Translate

Sabtu, 20 Juli 2013

Masalah Besaran THR dan Pemotongan Gaji Karena Cuti Bersama

Pertanyaan:
Salam sejahtera! Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya sampaikan: 1. Pada waktu lebaran kemarin kami menerima THR tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang besarannya satu bulan gaji full, padahal saat hari raya umat lain yang masih dalam satu tahun mereka mendapat THR full 1 bulan gaji. 2. Pada saat cuti bersama lebaran Idul Fitri, gaji kami dipotong sesuai lama libur cuti bersama. Langkah apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah tersebut? Terima kasih.
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Kami akan menjawab pertanyaan Anda satu persatu sebagai berikut:
 
1.    Mengenai Tunjangan Hari Raya (“THR”) telah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan (“Permenaker 4/1994”). Pada dasarnya dalam Pasal 3 ayat (1) Permenaker 4/1994 dikatakan bahwa besarnya THR adalah sebagai berikut:
a.    Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah;
b.    Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerja yakni dengan perhitungan: Masa kerja x 1 (satu) bulan upah.
 
Upah satu bulan yang dimaksud adalah upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap (Pasal 3 ayat [2] Permenaker 4/1994).
 
Akan tetapi, perusahaan dapat mengatur besarnya nilai THR berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) Permenaker 4/1994. DalamPasal 3 ayat (3) Permenaker 4/1994, diatur bahwa perusahaan dapat menentukan nilai THR dalam Kesepakatan Kerja (KK), atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dengan ketentuan bahwa nilai THR yang ditentukan oleh perusahaan tersebut lebih besar dari nilai THR yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Permenaker 4/1994.
 
Jadi, pada dasarnya jika pekerja tersebut telah bekerja minimal selama 12 (dua belas) bulan selama terus menerus di perusahaan tersebut, maka pekerja berhak atas THR sebesar 1 (satu) bulan upah.
 
Mengenai langkah hukum apa yang dapat ditempuh, sebagaimana pernah dibahas dalam artikel yang berjudul Langkah Hukum Jika THR Tidak Dibayar Penuh, jika memang ada pelanggaran terhadap ketentuan pembayaran THR ini, Anda dapat melaporkannya ke pegawai pengawas ketenagakerjaan di Disnaker setempat (Pasal 9 ayat [1] Permenaker 4/1994) karena THR merupakan hak Anda sebagai pekerja. 
 
Lebih lanjut dikatakan bahwa pelanggaran pengusaha dengan tidak membayarkan THR sesuai ketentuan yang berlaku dapat dikenakan pidana sesuai Pasal 8 Permenaker 4/1994 yakni berupa kurungan dan denda. Jadi, jika terjadi pelanggaran dalam hal pembayaran THR, Anda dapat melaporkan ke pegawai pengawas ketenagakerjaan setempat.
 
Selain itu, pekerja yang dirugikan karena THR-nya tak dibayar secara penuh dapat menempuh upaya secara keperdataan. Yaitu dimulai dengan perundingan bipartit, kemudian mediasi di dinas ketenagakerjaan setempat hingga pengajuan gugatan perselisihan hak ke pengadilan hubungan industrial. Selengkapnya mengenai penyelesaian perselisihan hak, dapat Anda lihat dalam artikel yang berjudul Langkah Hukum Jika Pengusaha Tidak Bayar Upah.
 
2.    Pada umumnya, pelaksanaan cuti bersama adalah memotong cuti tahunan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Poin ke-4 Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No. 5 Tahun 2012, No. SKB.06/MEN/VII/2012, No. 2 Tahun 2012 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013.
 
Karena cuti bersama dipotong dari cuti tahunan pekerja, maka pengusaha tidak dapat memotong gaji pekerja terkait dengan cuti bersama. Ini karena berdasarkan Pasal 93 ayat (2) huruf g Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pengusaha wajib membayar upah pekerja saat pekerja melaksanakan hak istirahat. Yang dimaksud dengan hak istirahat adalah waktu istirahat dan cuti sebagaimana terdapat dalam Pasal 79 UU Ketenagakerjaan.
 
Jika pengusaha melanggar ketentuan dalam Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, berdasarkan Pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
 
Dalam hal ini maka yang terjadi adalah adanya perselisihan antara Anda dengan pengusaha mengenai gaji/upah. Perselisihan mengenai gaji/upah adalah perselisihan hak sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 2Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Mengenai langkah hukum yang dapat Anda lakukan terkait perselisihan hak, Anda dapat membaca artikel Scientia Afifah, S.H. yang berjudul Langkah Hukum Jika Pengusaha Tidak Bayar Upah.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
3.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan;
4.    Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No. 5 Tahun 2012, No. SKB.06/MEN/VII/2012, No. 2 Tahun 2012 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013.

