Translate

Jumat, 06 Juni 2014

PENEMUAN HUKUM



Oleh:  Alvi Syahrin


I.         Hukum dipahami sebagai suatu keharusan yang tidak berada dalam kekuasaan manusia, karena dalam diri manusia mempunyai kerinduan dan keterkaitan pada keadilan. Hukum adalah suatu keseluruhan aturan-aturan dan kewenangan-kewenangan yang tersusun secara logikal (suatu bangunan logikal) walau terus menerus berubah dan tidak pernah tertutup pada suatu masyarakat tertentu dalam suatu waktu tertentu.
Menemukan hukum merupakan tugas ahli hukum terdidik dalam hal menemukan apa hukumnya atas peristiwa konkrit (apa hukumnya in konkreto).


II.         Tugas penemuan hukum selalu berganda. Harus memulainya dari aturan yang abstrak yang sudah ada sampai pada kaidah yang konkrit yang ditetapkan. Kaidah yang konkrit diterapkan tersebut dapat terbentuk dari aturan yang banyak. Seorang yuris yang baik mempunyai ketajaman dalam membedakan tentang pengetahuan mengenai aturan-aturan dan pengetahuan mengenai hubungan-hubungan kemasyarakatan.
         
Melakukan penemuan hukum pekerjaan sederhana, ia memerlukan kerja pikiran dan keterdidikan (keahlian terdidik) guna mengetahui dan memahami isi serta kemampuan yang mengatur dengan struktur hukum. Pekerjaan tersebut dilakukan secara sistematis, sehingga tidak hanya pencatatan putusan-putusan terberi atau kebiasaan.
       
Ilmu hukum melakukan interpretasi terhadap aturan hukum. Ilmu hukum menginterpretasi aturan-aturan hukum, berusaha merangkum aturan-aturan tidak tertulis dalam formula tertentu, menjelaskan aturan-aturan yang ditetapkan oleh otoritas, menentukan jangkauannya (makna) yang terkandung di dalamnya dengan menelusuri sejarah dan tujuannya dengan menempatkan aturan itu dalam sistem yang melingkupinya, dengan menganalisis kata-kata yang digunakan atau cara lain menguraikan aturan itu sedemikian rupa sehingga ia siap untuk diterapkan pada kejadian-kejadian yang muncul (yang dihadapi) bahkan terhadap kejadian-kejadian yang dibayangkan akan muncul.

Interpretasi selalu terjadi berdasarkan: pikiran tertentu berupa latar belakang dari hukum, bentuk-bentuk logikalnya, kadar muatan keadilannya; terarah pada tujuan tertentu berupa penerapan, tranformasi hukum ke dalam kehidupan nyata; mengisi kerangka aturan-aturan otoritatif berdasarkan undang-undang atau ditetapkan secara lain, dengan putusan-putusan baru yang dipandangnya tersembunyi dalam yang lama.

Melaksanakan interpretasi hukum, di dalamnya secara bersamaan juga dilaksanakan konstruksi hukum. Konstruksi hukum menempatkan abstraksi hubungan-hubungan kemasyarakatan tertentu di bawah aturan-aturan, aturan-aturan tersebut di bawah aturan-aturan yang lebih umum jangkauannya, dan dengan cara demikian di bangun suatu keseluruhan dan selalu mengacu kepada tujuan akhir dari hukum, dan juga ia dapat menghasilkan pengertian (konsep).

III.       Ilmu hukum merupakan kelanjutan dari hukum. Ilmu hukum memiliki struktur, metode dan fungsinya yang tersendiri. Hakekat atau ciri khas ilmu hukum yaitu adanya pendekatan terhadap kaidah-kaidah hukum. Ilmu hukum sebagai sistem pengetahuan untuk memberikan pengetahuan yang benar atau mencapai kebenaran.
       
Interpretasi terhadap hukum, tidak hanya memberikan penjelasan terhadap hal yang  terberi, tetapi lebih dari itu, ia (interpretasi) selalu pada saat yang bersamaan melakukan pembentukan sesuatu yang baru (menghasilkan pengertian atau konsep). Dengan demikian, dalam penemuan hukum akan dilakukan sistematisasi, interpretasi dan konstruksi hukum.



Bahan Bacaan:

             Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, (alih bahasa: B. Arief Sidharta), PT. Alumni, Bandung, 2003.

             Sugijanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam ilmu dan filsafat: Sebuah eksplorasi awal menuju ilmu hukum yang integralistikdan otonom, Mandar Maju, Bandung, 1998.

          Titon Slamet Kurnia, Sri Harini Dwiyatmi, Dyah Hapsari P., Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia: Sebuah reorientasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2013.

Sumber : http://alviprofdr.blogspot.com/2014/01/penemuan-hukum.html

ILMU HUKUM: ILMU YANG BERSIFAT PRESKRIPTIF DAN TERAPAN

Oleh: Alvi Syahrin


I.    Karakter ilmu hukum yang sui generis yang memiliki karakter tersendiri sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan, sehingga ilmu hukum selalu berkaitan dengan apa yang seyogianya atau apa yang seharusnya.  Namun demikian, seorang yuris juga masih perlu memberikan perhatian pada pertanyaan hubungan antara kenyataan dan keharusan, antara kebenaran dan keadilan.

II.   Ilmu hukum sebagai ilmu preskriptif mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Kemudian sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
Hal substansial dari ilmu hukum yaitu sifat presktiptifnya tersebut. Perbincangan awal dari substansi ilmu hukum yaitu mengenai makna hukum didalam hidup bermasyarakat, artinya ilmu hukum masuk menusuk ke suatu hal yang esensial yakni sisi intrinsik dari hukum.

Pertanyan yang muncul dalam memandang sisi intrinsik dari hukum, yaitu mengapa dibutuhkan hukum meskipun telah ada norma-norma sosial lain; apa yang diinginkan oleh kehadiran hukum tersebut, dan hal tersebut merupakan perbincangan yang akan menyoal apa yang menjadi tujuan hukum.
Tujuan hukum yang merupakan apa yang seharusnya akan berhadapan dengan apa yang senyatanya, dan ini akan memunculkan perbincangan yang akan dicari jawaban “cara apakah untuk dapat menjembatani” antara dua realitas (senyatanya dan seharusnya) tersebut. Hal ini memunculkan sifat preskriptif ilmu hukum, sebab perbincangan itu akan diakhiri dengan memberikan rumusan-rumusan tertentu menganai cara menjembatani kedua realitas tersebut, dan cara tersebut juga berisi bagaimana seharusnya berbuat/bertingkah laku.
Keadilan merupakan sine qua non dalam hukum. Keadilan merupakan cita hukum, dan keadilan ini akan merupakan persoalan yang terus berkembang seiring dengan peradapan masyarakat dan intelektual manusia, sehingga bentuk keadilan dapat saja berubah namun esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan kehidupan bermasyarakat.
Manusia sebagai anggota masyarakat dan sekaligus makhluk yang mempunyai kepribadian menjadikan prilakunya harus diatur. Pengaturannya menekankan kepada terciptanya ketertiban. Ditekankan ketertiban oleh karena setiap orang cenderung untuk meneguhkannya sambil kalau perlu melanggar hak orang lain. Hal ini menjadi negara dipanggil untuk menetapkan aturan-aturan yang dapat menengahi kedua kepentingan (kepentingan individu dan kepentingan orang lain) tersebut. Menetapkan aturan-aturan ini merupakan tindakan yang bersifat preskriptif.
Mempelajari konsep-konsep hukum berarti mempelajari hal-hal yang semula ada di alam pikir, kemudian dihadirkan menjadi sesuatu yang nyata, misalnya: konsep hak milik, konsp badan hukum dan lain-lain yang diperlukan di dalam menciptakan ketertiban dan kehidupan bermasyarakat.
Konsep-konsep hukum tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan dari proses berpikir yang panjang. Selanjutnya konsep-konsep hukum ini memerlukan dan diikuti aturan-aturan yang menyertainya, sehingga dapat dikatakan mempelajari norma-norma hukum berarti mempelajari prekripsi-preskripsi. Dengan demikian belajar ilmu hukum harus mempelajari norma-norma hukum tersebut. Ilmu hukum merupakan ilmu normatif.

III.    Sifat ilmu hukum sebagai ilmu terapan merupakan suatu konsekuensi dari sifatnya yang preskriptif. Ilmu hukum akan menelaah kemungkinan-kemungkinan dalam menetapkan standar prosedur. Standar prosedur tersebut harus berpegang pada yang bersifat substansial (apa yang telah ditetapkan sebagai hukum).
Ilmu hukum dalam kenyataannya mempunyai dua aspek, yaitu aspek praktis dan aspek teoritis. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan peneltian hukum, maka penelitian hukum itu dapat dibedakan menjadi penelitian untuk keperluan praktis dan penelitian untuk kajian akademis.
Penelitian untuk kepentingan praktis dilakukan bagi kepentingan klien dan sesama praktisi hukum, sedangkan penelitian untuk kepentingan akademis, penelitian dilakukan bagi dunia akademis dan pembuat undang-undang. Hasil penelitian untuk keperluan praktis berupa “pendapat hukum”, sedangkan hasil penelitian untuk kajian akademis berupa karya akademis, bisa berbentuk tesis, artikel dalam jurnal, disertasi dan naskah akademis Rancangan Undang-Undang.
Memperhatikan uraian terdahulu, dapat dilihat bahwa sisi penelitian hukum dalam penelahaannya lebih lanjut akan mempertanyakan keberlakuan hukum tersebut. Hukum yang berlaku merupakan hukum yang berasal dari otoritas yang mengemban tugas pemebntukan hukum. Namun demikian, perlu diperhatikan juga bahwa hukum merupakan bagian dari kultur suatu masyarakat tertentu dalam suatu waktu tertentu, dan hukum yang berlaku adalah hukum yang ditaati, diterapkan dan ditegakkan. Sehingga ilmu hukum dalam arti ilmu tentang hukum positif selalu merupakan ilmu dari hukum positif tertentu dalam negara tertentu. 
Pengertian hukum positif sudah secara eksplisit menunjukkan batas-batas ratione loci-nya. Hukum positif adalah sperangkat norma/kaidah yang ditetapkan oleh suatu badan yang berwenang dalam negara tertentu. Oleh karena hukum positif itu sesuai dengan daerah/negaranya (misal: hukum positif Indonesia, hukum positif Belanda, hukum positif Inggris, hukum positif Singapore, dan seterusnya), maka ilmu tentang hukum positif hanya dapat diemban oleh orang yang berpartisipasi dalam hukum positif yang dipelajari.
Yuris Indonesia mengemban tanggungjawab dalam penerapan hukum positif, dan yang dapat membuat putusan (pendapat, penilaian) hanya bagi mereka yang mengemban tanggung jawab untuk menerapkan hukum positif tersebut, artinya bagi mereka-mereka yang benar-benar belajar tentang hukum positif dimaksud (misalnya: di Indonesia, mereka yang mempelajari hukum positif Indonesia,  di Belanda, mereka yang mempelajari hukum positif Belanda, dan seterusnya).
Yuris Indonesia yang mempelajari hukum positif Indonesia dan kemudian juga mempelajari hukum positif Belanda karena ada kedekan sistem hukum Indonesia dengan Belanda, itu hanya dilakukan dengan pendekatan perbandingan hukum dalam rangka memperkaya wawasan tentang hukumnya sendiri (hukum positi Indonesia), artinya hukum positif Belanda tersebuit bukan merupakan “authority” (primer) bagi studi dan praktik hukum Indonesia.

IV.   Ilmu Hukum adalah ilmu yang obyeknya hukum dalam pengertian sebagai kaidah atau norma, serta mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan.


Bahan Bacaan:

   Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005.

   Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, (alih bahasa: B. Arief Sidharta), PT. Alumni, Bandung, 2003.

   Sugijanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam ilmu dan filsafat: Sebuah eksplorasi awal menuju ilmu hukum yang integralistikdan otonom, Mandar Maju, Bandung, 1998.

   Titon Slamet Kurnia, Sri Harini Dwiyatmi, Dyah Hapsari P., Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia: Sebuah reorientasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2013.

Sumber : http://alviprofdr.blogspot.com/2014/01/ilmu-hukum-ilmu-yang-bersifat.html#more

BIDANG PENELITIAN HUKUM

Oleh: Alvi Syahrin

I. Hukum dimaksudkan untuk mempertahankan ketertiban sosial dan menciptakan keadilan bagi setiap anggota masyarakat, dan ilmu hukum mempunyai karakter preskriptif serta sekaligus sebagi ilmu terapan. Tugas ilmu hukum membahas hukum dari semua aspek. Aspek aktif dari ilmu hukum, yaitu penelitian hukum. Penelitian hukum dapat dilakukan pada tataran penelitian dogmatik hukum dan penelitian teori hukum.

II. Penelitian dogmatik hukum mempunyai kegunaan yang fundamental bagi setiap yuris, ia (penelitian dogmatik hukum) menemukan dan menghimpun bahan-bahan hukum, mengevaluasi hukum positif. Penataan dan pengelolaan sistematikal terhadap bahan-bahan hukum akan menampilkan gambaran yang menyeluruh teriktisar dan kejernihan dari normanya walaupun dalam tampaknya seakan bahan hukum yang banyak itu sembraut, bercerai berai satu sama lain. Melalui sistematisasi terhadap bahan hukum yang kompleks tersebut akan dapat ditemukan norma hukumnya dan menerapkannya guna menyelesaikan problema hukum yang dihadapi.
Ketentuan undang-undang mengandung dua sifat, yaitu pernyataan kehendak (wilsuiting) dari orang-orang tertentu yang berwenang meletakkan kehendaknya mengenai apa hukum itu kepada anggota masyarakat, dan  merupakan peraturan untuk hal-hal akan datang yang terlepas dari pembentukannya yang selain merupakan peristiwa historis yang hanya dapat dikenal melalui rekonstruksi dari kesadaran mereka pada waktu terbentuknya, juga merupakan pembentukan sesuatu yang baru dalam kehidupan hukum yang mempunyai hak hidup sendiri karena penerapan dan kelangsungannya tidak terikat pada para pembentuknya, sehingga ia mempunyai arti tersendiri yang tidak pernah dibayangkan oleh para penciptanya.
Suatu ketentuan tidak berdiri sendiri, ia merupakan bagi dari undang-undang, karena undang-undang itu merupakan bagian seluruh peraturan perundang-undangan, kemudian peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu tata hukum yang berlaku. Sebagai suatu kesatuan, hukum (peraturan perundang-undangan) menampakkan diri sebagai tata suatu sistem, dalam arti bahwa dalam keseluruhan kesatuan terdapat hubungan antara peraturan perundangan-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Setiap peraturan baru yang dimasukkan kedalam tata sistem perundang-undangan yang telah ada akan mengalami pengaruh dengan peraturan yang sudah ada tersebut, sehingga ia mempunyai arti (diberi arti) yang tidak terlepas dari peraturan yang sudah ada tersebut. Artinya, peraturan yang baru itu diterapkan bersama-sama dan diberi arti menurut peraturan yang telah ada. Metode sistematis mengambil tempat sebagai alat dalam memberi arti pada suatu ketentuan hukum.
Peneltian dogmatik hukum dalam rangka mengevaluasi hukum positif, mengandung elemen preskriptif atau dimensi mengkaidahi, yaitu yang seyogianya seperti apa baik ditujukan terhadap perundang-undangan maupun terhadap putusan-putusan pengadilan. Rekomendasi-rekomendasi penelitian dogmatik hukum dapat berupa amandemen peraturan perundang-undangan atau bagaimana sebaiknya hakim memutus perkara dalam suatu kasus (setelah memberikan anotasi atas suatu putusan pengadilan).
Anotasi terhadap suatu putusan pengadilan yang direkomendasikan dalam penelitian dogmatik hukum harus yang terbaik berdasarkan kebenaran dan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Kualitas anotasi yang diberikan oleh para dogmatik hukum akan menentukan kualitasnya sebagai yuris. Kegiatan penelitian dogmatik hukum yaitu untuk memungkinkan supaya penerapan hukum dan pelaksanaan hukum di dalam praktik dilaksanakan secara lebih bertanggungjawab.
Penelitian dogmatik hukum yang obyeknya hukum positif, juga masih mengakui adanya katerbatasan dan/atau kelemahan dari suatu undang-undang. Tidak mungkin suatu undang-undang (peraturan perundang-undangan)  bisa mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan melakukan penelitian dogmatik hukum justru akan membongkar kelemahan/keterbatasan aturan hukum positif. Aturan hukum positif yang tidak jelas akan diinterpretasi supaya aplikabel dengan kasus konkrit yang dihadapi untuk diberikan suatu preskripsi. Kelemahan-kelemahan aturan hukum positif akan dibongkar dalam penelitian dogmatik hukum dan selanjutnya dilakukan remedy atau recourse atas kelemahan aturan hukum positif tersebut guna menetapkan apa yang seharusnya dari hukum positif yang sudah ada melalui suatu evaluasi untuk kemudian dilakukan amandemen.

III. Teori hukum memiliki arti penting untuk praktik hukum, karena ia (teori hukum) akan memberikan pemahaman dalam sifat umum dari hukum itu serta memberikan penyadaran bagi kegiatan yuridik dalam memainkan perannya serta mempertinggi kualitas praktik hukum.  Tugas teori hukum diantaranya: menganalisis dan menerangkan konsep hukum dan konsep-konsep yuridis (rechtsleer), hubungan hukum dengan logika, dan metodologi hukum serta kritik ideologikal atas hukum. Sebagai kritik ideologi atas hukum, teori hukum membatasi diri pada suatu analisis atas hukum dan atas konstruksi-konstruksi serta pandangan-pandangan dalam dogmatik hukum, teori hukum maupun filsafat hukum untuk menunjukkan unsur-unsur yang didalamnya bermuatan nilai dan/atau bermuatan normatif dan dengan demikian memperlihatkan suatu keterikatan ideologikal.
Untuk menentukan ruang lingkup penelitian hukum dalam tataran teori hukum, yaitu dengan mengacu kepada tugas yang diemban oleh teori hukum. Penelitian hukum dalam tataran teori hukum dapat berupa kajian terhadap: konsep-konsep dalam hukum (legal concepts), defenisi-defenisi hukum, sifat kaidah-kaidah hukum, perbedaan antara aturan hukum dan asas hukum, sistem hukum dan keberlakuan hukum.
Pembedaan secara tegas antara kajian dogmatik hukum dan teori hukum secara tegas akan sulit, sebab dalam penelitian dogmatik hukum selalu terdapat kemungkinan bahasan tentang teori hukum meskipun lebih terbatas, selanjutnya usaha untuk mensistematisasi, menganalisis dan menginterpretasi hukum positif mustahil dapat dilakukan tanpa pemahaman atas konsep hukum yang relevan. Penjelasan tentang konsep hukum merupakan ranah kajian sangat spesifik dari teori hukum.

IV. Penelitian hukum dibedakan dalam penelitian untuk kepentingan keperluan praktis dan kepentingan kajian akademis (teoritis). Untuk kepentingan praktis penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian dogmatik hukum, sedangkan penelitian untuk  kepentingan dunia akademis (teoritis) dan pembuat undang-undang adalah penelitian dalam tataran teori hukum (penelitian teori hukum).

Bahan bacaan:

   Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999.
   Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006.
   John Z. Loudoe, Menemukan Hukum melalui Tafsir dan Fakta, Bina Akasara, Jakarta. 1985.
   Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, (alih bahasa: B. Arief Sidharta), PT. Alumni, Bandung, 2003.
   Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005.
   Sugijanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam ilmu dan filsafat: Sebuah eksplorasi awal menuju ilmu hukum yang integralistikdan otonom, Mandar Maju, Bandung, 1998.
   Sunaryati Hartono, C.F.G., Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994.
   Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Almuni, Bandung, 2009.
   Titon Slamet Kurnia, Sri Harini Dwiyatmi, Dyah Hapsari P., Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia: Sebuah reorientasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2013.

Sumber : http://alviprofdr.blogspot.com/2014/02/bidang-penelitian-hukum.html#more

Penelitian Hukum: Isu Hukum

PENELITIAN HUKUM: ISU HUKUM

Oleh: Alvi Syahrin

I. Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang diajukan. Hasil yang hendak dicapai berupa preskripsi mengenai apa yang seyogianya. Dalam penelitian hukum terdapat 3 (tiga) tataran isu hukum yakni: 1. isu hukum pada tataran dogmatik hukum, yang  terkait/menyangkut ketentuan hukum yang relevan dengan fakta yang dihadap; 2. isu hukum pada tataran teori hukum, yang mengandung konsep hukum, dan 3. isu hukum pada tataran filosofis, yang terkait/menyangkut asas-asas hukum.

Isu hukum menduduki posisi sentral dalam penelitian hukum. Salah dalam mengindentifikasi isu hukum akan berakibat salah dalam mencari jawaban atas isu hukum tersebut dan selanjutnya akan salah pula dalam melahirkan suatu argumentasi yang diharapkan dapat memecahkan isu hukum tersebut. Untuk dapat menentukan isu hukum, perlu pemahaman yang mendalam mengenai ilmu hukum. Tidak mungkin seorang yang bukan ahli hukum (mengetahui dan memahami ilmu hukum) mampu mengangkat isu hukum.


II. Isu hukum pada tataran/ruang lingkup dogmatik hukum lebih memberat (condong) kepada aspek praktis ilmu hukum. Walaupun memberat kepada aspek praktis ilmu hukum perolehan jawaban atas isu hukum pada ruang lingkup dogmatik hukum diperoleh dari penelitian yang bersifat akademis. Penelitian hukum dalam ruang lingkup dogmatik hukum, isu hukumnya mengenai ketentuan hukum yang di dalamnya mengandung pengertian hukum berkaitan dengan fakta hukum yang dihadapi.

Isu hukum pada ruang lingkup dogmatik hukum dapat timbul dalam hal: para pihak yang berperkara saling bertentangan dan mengemukakan penafsiran yang saling bertentangan terhadap teks peraturan karena peraturan tersebut kurang jelas; terjadinya kekosongan hukum; dan terdapat perbedaan penafsiran atas fakta.

Penelitian akademis yang mempunyai kegunaan praktis, akan melakukan penafsiran atas teks peraturan yang tidak jelas dan menginterpretasi fakta yang dihadapkan kepadanya. Interpretasi akan memberikan kejelasan dan merekonstruksi gagasan yang tersembunyi di dalam aturan hukum. Ajaran interpretasi menggunakan metode hermeneutik. Metode hermeneutik berpangkal dari suatu proposisi bahwa terdapat adanya saling ketergantungan yang bermakna antara kehidupan manusia dan budayanya. Manusia memberikan makna kepada kehidupannya. Tingkah laku masyarakat didasarkan atas interpretasi yang berarti mengenai apa yang mereka lakukan, mereka dalam berinteraksi sosial (berhubungan satu sama lainnya) dalam bingkai yang sarat dengan norma dan tidak bebas nilai. Aktifitas manusia ditentukan  oleh gagasan-gagasan normatif yang ada di dalam diri manusia itu sendiri dan bukan ditentukan oleh proses mekanis tanpa tujuan sebagaimana terjadi pada makhluk lain yang bukan manusia.

Kaum positivistis yang dibangun oleh John Austin tidak sejalan dengan pandangan kaum hermeneutik, sebab pandangan John Austin maupun John Struat Mill dipengaruhi oleh pemikiran ilmiah modern yang anti metafisika dan mengembangkan ilmu hukum sesuai dengan tuntutan ilmu modern (yang memandang hukum dalam kaitannya dengan gejala yang dapat diamati), yakni aturan-aturan dan sanksi dari suatu institusi yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Aspek normatif hukum harus dinyatakan ke dalam bentuk aturan tingkah laku lahiriah yang dapat diobservasi. Hukum diperbincangkan dari sudut pandang sosiolog hukum yang bebas nilai, dan membangun experimental design dalam penelitian ilmu sosial. 

Permasalahan yang muncul dalam pendekatan ilmiah terhadap yang hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Austin maupun para sosiolog, yaitu: a. tidak dapat diobservasinya mengenai pelaku taat kepada hukum berdarkan pertimbangan subyektif mengenai apa yang benar, b. pemecahan hukum yang tepat bagi masalah yuridis yang aktual dalam praktek hukum berdasarkan ilmu hukum yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat normatif, c. ilmu hukum yang bersifat normatif tidak dapat diverifikasi (misalnya: iktikad baik, kesalahan, kepatutan dan keyakinan, dewasa, badan hukum, dan sebagainya).

Menurut Hart, pada suatu masyarakat yang taat hukum bertindak atas dasar dorongan kesadaran mengenai apa yang mereka lakukan. Kesadaran (perilaku manusia) didasarkan kepada jalan pikiran yang begitu kompleks, sehingga apa yang dilakukan dapat menjadi obyek interpretasi, dengan kata lain tingkah laku manusia dipengaruhi oleh gagasan normatif sipelaku tersebut. Oleh karena itu peneliti hukum harus menemukan makna tingkah laku tersebut melalui interpretasi.


III. Penelitian pada tataran teori hukum, isu hukumnya harus mengandung konsep hukum. Konsep hukum dapat dirumuskan sebagai suatu gagasan yang dapat direalisasikan dalam kerangka berjalannya aktifitas hidup bermasyarakat secara tertib. Pada tataran teori, penelitian hukum diperlukan bagi pengembangan suatu bidang kajian hukum tertentu, yang dilakukan guna meningkatkan dan memperkaya pengetahuan dalam penerapan hukum. Dengan menelaah konsep-konsep hukum, para ahli hukum akan lebih meningkatkan daya interpretasinya serta mampu menggali teori-teori yang ada di belakang ketentuan hukum tersebut. 

Penelitian terhadap konsep-konsep hukum harus benar-benar dilakukan oleh ahli hukum, dan hermeneutik meruapakan instrumen penting dalam melakukan penafsiran hukum pada ruang lingkup teori hukum. Sebagai contoh: konsep strict liability ada yang mengartikan sebagai (merupakan) penyimpangan atas asas 'tiada pidana tanpa kesalahan' dan memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak (Strict liability diartikan sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan - 'liability without fault'), padahal: pada strict liability pembuatnya tetap diliputi kesalahan (kesalahan dalam arti normatif). 

Bersandar pada teori kesalahan normatif, pertanggungjawaban pidana korporasi dilakukan atas dasar kesalahan, hanya saja isi kesalahan tersebut berbeda dengan subyek hukum manusia yang didasarkan (berpangkal tolak dari) keadaan psikologis dari pembuatnya dan hubungan antara hal itu dengan perbuatannya. Dasar dari penetapan dapat dipersalahkannya badan hukum (korporasi) yaitu tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki badan hukum.

Fungsi kemasyarakatan yang dimiliki badan hukum, dicerminkan dari suatu perusahaan yang bertanggungjawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang mempunyai pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan di mana perusahan itu beroperasi. Secara positif perusahaan diharapkan untuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang tidak semata-mata didasarkan pada  perhitungan keuntungan kontan yang langsung, melainkan juga demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Perusahaan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas, perlu ikut memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi kepentingan hidup bersama dalam masyarakat. Kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hidup, kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat sekitar, dan seterusnya akan menciptakan iklim yang lebih menerima perusahaan itu beserta produk-produknya. Sebaliknya, ketidakperdulian perusahan akan selalu menimbulkan sikap protes, permusuhan, dan penolakan atas kehadiran perusahaan itu beserta produknya, tidak hanya dari masyarakat setempat di sekitar perusahaan itu melainkan juga sampai pada tingkat internasional.

Indikator kesalahan korporasi yaitu bagaimana korporasi menjalankan fungsi kemasyarakatan. Hukum mengharapkan kepada korporasi untuk menjalankan fungsi kemasyarakatannya dengan baik sehingga sejauh mungkin dapat menghindari terjadinya tindak pidana. Terhadap korporasi penilaian adanya kesalahan ditetentukan oleh bagaimana korporasi memenuhi fungsi kemasyarakatannya, sehingga 'dapat dicela' ketika suatu  tindak pidana terjadi karenanya.

Strict liability merupakan pertangungjawaban terhadap pembuat tindak pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya. Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan membuktikan telah dilakukannya tindak pidana. Fungsi strict liability yaitu berkenan dengan hukum acara dan bukan hukum pidana materil. Strict liability dalam pertanggungjawaban pidana lebih merupakan persoalan pembuktian, yakni kesalahan dipandang ada sepanjang telah dipenuhinya unsur tindak pidana.


