dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan
yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula
pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan
antara ‘rule of law’ dalam arti formil
yaitu dalam arti ‘organized public power’,
dan ‘rule of law’ dalam arti materiel
yaitu ‘the rule of just law’.
Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud
secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri
dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula
dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku
dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian
negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum
tentu menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga
dikembangikan istilah ‘the rule of just
law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian
keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang
bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk
menyebut konsepsi tentang Negara hukum di zaman sekarang.
Dari uraian-uraian di atas, menurut pendapat saya,
kita dapat merumuskan kembali adanya dua-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman
sekarang. Kedua-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang
menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai
Negara Hukum (The Rule of Law,
ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang
sebenarnya.
1.
Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya
pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua
masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif
supremasi hukum (supremacy of law),
pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia,
tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative
mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum
dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang
tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang
‘supreme’. Bahkan, dalam republik
yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang
sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan
presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala
pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2.
Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya
persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui
secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip
persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali
tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan
mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat
tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang
sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih
maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus
melalui ‘affirmative actions’ yang
tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat
suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya
terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi
perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum
wanita ataupun anak-anak terlantar.
3.
Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam
setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya (due process of law), yaitu
bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis
tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau
perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau
tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya
seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena
itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para
pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal
secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan
oleh peraturan yang sah.
4.
Pembatasan Kekuasaan:
Adanya
pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan
prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara
horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki
kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan
oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt,
and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus
dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang
bersifat ‘checks and balances’ dalam
kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama
lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke
dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan
tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang
memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5.
Organ-Organ Eksekutif Independen:
Dalam
rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya
pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi
kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti
Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, lembaga Ombudsman, Komisi
Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini
sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi
sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan
hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun
pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut
dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat
disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi
tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi
pro-demokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber
kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu
pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan
kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat
penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.
6.
Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya
peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent
and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak
harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim
tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan
(politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan
kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan
putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan
eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa.
Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga
kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan
tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka,
dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati
nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya
bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan,
melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup
di tengah-tengah masyarakat.
7.
Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun
peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak
memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum
tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka
kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat
administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat
administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut
tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh
keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang
berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan
tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan
hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha
Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha
negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’
tersebut di atas.
8.
Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
Di
samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan
tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim
mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.
Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional
courts) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja
dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini dibweri
fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang yang
merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai
bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan
negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai
negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat
ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern.
9.
Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya
perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum
bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak
asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan
penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang
penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya
menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.
Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara
tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan
itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang
disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia
terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya
tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat
disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10. Bersifat
Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau
kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah
masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh
ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan
penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum
memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang
berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa
kecuali. Dengan demikian, negara hukum (rechtsstaat)
yang dikembangkan bukanlah ‘absolute
rechtsstaat’, melainkan ‘democratische
rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain,
dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya
demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin
penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai
Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat):
Hukum
adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum
itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan
melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy)
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita
nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa
Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi
sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia
tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak
menjadi sekedar ‘rule-driven’,
melainkan tetap ‘mission driven’,
tetapi ‘mission driven’ yang tetap
didasarkan atas aturan.
12. Transparansi dan
Kontrol Sosial:
Adanya
transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan
dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam
mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh
peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka
menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena
sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai
satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari
‘representation in presence’, karena
perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau
aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur
kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan,
semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien
serta menjamin keadilan dan kebenaran.
Dalam sistem
konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan.
Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu
tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa
Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’,
bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi
RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula
dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum
dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001
terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini
kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung 12
ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.
Daftar Pustaka
Plato: The Laws,
Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata pengantar
oleh Trevor J. Saunders.
Utrecht,
Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962
[1]. Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana
HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Indonesia.
[3]
Lihat Plato: The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan
diberi kata pengantar oleh Trevor J. Saunders.
[4] Utrecht,
Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 9.
Bagaimana Sebuah Bangsa Terbentuk?
Donna Sorenty Moza
Sekretaris DPD I Partai Persatuan
Pembebasan Nasional Lampung
Apakah nasionalisme? Soekarno memaknai nasionalisme dengan
bercermin akan landasan pemahaman nilai-nilai kemanusian, terbangunnya
persatuan di atas nilai keadilan tanpa menindas. Nilai dasar inilah yang
melandasi keinginan manusia membentuk sebuah nation atau bangsa. Namun secara umum, nasionalisme lebih dimaknai
dalam konsep penguasaan wilayah atau teritorial tertentu.
Keinginan membentuk nation
bersama muncul karena adanya persamaan nasib dan sejarah sehingga menimbulkan
persatuan dalam suatu komunitas masyarakat membentuk kesadaran berbangsa.
