PENELITIAN HUKUM: ISU HUKUM
Oleh: Alvi Syahrin
I. Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang diajukan. Hasil yang hendak dicapai berupa preskripsi mengenai apa yang seyogianya. Dalam penelitian hukum terdapat 3 (tiga) tataran isu hukum yakni: 1. isu hukum pada tataran dogmatik hukum, yang terkait/menyangkut ketentuan hukum yang relevan dengan fakta yang dihadap; 2. isu hukum pada tataran teori hukum, yang mengandung konsep hukum, dan 3. isu hukum pada tataran filosofis, yang terkait/menyangkut asas-asas hukum.
Isu hukum menduduki posisi sentral dalam penelitian hukum. Salah dalam mengindentifikasi isu hukum akan berakibat salah dalam mencari jawaban atas isu hukum tersebut dan selanjutnya akan salah pula dalam melahirkan suatu argumentasi yang diharapkan dapat memecahkan isu hukum tersebut. Untuk dapat menentukan isu hukum, perlu pemahaman yang mendalam mengenai ilmu hukum. Tidak mungkin seorang yang bukan ahli hukum (mengetahui dan memahami ilmu hukum) mampu mengangkat isu hukum.
II. Isu hukum pada tataran/ruang lingkup dogmatik hukum lebih memberat (condong) kepada aspek praktis ilmu hukum. Walaupun memberat kepada aspek praktis ilmu hukum perolehan jawaban atas isu hukum pada ruang lingkup dogmatik hukum diperoleh dari penelitian yang bersifat akademis. Penelitian hukum dalam ruang lingkup dogmatik hukum, isu hukumnya mengenai ketentuan hukum yang di dalamnya mengandung pengertian hukum berkaitan dengan fakta hukum yang dihadapi.
Isu hukum pada ruang lingkup dogmatik hukum dapat timbul dalam hal: para pihak yang berperkara saling bertentangan dan mengemukakan penafsiran yang saling bertentangan terhadap teks peraturan karena peraturan tersebut kurang jelas; terjadinya kekosongan hukum; dan terdapat perbedaan penafsiran atas fakta.
Penelitian akademis yang mempunyai kegunaan praktis, akan melakukan penafsiran atas teks peraturan yang tidak jelas dan menginterpretasi fakta yang dihadapkan kepadanya. Interpretasi akan memberikan kejelasan dan merekonstruksi gagasan yang tersembunyi di dalam aturan hukum. Ajaran interpretasi menggunakan metode hermeneutik. Metode hermeneutik berpangkal dari suatu proposisi bahwa terdapat adanya saling ketergantungan yang bermakna antara kehidupan manusia dan budayanya. Manusia memberikan makna kepada kehidupannya. Tingkah laku masyarakat didasarkan atas interpretasi yang berarti mengenai apa yang mereka lakukan, mereka dalam berinteraksi sosial (berhubungan satu sama lainnya) dalam bingkai yang sarat dengan norma dan tidak bebas nilai. Aktifitas manusia ditentukan oleh gagasan-gagasan normatif yang ada di dalam diri manusia itu sendiri dan bukan ditentukan oleh proses mekanis tanpa tujuan sebagaimana terjadi pada makhluk lain yang bukan manusia.
Kaum positivistis yang dibangun oleh John Austin tidak sejalan dengan pandangan kaum hermeneutik, sebab pandangan John Austin maupun John Struat Mill dipengaruhi oleh pemikiran ilmiah modern yang anti metafisika dan mengembangkan ilmu hukum sesuai dengan tuntutan ilmu modern (yang memandang hukum dalam kaitannya dengan gejala yang dapat diamati), yakni aturan-aturan dan sanksi dari suatu institusi yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Aspek normatif hukum harus dinyatakan ke dalam bentuk aturan tingkah laku lahiriah yang dapat diobservasi. Hukum diperbincangkan dari sudut pandang sosiolog hukum yang bebas nilai, dan membangun experimental design dalam penelitian ilmu sosial.
Permasalahan yang muncul dalam pendekatan ilmiah terhadap yang hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Austin maupun para sosiolog, yaitu: a. tidak dapat diobservasinya mengenai pelaku taat kepada hukum berdarkan pertimbangan subyektif mengenai apa yang benar, b. pemecahan hukum yang tepat bagi masalah yuridis yang aktual dalam praktek hukum berdasarkan ilmu hukum yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat normatif, c. ilmu hukum yang bersifat normatif tidak dapat diverifikasi (misalnya: iktikad baik, kesalahan, kepatutan dan keyakinan, dewasa, badan hukum, dan sebagainya).
Menurut Hart, pada suatu masyarakat yang taat hukum bertindak atas dasar dorongan kesadaran mengenai apa yang mereka lakukan. Kesadaran (perilaku manusia) didasarkan kepada jalan pikiran yang begitu kompleks, sehingga apa yang dilakukan dapat menjadi obyek interpretasi, dengan kata lain tingkah laku manusia dipengaruhi oleh gagasan normatif sipelaku tersebut. Oleh karena itu peneliti hukum harus menemukan makna tingkah laku tersebut melalui interpretasi.
III. Penelitian pada tataran teori hukum, isu hukumnya harus mengandung konsep hukum. Konsep hukum dapat dirumuskan sebagai suatu gagasan yang dapat direalisasikan dalam kerangka berjalannya aktifitas hidup bermasyarakat secara tertib. Pada tataran teori, penelitian hukum diperlukan bagi pengembangan suatu bidang kajian hukum tertentu, yang dilakukan guna meningkatkan dan memperkaya pengetahuan dalam penerapan hukum. Dengan menelaah konsep-konsep hukum, para ahli hukum akan lebih meningkatkan daya interpretasinya serta mampu menggali teori-teori yang ada di belakang ketentuan hukum tersebut.
Penelitian terhadap konsep-konsep hukum harus benar-benar dilakukan oleh ahli hukum, dan hermeneutik meruapakan instrumen penting dalam melakukan penafsiran hukum pada ruang lingkup teori hukum. Sebagai contoh: konsep strict liability ada yang mengartikan sebagai (merupakan) penyimpangan atas asas 'tiada pidana tanpa kesalahan' dan memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak (Strict liability diartikan sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan - 'liability without fault'), padahal: pada strict liability pembuatnya tetap diliputi kesalahan (kesalahan dalam arti normatif).
Bersandar pada teori kesalahan normatif, pertanggungjawaban pidana korporasi dilakukan atas dasar kesalahan, hanya saja isi kesalahan tersebut berbeda dengan subyek hukum manusia yang didasarkan (berpangkal tolak dari) keadaan psikologis dari pembuatnya dan hubungan antara hal itu dengan perbuatannya. Dasar dari penetapan dapat dipersalahkannya badan hukum (korporasi) yaitu tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki badan hukum.
Fungsi kemasyarakatan yang dimiliki badan hukum, dicerminkan dari suatu perusahaan yang bertanggungjawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang mempunyai pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan di mana perusahan itu beroperasi. Secara positif perusahaan diharapkan untuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang tidak semata-mata didasarkan pada perhitungan keuntungan kontan yang langsung, melainkan juga demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Perusahaan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas, perlu ikut memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi kepentingan hidup bersama dalam masyarakat. Kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hidup, kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat sekitar, dan seterusnya akan menciptakan iklim yang lebih menerima perusahaan itu beserta produk-produknya. Sebaliknya, ketidakperdulian perusahan akan selalu menimbulkan sikap protes, permusuhan, dan penolakan atas kehadiran perusahaan itu beserta produknya, tidak hanya dari masyarakat setempat di sekitar perusahaan itu melainkan juga sampai pada tingkat internasional.
Indikator kesalahan korporasi yaitu bagaimana korporasi menjalankan fungsi kemasyarakatan. Hukum mengharapkan kepada korporasi untuk menjalankan fungsi kemasyarakatannya dengan baik sehingga sejauh mungkin dapat menghindari terjadinya tindak pidana. Terhadap korporasi penilaian adanya kesalahan ditetentukan oleh bagaimana korporasi memenuhi fungsi kemasyarakatannya, sehingga 'dapat dicela' ketika suatu tindak pidana terjadi karenanya.
Strict liability merupakan pertangungjawaban terhadap pembuat tindak pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya. Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan membuktikan telah dilakukannya tindak pidana. Fungsi strict liability yaitu berkenan dengan hukum acara dan bukan hukum pidana materil. Strict liability dalam pertanggungjawaban pidana lebih merupakan persoalan pembuktian, yakni kesalahan dipandang ada sepanjang telah dipenuhinya unsur tindak pidana.
III. Penelitian hukum yang berkaitan dengan isu mengenai asas hukum berada dalam tataran filsafat hukum. Asas hukum merupakan aturan-aturan pokok. Aturan-aturan pokok menguji peraturan-peraturan hukum yang berlaku umum. Aturan-aturan pokok tidak perlu diuji lagi. Diatas aturan-aturan pokok tersebut tidak ada lagi aturan, dan ini disebut sebagai asas-asas hukum.
Asas-asas hukum menampakkan diri ke permukaan melalui aturan-aturan hukum. Dalam setiap aturan hukum dapat dilacak asas hukumnya. Setiap tertib hukum yang berlaku disetiap negara selalu ditopang oleh asas hukum. Asas hukum yang berlaku di suatu negara dapat berbeda dengan asas hukum yang berlaku dinegara lain (asas hukum dapat berbeda-beda antara satu negara dengan negara yang lain), namun tidak berarti tidak (masih) ditemukannya asas hukum yang berlaku secara universal atau paling tidak dianut oleh sebagian besar bangsa.
Asas-asas hukum dapat mengalami perubahan, akan tetapi perubahan tersebut amat lambat dibandingkan dengan perubahan peraturan hukum, mengingat asas hukum merupakan sesuatu yang bersifat abstrak. Asas hukumyang lama yang asli dimiliki oleh suatu negara mungkin dapat diganti oleh asas hukum yang dimiliki oleh bangsa lain karena asas hukum yang asli tersebut tidak lagi sesuai dengan situasi yang ada.
Asas-asas hukum ini mempunyai arti penting bagi pembentukan hukum, penerapan hukum dan pengembangan ilmu hukum. Bagi pembentukan hukum, asas-asas hukum memberikan landasan secara garis besar mengenai ketentuan-ketentuan yang perlu dituangkan di dalam aturan hukum. Di dalam penerapan hukum, asas-asas hukum sangat membantu bagi digunakannya penafsiran dan penemuan hukum maupun analogi, kemudian bagi penegmbangan ilmu hukum, asas-asas hukum mempunyai kegunaan karnea di dalam asas-asas hukum dapat ditunjukkan berbagai aturan hukum yang pada tingkat yang lebih tinggi sebenarnya merupakan satu kesatuan.
Penelitian terhadap asas-asas hukum mempunyai nilai yang sangat penting bagi dunia akademis, pembuatan undang-undang, maupun praktik hukum. Sebagai contoh: melakukan penelitian hukum terhadap asas legalitas dalam kaitannya dengan ajaran melawan hukum dan asas legalitas dalam konteks HukumPidana Nasional.
Sejarah perkembangan asas legalitas dalam hukum pidana, dengan segala faktor yang mempengaruhinya, terdapat 4 (empat) macam sifat ajaran yang terkandung oleh asas legalitas, yaitu: Pertama, asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini menurut G.W. Paton yaitu nulla peona sine lege. Perlindungan individu diwujudkan dengan adanya keharusan lebih dahulu untuk menentukan perbuatan pidana dan pemidanaan dalam undang-undang. Kedua, asas legalitas hukum pidana yang menitik beratkan pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada lagi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini adalah ciptaan Feuerbach: nullum delictum, nulla peona sine praevia lege ponali. Ketiga, asas legalitas hukum pidana yang menitik beratkan tidak hanya pada ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut, tetapi juga harus diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana. Keempat, asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada perlindungan hukum kepada negara dan masyarakat. Asas legalitas disini bukan hanya kejahatan yang ditetapkan oleh undang-undang saja, akan tetapi menurut ketentuan hukum berdasarkan ukuran dapat membahayakan masyarakat. Oleh karena itu tidak mungkin ada perbuatan jahat yang timbul kemudian dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum. Adagium yang dipakai disini adalah nullum crimen sine poena.
Selanjutnya, menyimak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP 2012) yang saat ini dalam pembahasan, tampaknya asas legalitas tidak berlaku absolut, oleh karena: Pertama: adanya ketentuan Pasal 2 RUU-KUHP (2012) yang secara implisit mengakui hukum tidak tertulis dalam masyarakat, Kedua: pembahasan terhadap asas legalitas atau lex temporis delicti tidak berkaitan dengan perubahan perundang-undangan semata-mata sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 RUU-KUHP (2012) tetapi juga berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, Ketiga: ketentuan mengenai larangan menerapkan analogi merupakan suatu contradictio interminis jika dihubungkan dengan Pasal 2 RUU-KUHP (2012), yang mana seseorang dapat dipidana meskipun perbuatannya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, sebab untuk memidana suatu perbuatan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tidak mesti tidak, hakim harus menggunakan analogi atau setidak-tidaknya interpretasi ekstensif, padahal pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan prinsip antara interpretasi ekstensif dengan analogi. Keempat: berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) RUU-KUHP (2012), hukum yang tidak tertulis tersebut tidak hanya berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia serta kearifan lokal semata, akan tetapi juga dapat bersumber dari prinsip-prinsip umum yang diakui bangsa-bangsa beradab di dunia. Artinya, asas legalitas juga dapat disimpangi oleh praktik hukum kebiasaan yang telah berlangsung dan diakui oleh masyarakat internasional. Kelima: pembatasan terhadap asas legalitas sebagaimana yang termaktub dalam RUU-KUHP (2012), kiranya sudah sesuai dengan amandemen ketiga UUD 1945 Pasal ayat (3) yang menyatakan "Indonesia adalah negara hukum". Menurut Mahfud MD, perumusan Pasal 1 ayat (3) tanpa embel-embel 'rechtsstaat' seperti dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen dimaksudkan agar konsep negara hukum yang ada di Indonesia saat ini adalah negara hukum prismatik. Artinya, menggabungkan segi-segi positif antara rechtsstaat dan rule of law, serta memberi tempat yang luas pada pemenuhan rasa keadilan (rule of law). Artinya, demi tegaknya keadilan, maka seyogianya perbuatan yang tidak wajar, tercela atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dapat dipidana meskipun secara formal tidak ada hukum tertulis yang melarangnya. Keenam; pembatasan terhadap asas legalitas sebagaimana ternaktub dalam Pasal-Pasal RUU KUHP (2012), menunjukkan bahwa secara implisit hukum pidana di Indonesia telah mengakui ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif, artinya meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang, hakim dapat menjatuhkan pidana jika perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat. Ketujuh: ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) RUU-KUHP (2012) telah sesuai dengan hasil perdebatan dalam kongres Internasional mengenai hukum pidana dan penjara pada tahun 1935 di Berlin, Jerman, mengenai apakah ada pengaruh suatu perubahan peraturan perundang-undangan terhadap putusan hakim yang tetah berkekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde). Menurut Pompe, putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap hanya bisa dilawan denganbuitengewone rechtsmiddelen (alat-alat hukum yang luar biasa). Perubahan perundang-undangan tersebut dianggap novum sebagai dasar untuk mengajukan peninjauan kembali. dengan demikian, putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang baru bila hal tersebut menguntungkan terpidana.
Memperhatikan contoh di atas, penelitian hukum pada tataran isu hukum dalam filsafat hukum harus benar-benar dilakukan oleh ahli hukum, yang ditelaah dasar ontologis dan ratio legis undang-undang, menemukan teori-teori yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang itu serta landasan filosofisnya.
IV. Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu sama lainnya. Hubungannya bersifat kausalitas memuat proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lain. Isu hukum yang timbul karena hubungan diterangkan menerangkan memuat proposisi yang satu dipikirkan sebagai menerangkan makna yang lain, menjadikan peneliti harus mampu memahami konsep hukum yang menerangkan proposisi yang diterangkan. Sebagai ahli hukum, peneliti dalam memberikan rekomendasinya didasarkan kepada pertimbangan raison d'etre doktrin dan ratio legis ketentuan tersebut. selanjutnya, merumuskan isu hukum diperlukan ketepatan penggunaan kata, peneliti harus benar-benar memahami makna dan arti penting serta fungsi yang dijadikan isu hukum tersebut. Kesalahan dalam menemukan makna, arti penting dan fungsi yang dijadikan isu hukum, akan berakibat pemahaman yang salah terhadap pemecahan isu hukum tersebut, sehingga jawaban atas isu hukum tidak dapat dipertanggungjawaban secara akademis.
Bahan bacaan:
Buku:
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999.
Elly Erawaty, Bayu Seto Hardjowahono, Ida Susanti (Editor), Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia: Liber Amicorum untuk Prof. Dr. CFG. Sunaryati Hartono, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011.
Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, (alih bahasa: B. Arief Sidharta), PT. Alumni, Bandung, 2003.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005.
Sunaryati Hartono, C.F.G., Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994.
Makalah:
Chairul Huda, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Makalah, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi "Asas-asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta Perkembangan Dewasa ini", Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 23 -27 Februari 2014.
Eddy O.S. Hiariej, Asas legalitas dan perkembangannya dalam hukum Pidana, Makalah, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi "Asas-asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta Perkembangan Dewasa ini", Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 23 -27 Februari 2014.
Komariah Emong Sapardjaja, MelawanHukum dalam Hukum Pidana, Makalah, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi "Asas-asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta Perkembangan Dewasa ini", Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 23 -27 Februari 2014.
Mardjono Reksodipoetro, Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya: Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia, Makalah, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi "Asas-asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta Perkembangan Dewasa ini", Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 23 -27 Februari 2014
Sumber : http://alviprofdr.blogspot.com/2014/03/penelitian-hukum-isu-hukum.html#more