III. Penelitian hukum yang berkaitan dengan isu mengenai asas hukum berada dalam tataran filsafat hukum. Asas hukum merupakan aturan-aturan pokok. Aturan-aturan pokok menguji peraturan-peraturan hukum yang berlaku umum. Aturan-aturan pokok tidak perlu diuji lagi. Diatas aturan-aturan pokok tersebut tidak ada lagi aturan, dan ini disebut sebagai asas-asas hukum.

Asas-asas hukum menampakkan diri ke permukaan melalui aturan-aturan hukum. Dalam setiap aturan hukum dapat dilacak asas hukumnya. Setiap tertib hukum yang berlaku disetiap negara selalu ditopang oleh asas hukum. Asas hukum yang berlaku di suatu negara dapat berbeda dengan asas hukum yang berlaku dinegara lain (asas hukum dapat berbeda-beda antara satu negara dengan negara yang lain), namun tidak berarti tidak (masih) ditemukannya asas hukum yang berlaku secara universal atau paling tidak dianut oleh sebagian besar bangsa. 

Asas-asas hukum dapat mengalami perubahan, akan tetapi perubahan tersebut amat lambat dibandingkan dengan perubahan peraturan hukum, mengingat asas hukum merupakan sesuatu yang bersifat abstrak. Asas hukumyang lama yang asli dimiliki oleh suatu negara mungkin dapat diganti oleh asas hukum yang dimiliki oleh bangsa lain karena asas hukum yang asli tersebut tidak lagi sesuai dengan situasi yang ada.

Asas-asas hukum ini mempunyai arti penting bagi pembentukan hukum, penerapan hukum dan pengembangan ilmu hukum. Bagi pembentukan hukum, asas-asas hukum memberikan landasan secara garis besar mengenai ketentuan-ketentuan yang perlu dituangkan di dalam aturan hukum. Di dalam penerapan hukum, asas-asas hukum sangat membantu bagi digunakannya penafsiran dan penemuan hukum maupun analogi, kemudian bagi penegmbangan ilmu hukum, asas-asas hukum mempunyai kegunaan karnea di dalam asas-asas hukum dapat ditunjukkan berbagai aturan hukum yang pada tingkat yang lebih tinggi sebenarnya merupakan satu kesatuan.

Penelitian terhadap asas-asas hukum mempunyai nilai yang sangat penting  bagi dunia akademis, pembuatan undang-undang, maupun praktik hukum. Sebagai contoh: melakukan penelitian hukum terhadap asas legalitas dalam kaitannya dengan ajaran melawan hukum dan asas legalitas dalam konteks HukumPidana Nasional.

Sejarah perkembangan asas legalitas dalam hukum pidana, dengan segala faktor yang mempengaruhinya, terdapat 4 (empat) macam sifat ajaran yang terkandung oleh asas legalitas, yaitu: Pertama, asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini menurut G.W. Paton yaitu nulla peona sine lege. Perlindungan individu diwujudkan dengan adanya keharusan lebih dahulu untuk menentukan perbuatan pidana dan pemidanaan dalam undang-undang. Kedua, asas legalitas hukum pidana yang menitik beratkan pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada lagi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini adalah ciptaan Feuerbach: nullum delictum, nulla peona sine praevia lege ponali. Ketiga, asas legalitas hukum pidana yang menitik beratkan tidak hanya pada ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut, tetapi juga harus diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana. Keempat, asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada perlindungan hukum kepada negara dan masyarakat. Asas legalitas disini bukan hanya kejahatan yang ditetapkan oleh undang-undang saja, akan tetapi menurut ketentuan hukum berdasarkan ukuran dapat membahayakan masyarakat. Oleh karena itu tidak mungkin ada perbuatan jahat yang timbul kemudian dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum. Adagium yang dipakai disini adalah nullum crimen sine poena.

Selanjutnya, menyimak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP 2012) yang saat ini dalam pembahasan, tampaknya asas legalitas tidak berlaku absolut,  oleh karena: Pertama: adanya ketentuan Pasal 2 RUU-KUHP (2012) yang secara implisit mengakui hukum tidak tertulis dalam masyarakat, Kedua: pembahasan terhadap asas legalitas atau lex  temporis delicti tidak berkaitan dengan perubahan perundang-undangan semata-mata sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 RUU-KUHP (2012) tetapi juga berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, Ketiga: ketentuan mengenai larangan menerapkan analogi merupakan suatu contradictio interminis jika dihubungkan dengan Pasal 2 RUU-KUHP (2012), yang mana seseorang dapat dipidana meskipun perbuatannya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, sebab untuk memidana suatu perbuatan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tidak mesti tidak, hakim harus menggunakan analogi atau setidak-tidaknya interpretasi ekstensif, padahal pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan prinsip antara interpretasi ekstensif dengan analogi. Keempat: berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) RUU-KUHP (2012), hukum yang tidak tertulis tersebut tidak hanya berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia serta kearifan lokal semata, akan tetapi juga dapat bersumber dari prinsip-prinsip umum yang diakui bangsa-bangsa beradab di dunia. Artinya, asas legalitas juga dapat disimpangi oleh praktik hukum kebiasaan yang telah berlangsung dan diakui oleh masyarakat internasional. Kelima: pembatasan terhadap asas legalitas sebagaimana yang termaktub dalam RUU-KUHP (2012), kiranya sudah sesuai dengan amandemen ketiga UUD 1945 Pasal ayat (3) yang menyatakan "Indonesia adalah negara hukum". Menurut Mahfud MD, perumusan Pasal 1 ayat (3) tanpa embel-embel 'rechtsstaat'  seperti dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen dimaksudkan agar konsep negara hukum yang ada di Indonesia saat ini adalah negara hukum prismatik. Artinya, menggabungkan segi-segi positif antara rechtsstaat dan rule of law, serta memberi tempat yang luas pada pemenuhan rasa keadilan (rule of law). Artinya, demi tegaknya keadilan, maka seyogianya perbuatan yang tidak wajar, tercela atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dapat dipidana meskipun secara formal tidak ada hukum tertulis yang melarangnya. Keenam; pembatasan terhadap asas legalitas sebagaimana ternaktub dalam Pasal-Pasal RUU KUHP (2012), menunjukkan bahwa secara implisit hukum pidana di Indonesia telah mengakui ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif, artinya meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang, hakim dapat menjatuhkan pidana jika perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat. Ketujuh: ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) RUU-KUHP (2012) telah sesuai dengan hasil perdebatan dalam kongres Internasional mengenai hukum pidana dan penjara pada tahun 1935 di Berlin, Jerman, mengenai apakah ada pengaruh suatu perubahan peraturan perundang-undangan terhadap putusan hakim yang tetah berkekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde). Menurut Pompe, putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap hanya bisa dilawan denganbuitengewone rechtsmiddelen (alat-alat hukum yang luar biasa). Perubahan perundang-undangan tersebut dianggap novum sebagai dasar untuk mengajukan peninjauan kembali. dengan demikian, putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang baru bila hal tersebut menguntungkan terpidana.

Memperhatikan contoh di atas, penelitian hukum pada tataran isu hukum dalam filsafat hukum harus benar-benar dilakukan oleh ahli hukum, yang ditelaah dasar ontologis dan ratio legis undang-undang, menemukan teori-teori yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang itu serta landasan filosofisnya.


IV.  Isu hukum timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan satu sama lainnya. Hubungannya bersifat kausalitas memuat proposisi yang satu dipikirkan sebagai penyebab yang lain. Isu hukum yang timbul karena hubungan diterangkan menerangkan memuat proposisi yang satu dipikirkan sebagai menerangkan makna yang  lain, menjadikan peneliti harus mampu memahami konsep hukum yang menerangkan proposisi yang diterangkan. Sebagai ahli hukum, peneliti dalam memberikan rekomendasinya didasarkan kepada pertimbangan raison d'etre doktrin dan ratio legis ketentuan tersebut. selanjutnya, merumuskan isu hukum diperlukan ketepatan penggunaan kata, peneliti harus benar-benar memahami makna dan arti penting serta fungsi yang dijadikan isu hukum tersebut. Kesalahan dalam menemukan makna, arti penting dan fungsi yang dijadikan isu hukum, akan berakibat pemahaman yang salah terhadap pemecahan isu hukum tersebut, sehingga jawaban atas isu hukum tidak dapat dipertanggungjawaban secara akademis.


Bahan bacaan:

Buku:
  Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999.

  Elly Erawaty, Bayu Seto Hardjowahono, Ida Susanti (Editor), Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia: Liber Amicorum untuk Prof. Dr. CFG. Sunaryati Hartono, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011.

  Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, (alih bahasa: B. Arief Sidharta), PT. Alumni, Bandung, 2003.

  Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005.

  Sunaryati Hartono, C.F.G., Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994.

Makalah:

  Chairul Huda, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Makalah, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi "Asas-asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta Perkembangan Dewasa ini", Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 23 -27 Februari 2014.

  Eddy O.S. Hiariej, Asas legalitas dan perkembangannya dalam hukum Pidana, Makalah, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi "Asas-asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta Perkembangan Dewasa ini", Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 23 -27 Februari 2014.

  Komariah Emong Sapardjaja, MelawanHukum dalam Hukum Pidana, Makalah, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi "Asas-asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta Perkembangan Dewasa ini", Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 23 -27 Februari 2014.

  Mardjono Reksodipoetro, Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya: Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia, Makalah, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi "Asas-asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta Perkembangan Dewasa ini", Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 23 -27 Februari 2014

Sumber : http://alviprofdr.blogspot.com/2014/03/penelitian-hukum-isu-hukum.html#more

REVITALISASI KEBIJAKAN NASIONAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh : Alvi Syahrin


I.                   Lingkungan Hidup merupakan ruang yang ditempati manusia bersama makhluk lainnya, yang masing-masing tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupan, saling berinteraksi dan membutuhkan dalam tatanan ekosistem. Sebagai satu kesatuan lingkungan hidup tidak dapat dibicarakan secara parsial, namun harus dipandang secara holistik dan mengandung sistem yang teratur serta meletakkan semua unsur di dalamnya secara setara.
            Pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup memiliki efek yang menyengsarakan kehidupan umat manusia dan berimplikasi kepada pelanggaran hak asasi manusia. Tanpa lingkungan hidup yang baik dan sehat, menjadikan sulit mencapai hak-hak kemanusian lainnya.
            Formulasi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dilihat dari sudut bentuk dan isinya, bersifat hak asasi klasik yang menghendaki penguasa menghindarkan diri dari campur tangan terhadap kebebasan individu untuk menikmati lingkungan hidupnya. Ditinjau dari bekerjanya, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat  mengandung tuntutan yang bersifat hak asasi sosial, karena sekaligus diimbangi dengan kewajiban bagi pemerintah untuk menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan (fungsi) lingkungan hidup, serta adanya kewajiban setiap orang untuk memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.


