Translate

Sabtu, 20 Juli 2013

KEDUDUKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Pentingnya Hukum Positif Indonesia Untuk Mengatur Hubungan Hukum Dalam Masyarakat..!!

Hukum positif atau dengan istilah ius constitutum yaitu hukum yang berlaku di suatu negara atau masyarakat tertentu pada saat tertentu .Demikian dalam kehidupan masyarakat Indonesia hukum positif adalah hukum yang berlaku di Indonesia pada waktu ini. Jadi hukum yang dipelajari disini adalah hukum yang bertalian dengan kehidupan manusia dalam masyarakat, bukan hukum dalam arti ilmu pasti dan ilmu yang a lam yang obyeknya benda mati.

Dalam hukum positif, obyek yang diaturnya adalah sekaligus merupakan subyek (pelaku). Hal ini mempunyai akibat penting bagi metode keilmuannya dan penjelasan tentang sebab-akibatnya (kausalitas) hukum. Hukum positif yang menja di obyek ilmu hukum positif tidak seperti hukum ilmu alam/ilmu pasti. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari hukum positif sebagai suatu perangkat kaidah yang mengatur manusia masyarakat, ia tidak diatur oleh metode keilmuan ilmu pasti-alam, melainkan diatur oleh metode keilmuan Humanities (Humaniora).

Hukum positif yang mengatur tingkah laku manusia yang bukan benda mati melainkan makhluk hidup yang mempunyai pikiran dan kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk (ETIKA), akan mempunyai konsekuensi tidak saja bagi metodologi keilmuannya akan tetapi juga bagi kausalitasnya. Bila di kaitkan dengan etika maka hukum positif juga berkaitan dengan moral. Dimana dapat dikatakan bahwa hukum positif juga sangat erat hubungannya norma dan moral dalam masyarakat.

Hukum positif Indonesia adalah keseluruhan asas dan kaidah-kaidah berdasarkan keadilan yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat, yaitu berupa hubungan antar manusia, hubungan antar manusia dengan masyarakat dan sebaliknya hubungan masyarakat dengan manusia anggota masyarakat itu. Dengan lain perkataan, maka Hukum Positif adalah sistem atau tatanan hukum dan asas-asas berdasarkan keadilan yang mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat.   bila di tinjau dari pengertian hukum positif indonesia di atas maka dapat dikatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia hampir pasti tidak ada yang menyamai secara keseluruhan, karena Indonesia memiliki sistem hukum yang hanya bisa dterapkan di Indonesia. Begitu juga tergantung pada masa pemerintahan presiden tertentu. memang dasar - dasar dari hukum Indonesia tidak berubah namun penerapannya kan berbeda - beda. Sumber hukum formal pada umumnya dibedakan menjadi lima bagian, yaitu : Undang - Undang, Kebiasaan dan Adat, Traktat, Yurispudensi, dan Doktrin.

Hukum positif di Indonesia terdiri atas hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum tertulis adalah Undang - Undang dan peraturan - peraturan yang tertulis dan diterapkan. Hukum tertulis ini seaakan menjadi patterndalam melaksanakan sistem hukum di Indonesia, seperti UUD 1945 yang menjadi sumber dari segala sumber hukum. Selain itu, Kitab Undang - Undang Hukum Perdata maupun Pidana juga merupakan contoh dari hukum tertulis di Indonesia. Hukum tidak tertulis merupakan hukum kebiasaan atau hukum ada yang sudah berlaku turun temurun. Hukum ini tidak pernah ditulis dan diarsipkan sebagaimana hukum tertulis, namun berlaku dan menjadi paten di tengah - tengah kehidupan masyarakat.  Selain berlangsungnya hukum tertulis maupun tidak tertulis, di tengah - tengah masyarakat juga berlakui norma - norma yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Norma - norma yang berlaku adalah : Norma Agama, Norma Kesusilaan, Norma Kesopanan, dan Norma Hukum. Norma-norma ini tumbuh dalam masyarakat dan menjadi suatu aturan. Dengan adanya norma ini hubungan dalam masyarakat menjadi stabil karena masyarakat di hadapkan pada suatu peraturan yang mendasar yang lahir dari mereka sendiri.

Namun, masyarakat juga menjadi aspek penting dalam pembahasan sistem hukum di Indonesia. Hal ini dikarenakan keperluan dari masyarakat agar menemui tujuan masyarakat yang tentram dan sejahtera adalah berlakunya norma dan hukum yang tepat dan cocok dengan keadaan masyarakat itu. Hukum itu sendiri muncul karena adanya komunitas itu sendiri.

Berdasarkan keterangan-keterangan mengenai hukum positif dan hukum positif  indonesia diatas maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu :
1.      Hukum positif yang menjadi obyek ilmu hukum positif tidak seperti hukum ilmu alam/ilmu pasti. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari hukum positif sebagai suatu perangkat kaidah yang mengatur manusia masyarakat, ia tidak diatur oleh metode keilmuan ilmu pasti-alam, melainkan diatur oleh metode keilmuan Humanities (Humaniora).
2.      Hukum positif yang mengatur tingkah laku manusia yang bukan benda mati melainkan makhluk hidup yang mempunyai pikiran dan kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk (ETIKA), akan mempunyai konsekuensi tidak saja bagi metodologi keilmuannya akan tetapi juga bagi kausalitasnya.
3.      Hukum positif Indonesia adalah keseluruhan asas dan kaidah-kaidah berdasarkan keadilan yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat, yaitu berupa hubungan antar manusia, hubungan antar manusia dengan masyarakat dan sebaliknya hubungan masyarakat dengan manusia anggota masyarakat itu.
4.      Hukum positif indonesia terdiri dari dua yaitu hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum tertulis contohnya Kitab undang-undang hukum pidana dan perdata dan yang tidak terulis yaitu kebiasaan-kebiasaan atau hukum adat yang  sudah turun temurun dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.

Dari beberapa kesimpulan diatas pandangan terhadap hukum positif menjadi sangat penting, dimana hukum positif indonesia merupakan tonggak utama terbentuknya pola hubungan hukum yang baik dalam masyarakat itu sendiri. Hukum positif juga mengutamakan keadilan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa hukum yang terjadi dalam masyarakat, kedudukan hukum positif indonesia dalam masyarakat menjadi prioritas utama dalam mengatur hubungan hukum dalam lingkup kehidupan masyarakat indonesia.

Hukum positif indonesia sangatlah penting untuk mengatur hubungan-hubungan hukum dalam masyarakat karena dalam hubungan hukum masyarakat sering terjadi hal-hal yang dapat menjadi pemicu terjadinya keretakan yang dapat mengganggu keteraturan hidup masyarakat. misalnya terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri dan pelanggaran tersebut dapat menimbulkan akibat hukum yang merugikan kelompok itu sendiri.dari segi individual pun sering terjadi berbagai macam masalah, masalah-masalah ini bukan hanya masalah yang menimbulkan dampak negatif bagi orang itu sendiri tetapi bagi orang lainnya dan hal ini merupakan hal yang dapat mengganggu ketertiban umum.

Berbagai macam persoalan dalam masyarakat itu dapat menyangkut masalah perdata, pidana, dan masalah-masalah sosial lainnya. Disinilah kemudian hukum positif di butuhkan dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut. contohnya apabila terjadi kejahatan yang berupa pembunuhan maka hal tersebut akan di selesaikan secara pidana dengan berpegang pada KUHPidana begitupun untuk masalah perdata semua perkara perdata akan di selesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perdata yaitu KUHPerdata. Salah satu  contoh dimana hukum positif berperan penting yaitu mengenai hubungan hukum antar masyarakat dalam kehidupannya yaitu perjanjian pinjam meminjam,  dalam sistem hukum positif indonesia perjanjian pinjam meminjam merupakan hubungan antar masyarakat yang sering kali terjadi dan  suatu perjanjian  dikatakan sah apabila kedua belah pihak telah setuju atau sepakat dan apabila terjadi kecurangan dalam perjanjian tersebut maka sanksi dapat di jatuhkan bagi pelaku kecurangan tersebut. disinilah kita dapat melihat bahwa hukum positif indonesia sangatlah penting dalam mengatur dan menata sekaligus menjaga masyarakat dari berbagai macam permasalahan hukum yang merugikan.

Dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat, hukum positif indonesia juga mengenal mengenai bentuk-bentuk perusahaan seperti Firma, CV,  PT dan Koperasi. Pengaturan PT ini diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang  dalam pasal 26 sampai pasal 56, kemudian di ganti dengan No.1 tahun 1995  tentang perseroan terbatas kemudian di ganti dengan undang-undang No. 40 Tahun 2007 ( Lembaran Negara  Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor 106 ) yang disingkat dengan UUPT. Dari hal ini dapat dilihat juga bahwa hukum positif indonesia bukan hanya mengatur hubungan hukum dalam masyarakat namun. Juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perekonomian dan perdagangan serta sistem keteraturan masyarakat baik antara masyarakat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah.

Seiring dengan  hal tersebut masih banyak lagi peraturan-peraturan pemerintah ataupun undang-undang yang bersifat hukum positif. Dalam pengaturan hukum positif mengenai hubungan hukum dalam masyarakat tidak terlepas dari apa yang di sebut dengan moral, apalagi mengingat hal ini berkaitan dengan masyarakat. dalam pembentukan moral masyarakat tidak terlepas dari pengaruh hukum, disini hukum berfungsi membentuk dan menjaga setiap individu menjadi sosok individu yang bermoral baik. dengan demikian, hukum poisitif merupakan landasan utama dalam mengatur hubungan hukum dalam masyarakat. karena hukum positif merupakan sekumpulan aturan-aturan yang berfungsi untuk menjaga ketertiban umum dan kesehjateraan Masyarakat.

Sumber :  

MENCARI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH TRAFFICKING DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI SOSIAL

ANALISIS MASALAH TRAFFICKING
“MENCARI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH TRAFFICKING DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI SOSIAL”

Taufiq Winarno

ABSTRAKSI MASALAH
Traffiking ialah salah satu bentuk masalah sosial yang memiliki dampak negatif sangat besar terhadap kondisi psikologi korban trafficking, para korban cenderung asosiatif serta banyak menimbulkan berbagai kesulitan lain yang lebih parah bagi hidupnya, karena acapkali reference-group bagi korban trafficiking adalah sebuah kelompok sosial yang jauh berbeda dengan membership-groupnya yang jelas-jelas berbenturan dengan kerangka norma, pedoman, ataupun sikap sosial yang dimiliki oleh membership-groupnya dengan pegangan atau pedoman hidup yang mereka yakini  didalam dirinya sendiri, Sehingga kemudian terjadi benturan besar yang mampu membentuk prasangka sosial yang negative. Dan kemudian dengan kefrustasiannya, masalah trafficking ini menjelma kedalam tindakan-tindakan diskriminatif, dan terlampau agresif .

CONTOH KASUS
Kasus 1
Tiga bersaudara yang bernama Hasanah-2, Dewi-8, Lastri-11thbiasa mengemis di depan Mitra 1, Surabaya. Mereka mengaku mengemis karena disuruh oleh orang tuanya karena jika tidak mereka bakal dimarahi dan dipukul oleh orang tuanya. Mereka berangkat mengemis sepulang sekolah diantar oleh orang tuanya. Hasil mengemis diserahkan pada orang tuanya katanya untuk dibelikan sepeda, baju, dan biaya sekolah.
Ketika Tim mewawancarainya, ternyata diawasi oleh seorang laki-laki dan mengatakan sesuatu kepada mereka yang intinya bahwa kami adalah orang yang berbahaya.[1]

Kasus 2
Sumiati sudah menikah punya 2 anak, umurnya sekitar 25 tahun. Dia pergi keBatam ikut “joker” dengan membayar sejumlah uang. Suaminya tahu persis apa pekerjaan istrinya di Malaysia nanti. Dan ifarnyalah yang menginformasikan pekerjaan itu, bahkan suaminya memaksa istrinya untuk melakukan hal itu. Karena mereka tidak punya pekerkaan lain selain itu. Sedangkan kakak iparnya berhasil mengumpulkan uang dengan mudah dan cepat dari hasil pekerjaan seksualnya.
Proses recuitingnya oleh joker yang ternyata sudah kenal betul dengan kakk perempuannya, diantar ke Batam. Di batam ada joker berikutnya yang sudah siap mengantarnya keMalaysia, sampai di Malaysia lalu diserahkan kepada joker yang ditempat tersebut.
Sumiati pergi ke Malaysia tidak menggunakan dokumen, o;eh karena itulah dia harus transit di Batam dan menggunakan speed-boat untuk mencapai pantai di Malaysia. Kemudian menuju tempat yang dituju dengan jalan kaki.
Di Malaysia Sumiati beserta 2 orang temannya dibawa kepinggir hutan, disuruh melayani para TKI laki-laki yang non dokumen. Biasanya semalam mereka dipaksa untuk melayani sekitar 25-40 orang pelanggan dengan dibayar 10 ringgit perorang. Sumiati tidak tahu berapa yang diterima oleh jokernya, pokoknya perorang dia hanya diberi 10 ringgit. Mereka melakukan itu sampai 6 bulan. Dan dalam waktu 5 bulan dia sudah bias pulang uang yang sangat banyak dan juga mampu membangun rumahnya. Rumah yang tadinya dari bamboo kini dibangun menjadi rumah mewah. Pada kepergian yang keduanya dia sudah punya mobil. Setelah punya mobil, karena merasa tidak enak dengan bisik-bisik tetangga, maka suami juga pergi ke Malaysia[2].


PENDAHULUAN
Beberapa kasus diatas adalah sebagian bukti dari proses perkembangan kasus traficking (perdagangan orang) di Indonesia sungguh kian mengkhawatirkan. Dari tahun ke tahun, kasus ini meningkat tajam. Seakan-akan, kasus trafficking di Indonesia diibaratkan bak gunung es. Artinya, angka yang tersembunyi di bawah permukaan jauh lebih besar ketimbang yang terlihat di permukaan. Data dari International Organization for Migration (IOM) mencatat hingga April 2006 bahwa jumlah kasus perdagangan manusia di Indonesia mencapai 1.022 kasus, dengan rinciannya: 88,6 persen korbannya adalah perempuan, 52 persen dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga, dan 17,1 persen dipaksa melacur (www.bkkbn.go.id).  Sepanjang kasus trafficking mencuat di Indonesia sejak 1993, tahun 2000 merupakan tahun yang paling ramai dengan maraknya kasus ini. Modus tindak pidana trafficking sangat beragam, mulai dari dijanjikan pekerjaan, penculikan korban, menolong wanita yang melahirkan, penyelundupan bayi, hingga memperkejakan sebagai PSK komersil. Umumnya para korban baru menyadari bahwa dirinya merupakan korban trafficking setelah tidak mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, alias dieksploitasi di negeri rantau. Pada bulan Meret 2007, Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia berhasil menyelamatkan 19 orang wanita Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia. Pengungkapan kasus tersebut diawali dengan penangkapan polisi setempat terhadap empat wanita yang dituduh bekerja dengan memakai visa turis. Pihak Kepolisian RI kemudian dilibatkan dalam pemeriksaan terhadap empat wanita tersebut. Terungkap fakta bahwa mereka adalah korban penipuan perdagangan manusia dengan modus menawarkan magang kerja di hotel luar negeri.
Mereka menceritakan bahwa setiap calon korban dimintai uang masing-masing sebesar Rp. 3,5 juta dengan alasan untuk membiayai tiket pesawat, pengurusan visa, dan akomodasi selama magang kerja. Namun, kenyataannya mereka justru harus bekerja nonstop selama setahun penuh tanpa libur dan diupah hanya 400 ringgit Malaysia. Dari upah itu, 50 ringgit dipotong pihak agen tenaga kerja, sehingga korban hanya menerima 350 ringgit atau sekitar Rp. 800 ribu perbulan. Berbekal keterangan tersebut, pihak KBRI dan polisi Malaysia dapat menemukan 15 wanita lain yang bernasib sama. Cerita tersebut menunjukkan betapa pedihnya penderitaan yang dialami para korban trafficking.


DEFINISI TRAFFICKING
Menurut Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) pasal 1 ayat 1 dan hampir sama dengan apa yang didefinisikan oleh PBB[3], definisi trafficking (perdagangan orang) adalah: “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Ada tiga elemen pokok yang terkandung dalam pengertian trafficking di atas. Pertama, elemen perbuatan, yang meliputi: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan, atau meneirma. Kedua, elemen sarana (cara) untuk mengendalikan korban, yang meliputi: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Ketiga, elemen tujuannya, yang meliputi: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, dan sebagainya (Harkristuti Harkrisnowo dikutip dalam www.menkokesra.go.id).
Kasus perdagangan perempuan dengan modus pelacuran di luar negeri adalah kasus yang paling umum terjadi. Bahkan, menurut data yang ada fenomena ini makin meningkat dari tahun ke tahun. Menurut laporan Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) tercatat sepanjang tahun 2005 saja ada 700 perempuan Indonesia telah dijadikan budak seks di negeri orang (www.bkkbn.go.id). Jumlah itu diperkirakan terus meningkat jika penanganannya tidak diatasi secara serius.


DESKRIPSI MASALAH
Contoh kasus seperti yang dialami oleh tiga bersaudara yaitu, Hasanah-2, Dewi-8, Lastri-11th adalah sebagian contoh kecil dari masalah trafficking di Indonesia. Mereka selalu diberikan motivasi oleh ibu kandungnya untuk melakukan semua itu sehingga secara tidak sadar mereka sebenarnya telah dijadikan budak oleh ibu kandungnya sendiri. Sedangkan kasus yang kedua adalah salah satu bentuk eksploitasi seksual dengan modus penipuan karena iklannya adalah lowongan kerja bagi perempuan, muda, berwajah menarik, dsb yang akan dikirim ke Jepang untuk kunjungan seni budaya dengan penghasilan yng tinggi dan hanya 6 bukan. Ternyata dipekerjakan di club-club malam yang siap melayani berbagai pelanggan. Adapun suami dan saudaranya yang mendorong korban untuk memasuki dunia tersebut, jadi ebenarnya mereka merupakan  pihak yang turut serta membawa korban kedunia pelacuran. Dan akhirnya, secara psikologis korban akan banyak mengalami gangguan mental jika tidak segera diberi bimbingan yang khusus terhadap mereka.
Adapun elemen Kunci dari masalah trafficking ini adalah:
  • Rekruitmen
  • Tranportasi (Pengankutan/Pemindahan)
  • Transfer / Alih Tangann
  • Penampungan
  • Penerimaan
Masalah trafficking ini biasanya menggunakan cara:
  • Ancaman
  • Pemaksaan
  • Penyalahgunaan Kekuasaan
  • Penculikan
  • Penipuan
  • Penguasaan atas Korban ( Pembiusan)
Sedangkan bentuk pekerjaan perempuan dan anak menurut tujuan/jenis pekerjaan
  • Perdagangan Perempuan dan anak untuk buruh industri
  • Untuk Pekerja domistik didalam dan di luar negeri
  • Dipekerjakan sebagai Pengemis di dalam negeri
  • Untuk peredaran narkotika di dalam negerii
  • Untuk dipekerjakan di sebagai pekerja di tempat-tempat hiburan di dalam dan luar negeri
  • Untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks di dalam dan luar negeri
  • Sebagai konsumsi pedofil di dalam dan luar negeri
  • Dalam bentuk “perkawinan-transnasional” diluar negeri (mail order bride)
  • Untuk tujuan adopsi palsu di dalam dan luar negeri

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA MASALAH TRAFFICKING
Maraknya isu perdagangan perempuan & anak ( Trafficking ) dewasa ini diawali dengan semakin meningkatnya migrasi tenaga kerja baik antar daerah, wilayah maupun Negara memasuki  sector informal maupun pekerjaan rumahan. Sektor ini sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak yang berumur di bawah 18 tahun. Penyebab yang mendorong trafficking di Indonesia adalah: Kemiskinan, terbatasnya akses dan kesempatan kerja, kekerasan dalam rumah tangga, kepatuhan anak terhadap orangtua ( yang terdesak secara ekonomi), konflik sosial dan peperangan serta lemahnya penegakan hokum, serta perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang tidak berkesudahan.
Kondisi ini tidak saja dialami oleh Indonesia. Laporan Survey dunia IV tentang perempuan dan pembangunan (1999)  menyebutkan bahwa banyak Negara berkembang di Asia, seperti Vietnam, Laos, Sri Langka, Thailand, dan Philipina mengalami hal yang sama, sebagai akibat ketidakpastian dan ketidak mampuan menghadapi persaingan bebas dari konsep liberalisasi ekonomi di era globalisasi yang mempunyai dampak yang cukup kompleks terutama terhadap peningkatamn peran dan kedudukan perempuan dalam bidang ekonomi baik pada tingkat nasional maupun internasional[4].

PEMECAHAN MASALAH TRAFFICKING
Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah yang amat pelik ini. Menurut laporan Kementerian Koordinator Kesehateraan Rakyat da;am websitenya www.menkokesra.go.id menjelaskan bahwa pencegahan trafficking dapat dilakukan melalaui beberapa cara.
Pertama, pemetaan masalah perdagangan orang di Indonesia, baik untuk tujuan domestik maupun luar negeri.
Kedua, peningkatan pendidikan masyarakat, khususnya pendidikan alternatif bagi anak-anak dan perempuan, termasuk dengan sarana dan prasarana pendidikannya. Ketiga, peningkatan pengetahuan masyarakat melalui pemberian informasi seluas-luasnya tentang perdagangan orang beserta seluruh aspek yang terkait dengannya. Keempat, perlu diupayakan adanya jaminan aksesibilitas bagi keluarga khususnya perempuan dan anak untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan dan pelayanan sosial.
Cara-cara tersebut terkesan sangat ideal, tinggal bagaimana implementasinya secara nyata. Upaya tersebut juga memerlukan keterlibatan seluruh sektor pemerintah, swasta, LSM, badan-badan internasional, organisasi masyarakat, perseorangan, dan termasuk media massa sehingga membentuk interaksi social yang kemudian membentuk pola social positif yang lebih dinamis . kemudian
Tri Astuti mengatakan bahwa langkah yang selama ini baru dilakukan oleh Kantor Pemberdayaan Perempuan Provinsi DIY untuk meminimalisir praktek trafficking adalah dengan mengadakan pelatihan bagi para kepala desa tentang tertib administrasi. Salah satu tujuan utamanya adalah mengantisipasi praktek pemalsuan identitas yang kian marak terjadi dalam hal pengurusan syarat-syarat TKI. Namun, sayangnya mengapa lembaga perempuan tersebut baru melangkah pada tindakan antisipasi yang sifatnya administratif. Padahal, masih banyak bentuk kegiatan lain yang bisa menyentuh masyarakat secara umum, termasuk kaum perempuan di dalamnya yang rentan dengan trafficking. Selain itu pelatihan dalam membentuk psikologi social juga harus menjadi salah satu unsur terpenting dalam mengimbangi pengaruh globalisasi terhadap masyarakat seperti apa yang dikatan Riza Wahyuni, S.Psi, MSi, Psikolog, Humas dan Psikolog PPT Jatim di hadapan peserta” pelatihan teknis pendampingan korban kekerasan dan trafficking” oleh Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur di Batu, Jawa Timur (19/5). masalah trafficking bagi korban adalah berkaitan dengan kesehatan reproduksi, cacat fisik permanen atau sementara, masalah psikologis dari yang paling ringan seperti stres, depresi, sampai kepada gangguan jiwa berat sehingga perlu dilakukan pendampingan yang khusus bagi mereka. Pendampingan bagi korban perlu dilakukan dengan tujuan membantu  mereka memahami masalah yang dihadapi dan penguatan kapasitas psikologis, berkaitan dengan kemandirian baik fisik atau psikis agar mereka tidak menjadi korban kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan kapasitas building SDM untuk melakukan pendampingan, dan pemahaman tentang layanan kasus, mulai dari melakukan identifikasi, apa yang harus dilakukann dalam pelayanan medis, psikososial, hukum, dan bekerja dengan jejaring layanan. Kapasitas building yang penting bagi pendamping adalah pemahaman tentang konseling yang bersifat empati bagi korban, dimana bertujukan untuk membantu korban dalam memahami masalahnya, sebagai fasilitator bagi korban untuk pengambilan keputusan dalam upaya kemandirian.
adapun langkah awal yang dapat kita lakukan adalah dengan melakukan kajian akademis untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai trafficking.


REFERENSI
Buku Pustaka
Syafaat, Rachmad. Dagang Manusia ; Kajian Trafficking terhadap perempuan dan Anak di Jawa Timur. Yogyakarta : LAPPERA PUATAKA UTAMA, 2003
Gerungan. Psikologi Sosial. Bandung : PT Refika Aditama, 2004

[1] . Rahmad Syafaat, SH., M,Si. Dagang Manusia. Kajian Trafficking terhadap perempuan dan Anak di Jawa Timur. ( Yogyakarta : LAPPERA PUATAKA UTAMA. 2003 ) hlm. 92-93
[2] Rahmad Syafaat, SH., M,Si. Dagang Manusia. Kajian Trafficking terhadap perempuan dan Anak di Jawa Timur. ( Yogyakarta : LAPPERA PUATAKA UTAMA. 2003 ) hlm 64
[3] Rahmad Syafaat, SH., M,Si. Dagang Manusia. Kajian Trafficking terhadap perempuan dan Anak di Jawa Timur. ( Yogyakarta : LAPPERA PUATAKA UTAMA. 2003 ) hlm 114
[4] Rahmad Syafaat, SH., M,Si. Dagang Manusia. Kajian Trafficking terhadap perempuan dan Anak di Jawa Timur. ( Yogyakarta : LAPPERA PUATAKA UTAMA. 2003 ) hlm 8

Minggu, 14 Juli 2013

SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN (WOMEN TRAFFICKING)

(KODE ILMU-HKM-0054) : SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN (WOMEN TRAFFICKING)

