Translate

Senin, 21 Oktober 2013

Izin Lingkungan dan Isu hukumnya

IZIN LINGKUNGAN DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRATIF BERDASARKAN UUPPLH
TERHADAP USAHA/KEGIATAN YANG TELAH MEMILIKI IZIN USAHA/KEGIATAN

Oleh: Alvi Syahrin


I.                    Izin lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka (35) UUPPLH). Selanjutnya, izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka (36) UUPPLH). Izin usaha dan/atau kegiatan berdasarkan penjelasan Pasal 40 ayat (1) UUPPLH termasuk izin yang disebut nama lain seperti izin operasi dan izin konstruksi.
          Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPLH, belum mengenal/mengatur mengenai izin lingkungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPLH, untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan bagi usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan. Selanjutnya,  izin usaha dan atau kegiatan tersebut diberikan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dalam izin tersebut dicantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan. Kemudian, penjelasan Pasal 18 ayat (2) UUPLH, menjelaskan bahwa dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan harus ditegaskan kewajiban yang berkenan dengan penaatan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan usaha dan/atau kegiatannya. Bagi usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau melaksanakan amdal, maka rencana pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib dilaksanakan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan harus dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah, syarat mutu limbah yang boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup, dan kewajiban yang berkaitan dengan pembuangan limbah, seperti kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau tersebut kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan hidup. Apabila suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku diwajibkan melaksanakan analisis dampak lingkungan hidup, maka persetujuan atas analisis mengenai dampak lingkungan hidup tersebut harus diajukan bersama dengan permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
        Menyimak ketentuan Pasal 18 UUPPLH berikut penjelasannya dan dikaitkan dengan Pasal 19 UUPLH yang menegaskan bahwa dalam menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan wajib memperhatikan rencana tata ruang, pendapat masyarakat, pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan, menunjukkan bahwa aspek pengelolaan lingkungan hidup diintegrasikan ke dalam izin usaha dan/atau kegiatan, dan izin dilakukan secara terpadu sebagai suatu sistem. Kemudian, setelah adanya izin usaha dan/atau kegiatan juga perlu mengurus izin yang berkaitan dengan pembuangan dan pengelolaan limbah. Artinya, berdasarkan UUPLH, tidak diperlukan adanya izin lingkungan sebagai prasyarat untuk terbitnya izin usaha dan/atau kegiatan. Izin usaha dan/atau kegiatan hanya mencantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan.

II.                 Izin lingkungan berdasarkan  UUPPLH merupakan prasyarat untuk mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan, dan izin tersebut diberikan dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 36 UUPPLH, izin lingkungan diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan atau rekomendasi UKL-UPL dan izin lingkungan wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. Ketentuan lebih lanjut mengenai izin lingkungan berdasarkan Pasal 41 UUPPLH, diatur dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang izin lingkungan saat ini, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan (PP 27/2012). Berdasarkan Pasal 42 PP 27/2017, permohonan izin lingkungan diajukan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan selaku pemrakarsa kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota (sesuai kewenangannya) dan disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian Andal dan RKL-RPL atau pemeriksaan UKL-UPL. 
           Izin lingkungan yang diterbitkan paling sedikit memuat: a. persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau rekomendasi UKL-UPL, b. persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota; dan c. berakhirnya izin lingkungan (Pasal 48 ayat (1) PP 27/2012). Selanjutnya, berdasarkan Pasal 48 ayat (2) PP 27/2012, izin lingkungan di dalamnya juga harus mencantumkan jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 48 ayat (2) PP 27/2012 menjelaskan bahwa izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antara lain  izin pembuangan limbah cair, izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah, izin penyimpanan sementara limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pengumpulan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pemanfaatan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun, izin pembuangan air limbah ke laut, izin dumping, izin reinjeksi ke dalam formasi, dan/atau izin venting. Menyimak ketentuan Pasal 48 ayat (2) PP 27/2012, izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus di cantumkan dalam izin lingkungan, dan izin-izin tersebut harus dipenuhi/diurus oleh pemrakarsa setelah izin usaha dan/atau kegiatan diterbitkan. Artinya, izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan terbit setelah kegiatan dan/atau usaha berjalan.
            Dicantumkannya segala izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam izin lingkungan, menjadikan apakah pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan (kewajiban-kewajiban) dalam  izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap izin lingkungan. Menurut penulis, pelanggaran terhadap izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juga dianggap sebagai melanggar (pelanggaran) terhadap izin lingkungan, sebab dalam izin lingkungan mencantumkan kewajiban untuk memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan selanjutnya persyaratan/kewajiban yang tercantum dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus dipatuhi oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan.
         Pelanggaran terhadap izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dianggap sebagai pelanggaran terhadap izin lingkungan, maka berdasarkan Pasal 76 UUPPLH, Menteri, gubernur dan/atau walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menerapkan sanksi administratif kepada pelaku usaha jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin-izin yang ada dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sanksi administratif yang dijatuhkan dapat berupa: a. teguran tertulis, b. paksaan pemerintah, c. pembekuan izin lingkungan, atau d. pencabutan izin lingkungan.
          Menteri Negara Lingkungan Hidup berdasarkan Pasal 77 UUPLH, dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggungjawab usaha dan atau kegiatan jika pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 72 PP 27/2012, sanksi administratif di dasarkan atas:
a.       Efektifitas dan efesiensi terhadap pelestarian fungsi lingkungan hidup;
b.      Tingkat atau beratnya ringannya jenis pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang izin lingkungan;
c.      Tingkat ketaatan pemegang izin lingkungan terhadap pemenuhan perintah atau kewajiban yang ditentukan dalam izin lingkungan;
d.      Riwayat ketaatan pemegang izin lingkungan; dan/atau
e.  Tingkat pengaruh atau implikasi pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang izin lingkungan pada lingkungan hidup.

III.                Izin lingkungan sebagaimana diatur dalam UUPPLH, berisikan suatu keputusan mengenai kelayakan lingkungan atas suatu usaha dan/atau kegiatan. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 angka (35) dan Pasal 1 angka (1) PP No. 27/2012 yang memberikan batasan izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, dan Pasal 47 PP No. 27/2012 yang menegaskan izin lingkungan diterbitkan untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL.
       Izin sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan bukti legalitas yang menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan tertentu. Sebagai dokumen, izin yang dikeluarkan harus yang tertulis. Izin tertulis diberikan dalam bentuk keputusan tata usaha negara.
     Ketentuan Pasal 73 PP 27/2012 menegaskan bahwa dokumen lingkungan yang telah mendapat persetujuan sebelum berlakunya PP 27/2012 dinyatakan tetap berlaku dan dipersamakan sebagai izin lingkungan. Walaupun dokumen lingkungan dipersamakan sebagai izin lingkungan, perlu adanya suatu bentuk keputusan.  Memperhatikan Pasal 52 PP 27/2012, yang mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan izin lingkungan diatur dalam peraturan menteri, maka Menteri Negara Lingkungan Hidup dapat menerbitkan peraturan menteri mengenai penerbitan izin lingkungan bagi kegiatan usaha dan/kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan sebelum berlakunya ketentuan UUPPLH dan PP 27/2012. Dalam peraturan menteri tersebut diatur pemberian izin lingkungan dan siapa yang berwenang untuk memberikan/menerbitkan keputusan izin lingkungan secara tertulis, guna terdapatnya dokumen atas izin lingkungan bagi setiap kegiatan usaha dan/kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan sebelum berlakunya ketentuan UUPPLH dan PP 27/2012.
               Bagaimana halnya terhadap kegiatan usaha yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan, namun setelah habis berakhirnya masa/tenggang waktu sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 121 UUPPLH, tetapi tidak menyelesaikan audit lingkungan hidup atau membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
             Menteri Negara Lingkungan Hidup, telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup  Nomor 14 Tahun 2010  Tentang  Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan  Yang Telah Memiliki Izin Usaha Dan/Atau Kegiatan Tetapi  Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup (PermenLH No: 14/2010) dalam rangka penerapan Pasal 121 UUPPLH. Berdasarkan Pasal 1 angka (1) PermenLH No. 14/2010, Audit Lingkungan Hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dokumen yang dihasilkan dari audit lingkungan akan berupa Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) yaitu dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang merupakan bagian dari proses audit lingkungan hidup yang dikenakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal. Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) merupakan dokumen lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 PP No. 27/2012, dan dokumen tersebut dipersamakan sebagai izin lingkungan.
           Dokumen Lingkungan (Hidup) berdasarkan Pasal 1 angka (2) PermenLH No: 14/2010 adalah dokumen yang memuat pengelolaan  dan pemantauan lingkungan hidup yang terdiri atas analisis mengenai  dampak lingkungan hidup (amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), surat pernyataan  kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL),  dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (DPPL), studi evaluasi mengenai dampak lingkungan hidup (SEMDAL), studi evaluasi  lingkungan hidup (SEL), penyajian informasi lingkungan (PIL), penyajian  evaluasi lingkungan (PEL), dokumen pengelolaan lingkungan hidup  (DPL), rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan  lingkungan (RKL-RPL), dokumen evaluasi lingkungan hidup (DELH),  dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPLH), dan Audit Lingkungan.
              Kemudian, Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka (4) PermenLH No: 14/2010 adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan  lingkungan hidup  yang dikenakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang  sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki  UKL-UPL. Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan Dokumen Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 PP No. 27/2012, dan dokumen tersebut dipersamakan sebagai izin lingkungan.
                Bagaimana halnya jika usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi tidak melaksanakan Pasal 121 UUPPLH, dapatkah ia dikategorikan sebagai kegiatan dan/atau usaha yang tidak memiliki izin lingkungan? Oleh karena dengan tidak dilaksanakannya Pasal 121 UUPPLH oleh yang menjalankan kegiatan dan/atau usaha tersubut, maka ia tidak akan memiliki dokumen lingkungan, yang berdasarkan Pasal 73 PP No. 27/2012, dokumen lingkungan tersebut dipersamakan sebagai izin lingkungan.
              Menyimak ketentuan Pasal 121 UUPPLH dan Pasal 73 PP No. 27/2012, maka kegiatan dan/atau usaha yang telah memiliki izin kegiatan dan/atau usaha, namun tidak melaksanakan Pasal 121 UUPPLH dan PermenLH No: 14/2010, maka usaha dan/atau kegiatan tersebut ditafsirkan sebagai usaha/kegiatan yang tidak memiliki izin lingkungan.  Oleh karena usaha dan/atau kegiatan tersebut ditafsirkan sebagai usaha/kegiatan yang tidak memiliki izin lingkungan, maka usaha dan/atau kegiatan tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) UUPPLH, sehingga usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) UUPPLH.
                Berdasarkan uraian di atas, walaupun usaha dan/atau kegiatan dapat dinyatakan telah melakukan pelanggaran terhadap izin lingkungan, akan tetapi pelaku usaha dan/atau kegiatan yang telah mendapat izin usaha dan atau kegiatan dapat mengajukan pembelaan bahwa mereka tidak perlu memiliki izin lingkungan, sebab izin lingkungan diperlukan sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan serta ketentuan undang-undang yang membebankan mereka untuk memiliki izin lingkungan tidak dapat berlaku surut.

IV.               Menyimak uraian terdahulu, ada isu hukum yang perlu di bahas lebih lanjut, antara lain: a. dapatkan pelaku usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan mengajukan argumentasi tidak perlu lagi  memiliki izin lingkungan sampai izin usaha dan/atau kegiatannya berakhir?; b. Apakah dengan telah dimilikinya dokumen pengelolaan lingkungan bagi usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan, tidak perlu lagi memiliki izin lingkungan secara tertulis karena dokumen pengelolaan lingkungannya sudah dipersamakan sebagai izin lingkungan?; c. apabila usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan namun tidak melaksanakan Pasal 121 UUPPLH jo PermenLH No: 14/2010, dapat digugat secara administratif atas izin usaha dan/atau kegiatan yang telah dimilikinya untuk dicabut?; d. siapakah yang seharusnya mengajukan gugatan administratif tersebut? e. bagaimana argumentasi hukum yang dibangun untuk mencegah terjadinya daluwarsa gugatan administratif tersebut oleh karena izin usaha dan/atau kegiatannya yang dimiliki tersebut terbitnya sudah lewat/lebih dari 90 (sembilan puluh hari)? f. apakah pelaku usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan namun tidak melaksanakan Pasal 121 UUPPLH jo PermenLH No: 14/2010 dapat dikenakan Pasal 109 UUPPLH?

JUDICIAL REVIEW UU PENDIDIKAN TINGGI

ANALISIS TERHADAP JUDICIAL REVIEW
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI*

oleh; Alvi Syahrin


I.              Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang mengandung nilai, asas dan norma yang harus dipatuhi, dijunjung tinggi, dan dilaksanakan dalam setiap pengambilan keputusan dan/atau kebijakan umum, baik oleh pemerintah, legislatif, badan-badan yudisial, maupun rakyat pada umumnya. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum nasional, harus tetap di jaga dan dipertahankan semangat nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam dasar falsafah negara Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 dan seluruh batang tubuhnya.
Hukum dimaknai sebagai kesatuan asas, norma, lembaga, perilaku dan proses. Dalam sistem hukum nasional, hierarkis tatanan norma berpuncak pada konstitusi. Artinya, dalam Negara Hukum harus berpegang teguh pada supremasi konstitusi. Konstitusi diimplematasikan secara konsisten dalam peraturan perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan Negara dan kehidupan masyarakat secara luas.
Cita-cita Negara hukum yang demokratis ditandai dengan adanya jaminan hak-hak asasi manusia. Pelaksanaan hak-hak asasi manusia dibatasi oleh kewajiban penghormatan hak asasi orang lain dalam tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