II.                Permasalahan lingkungan tidak semakin ringan namun justru akan semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya alam dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kondisi tersebut mengharuskan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan,  perlu:
-          ditingkatkan kualitasnya dengan dukungan penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas;
-          sumberdaya manusia yang berkualitas;
-          perluasan penerapan etika lingkungan dan assimilasi sosial budaya yang semakin mantap, serta
-          mendorong terjadinya perubahan cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika lingkungan melalui internalisasi ke dalam kegiatan/proses produksi dan konsumsi, dengan menanamkan nilai dan etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses pembelajaran sosial serta pendidikan formal pada semua tingkatan.
            Permasalahan lingkungan hidup dalam era otonomi, cenderung semakin bertambah kompleks. Kemerosotan lingkungan hidup tekait dengan pelaksanaan otonomi daerah, oleh karena daerah ingin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam dan kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup sebagaimana mestinya. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kemerosotan kualitas lingkungan dan diikuti dengan timbulnya bencana alam. Selain itu terdapat juga penerapan teknologi yang tidak berwawasan lingkungan.
            Menurunnya kualitas lingkungan hidup di daerah dari waktu ke waktu, ditunjukkan oleh karena pengelolaan lingkungan hidup pada era otonomi daerah, masih terdapat:
1.       Ego sektoral dan kedaerahan, masih terjadi dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan, sering terjadi overlaping antar sektor yang satu dengan sektor yang lain (terjadinya tumpang tindih perencanaan antar sektor) dalam pengelolaan lingkungan hidup. .
  1. Pendanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. PAD masih terlalu rendah dialokasikan untuk dana pengelolaan lingkungan hidup, dan diperparah lagi dengan minimnya dana dari APBN yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan lingkungan hidup.
  2. Keterbatasan sumber daya manusia. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya (pengelolaan) lingkungan hidup.
  3. Eksploitasi sumberdaya alam yang masih terlalu mengedepankan profit ekonomi. Hal ini bertentangan dengan keharusan menggunakan sumberdaya alam untuk pembangunan guna mencapai kesejahteraan masyarakat.
  4. Lemahnya implementasi paraturan perundangan, walau ketentuan peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup cukup banyak. Selanjutnya, beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuan kepentingan pribadinya.
  5. Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya di bidang  pengawasan.
  6. Pemahaman dan kesadaran masyarakat yang masih rendah tentang lingkungan hidup.
  7. Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan, karena mengharapkan hasil yang instant, cepat dapat dinikmati, seperti: penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.


III.             Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan serta pemulihan kualitas lingkungan menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Kemudian, sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.
            Sejalan dengan semangat otonomi daerah, pengelolaan lingkungan hidup perlu mendapat pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah, berupa meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup, memperhatikan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan, membangun hubungan interdependensi antar daerah, dan menetapkan pendekatan kewilayahan.
            Program pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam kebijakan pembangunan nasional, perlu adanya:
  1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, yang bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran program ini, yaitu tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.
  2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam, yang tujuannya menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan, guna terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif
  3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini yaitu tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
  4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini yaitu tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
  5. Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup, yang tujuannya untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini yaitu tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.

IV.             Pembangunan berkelanjutan merupakan upaya mensinkronisasikan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan. Pembangunan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan harus dipandang sebagai terkait erat satu sama lain, dan karena itu unsur-unsur dari kesatuan yang saling terkait ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan lainnya, serta menggeser titik berat pembangunan dari hanya pembangunan ekonomi, juga mencakup pembangunan sosial budaya dan lingkungan.
Integrasi pembangunan sosial budaya dan pembangunan lingkungan ke dalam arus utama pembangunan nasional agar kedua aspek tersebut mendapat perhatian yang sama bobotnya dengan aspek ekonomi merupakan suatu hal yang ingin dicapai.
Pembangunan sebagai sebuah proses membangun manusia seutuhnya dan seluruhnya, tidak hanya bertujuan meningkatkan derajat fisik manusia tertentu saja, melainkan memungkinkan setiap orang dan kelompok masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya, baik fisik maupun derajat kualitas kehidupan secara luas (mental, budaya, sosial, politik, spiritual dan ideologis).
Paradigma pembangunan berkelanjutan membutuhkan kemitraan dalam semangat saling memahami dan saling percaya yang positif konstruktif di antara berbagaistakeholder demi menjamin lingkungan hidup menjadi bagian integral dari keseluruhan proses pembangunan. Selanjutnya, keberhasilan pembangunan berkelanjutan memerlukan suatu sinergi positif antar tiga kekuatan utama, yaitu negara dengan kekuatan politiknya, sektor swasta dengan kekuatan ekonominya dan masyarakat warga dengan kekuatan moralnya. Tolok ukur keberhasilan dan kemajuan masyarakat adalah kualitas kehidupan yang dicapai dengan menjamin kehidupan ekologis, sosial budaya dan ekonomi secara proporsional.
Strategi kebijakan itu disesuaikan dengan kondisi ekologi dan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat di pihak lain. Strategi mempunyai sasaran untuk membangun masyarakat lokal untuk mempunyai sumber penghidupan ekonomi yang ramah terhadap lingkungan. Melalui keberlanjutan ekologi, akan mencapai bagaimana masyarakat setempat mengembangkan kehidupan ekonominya, yang sekaligus mengatasi masalah kemiskinan nyata yang dihadapinya, dan bersamaan mereka tetap melestarikan dan menjamin ekosistem di sekitarnya dalam sebuah simbiosis yang saling mendukung.


Kepustakaan:

Atmojo, E. Suprihantono, (ed.), 2005, Menyinergikan Pembangunan & Lingkungan Telaah Kritis Berwawasan Lingkungan, EcoHeart., Percetakan Negeri, Yogyakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2006, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Mitchell, Bruce, B. Setiawan, Dwita Hadi Rhami, 2003, Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan,  Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya.
Syahrin, Alvi., 2003, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan, Pustaka Bangsa Press, Medan.
Sudarmidji, Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup & Otonomi Daerah,http://geo.ugm.ac.id/archives/125 , diakses tanggal 21 Agustus 2008. 

Catatan:
             Tulisan ini disampaikan penulis pada acara Roundtable Discussion “Revitalisasi Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 2010 – 2014”, Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Hotel BUMI MINANG, tanggal 20 April 2009, Padang.

Sumber : http://alviprofdr.blogspot.com/2013/02/revitalisasikebijakan-nasional-dalam.html#more