Sumber : BUNG POKROL

Langkah Hukum Jika Pengusaha Tidak Bayar THR

Pertanyaan:
Pada peraturannya, THR kan harus dibayar 7 hari sebelum lebaran. Jika perusahaan melakukan penundaan atau bahkan mungkin tidak mau membayarkan THR kepada karyawan, apakah hal tersebut termasuk PMH? Kemudian, apakah kita bisa melakukan gugatan? Jika bisa, bagaimana caranya?
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5165540a9b53c/lt51655436e57b1.jpg
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”), adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain sebagaimana yang disebut dalamPasal 1 huruf d Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan (“Permenaker 4/1994”).
 
Menurut Pasal 2 ayat (1) Permenaker 4/1994, pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara terus menerus atau lebih. Jadi, jika pekerja dalam pertanyaan Anda telah bekerja selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, ia berhak atas THR.
 
Memang benar apa yang Anda katakan, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Permenaker 4/1994, pembayaran THR wajib dibayarkan oleh pengusahaselambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Namun, perlu dilihat lagi apakah penundaan pembayaran THR itu dilakukan oleh pengusaha karena kondisi keuangan perusahaan yang tidak mampu membayar THR atau tidak.
 
Berdasarkan Pasal 7 Permenaker 4/1994, pengusaha yang karena kondisi perusahaannya tidak mampu membayar THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan mengenai besarnya jumlah THR kepada Direktur jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan yang harus diajukan paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya Keagamaan yang terdekat.
 
Tapi, bila ternyata pengusaha tidak mengajukan permohonan seperti disebutkan di atas dan pengusaha tetap tidak membayarkan THR, maka berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Permenaker 4/1994,hal tersebut merupakan pelanggaran dan pengusaha dapat diancam dengan hukuman kurungan dan denda.
 
Selain itu, karena THR merupakan hak pekerja, maka pelanggaran atas hak THR tersebut dinamakan perselisihan hak sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”):
 
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaanpelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
 
Langkah pertama yang dapat Anda tempuh adalah dengan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan antara Anda dengan pengusaha, yang disebut dengan penyelesaian secara bipartit. Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat sebagaimana yang disebut dalam Pasal 3 ayat (1) UU PPHI.
 
Apabila penyelesaian secara bipartit tidak berhasil dilakukan, cara yang dapat ditempuh adalah dengan melalui mediasi hubungan industrial, yaitu melalui musyawarah antara pekerja dan pengusaha yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral (lihat Pasal 1 angka 11 UU PPHI), salah satu penyelesaian yang dilakukan melalui mediasi adalah masalah perselisihan hak yang tadi kami sebutkan. Penjelasan lebih lanjut mengenai mediasi hubungan industrial dapat Anda simak dalam artikel Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (1). Jika mediasi masih gagal atau tidak mencapai kesepakatan pekerja bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana yang diatur dalam UU PPHI.
 
Jadi, pada dasarnya penyelesaian perselisihan atara pengusaha dan pekerja mengenai pembayaran THR ini menurut hemat kami tidak tepat jika diajukan gugatan ke pengadilan umum atas dasar perbuatan melawan hukum (PMH) seperti yang Anda sebutkan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
2.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan 

Sumber : BUNG POKROL

Dasar Hukum dan Mekanisme Zakat Sebagai Pengurang Pajak

Pertanyaan:
1. Bagaimana prosesnya sampai zakat dapat mengurangi PPh? Apa pertimbangannya? Dasar hukumnya? Apa tidak menimbulkan kecemburuan bagi umat lain? 2. Apakah peraturan ini sudah berlaku efektif di Indonesia? 3. Bagaimana cara mekanismenya?
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4d37c414e08df/lt4fa7a38cd5387.jpg
1.    Dalam setiap agama yang ada di Indonesia memang berlaku berbagai ketentuan berbeda terkait kewajiban keagamaan. Dalam agama Islam misalnya, ada kewajiban mengeluarkan zakat sebesar 2,5%, dan dalam agama Kristen ada kewajiban pembayaran persepuluhan sebesar 10%.
 
Kewajiban mengeluarkan zakat ini didasarkan pada Al-Quran surat Al Baqarah: 267 yang menentukan bahwa setiap pekerjaan yang halal yang mendatangkan penghasilan, setelah dihitung selama satu tahun hasilnya mencapai nisab (senilai 85 gram emas) maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (sumber: Badan Amil Zakat Nasional).
 
Mengenai proses hingga zakat mengurangi pembayaran pajak (dalam hal ini pajak penghasilan), hal ini sudah diatur sejak adanya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 38/1999”), dan kemudian lebih dipertegas oleh UU Zakat yang terbaru yang menggantikan UU 38/1999 yaitu UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 23/2011”).
 
Latar belakang dari pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 14 ayat (3) UU 38/1999 bahwa pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak adalah dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Ketentuan ini masih diatur dalam UU yang terbaru yakni dalam Pasal 22 UU 23/2011:
 
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.”
 
Hal ini ditegaskan pula dalam ketentuan perpajakan sejak adanya UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yakni diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi:
 
“Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.”
 
Dalam ketentuan pasal tersebut baru diatur secara eksplisit bahwa yang tidak termasuk objek pajak adalah zakat. Sedangkan, pengurangan pajak atas kewajiban pembayaran sumbangan untuk agama lain belum diatur ketika itu. Hal ini memang berpotensi menimbulkan kecemburuan dari agama lain yang juga diakui di Indonesia.
 
Dengan dikeluarkannya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”) pasal tersebut mengalami perubahan sehingga berbunyi:
 
“Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
 
Ketentuan serupa ditegaskan pula dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan.
 
 
“Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a)      zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b)      sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.”
 
Sedangkan, badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11 Juni 2012 yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011, yang di antaranya adalah: Badan Amil Zakat Nasional, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI), dan Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) - yang keseluruhannya saat ini berjumlah 21 badan/lembaga.
 
2.    Karena semua peraturan yang telah disebutkan di atas telah berlaku efektif, maka ketentuan pengecualian zakat atau sumbangan wajib keagamaan dari objek pajak sudah berlaku efektif di Indonesia.
 
3.    Mekanisme pengurangan zakat dari penghasilan bruto ini dapat kita temui dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagai berikut:
 
Pasal 2
(1).    Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1,wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
(2).    Bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a        dapat berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dan
b        paling sedikit memuat:
1)    Nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
2)    Jumlah pembayaran;
3)    Tanggal pembayaran;
4)    Nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan
5)    Tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di bukti pembayaran, apabila pembayaran secara langsung; atau
6)    Validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer rekening bank.
 
Pasal 3
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila :
a    tidak dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
b    bukti pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
 
Pasal 4
(1).    Pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam Tahun Pajak dibayarkan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tersebut.
(2).    Dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan, zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana ayat (1) dilaporkan untuk menentukan penghasilan neto.
 
 
Lebih jauh mengenai pelaporan pengurangan zakat atas penghasilan bisa Anda simak dalam salah satu artikel dari Kanwil DJP Jakarta Khusus.
 
Jadi, sesuai uraian di atas, pemberian zakat memang dapat mengurangi pajak, karena zakat dikecualikan dari objek pajak. Pengurangan pajak ini juga berlaku atas sumbangan wajib keagamaan bagi pemeluk agama lain yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dan peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas telah berlaku efektif di Indonesia, demikian pula dengan mekanisme yang telah diaturnya.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
6.    Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
7.    Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
8.    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Sumber : BUNG POKROL

Upaya Hukum Jika Korban Tidak Puas dengan Putusan Hakim

Pertanyaan:
Apa yang harus ditempuh oleh seorang korban jika dalam putusan Hakim dalam perkara pidana yang menimpa dirinya dirasa tidak puas atas vonis itu dan jaksa tidak melakukan banding atau upaya hukum lainnya? Terima kasih atas pencerahannya.
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4d37c414e08df/lt4fa7a38cd5387.jpg
Memang pada dasarnya negara memberikan wewenang untuk melakukan penuntutan atas suatu tindak pidana ada pada penuntut umum (jaksa). Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (6)UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
a.      Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b.      Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Menyitir pendapat Andrew Ashworth dalam “Victim Impact Statements and SentencingThe Criminal Law Review, (hlm. 503) yang dikutip oleh Dr. Lilik Mulyadi S.H., M.H.  dalam tulisannya “Upaya Hukum yang Dilakukan Korban Kejahatan Dikaji Dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia” yang dimuat dalam laman badilum.info, dikatakan bahwa kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana maupun dalam praktik peradilan relatif kurang diperhatikan karena ketentuan hukum Indonesia masih bertumpu pada perlindungan bagi pelaku (offender orientied) (hal. 2).
Hal ini tampak dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP yang berbunyi: “Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa publik (korban) belum diberikan akses terhadap upaya hukum pidana karena posisi korban digantikan oleh penuntut umum/jaksa. Hal ini terjadi karena belum diterapkannya pendekatan restorative justice dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Lebih jauh mengenai pendekatan restorative justice, simak artikel berikut:
-         Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesiaoleh Jecky Tengens, S.H..
Mengenai upaya hukum yang mungkin diupayakan oleh korban, Peneliti Lembaga Kajian untuk Advokasi dan Independensi Peradilan (LeIP), Arsil berpendapat bahwa bila jaksa tidak mengajukan banding, korban dapat melakukan upaya tuntutan ganti rugi terhadap pelaku tindak pidana yaitu melalui ranah perdata. Lebih jauh, simak Bagaimana Cara Menuntut Ganti Rugi Jika Menjadi Korban Tindak Pidana?
Selain itu, bila jaksa tidak mengajukan banding sedangkan putusan hakim tidak sampai dua pertiga dari tuntutan terutama bila kasus tersebut menyangkut kepentingan publik. Jaksa yang terbukti tidak mengajukan banding, dapat terancam sanksi disiplin. Lebih jauh, simak Sanksi untuk Jaksa yang Tidak Mengajukan Banding.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:

Sumber : BUNG POKROL

Peran Jaksa dalam Proses Hukum Perdata dan Pidana

Pertanyaan:
Sesuai dengan UU Kejaksaan, peran jaksa sebagai penuntut dan pelaksana ketetapan pengadilan. Apakah peranan tersebut berbeda jika tiap proses peradilan hukum pidana dan perdata?

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4fbded50bf741/lt4fcc5e79a314b.jpg
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”), jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Tugas dan kewenangan jaksa dalam bidang pidana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan antara lain:
a.    melakukan penuntutan;
b.    melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.    melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.    melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e.    melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
 
Jadi, tugas dan kewenangan jaksa adalah sebagai penuntut umum dan pelaksana (eksekutor) putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Untuk perkara perdata, pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah juru sita dan panitera dipimpin oleh ketua pengadilan (lihat Pasal 54 ayat [2] UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
 
Kemudian, apa kewenangan jaksa di bidang perdata? Hubungan perdata merupakan hubungan antar-anggota masyarakat yang biasanya didasarkan pada perjanjian. Jaksa dapat berperan dalam perkara perdata apabila Negara atau pemerintah menjadi salah satu pihaknya dan jaksa diberikan kuasa untuk mewakili. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan yang berbunyi:
 
“Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.”
 
Jadi, peran jaksa berbeda dalam ranah pidana dan perdata. Dalam perkara pidana, jaksa berperan sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Sedangkan dalam perkara perdata, jaksa berperan sebagai kuasa dari Negara atau pemerintah di dalam maupun di luar pengadilan mengenai perkara perdata.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

Sumber : BUNG POKROL

Arti Pidana Bersyarat dan Pembebasan Bersyarat

Pertanyaan:
Apakah yang dimaksud dengan pidana bersyarat dan pembebasan bersyarat ?

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4f8d4110c2ca1/lt4f8ed0a9ae02a.jpg
Terima kasih atas pertanyaan Saudara.
 
Pertama, kami akan menjelaskan mengenai Pidana Bersyarat terlebih dahulu.Pidana bersyarat adalah Pidana dengan syarat-syarat tertentu, yang dalam praktik hukum disebut dengan pidana/hukuman percobaan. Pidana bersyarat adalah suatu sistem penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya bergantung pada syarat-syarat tertentu atau kondisi tertentu.
 
Dalam buku “Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” (Kanter E.Y & S.R. Sianturi, 2002, Storia Grafika) dijelaskan bahwa pidana bersyarat adalah “Sekedar suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksud bukanlah pemidanaannya yang bersyarat, melainkan pemidanaannya pidana itu yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu.”
 
Pidana bersyarat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) pada Pasal 14 a yang berbunyi:
 
(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana . Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.
 
Pidana bersyarat pernah kita dengar pada suatu kasus yang terkenal yakni pemidanaan Rasyid Amrullah Rajasa. Dalam kasus ini, majelis hakim menerapkan Pasal 14 a KUHP yang bertujuan sebagai wujud pencegahan agar tidak melakukan hal yang sama. Ketua Majelis Hakim yang menjatuhkan vonis, Suharjono, berpandangan bahwa telah terwujud prinsip teori hukum restorative justice dalam putusan hakim sehingga setimpal dengan perbuatan Rasyid. Selain itu, Suharjono juga mengatakan “Terdakwa berlaku sopan, tidak mempersulit persidangan, masih muda, dan keluarga bertanggung jawab. “ Baca berita selengkapnya disini.
 
Penjelasan lain yang dapat melengkapi jawaban atas pidana bersyarat ini adalah artikel jawaban Sdr. Anggara yang berjudul Pidana Bersyarat.
 
Kedua, mengenai Pembebasan Bersyarat. Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Pengertian ini terdapat dalam Penjelasan Pasal 12 huruf k UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan..
 
Mengenai prosedur dan syarat suatu Pembebasan Bersyarat, dapat dilihat pada artikel jawaban dari Sdri. Diana Kusumasari yang berjudul Syarat dan Prosedur Pengajuan Pembebasan Bersyarat.
 
Terima kasih, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

Sumber : LEGAL 1O1