II.            Pengujian secara juridis (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada saat ini terkait dengan pelaksanaan hak asasi manusia, mengenai hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum (rights to equality of law) khususnya dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Hak asasi sosial budaya (social and culture rights) sebagaimana  yang tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya mengenai hak mendapatkan pendidikan dan negara memprioritaskan anggaran paling sedikit  20 (dua puluh)  persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional.
Hak asasi manusia di bidang perlakuan yang sama dalam hukum dan hak atas pendidikan merupakan hak setiap orang, namun dalam pelaksanaannya dibatasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.  Hal ini akan menyebabkan hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum tergantung pada kesempatan dan fungsi serta profesi masing-masing. Kesamaan perlakuan ini tidak berarti sama rata, sama rasa, karena hal tersebut akan menimbulkan ketidak adilan. Artinya, pelaksanaan hak dalam memperoleh pendidikan juga harus memenuhi persyaratan dan kemampuan untuk itu. Selanjutnya, hak untuk memilih pendidikan juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi persyaratan dalam melaksanakan pendidikan tersebut. Tanggungjawab pendidikan juga merupakan tanggungjawab para orang tua, masyarakat dan pemerintah.

III.         Penyelenggaran pendidikan dapat dilakukan melalui pendidikan jalur informal,  pendidikan jalur nonformal dan  pendidikan jalur formal.Pendidikan jalur informal merupakan jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan nonformal dan formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.Pendidikan jalur nonformal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pendidikan jalur formal merupakan jalur pendidikan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh Perguruan tinggi.
Perguruan tinggi meliputi Perguruan Tinggi Negeri (PTN)  merupakanperguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah, dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) merupakan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pihak swasta.

IV.       Perguruan tinggi mengembangkan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi ilmu pengetahuan. Hal ini memerlukan otonomi perguruan tinggi. Proses menuju otonomi perguruan tinggi terkaitdengan pengembangan budaya profesionalisme dengan ciri-ciri memilki keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), dan kesejawatan (corporateness). Budaya profesionalisme berdampak terhadap keluaran (output) perguruan tinggi dengan dihasilkannya sarjana-sarjana profesionalyang juga menjadi agen dalam perubahan masyarakat serta mampu menjadimodernising force dalam kehidupan masyarakat secara luas.
          Kebebasan Akademik dan Otonomi Perguruan Pendidikan Tinggimerupakan hal yang penting. Menyimak deklarasi para rektor-rektor perguruan tinggi dunia di Lima (ibu kota Peru) pada bulan Oktober 1989 menyatakan pentingnya Kebebasan Akademik dan Otonomi Perguruan Pendidikan TinggiDeklarasi Lima tentang “Academic Freedom and Autonomy of Higher Education“, mengemukakan beberapa butir prinsip dan substansi yang layak dicermati[1], yaitu:
Pertama  otonomi perguruan tinggi mengandung pengertian bahwa lembaga perguruan tinggi harus memiliki independensi atau kebebasan dalam mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan yang menyangkut pengelolaan administrasi, keuangan, pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, kerja sama dan aktivitas lain yang berkaitan, tanpa campur tangan (intervensi) pemerintah atau kekuatan lain.
Kedua   seluruh anggota masyarakat akademik memiliki hak untuk menjalankan tugasnya tanpa diskriminasi dan tanpa rasa takut akan adanya gangguan, larangan, atau represi dari mana pun.
Ketiga       para peneliti dari kalangan kampus memiliki hak untuk melakukan kegiatan penelitian tanpa kekangan atau campur tangan dari pihak lain, berdasarkan prinsip dan metode penelitian ilmiah yang universal. Mereka juga berhak untuk mengomunikasikan, menyebarluaskan atau mempublikasikan hasil-hasil temuannya tanpa adanya sensor dari pihak mana pun.
Keempatsemua lembaga pendidikan tinggi wajib berupaya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, kultural, dan politik dari masyarakat serta mencegah penyalahgunaan ilmu dan teknologi yang menyalahi hak-hak tersebut.
Kelima semua lembaga pendidikan tinggi harus aktif berperan serta dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsanya dan harus kritis terhadap kondisi aktual, seperti represi politik dan pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Keenam  semua lembaga pendidikan tinggi harus memperkokoh solidaritas dengan lembaga lain yang serupa dan dengan anggota masyarakat akademik secara individual bilamana mereka menghadapi bencana atau tuntutan dari pihak lain. Solidaritas tersebut bisa dalam wujud moral maupun material, yang mencakup juga para pengungsi serta penyediaan pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi para korban.
Ketujuh,    semua lembaga pendidikan tinggi harus berusaha mencegah ketergantungan ilmu dan teknologi serta mengupayakan kemitraan yang setara dengan seluruh komunitas akademik di dunia dalam pengembangan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus lebih digalakkan kerja sama akademik dalam skala internasional, melampaui batas-batas regional, politik, dan batas-batas penghambat lain.
Kedelapan, seluruh lembaga pendidikan tinggi harus menjamin partisipasi para mahasiswa dalam organisasi-organisasi mereka, baik secara individual maupun kolektif, untuk menyampaikan pendapat atau opininya dalam setiap masalah yang berkala nasional maupun internasional.
Kesembilan, otonomi perguruan tinggi harus dilaksanakan dengan cara-cara yang demokratis dalam wujud self-government, dengan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh komunitas akademik yang bersangkutan.
Pemahaman mengenai otonomi pendidikan tinggi perlu secara multidimensisebagaimana disebut di atas. Paradigma pendidikan didasarkan pembebasan dan pemberdayaan, yang mengandung semangat demokratisasi pendidikan yang mengakui pluralisme, keberagaman, atau kemajemukan. Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek yang berkaitan dengan pencarian alternatif pemecahan masalah aktual dilandasi kajian ilmiah yang diperkuat dengan landasan moral dan hati nurani.
Otonomi pendidikan tinggi tidak menjadikan perguruan tinggi negeri harus membiayai dirinya sendiri. Sehingga para pengelola perguruan tinggi negeri perlumencari terobosan baru untuk fund raisingmisalnya: merangkul dunia bisnis/industri, menjalin kerja sama baik dengan pihak ketiga, melakukan kegiatan penelitian dengan dana dari dalam maupun mancanegara. Namun demikian,pemerintah tetap harus berkontribusi secara financial dalam penyelenggaran perguruan tinggi. Tujuan otonomi perguruan tinggi itu sama sekali bukan untuk komersialisasi pendidikan, sehingga otonomi perguruan tinggi tidak dipahami dari kacamata ekonomis yang menjadikan orang tua mahasiswa, dalam relasinya dengan lembaga pendidikan, sekedar sebagai obyek penarikan dana. Otonomiperguruan tinggi melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orang tua), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan perencanaan, program format perguruan tinggi), dan konsiliatif (keterbukaan untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang di tawarkan).[2]