Kesamaan itu meliputi aspek budaya, bahasa, agama dan tradisi. Inilah proses
yang mendasari terbentuknya sebuah kesadaran bersatu, bergabung dan berbangsa
di mana pun di seluruh dunia.
Ribuan tahun lalu kalau kita kaji kembali corak
perkembangan masyarakat periode awal manusia, yakni pada zaman prasejarah
sampai terbentuknya masyarakat modern, didahului tahap fase masyarakat komunal
primitif adanya kehadiran komunitas-komunitas yang terdiri dari kelompok
suku-suku. Suku-suku pada masa tersebut saling berperang memperebutkan wilayah
basis pertahanan hidup dan ekonomi masing-masing. Suku yang kalah takluk dan
menjadi budak bagi suku yang menang.
Pola komunal primitif ini terjadi di belahan dunia mana
pun dan berkontribusi besar bagi perkembangan peradaban besar di berbagai dunia
seperti halnya di kawasan Eropa yang meliputi peradaban Yunani, di kawasan Amerika
yakni peradaban Aztec, Maya dan Inca. Sementara di kawasan benua Asia yakni
meliputi peradaban sungai Indus, Nil, Eufrat dan Tigris, Yang Tse Kiang, dll.
Dalam perjalanan zaman tersebut, suku-suku yang menang
kian membesar dan berkuasa dan bertransformasi menjadi kerajaan-kerajaan lokal,
kemudian mengalamai evolusi sehingga menjadi kerajaan-kerajaan yang lebih besar
seperti halnya Kerajaan Romawi Kuno yang berbasis di Eropa berkembang besar dan
mengalami puncak kejayaan selama beberapa abad.
Dalam sejarah modern sekarang, kejayaan Kerajaan Romawi
kita kenal dengan nama Imperium Romawi, yang mampu meluaskan penaklukan
jajahannya dengan ekspansi militer meliputi hampir seluruh kawasan Eropa dan
ekspansi kekuasaan ke berbagai kerajaan sampai benua Afrika dan Asia, khususnya
Timur Tengah. Merebut kejayaan dan pekembangan peradaban yang ada di
wilayah-wilayah tersebut.
Kerajaaan-kerajaan besar seperti Romawi ataupun Mesir
kemudian membentuk sistem administrasi kependudukan dan menetapkan wilayah
teritori kekuasaan, membentuk pranata dan aturan bersama mengikat
komunitas-komunitas masyarakat dan kerajaan-kerajaan yang ditaklukkannya.
Imperium Romawi ini pun kemudian jatuh dan terpecah-pecah
kembali dan membebaskan diri menjadi kerajaan-kerajaan kecil mewakili tiap
teritori wilayah. Seperti hadirnya bangsa Prancis berawal dari rumpun yang
menguasai daerah Galia, bangsa Jerman berdiri dari rumpun Germania, Inggris
berdiri atas invasi suku bangsa Viking dan Skandinavia, dll. Kerajaan-kerajaan
inilah yang kini menjadi cikal bakal sebuah organisasi modern yang bernama
negara atau bangsa yang kita kenal.
Termasuk juga di Indonesia. Sebelum terbentuknya kerajaan
lokal seperti Samudra Pasai; Aceh; Malaka; Maluku dll., semuanya diawali proses
dari terbentuknya komunitas suku maupun kelompok antarmarga. Kemudian
bermunculan kerajaan yang melakukan ekspansi militer dan ingin menaklukkan
wilayah dan kerajaan lokal-lokal kecil sehingga membangun sebuah wilayah
penaklukkan kerajaan besar.
Sebutlah seperti Kerajaan Majapahit ataupun Mataram
melakukan ekspansi sampai Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, Malaka yang kini kita
kenal Malasya dan ke berbagai wilayah luar Jawa. Selain faktor adanya upaya
pemaksaan ekspansi kekuasaan, juga adanya keinginan secara sukarela mengikat
diri menjadi bagian sebuah kerajaan-kerajaan tersebut karena sejumlah persamaan
sejarah mereka dan membentuk rasa persaudaraan dan sistem kekerabatan lewat
pengikatan pernikahan.
Bagaimanakah sebuah bangsa terbentuk? Rasa kebangsaan
muncul karena munculnya kebutuhan individu-individu masyarakat maupun
kelompok-kelompok masyarakat membentuk aturan bersama yang saling menguntungkan
dan disepakati bersama-sama mengatur distribusi untuk mendapatkan keadilan dan
kesejahteraan, mengikat mereka bersatu.
Bagaimanakah komunitas ini mau bersatu dan bergabung
membentuk bangsa? Di antaranya adalah faktor persamaan nasib, persamaan budaya
baik itu bahasa, tradisi, kepercayaan atau agama yang akhirnya membentuk
bangunan emosional yang kuat. Sehingga sesungguhnya perasaan dan semangat
kebangsaan yang hakiki harusnya lahir dari keinginan bersatu secara sukarela.