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Semakin berkembangnya zaman dan teknologi, memunculkan kejahatan yang semakin kompleks, yang lebih sistematis dan berjejaring termasuk salah satunya adalah kejahatan perdagangan orang yang lebih dikenal dengan trafficking. Perdagangan orang yang terjadi merupakan suatu hal yang sebenarnya telah ada pada masa dulu namun merupakan bentuk perbudakan yang baru dengan modus yang berbeda-beda pula. Kejahatan trafficking tersebut melintasi batas-batas geografis tidak hanya antar wilayah satu negara tetapi juga antar negara sehingga menimbulkan permasalahan internasional. Hal semacam ini membuat sulitnya penanganan atau pemberantasan terhadap kejahatan trafficking. Perkembangan ini harus diperhatikan oleh bangsa-bangsa agar dapat terus mengikuti dan mencegah serta menangani masalah perbudakan modern ini.
Perdagangan orang (trafficking) sebenarnya mempunyai makna lebih luas yang tidak hanya terbatas pada perempuan dan anak-anak saja. Trafficking dapat menimpa semua orang yang tidak dibatasi oleh jenis kelamin maupun usia. Namun ada perhatian yang lebih dikhususkan pada perempuan dan anak sebagai kelompok rentan dalam pembicaraan trafficking. Isu trafficking merupakan isu yang sensitif yang secara tidak langsung berhadapan dengan nilai-nilai budaya setempat serta isu diskriminasi yang sudah berakar cukup kuat sejak berabad-abad. Namun dalam penulisan ini lebih memfokuskan kepada women trafficking (perdagangan perempuan), yaitu perempuan dewasa. Faktor budaya patrilinial yang kemudian mengkondisikan perempuan dalam ketidakadilan gender baik itu bentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotipe dan kekerasan (Erna Dyah Kusumawati, 2005:1459-1460).
Selain itu sebagai korban women trafficking, perempuan dewasa terkadang mempunyai andil terjadinya kejahatan tersebut, karena ada persetujuan dari korban itu sendiri dengan berbagai alasan salah satunya karena faktor ekonomi, tingginya angka kemiskinan membuat seseorang cepat tergiur akan suatu tawaran pekerjaan tanpa mempedulikan kebenaran dan akibatnya setelah itu.
Menurut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), antara dua dan empat juta perempuan dan anak-anak diperdagangkan setiap tahun. Pada tahun 2000, di seluruh dunia diperkirakan antara 700.000 (tujuh ratus ribu) sampai 2 juta kaum perempuan dan anak-anak merupakan korban trafficking. Dari jumlah tersebut sebanyak 200.000 (dua ratus ribu) sampai 225.000 (dua ratus dua puluh lima ribu) diantaranya terjadi di negara-negara Asia Tenggara. Pada tahun 2003, jumlah ini mengalami peningkatan seperti yang dilaporkan oleh Bureau of Public Affairs, US Departement of SATE yaitu bahwa tiap tahun sebanyak 800.000 (delapan ratus ribu) sampai 900.000 (Sembilan ratus ribu) manusia telah diperdagangkan dengan mengabaikan batas-batas internasional untuk tujuan memasok pasar perdagangan seks internasional dan buruh. Sangat sulit untuk mendapatkan angka jumlah korban secara pasti dalam hal ini (http://forum, hukum-umm. info/index. php?topic=1 90.0).
Kaum perempuan merupakan korban yang terbesar dari perdagangan haram ini. Pergerakan manusia menjangkau perbatasan secara ilegal dan tersembunyi ialah fenomena global yang serius. Perdagangan orang bukan hanya kejahatan transnasional, tetapi juga pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan perbudakan bentuk baru (http: //forum.hukum-umm.info/index.php?topic=190.0). Perdagangan orang secara ilegal terutama para perempuan ini berkembang menjadi persoalan kemanusiaan yang memprihatinkan. Di negara-negara Asia Tenggara para perempuan diperlakukan sewenang-wenang tanpa mempedulikan faktor manusiawi yang bersentuhan dengan harkat dan martabatnya. Para perempuan dibujuk, dipaksa dan diperdagangkan untuk industri seks dan dunia hiburan lainnya, terdapat juga yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga atau pabrik dengan jam kerja tak terbatas dan upah minimum. Praktek-praktek semacam ini tergolong pelanggaran terhadap pemajuan, pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan penegakan manusia dan hukum (http: //forum.hukum-umm.info/index.php?topic=190.0).
Walaupun tidak tersedia data statistik yang canggih tentang kasus-kasus perdagangan perempuan yang terjadi secara nasional, kejahatan ini telah menimpa banyak perempuan Indonesia, khususnya mereka yang sedang mencari kerja. Sebagai gambaran, Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur Malaysia melaporkan telah menerima pengaduan 2.451 kasus pada tahun 2001, 2.155 kasus pada tahun 2002, 2.112 kasus pada tahun 2003, dan 2.158 kasus pada tahun 2004. Mayoritas besar korban dalam kasus ini adalah perempuan Indonesia (baik dewasa maupun anak-anak). Indonesia memiliki sekitar 200 ribu pekerja seks, satu juta pekerja rumah tangga, dan satu juta orang TKW (Rosenberg dalam Anis Hamim dan Fatimana Agustinanto, 2006:261).
Persoalan women trafficking kadang masih dipandang sebelah mata oleh aparat penegak hukum, aparat pemerintah dan anggota masyarakata hal tersebut tercermin dari penggunaan standar moralitas yang biasa memandang kasus women trafficking. Implikasi dari kondisi tersebut mengerucut pada ketidakadilan dan pengabaian hak-hak korban women trafficking selain itu juga berimplikasi terjadinya kriminalisasi terhadap korban, sehingga kondisi yang dialami korban adalah menjadi "pelaku" atas penderitaan yang dialaminya. Untuk menjamin kedudukan korban maka diabaikannya unsur persetujuan/conset dari korban women trafficking (R.Valentina Sagala, 2006:294).
Angka persentase yang sangat berarti telah dimunculkan melalui berbagai survei, sebagaimana dibahas dan diketahui bahwa masalah trafficking merupakan suatu isu internasional yang telah menyita perhatian publik baik domestik maupun internasional, karena korban kejahatan ini telah banyak yang diketahui berjatuhan, dan dari waktu ke waktu cenderung mengalami peningkatan. Pada konteks nasional, persoalan trafficking di Indonesia sudah sampai pada taraf yang sangat memprihatinkan (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18122/3/Chapter%20II.pdf).
Salah satu upaya untuk mengakomodasi perlindungan terhadap korban women trafficking adalah perlu dibuatnya aturan hukum untuk menjamin kedudukan korban sebagai pihak yang paling dirugikan dalam hal ini. Sebagai kejahatan transnasional maka dibutuhkan aturan yang berskala internasional maupun nasional yang dapat mengatur mengenai kejahatan women trafficking ini. Di Indonesia sendiri pengaturan yang mengacu mengenai korban women trafficking dapat ditemui beberapa aturan hukum, dari aturan hukum yang bersifat umum sampai aturan yang bersifat khusus yang lebih spesifik mengatur mengenai women trafficking yaitu Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Keppres Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak.
Berbicara mengenai suatu kejahatan maka tidak terlepas dari korban, dimana korban merupakan pihak yang paling menderita suatu kerugian akibat terjadinya kejahatan. Konsep keadilan yang sekarang berkembang lebih mengacu kepada keadilan restoratif lebih mengutamakan pemulihan terhadap kondisi korban, yang sesuai dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, "Daad-Dader Strafrecht” kepada paradigma baru, " Daad-Dader-Victim Strafrecht ”.
Berdasarkan hal tersebut, maka Penulis tertarik untuk mengambil judul "KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN (WOMEN TRAFFICKING)".