V.        Pemohon berdasarkan legal standing-nya merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan mengajukan permohonan yudicial review terhadap beberapa pasal dari UUPT antara lain: Pasal 64, Pasal 65 ayat (1), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1), Pasal 86 ayat (1), Pasal 87, Pasal 90, oleh karena pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 yaitu  Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) dan Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.
Bunyi Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut:
Pasal 28C ayat (1)
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”. 
Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Pasal 28I ayat (4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Pasal 31 ayat (1)
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Pasal 31 ayat (4)
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Bunyi Pasal 64, Pasal 65 ayat (1), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1), Pasal 86, ayat (1), Pasal 87, Pasal 90 UUPT, sebagai berikut:
Pasal 64
(1)    Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik.
(2)   Otonomi pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma.
(3)   Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan:
a. organisasi;
b. keuangan;
c. kemahasiswaan;
d. ketenagaan; dan
e. sarana prasarana.
Pasal 65 ayat (1)
Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.
Pasal 73
(1)  Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap Program Studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain.
(2)  Pemerintah menanggung biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru secara nasional.
(3)   Calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah memenuhi persyaratan akademik wajib diterima oleh Perguruan Tinggi.
(4)   Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum Mahasiswa dalam setiap Program Studi dan kapasitas sarana dan prasarana, Dosen dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya.
(5)   Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.
(6)   Penerimaan Mahasiswa baru PTS untuk setiap Program Studi diatur oleh PTS masing-masing atau dapat mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional.
(7)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 74 ayat (1)
PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.
Pasal 86 ayat (1)
Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.
Pasal 87
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan negara kepada Perguruan Tinggi untuk kepentingan pengembangan Pendidikan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 90
(1)   Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
(3)  Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)   Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. memperoleh izin Pemerintah;
b. berprinsip nirlaba;
c. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d. mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
(5)   Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendukung kepentingan nasional.
(6)  Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan-ketentuan pasal dari UUPT tidak dapat dilihat secaraterpisah atau tersendiri, melainkan harus dilihat secara keseluruhan dengan pasal-pasal lainnya. Dalam ketentuan UU tersebut terdapat jalinan norma dan pasal-pasal yang perlu dianalisis secara utuh, artinya pasal-pasal dalam UUPT saling terkait atau adanya keterkaitan satu dengan yang lain. Oleh karena itu kita harus mempelajari jalinan pasal-pasal dalam UUPT, bagaimana hubungan antara satu pasal dengan pasal-pasal lain dan yang paling penting apa yang mendasari dan menjadi latar belakang dari pasal-pasal tersebut serta nilai-nilai dan semangat yang terdapat dalam jalinanpasal-pasal tersebut.
Kemudian, inti argumentasi Permohonan judicial review dari Pemohon terhadap pasal-pasal UU No. 12 Tahun 2012 dapat dirinci sebagai berikut:
a)     UUPT membuka peluang  dan melegitimasi  komersialisasi PT.
b)     UUPT pengelolaan keuangan layaknya sebuah korporasi.
c)     UUPT memberikan pada PT otonomi non akademik merupakan bentuk pelepasan tanggungjawab dan kontrol negara terhadap PT yang berkeadilan dan diskriminatif.
d)   UUPT membuka kesempatan pada PT  untuk melakukan abuse of power dalam bidang ketenagaan karena pegawai perguruan tinggi tunduk pada PT.
e)     PTN BH seperti  barang privat.
f)     PTN BH sudah dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 dengan putusan perkara No. 11-14-21-126-136 PUU-VII-2009.
g)  Pemberian otonomi pada PTN yang menerapkan pola keuangan BLU berarti memberi kemandirian pengelolaan di bidang keuangan pada PTN yang belum tentu menyediakan pendidikan murah bagi masyarakat.
h)     Pola penerimaan mahasiswa secara mandiri oleh PTN menjadi pasal karet yang dapat digunakan sesuai keinginan PT yang bersangkutan yang mengindikasikan pelepasan tanggungjawab pemerintah terhadap pendidikan tinggi, tujuan komersial, berorientasi pasar, dan diskriminatif.
i)     PT hanya mewajibkan PTN untuk mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi.
j)       Inkonstitusional dengan pembukaan dan Pasal 31 ayat (4) dan (5) UUD 1945.
k)      UUPT bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Menghambat pemenuhan hak konstitusional hak warga negara atas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Pelanggaran kewajiban konstitusional pemerintah untuk menyediakan pembiayaan bagi pendidikan tinggi.
l)       Pemberian izin kepada perguruan tinggi asing di wilayah Indonesia bertentangan dengan kewajiban negara melalui PTN untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Memperhatikan ketentuan-ketentuan yang di judicial review, dapat di berikan penjelasan sebagai berikut:
a.    Ketentuan Pasal 64 UUPT tidak menyebabkan terjadinya komersialisasi pada PTN. Pembentuk UU sudah menegaskan bahwa pendidikan secara filosofis idealistik bukan komersialisasi (dengan ciri yang tujuannya untuk mengejar keuntungan), sebab prinsip otonomi  PTN diantaranya dilaksanakan dengan prinsip NIRLABA (Pasal 63 UUPT). PTN tidak pernah membagi keuntungan pada rektor, dekan, dosen, dan tenaga kependidikan. Dana yang tersisa dari pengelolaan PTN diperuntukkan bagi kepentingan peningkatan sarana dan prasarana di PTN tersebut.
b.    Ketentuan Pasal 64 UUPT, tidak menetapkan Pengelolaan Keuangan sebagaimana layaknya sebuah Korporasi. PTN dan PTN yang diberikan  dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU serta PTN- bh untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu, mengelola keuangan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 64 ayat (5) UUPT. Selanjutnya, PTN-bh tidak dapat dikatakan korporasi dan bukan pula “seperti korporasi” karena PTN-bh didirikan bukan dari kumpulan modal pemegang saham, tetapi berasal dari pemisahan keuangan negara. Korporasi mengenal adanyashareholders, tetapi dalam PTN-bh hal itu tidak dikenal, melainkan adanya stakeholders (pemangku kepentingan) yang meliputi masyarakat, dan alumni.
c.    Ketentuan Pasal 64 UUPT tidak menyebabkan penyerahan otonomi non akademik sebagai melepaskan tanggungjawab dan kontrol negara terhadap pendidikan tinggi yang berkeadilan dan diskriminatif. Otonomi  non akademik diserahkan oleh UU kepada PT sebagai penyerahan yang sah menurut hukum, karena otonomi non akademik yang diserahkan tersebut bukan pelepasan tanggungjawab melainkan untuk upaya meningkatkan kualitas akademik.  Otonomi non akademik ini berkeadilan dan tidak bersifat diskriminatif, oleh karena UU sudah menetapkan pembagian PTN dan PTN-bh untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu. Selanjunya Pasal 51 s/d Pasal 57 UUPT ditetapkan Penjaminan Mutu dengan melaksanakan Sistem Penjamiman Mutu (Pasal 51 s/d Pasal 53 UUPT), melaksanakan Standard Pendidikan Tinggi (Pasal 54 UUPT), melaksanakan Akreditasi (Pasal 55 UUPT), memiliki Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (Pasal 56 UUPT) dan memiliki Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (Pasal 57 UUPT). Selanjutnya UUPT menetapkan adanya alokasi sedikit 20 % untuk masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi  tetapi memiliki potensi akademik tinggi baik dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk memasuki PTN (Pasal 74 UUPT). Selanjutnya lagi, UUPT tidak bertentangan dengan  Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, oleh karenanya setiap mahasiswa yang ingin memasuki PTN memiliki kesempatan yang sama tanpa membedakan agama, warna kulit, suku, dan ras tetapi berbasis kepada kemampuan intelektual dalam rangka mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain. Dengan demikian UUPT telah menderivasi Konstitusi yang ide (cita-cita hukum)-nya sejalan, selaras, dan harmonis  sehingga tidak terjadi antinomi hukum di dalamnya.
d.    Ketentuan Pasal 64 UUPT tidak membuka kesempatan pada PTuntuk melakukan Abuse Of Power dalam bidang Ketenagaan karena pegawai PT akan tunduk kepada PT. PT tidak mungkin melakukan abuse of power dengan alasan sistem perekrutan, pengangkatan, pemberhentian, penskoran, sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian, PT juga memiliki kebijakan untuk mengelola dosen dan tenaga kependidikan sesuai keahlian dan profesionalisme dalam meningkatkan kualitas penyelenggaran pendidikan di PT (Pasal 69 UUPT s/d Pasal 72 UUPT).
e.    Ketentuan Pasal 65 UUPT tidak menjadikan PTN-bh layaknya barang privat. UUPT baik secara eksplisit maupun implisit (asas, dan norma hukum) dalam pelaksanaannya sama sekali tidak mencerminkan sebagai barang privat (private goods) hal ini dapat dibuktikan secara empirik, tidak satu pun para rektor, dekan, dosen, tenaga kependidikan mengambil keuntungan/laba untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan tersebut. Selain itu sistem pertanggungjawaban   PTN-bh dilakukan kepada otoritas publik (kepada Menteri, Dirjen, BPK, BPKP) dan bukan pada badan swasta (privat).
f.     Ketentuan Pasal 65 UUPT mengenai PTN-bh, tidak ada telah dinyatakan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945 dalam putusan perkaranya No. 11-14-21-126-136 PUU-VII-2009, sebab Putusan Perkara No. 11-14-21-126-136 PUU-VII-2009 ini tidak ada kaitannya dengan UUPT. Alasan yang diajukan oleh pemohon mengenai hal ini sangat mengada-ada, berkelebihan, tidak masuk akal, karena Putusan  MK tersebut diputus sebelum adanya (lahirnya) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. PTN-bh tidak dikenal sebelum lahirnya UU ini, sehingga logika berfikir yuridis Pemohon merupakan pemikiran yang keliru dan sesat.
g. Ketentuan Pasal 65 UUPT mengenai pemberian Otonomi pada PTN yang menerapkan Pola Keuangan BLU, bukan berarti memberi kemandirian pengelolaan di Bidang Keuangan Pada PTN menyebabkan tidak menyediakan Pendidikan murah bagi masyarakat. Tidak ada korelasi atau hubungan antara kemandirian pengelolaan keuangan PTN-bh dengan pola keuangan BLU dengan pendidikan murah bagi masyarakat. Karena otonomi pengelolaan PT meliputi bidang akademik dan non akademik yang memiliki otonomi terpisah. Pengelolaan penerimaan mahasiswa termasuk dalam otonomi akademik, sedangkan kebijaksanaan operasional keuangan dalam hal ini termasuk BLU merupakan otonomi non akademik. Pemohon masih dalam keadaan ragu-ragu untuk memberikan telaah terhadap norma dalam UUPT, yang terlihat dalam kata: “PTN yang belum tentu menyediakan pendidikan murah bagi masyarakat”, frase hukum ini tidak memberikan alasan hukum yang kuat karena sangat bertentangan dengan UUPT dan PP No. 23 Tahun 2005 dan perubahannya dalam PP No. 74 Tahun 2012, antara lain Pasal yang terkait Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003, Pasal 74 UUPT. Hal ini menunjukkan bahwa Pemohon tidak memiliki cita hukum yang pasti dan bersifat coba-coba (trial and error) terhadap eksistensi UUPT.
h. Ketentuan Pasal 73 UUPTbukan merupakan pasal karet, sehingga  Pola Penerimaan Mahasiswa Secara Mandiri oleh PTN dapat digunakan sesuai keinginan PTN yang bersangkutan, sehingga terindikasi adanya: pelepasan tanggungjawab Pemerintah terhadap Pendidikan Tinggi, tujuan komersial, berorientasi Pasar, dan Diskriminatif. PTN berdasarkan Pasal 6 UUPT memiliki prinsip antara lain demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa, serta kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan mahasiswa. Kebebasan dalam memilih Program Studi juga berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan mahasiswa, keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi.
i.   Ketentuan  Pasal 74 ayat (1) UUPT yang mewajibkan PTN untuk mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki Potensi Akademik Tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi, menunjukkan Perguruan Tinggi sebagai memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan keterjangkauan masyarakat namun memiliki potensi akademik yang tinggi. Selanjutnya, PT bukan satu-satunya tempat bagi generasi muda untuk mengembangkan kemampuan, karena PT sebagai lembaga yang berbasis kemampuan intelektual memang mengharuskan kemampuan akademik yang sesuai, sehingga wajar jika PTN mencari dan menjaring mahasiswa yang memiliki potensi akademik.