Namun, perkembangan sejarah menjelaskan kepada kita bahwa
suatu kerajaan, bangsa atau negara seringkali dibangun di atas penaklukkan
secara paksa dan bahkan dengan cara berperang. Sejarah masyarakat modern
membuktikan dengan jelas bagaimana bangsa dan negara ini dibangun dengan cara
kolonialisme dan ekspansi militer seperti yang dilakukan oleh negara-negara
besar di Eropa yang maju seperti Portugis (Portugal), Spanyol, Belanda, Inggris,
Perancis.
Negara-negara di Eropa sendiri merupakan hasil perpecahan
dari kejayaan Bangsa Romawi. Motif penjajahan atau kolonialisme ini didasari
kebutuhan untuk merampok hasil alam dan menindas masyarakat yang terjajah demi
kepentingan bangsa penakluk yakni para raja-raja dan bangsawan mereka.
Sebagaimana yang pernah dialami bangsa Indonesia yang
pernah dijajah oleh Belanda, Inggris juga Jepang. Rasa kebangsaan untuk lepas
dari penindasan dan ketertindasan yang dilakukan kolonialisme Belanda juga Jepanglah
pada akhirnya menimbulkan persamaan nasib masyarakat Indonesia mau merubah
nasib sehingga bersatu dan berjuang membentuk nation atau bangsa sendiri.
Kesadaran berbangsa untuk mengatur diri sendiri secara
bebas dan mendapatkan keadilan kesejahteraan yang lebih baik. Inilah persatuan
yang mendasari kemunculan organisasi-organisasi pergerakan melawan penjajahan
Belanda awal abad 20.
Aksi-aksi dan perlawanan radikal secara masif digalang
oleh kaum muda saat itu sampai munculnya perbedaan pandang dan ideologi di
antara organisasi dan kaum muda saat itu. Apakah perlu melakukan aksi-aksi
radial dan berpolitik membentuk partai sendiri atas masyarakat Hindia Belanda
yang terjajah (Indonesia) atau sekadar menuntut akses ekonomi.
Perdebatan ini dapat kita lihat dengan kemunculan Serikat
Dagang Indonesia (SDI) yang kemudian pecah menjadi Serikat Islam (SI). SI pun
pecah menjadi SI Putih dan SI Merah. SI Putih bersikap antipartisan dan tidak
mau melawan kolonialisme Belanda secara radikal, sementara Serikat Rakyat (SR)
membentuk partai politik dan menerapkan aksi-aksi dan perlawanan radikal
melawan Belanda.
Perspektif dan kesadaran mendirikan partai politik pun
mewarnai jalan panjang intelektual kaum muda berjuang membangun perluasan
kesadaran masyarakat pribumi untuk berbangsa dengan meraih kemerdekaan dan
mulai mengusung nama Indonesia.
Semangat ini bergema dan disambut oleh masyarakat kolonial
Hindia Belanda di seluruh wilayah dan teritori kekuasaan Belanda dari Sumatera
sampai beberapa wilayah Indonesia bagian Timur. Semangat ini muncul karena
persamaan ditindas dan ditekan dan meluasnya penggunaan bahasa melayu
mempermudah komunikasi dan persatuan yang muncul.
Jadi sesungguhnya, nasionalisme muncul karena kerelaan dan
persamaan nasib dan cita-cita dan harapan akan nilai rasa keadilan dan
persamaan dalam segala hal. Demikian juga kini segenap masyarakat Indonesia
paska-Revolusi Kemerdekaan 1945 memiliki harapan-harapan ini.
Jadi wajarlah bila ada sekelompok masyarakat Indonesia
yang ingin lepas dari NKRI ketika mereka tidak mendapatkan harapan dan
kenyataan ini, seperti yang dicerminkan dengan kemunculan pergolakan Rakyat
Aceh juga di beberapa wilayah timur Indonesia, seperti dulu Timor Timur dan
kini sebagian besar Rakyat Papua.
Semangat nasionalisme inilah yang harus kita pahami
kembali setelah Indonesia Merdeka 62 tahun lamanya, lepas dari penjajahan dan
kolonialisme Belanda dan Jepang. Ironis bila penguasa negeri ini dalam
perjalanan sejarah penjadi penindas bagi bangsanya sendiri dan mengangkangi
konstitusi pendiri bangsa yang telah berjuang sampai berdirinya nation Indonesia. Jadi kini, janganlah
penguasa bertanya mengapa pergolakan rakyat terus terjadi.
Kemiskinanlah yang telah membuat rakyat Indonesia kian
menggelora dan menggeliat kepanasan dan bukan tidak mungkin akan terjadi suatu
letupan gerakan sosial yang lebih besar di masa yang akan datang bila penguasa
negeri ini tidak mampu memberikan cita-cita bersama ini bagi semua rakyat
Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)