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia?
2. Bagaimanakah kelemahan dan kelebihan dari pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh Penulis agar dapat menyajikan data yang akurat sehingga dapat memberi manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia.
b. Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia .
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk dapat meraih gelar Kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas X.
b. Untuk memperluas wawasan dan memperdalam pengetahuan Penulis di bidang Hukum Pidana khususnya terkait perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking).

D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian akan sangat berguna bila hasilnya memberikan manfaat, tidak hanya bagi Penulis, tetapi juga bermanfaat bagi setiap orang yang menggunakannya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya, terutama dalam bagian Hukum Pidana pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum pidana tentang perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking).
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan, pedoman, atau landasan teori hukum terhadap penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir sistemis dan dinamis, sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan Penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh dalam bangku kuliah.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum bagi setiap pihak yang terkait seperti pemerintah, praktisi hukum, dan akademisi.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan maupun pola pikir kritis dan dinamis bagi Penulis serta semua pihak yang menggunakannya dalam penerapan ilmu hukum dalam kehidupan.

E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:41).
Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih dulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Dalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dam aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2006: 28).
Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan judul dan rumusan masalah, penelitian yang dilakukan termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johny Ibrahim, 2006:44).
Penelitian normatif mencakup:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum,
b. Penelitian terhadap sistematika hukum,
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum.
d. Penelitian sejrah hukum,
e. Penelitian perbandingan hukum (Soerjono Soekanto, 2006:51).
Dalam penelitian hukum normatif ini penulis cenderung kepada penelitian terhadap asas-asas hukum yaitu penelitian untuk menemukan asas-asas hukum yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis (balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metode-penelitian-hukum/). Dimana hukum positif tertulisnya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan korban perdagangan perempuan.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat dari ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif atau terapan, maksudnya bahwa ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 22)
Oleh sebab itu, dalam laporan penelitian ini Penulis memberikan gambaran atau pemaparan tentang perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach), pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan historis (Historical Approach), pendekatan perbandingan (Comparative Approach), dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93). Pendekatan yang dilakukan Penulis adalah pendekatan perundang-undangan, yaitu melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Dalam hal ini menggunakan pendekatan terhadap aturan hukum meliputi Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Keppres Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
4. Jenis Data
Jenis data yang Penulis pergunakan dalam penulisan hukum ini berupa data sekunder. Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dalam penulisan hukum ini yang meliputi:
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan;
2) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM);
3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
4) Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
b. Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literature-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan data sekunder. Dari data tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai data penunjang di dalam penelitian ini (Johnny Ibrahim, 2006: 393).
Setelah isu hukum ditetapkan, Penulis melakukan penelusuran mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu hukum yang dihadapi. Dalam hal penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang dilakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan isu tersebut yaitu aturan hukum di Indonesia yang meliputi Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Serta Keppres Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
6. Pengolahan Hasil dan Analisis Data
Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 393). Setelah diperoleh data yang akan diteliti, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data dilakukan dengan mengelompokkan dan mengkategorisasikan, kemudian proses pengorganisasian dan pengelompokkan data (Lexi J.Moleong, 2009:280-281). Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui pengaturan perlindungan hukum terhadap korban women trafficking di Indonesia serta kelemahan dan kelebihan pengaturan perlindungan hukum terhadap korban women trafficking tersebut.

F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran secara keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum dalam penelitian ini meliputi :
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai tinjauan tentang korban dan perdagangan orang atau trafficking.
BAB III : Pembahasan Dan Hasil Penelitian
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat hal pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu pengaturan perlindungan hukum terhadap korban women trafficking di Indonesia dan kelemahan dan kelebihan pengaturan women trafficking di Indonesia.
BAB IV : Penutup
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat Penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini. 
Daftar Pustaka

Sumber : http://1xdeui.blogspot.com

“Fenomena Kawin Siri, dalam kecamata hukum dan sosial kemasyarakatan”

Ada fenomena yang dianggap baru terjadi dalam masyarakat kta, yaitu pelaksanaan kawin sirih. Tulisan ini muncul sebagai tanggapan dan kritik terhadap tulisan saudari Kinkin Puput Kinanti pada harian ini (Surya) pada tanggal 18 Maret 2009 yang berjudul “Kawin sirih dihukum?”.

Pada artikel tersebut, saudari Kingkin Puput Kinanti mencoba menggambarkan tentang fenomena kawin siri yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Namun, sangat disayangkan pendefinisan “kawin siri” itu apa tidak dijelaskan dan digambarkan dengan detail. Sehingga dengan demikian bisa menimbulkan kesalahpahaman dikalangan pembaca. Lebh-lebih lagi ketika saudari Puput menegaskan dalam tulisannya tersebut bahwa kawin siri tidak disukai oleh nabi. Padahal jika kita ingin menganalisa fenomena kawin siri dari sudut pandang sejarah dan agama, khususnya agama Islam. Maka tidak akan kita temukan bahwa Nabi Muhammad mengatakan tidak menyukai praktek kawin yang sederhana (jika kita mempersepsikan kawin siri sama dengan perkawinan yang bersifat sederhana dan tidak berlebih-lebihan). Malahan Rasulullah pernah menegaskan jika perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilakukan dengan sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Juga kalau kita menganalisa fenomena kawin siri yang marak terjadi dimasyarakat, bahwa kawin siri adalah perkawinan yang tidak disaksikan oleh orang banyak dan tidak dilakukan di depan Pegawai Pencatat Nikah atau dicatat di KUA.

Juga pada penjelasan Mbak Puput tentang syarat sah nikah. Dimana Mbak Puput menuliskan bahwa syarat sah sebuah perkawinan ialah adanya kedua mempelai, dua orang saksi, wali nikah, ijab dan Kabul. Perlu ditekankan dengan jelas di sini bahwa hal-hal yang telah disebutkan oleh mbak Puput bukanlah syarat sah perkawinan melainkan rukun perkawinan. Hal ini dapat dilihat jelas pada Inpres No.1 Tahun 1991 Tentan Kompilasi Hukum Islam pada Buku I Pasal 14. Perlu diketahui bahwa rukun adalah suatu hal yang jika ditinggalkan akan membuat perkawinan tersebut tidak sah atau bisa dikatakan bahwa tidak pernah ada perkawinan. Sedangkan syarat perkawinan adalah suatu hal yang jika ditinggalkan tidak akan membatalkan perkawinan tersebut. Dalam hukum positif kita, sangat jelas ditegaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974).

Fenomena kawin siri jika kita coba menganalisanya dari sudut pandang ilmu sosial. Maka kita akan dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa ia merupakan suatu tindakan sosial dari individu-individu (Weber, 1921/1968). Tindakan sosial terhadap apa? Yaitu terhadap kesadaran kolektif masyarakat yakni jika dua pasang sejoli khendak menikah, mereka harus menyelesaikan kuliah dulu, harus kerja dulu, dan masih banyak lagi berbagai simbol yang muncul di tengah-tengah masyarakat kita dan telah diterima menjadi sebuah kesadaran kolektif (Durkheim, 1893/1964: 79-80). Padahal jika kita analisis lebih mendalam lagi, maka kita akan melihat tingginya beban psikologis yang dirasakan oleh individu-individu tadi.

Beban psikologis mereka bisa berupa keinginan yang kuat untuk melakukan suatu hubungan layaknya suami-isteri kepada lawan jenisnya. Nasihat orang tua pada umumnya kepada anaknya hanyalah meminta untuk menahan. Tapi menurut hemat penulis, apapun yang menjadi petuah orang tua tersebut tidak akan mampu melawan gejolak yang merupakan fitrah ilahiyah dalam anak tersebut. Apa lagi bertambah banyaknya pengaruh dari lingkungan sekitar yang membuat fitrah tersebut semakin membara. Pengaruh tersebut utamanya adalah televisi, yang mana kebanyakan chanel yang ada menampilkan acara-acara yang mengekspose perempuan dengan berbagai macam pakaiannya yang aduhai. Belum lagi pengaruh dari gaya pakaian perempuan-perempuan usia remaja bahkan dewasa yang semakin mengikuti budaya barat, dan kehilangan budaya sesungguhnya. Yaitu kebudayaan asli Indonesia, yang mana sebagian besar dipengaruhi oleh Agama Islam.

Akhirnya, jika gejolak tersebut telah begitu membaranya. Maka keinginan untuk berzina pun akan menjadi pilihan mereka. Inilah realita yang bisa kita lihat sekarang, khususnya pada kaum muda. Mereka juga tidak bisa disalahkan secara langsung begitu saja karena keadaan sosial yang memaksa mereka untuk melakukan hal tersebut.

Setelah melakukan perzinahan tersebut, siperempuan pun hamil. Kemudian orang tua masing-masing pun dibuat pusing bukan kepayan. Jalan kawin siri pun akhirnya diambil sebagai pelindung aib besar anak-anaknya. Disinilah muncul persepsi baru tentang kawin siri. Bahwa kawin siri adalah perkawinan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena telah terjadinya sesuatu hal seperti disebutkan di atas.

Inilah juga yang memunculkan ide untuk mempidanakan pelaku kawin siri dan yang mengawinkannya. Menurut hemat penulis, pemidanaan yang dirancang dalam RUU Materiil Peradilan Agama bahwa pelaku pernikahan siri dan yang menikahkannya akan dikenakan pidana kurungan maksimal 3 bulan dan/atau denda Rp.5.000.000 belum begitu dibutuhkan saat ini. Apalagi akan bertentangan dengan Pasal 28 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu.

Dipenghujung tulisan ini, penulis berharap para orang tua mampu memahami keinginan menikah anak-anaknya yang sudah menginjak usia layak untuk menikah. Hal ini untuk mengindari dampak negatif dari pencegahan terhadap keinginan mereka untuk menikah seperti keinginan untuk melakukan hubungan suami isteri dan sebagainya. Sehingga dengan pemahaman yang baik dari orang tua juga diharapkan perkawinan yang akan dilaksanakan tidak lagi dengan konsep kawin siri. Artinya, ia telah didaftar telah menikah secara hukum positif. Sehingga hak-hak dari mereka terutama perempuan dapat terpenuhi sebagaimana mestinya. Hak-hak yang dimaksud seperti hak waris, hak atas harta bawaan, hak atas harta bersama, hak pengasuhan anak, dan hak mengajukan gugatan cerai, hak menuntut suami yang melakukan perceraian, dan sebagainya.

Smber : http://ullahexplorer.blogspot.com

Syarat-Syarat Sah Putusan Pengadilan

Dalam KUHAP 
Pasal 195
Semua putusan pengadilan. hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Pasal 196
(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.
(2) Dalam hal terdapat Iebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
(3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu:
a. hak segera menerima atau. segera menolak putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini;
c. hak minta menangguhkan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d. hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal Ia menolak putusan;
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini.
Pasal 197
(1)Surat putusan pemidanaan memuat:
a.kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan I pasal inii mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.

Putusan Pengadilan harus memenuhi semua syarat yang ada dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP karena jika tidak maka putusan tersebut batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP)

Sumber : http://ullahexplorer.blogspot.com