j.    Ketentuan Pasal 86 Ayat (1)  UUPT, bukanlah suatu yang Inkonstitusional dengan Pembukaan dan Pasal 31 Ayat (4) dan (5) UUD 1945 karena adanya fasilitas dan pemberian insentif bagi dunia usaha, masyarakat dan perorangan kepada PTN. Kerjasama antara PTN dengan dunia usaha justru suatu hal yang dapat membangun dunia pendidikan. Dengan kata lain bahwa PTN dan dunia usaha saling membutuhkan satu sama lain. Ketentuan Pasal 86 ayat (1) UUPT tidak dapat dilihat dengan tidak mengkaitkannya dengan Pasal lainnya. Pasal 86 ayat (1) UUPT, tidak muncul dengan sendirinya yang terlepas dari Pasal terdahulu khususnya Pasal 83 UUPT, 84 UUPT, dan 85 UUPT yang intinya bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah, masyarakat menyediakan dana bagi PTN yang dapat berupa hibah, wakaf, zakat dan sebagainya. Sedangkan yang berkaitan dengan dunia usaha dan industri, pemerintah hanya memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri untuk memberikan bantuan dana pada PTN. Maka kekhawatiran tentang pergeseran paradigma PTN menjadi lembaga yang profit oriented sangat tidak beralasan.
k.    Ketentuan Pasal 87 UUPT tidak bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (1) dan Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945. Pasal 87 UUPT juga dibentuk bukan tanpa memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Pasal 87 UUPT tidak tumpang tindih dengan Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 87 UUPT juga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengelolaan kekayaan negara oleh PT karena tidak jelas bentuknya dan tidak sesuai UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara (sebab pemegang kekuasaan pengelolaan kekayaan negara seharusnya Presiden). Alasan yang dapat dikemukakan terhadap hal tersebut bahwa dalam pembentukan perundang-undangan dikenal sejumlah asas (baik formil maupun materil). Pemohon dalam hal ini tidak menjelaskan asas mana yang tidak diperhatikan dan tidak menunjukkan memori penjelasan (memorie van toelichting) adanya pertentangan antara asas dengan norma hukum, sehingga permohonan pemohon menjadi kabur dan  bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa Pasal 87 UU PT dalam hubungannya dengan Pasal 6 UU No.17 Tahun 2003 berlaku asas lex specialis derogat lex generalis. Dengan kata lain Pasal 87 UUPT tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dan bahkan memberikan kepastian hukum.
l.      Ketentuan Pasal 90 UU PT, tidak menghambat pemenuhan hak konstitusional hak warga negara atas pendidikan (khususnya Pendidikan Tinggi). Pasal 90 UUPT, tidak melanggar kewajiban konstitusional pemerintah untuk menyediakan pembiayaan bagi pendidikan tinggi. Pemberian izin kepada Perguruan Tinggi lembaga negara lain di Wilayah Indonesia, tidak bertentangan dengan kewajiban Negara melalui PTN untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi oleh karena Perguruan Tinggi negara lain tersebut wajib mendukung kepentingan nasional (Pasal 90 ayat 4 UUPT). Selanjutnya, ketentuan Pasal 90 UUPT juga tidak bertentangan dengan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1), sebab Perguruan Tinggi negara lain baru dapat menyelengarakan pendidikan di wilayah RI jika telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta memiliki (memenuhi) syarat yang ketat dan selektif, yaitu memiliki izin pemerintah, berprinsip nirlaba, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin pemerintah, mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan WNI dan wajib mendukung kepentingan nasional. 

-o0o-

*Tulisan ini merupakan hasil diskusi diantara:
-       Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS.
-       Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MS.
-       Dr. Agusmidah, SH. MHum.
-       Bachtiar Hamzah, SH. MH.
-       Edy Ikhsan, SH. MA.
-       Armansyah, SH. MH.
-       M. Hayat, SH.


[1] Zulkarnain Nasution,  Apa itu ”Otonomi” Perguruan Tinggi? ,http://berkarya.um.ac.id/2010/02/10/apa-itu-%E2%80%9Dotonomi%E2%80%9D-perguruan-tinggi/