Translate

Senin, 21 Oktober 2013

Kewenangan KPK dalam Melakukan Penuntutan Kasus Pencucian Uang

Pertanyaan:
Dalam Pasal 74 UU PTPPU dikatakan bahwa penyidik TPPU (tindak pidana pencucian uang) adalah penyidik yang melakukan penyidikan tindak pidana asalnya. Ditegaskan pula dalam penjelasan Pasal 74 UU PTPPU, jika KPK dapat melakukan penyidikan. Namun, dalam UU PTPPU tersebut tidaklah diatur jika KPK berwenang melakukan penuntutan TPPU, dan ditegaskan dalam Pasal 51 ayat 2 UU KPK, penuntut adalah penuntut yang melakukan penuntutan tindak pidana korupsi. Pertanyaan saya, apakah legal penuntutan yang dilakukan oleh KPK, di mana dasar hukum formalnya tidak ada? Thanks, mohon jawabannya.

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt524e7c3ec3d63/lt524e7ca5cfe20.jpg
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) dalam menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang (“TPPU”) memang tidak diatur secara eksplisit dalamUU No. 10 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU PPTPPU”). Namun, Pasal 74 UU PPTPPU dalam penjelasannya memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyidikan TPPU yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Kemudian, Pasal 75 UU PPTPPU memberikan kewenangan kepada penyidik, dalam hal ini KPK, untuk menggabungkan penyidikan perkara korupsi dan TPPU sekaligus.
 
Penggabungan ini sejalan dengan Asas Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) yaitu asas peradilan yang dilakukan secarasederhana, cepat, dan biaya ringan. Jika perkara ini dipisah dan dituntut oleh 2 instansi yang berbeda, misal KPK dan Kejaksaan, maka: pertama,hal itu bertentangan dengan asas Kekuasaan Kehakiman; kedua, dapat menghambat proses penegakan hukum, serta; ketiga, yang lebih berbahaya, memperumit tersangka/terdakwa dan melalaikan haknya untuk mendapat peradilan yang dilakukan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal ini karena dalam prosesnya tersangka/terdakwa perlu menjalani berkali-kali pemeriksaan di tahap pra-sidang dan persidangan dengan adanya pemisahan penyidikan dan penuntutan. Poin penting tentang asas tersebut kembali ditegaskan pada Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakimanyang menyatakan:
 
Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”
 
Jaksa KPK menuntut perkara korupsi yang digabung dengan TPPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal 6 huruf a UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pengadilan Tipikor”) bahwa Pengadilan Tipikor berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Dengan menerima tuntutan dari Jaksa KPK terhadap perkara korupsi dan TPPU, meski tidak diatur secara eksplisit kewenangan menuntut KPK, Pengadilan Tipikor dilarang menolak perkara tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman bahwa:
 
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
 
Pengadilan Tipikor dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tunduk pada asas Kekuasaan Kehakiman yang disebut sebelumnya.
 
Hingga saat ini, beberapa perkara korupsi dan TPPU yang dituntut KPK diterima oleh Pengadilan Tipikor dan ini menjadi "yurisprudensi". Misalnya, perkara Wa Ode Nurhayati, dan Djoko Susilo yang diputus bersalah setelah hakim memeriksa dan mengadili tuntutan yang diajukan Jaksa KPK. Meski Indonesia tidak menganut yurisprudensi yang ketat seperti negara-negara dengan sistem Common Law, putusan terdahulu seringkali menjadi rujukan untuk menentukan permasalahan hukum serupa. Kondisi ini didukung pula oleh kebijakan Mahkamah Agung ingin menjaga konsistensi putusan dengan diberlakukannya sistem kamar berdasarkan Keputusan Ketua MA RI No: 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung.
 
Dasar hukum:
4.    Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No: 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar