Translate

Senin, 21 Oktober 2013

RUU-KUHP: Tindak Pidana Korupsi

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM RUU-KUHP
 DAN LEMBAGA PENEGAK HUKUMNYA*

Oleh: Alvi Syahrin

I.            Korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), dan di Indonesia sudah dianggap menjadi suatu kebiasaan dan telah melanggar hak-hak sosial serta hak-hak ekonomi masyarakat, bahkan berpotensi membawa bencana dalam kehidupan perekonomian nasional, kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga diperlukan strategi pemberantasan korupsi yang luar biasa pula.
          Menurut Tim Penyusun Naskah Akademik RUU-KUHP, perlu di dorong dilakukannya pembaharuan hukum pidana nasional Indonesia sebagai ihtiar untuk mensistematisasikan norma hukum pidana ke dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia dalam bentuk kebijakan kodifikasi dalam arti menempatkan seluruh norma hukum pidana yang berlaku secara nasional dalam satu kitab hukum pidana.
          Kebijakan kodifikasi hukum pidana dimaksudkan untuk mencegah pengaturan asas-asas hukum pidana baru dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang tidak tertegrasi dalam Ketentuan Umum dalam Buku I KUHP, dan mencegah kriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP baik yang bersifat umum maupun khusus yang menyebabkan duplikasi dan triplikasi norma hukum pidana serta tercegahnya penggunaan sanksi pidana yang bertentangan dengan maksud dan tujuan diadakannya sanksi pidana dalam hukum pidana.

II.          Rumusan tindak pidana korupsi dan pemberatan pidana (hukuman) dalam Naskah RUU-KUHP diatur dalam Bab XXXII dalam Pasal 668 sampai dengan Pasal 702. Adapun rumusan pasal-pasal tersebut:
         Pasal 688 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang menjanjikan atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori III.
(2) Pejabat Publik yang menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 689 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang menjanjikan atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori III.
(2) Pejabat Publik yang menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 690 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik padahal diketahui atau patut diduga bahwa pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori III.
(2) Pejabat Publik yang menerima sesuatu pemberian secara langsung atau tidak langsung padahal diketahui atau patut diduga bahwa pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 691 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang dengan tujuan memperoleh suatu keuntungan dari instansi pemerintah atau otoritas publik, menjanjikan atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik atau orang lain, supaya pejabat atau orang lain tersebut menggunakan pengaruh dalam hubungan dengan jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori III.
(2) Pejabat Publik atau orang lain yang menerima sesuatu atau janji secara langsung atau tidak langsung supaya pejabat tersebut atau orang lain menggunakan pengaruh dalam hubungan dengan jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 692 RUU-KUHP
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 688 ayat (2), Pasal 689 ayat (2), Pasal 690 ayat (2), dan Pasal 691 ayat (2) dilakukan oleh penegak hukum, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).

Pasal 693 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang menjanjikan, atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada seorang Pejabat Publik Asing atau Pejabat Organisasi Internasional Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.
(2) Pejabat Publik Asing atau Pejabat Organisasi Internasional Publik yang menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 694 RUU-KUHP
Pejabat Publik yang dengan sengaja menyalahgunakan fungsi atau kedudukannya melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan maksud memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, atau Korporasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 695 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang dalam suatu aktivitas ekonomi, keuangan, perdagangan, atau komersial yang berkaitan dengan perekonomian negara, menjanjikan, menawarkan, atau memberikan uang atau barang yang nilainya relatif besar, secara langsung atau tidak langsung kepada seseorang yang menduduki jabatan apapun pada sektor swasta suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan dirinya atau orang lain, supaya orang tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori III.
(2) Setiap orang yang dalam suatu aktivitas ekonomi, keuangan, perdagangan, atau komersial yang berkaitan dengan perekonomian negara, menjanjikan, menawarkan, atau memberikan uang atau barang yang nilainya sangat signifikan, secara langsung atau tidak langsung kepada seseorang yang menduduki jabatan apapun pada sektor swasta suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan dirinya atau orang lain, supaya orang tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori III.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Korporasi diancam dengan pidana denda paling sedikit Kategori IV.

Pasal 696 RUU-KUHP
(1) Pejabat Publik yang menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Pejabat Publik yang menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih dipidana dengan pidana pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.
(3) Pejabat Publik yang menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau lebih dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Kategori VI.

Pasal 697 RUU-KUHP
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Kategori IV dan denda paling banyak Kategori V Pejabat Publik yang dengan cara melawan hukum, menjual Kekayaan negara, membeli barang untuk negara, atau memberi pekerjaan atau proyek negara.

Pasal 698 RUU-KUHP
Pejabat Publik yang dia sendiri sebagai penanggung jawab atau pengawas, baik secara langsung maupun tidak langsung, menjadi pemasok, pemborong, atau penebas, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 699 RUU-KUHP
(1) Setiap orang atau pejabat publik secara melawan hukum menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bukan pada tujuannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Kategori II.
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan bencana alam, krisis keuangan, dan ekonomi dan/atau negara dalam keadaan bahaya diancam dengan pidana mati.

Pasal 700 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang secara langsung atau tidak langsung:
a. memberikan, menyetujui, atau menawarkan untuk memberikan suatu hadiah atau janji kepada seseorang yang mengurus kepentingan umum, baik untuk diri sendiri orang itu maupun untuk orang lain, supaya orang itu berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori III.
b.           memberikan, menyetujui, atau menawarkan untuk memberikan suatu hadiah atau janji dalam mengurus kepentingan umum, baik untuk kepentingan dia sendiri maupun kepentingan orang lain, karena akan atau telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori III.
(2) Setiap orang yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 701 RUU-KUHP
Setiap orang yang secara langsung atau tidak langsung:
a. menawarkan, menjanjikan, atau memberikan suatu hadiah atau janji, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain, sebagai imbalan orang itu mengatur hasil akhir olahraga atau pertandingan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Kategori II.
b. meminta atau menerima suatu hadiah atau janji, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain, sebagai imbalan dia akan atau telah mengatur hasil akhir olahraga atau pertandingan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Kategori II.

Pasal 702 RUU-KUHP
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 666, Pasal 667, Pasal 668, Pasal 670, Pasal 671, Pasal 688, Pasal 689, Pasal 690, Pasal 691, Pasal 693, Pasal 694, Pasal 695, Pasal 696, Pasal 697, Pasal 698, Pasal 699, Pasal 700, dan Pasal 701 sepanjang perbuatan tersebut merugikan keuangan atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan pasal-pasal tersebut ditambah 1/3 (satu pertiga).

          Memperhatikan rumusan pasal-pasal tindak pidana korupsi dalam RUU-KUHP dapat diuraikan bahwa dalam tindak pidana korupsi:
1.  dapat dilakukan oleh:
a. setiap orang, 
b. pejabat publik,
c. penegak hukum,
c. pejabat publik asing,
d. pejabat organisasi internasional publik.
2. dilakukan dengan sengaja.
Dengan sengaja dapat di lihat dari rumusan pasal yang menggambarkan “perbuatan” menggunakan kata kerja dan awalan “me”.
3. berupa perbuatan:
-  (setiap orang)
a. menjanjikan atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya; à Pasal 688 ayat (1).
b. menjanjikan atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya; à Pasal 689 ayat (1)
c. memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik padahal diketahui atau patut diduga bahwa pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya; à Pasal 690 ayat (1)
d. dengan tujuan memperoleh suatu keuntungan dari instansi pemerintah atau otoritas publik, menjanjikan atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik atau orang lain, supaya pejabat atau orang lain tersebut menggunakan pengaruh dalam hubungan dengan jabatannya;à Pasal 691 ayat (1)
e. menerima sesuatu atau janji secara langsung atau tidak langsung supaya pejabat tersebut atau orang lain menggunakan pengaruh dalam hubungan dengan jabatannya; à Pasal 691 ayat (2)
f.  menjanjikan, atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada seorang Pejabat Publik Asing atau Pejabat Organisasi Internasional Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya; à Pasal 693 ayat (1)
g. dalam suatu aktivitas ekonomi, keuangan, perdagangan, atau komersial yang berkaitan dengan perekonomian negara, menjanjikan, menawarkan, atau memberikan uang atau barang yang nilainya relatif besar, secara langsung atau tidak langsung kepada seseorang yang menduduki jabatan apapun pada sektor swasta suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan dirinya atau orang lain, supaya orang tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya; à Pasal 695 ayat (1)
(catatan: jika dilakukan korporasi hukumannya diperberat à Pasal 695 ayat (3))
h. yang dalam suatu aktivitas ekonomi, keuangan, perdagangan, atau komersial yang berkaitan dengan perekonomian negara, menjanjikan, menawarkan, atau memberikan uang atau barang yang nilainya sangat signifikan, secara langsung atau tidak langsung kepada seseorang yang menduduki jabatan apapun pada sektor swasta suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan dirinya atau orang lain, supaya orang tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya; à Pasal 695 ayat (2)
(catatan: jika dilakukan korporasi hukumannya diperberat à Pasal 695 ayat (3))
i.    secara melawan hukum menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bukan pada tujuannya; à Pasal 699 ayat (1)
j. secara melawan hukum menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bukan pada tujuannya yang dilakukan dalam keadaan bencana alam, krisis keuangan, dan ekonomi dan/atau negara dalam keadaan bahaya; à Pasal 699 ayat (2)
k. secara langsung atau tidak langsung:
a. memberikan, menyetujui, atau menawarkan untuk memberikan suatu hadiah atau janji kepada seseorang yang mengurus kepentingan umum, baik untuk diri sendiri orang itu maupun untuk orang lain, supaya orang itu berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya; à Pasal 700 ayat (1) huruf a
b. memberikan, menyetujui, atau menawarkan untuk memberikan suatu hadiah atau janji dalam mengurus kepentingan umum, baik untuk kepentingan dia sendiri maupun kepentingan orang lain, karena akan atau telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya; àPasal 700 ayat (1) huruf b
l.  menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada Pasal 700 ayat (1);  à Pasal 700 ayat (2)
(catatan: lihat perbuatan yang di uraikan pada k)
m. secara langsung atau tidak langsung:
a. menawarkan, menjanjikan, atau memberikan suatu hadiah atau janji, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain, sebagai imbalan orang itu mengatur hasil akhir olahraga atau pertandingan; à Pasal 701 huruf a
b. meminta atau menerima suatu hadiah atau janji, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain, sebagai imbalan dia akan atau telah mengatur hasil akhir olahraga atau pertandingan; à Pasal 701 huruf b
n. melakukan perbuatan yang diuraikan dalam Pasal 666, Pasal 667, Pasal 668, Pasal 670, Pasal 671, Pasal 688, Pasal 689, Pasal 690, Pasal 691, Pasal 693, Pasal 694, Pasal 695, Pasal 696, Pasal 697, Pasal 698, Pasal 699, Pasal 700, dan Pasal 701 yang merugikan keuangan atau perekonomian negara; à Pasal 702
(Catatan: pidana/hukuman ditambah 1/3)

-     (pejabat publik)
a.    menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya; àPasal 688 ayat (2)
b.    menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya; à Pasal 689 ayat (2)
c.    menerima sesuatu pemberian secara langsung atau tidak langsung padahal diketahui atau patut diduga bahwa pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya; à Pasal 690 ayat (2)
d.    menerima sesuatu atau janji secara langsung atau tidak langsung supaya pejabat tersebut atau orang lain menggunakan pengaruh dalam hubungan dengan jabatannya;à Pasal 691 ayat (2)
e.    menyalahgunakan fungsi atau kedudukannya melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan maksud memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, atau Korporasi; à Pasal 694
f.     menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih; à Pasal 696 ayat (1)
g.    menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih; à Pasal 696 ayat (2)
h.    menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau lebih; à Pasal 696 ayat (3)
i.      dengan cara melawan hukum, menjual Kekayaan negara, membeli barang untuk negara, atau memberi pekerjaan atau proyek negara; à Pasal 697
j.      dia sendiri sebagai penanggung jawab atau pengawas, baik secara langsung maupun tidak langsung, menjadi pemasok, pemborong, atau penebas; à Pasal 698
k.    secara melawan hukum menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bukan pada tujuannya; à Pasal 699 ayat (1)
l.      secara melawan hukum menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bukan pada tujuannya yang dilakukan dalam keadaan bencana alam, krisis keuangan, dan ekonomi dan/atau negara dalam keadaan bahaya; à Pasal 699 ayat (2)

-       (Penegak Hukum)
a.  menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya; àPasal 692 jo. Pasal 688 ayat (2)
b.  menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya; à Pasal 692 jo. Pasal 689 ayat (2)
c.  menerima sesuatu pemberian secara langsung atau tidak langsung padahal diketahui atau patut diduga bahwa pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya; à Pasal 692 jo Pasal 690 ayat (2)
d.  menerima sesuatu atau janji secara langsung atau tidak langsung supaya pejabat tersebut atau orang lain menggunakan pengaruh dalam hubungan dengan jabatannya;à Pasal 692 jo. Pasal 691 ayat (2)

-       (Pejabat Publik Asing)
menjanjikan, atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada seorang Pejabat Publik Asing atau Pejabat Organisasi Internasional Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya; à Pasal 693 ayat (2)

-       (Pejabat Organisasi Internasional Publik)
menjanjikan, atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada seorang Pejabat Publik Asing atau Pejabat Organisasi Internasional Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya; à Pasal 693 ayat (2)

III.            Tim perumus pembuat naskah akademik RUU KUHP dalam laporan akhir Desember 2010, menegaskan bahwa dalam menghadapi perkembangan hukum dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan kebijakan kriminalisasi cukup dilakukan dengan melakukan amandemen KUHP dengan ancaman pidana yang disesuaikan standar pengancaman pidana pada tindak pidana yang sejenis (Naskah Akademis KUHP BPHN 2010: 96). KUHP yang hendak dibentuk dijadikan sumber utama dan satu-satunya hukum pidana nasional Indonesia yang memuat ketentuan umum hukum pidana (asas-asas hukum pidana) dan memuat semua tindak pidana (Naskah Akademis KUHP BPHN 2010: 98).
Perumusan norma hukum pidana yang mengatur tindak pidana dan pengancaman pidana (pemidanaan) tunduk kepada standar perumusan norma hukum pidana dan pemidanaan. Tidak tepat jika meningkatnya angka kejahatan atau ketidakmampuan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum pidana dijadikan alasan untuk mengubah standar perumusan norma hukum pidana dan pemidanaan sebagai hukum pidana khusus. Menghadapi kejahatan yang bersifat khusus, kejahatan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crimes) atau kejahatan yang serius (serious crimes) cukup dimuat dalam hukum pidana kodifikasi sebagai tindak pidana pemberatan yang bersifat khusus. (Naskah Akademis KUHP BPHN 2010: 100). Terkait dengan Hukum Acara cukup dimasukkan di dalam kodifikasi hukum acara pidana (KUHAP) dengan cara mengatur hukum acara yang khusus sebagai bagian dari hukum acara umum/biasa untuk memperoses tindak pidana tertentu yang bersifat khusus. (Naskah Akademis BPHN 2010: 100).
Penyimpangan yang diatur dalam KUHAP terhadap kejahatan yang bersifat khusus, kejahatan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crimes) atau kejahatan yang serius (serious crimes) bersifat kondisional (temporary), dan apabila kejahatan tersebut dalam kondisi normal atau situasi kejahatan yang terkendali, prosedur dikembalikan ke dalam prosedur yang normal dan tunduk kembali kepada KUHAP. Dengan demikian, kekhususan hukum pidana khusus tidak terletak pada hukum pidana materilnya, melainkan pada hukum formil atau hukum acara pidananya.
Korupsi di Indonesia telah menjadi hasil kolaborasi antara sektor publik dan swasta, pemberantasan perlu adanya political will  yang sungguh-sungguh dan kuat dari seluruh aparatur pemerintahan. Strategi pemberantasan korupsi setidak-tidaknya harus menggunakan beberapa pendekatan secara bersamaan, diantaranya pendekatan hukum, pendekatan moralitas dan keimanan, pendekatan edukatif, dan pendekatan sosio-kultural.
Pendekatan hukum yang konvensional sudah tidak lagi memadai dalam menghadapi modus operandi tindak pidana korupsi yang bersifat sistematik dan meluas serta telah menjadi “extra ordinary crimes”. Sehingga diperlukan pendekatan hukum baru yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara atau hak-hak ekonomi dan sosial rakyat di atas kepentingan dan hak-hak individu tersangka atau terdakwa. Penanganan kasus korupsi tidak cukup hanya ditangani dengan cara-cara yang biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara yang luar biasa yang dilandaskan kepada: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas, serta dilandasi kepada prinsip-prinsip yang spesifik, antara lain: independensi; lex specialis derogat lex generalis, lex primum remedium derogat lex ultimum remedium; non impunity; inadminissinility (prinsip unwillingness dan prinsip inability); triger mechanism; take over mechanism; limited ne bis in idem. Untuk itu diperlukan adanya suatu lembaga dan wewenangnya sebagai lembaga tertinggi (super agency) dalam pemberantasan korupsi.
Sebagai lembaga tertinggi dalam pemberantasan korupsi, ia harus merupakan lembaga yang independen dan bertanggungjawab langsung kepada publik; memiliki wewenang yang luas termasuk melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sendiri serta dapat mengambil-alih wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari kepolisian atau kejaksaan; memiliki wewenang menangkap atau menahan pejabat tinggi negara tanpa harus meminta izin Presiden; memiliki wewenang membekukan rekening tersangka atau terdakwa tanpa izin Gubernur Bank Indonesia dan cukup melaporkan saja. Pembentukan lembaga tertinggi dalam pemberantasan korupsi suatu yang relevan dan sebagai wujud komitmen untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak ekonomi dan sosial yang mengakibatkan meluasnya kemiskinan di tanah air.

IV.            Pengaturan tindak pidana korupsi dikembalikan ke dalam RUU-KUHP yang inti dan rumusannya telah disesuaikan dengan perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi dan perkembangan internasional tentang pemberantasan korupsi dan praktek penegakan hukumnya, masih memerlukan penyimpangan umum yang diatur dalam KUHAP secara kondisional, serta tetap mempertahankan dibentuknya lembaga tertinggi dalam pemberantasan korupsi sebagai lembaga independen dan bertanggungjawab langsung kepada publik.


Kepustakaan:
Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Hermien Hadiati Koeswadji, Korupsi di Indonesia Dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Koupsi, Citra Aditya Bakti. Bandung.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008, Kejahatan Negara Pemerintahan, Kekerasan dan Korupsi, Kimnas HAM Press, Jakarta.
BPHN, 2010, Laporan Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


*Disampaikan pada Diskusi Terbatas (FGD) RUU KUHP pada tanggal 1 Oktober 2013 di Hotel Grand Swissbel Medan.

Sumber : 

Barang Bukti Pencemaran Nama Baik

Pertanyaan:
Apa yang dapat digunakan sebagai barang bukti apabila pencemaran nama baik dilakukan di depan umum? Apakah harus ada barang bukti berbentuk surat?

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) disebut dengan penghinaan. Dalam hal ini, kami berasumsi pencemaran nama baik yang Anda maksud dilakukan bukan melalui media elektronik. Pembahasan mengenai pembuktian pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media elektronik Anda dapat menyimak artikel-artikel berikut: 
 
Perlu diketahui bahwa pencemaran nama baik tersebut dapat dilakukan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) maupun dengan tulisan atau gambar (Pasal 310 ayat [2] KUHP).
 
Lebih lanjut, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa penghinaan itu sendiri ada 6 macam, yaitu:
1.    Menista (Pasal 310 ayat [1] KUHP);
2.    Menista dengan surat (Pasal 310 ayat [2] KUHP);
3.    Memfitnah (Pasal 311 KUHP);
4.    Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP);
5.    Mengadu secara memfitnah (Pasal 317 KUHP); dan
6.    Tuduhan secara memfitnah (Pasal 318 KUHP).
 
Dalam hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan secara lisan sebagaimana terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, menurut R. Soesilo, supaya dapat dihukum maka pencemaran nama baik itu harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Oleh karena itu, tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa barang bukti berbentuk surat diperlukan dalam membuktikan pencemaran nama baik secara lisan. Yang terpenting adalah bahwa tuduhan tersebut dilakukan di depan orang banyak.
 
Ini berbeda dengan pencemaran nama baik dengan tulisan, dimana media yang digunakan dalam melakukan pencemaran nama baik tersebut dapat berupa tulisan (surat) atau gambar. Dalam hal pencemaran nama baik dengan tulisan, maka surat atau gambar tersebut dibutuhkan sebagai bukti adanya pencemaran nama baik tersebut.
 
Anda juga harus membedakan antara barang bukti dan alat bukti. Yang termasuk ke dalam barang bukti sesuai Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah:
1.    benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
2.    benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3.    benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
4.    benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5.    benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
 
Sedangkan, yang termasuk alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP) adalah:
1.    Keterangan saksi;
2.    Keterangan ahli;
3.    Surat;
4.    Petunjuk;
5.    Keterangan terdakwa.
 
Lebih lanjut mengenai barang bukti dan alat bukti, Anda dapat membaca artikel-artikel berikut ini:
 
Jadi, dalam hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan secara lisan, Anda dapat membuktikannya dengan keterangan saksi. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan saksi yang memenuhi kriteria keterangan saksi sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP, yaitu:
1.    Yang saksi lihati sendiri;
2.    Saksi dengar sendiri;
3.    Dan saksi alami sendiri;
4.    Serta dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
 
Akan tetapi, Anda harus membuktikan dengan 2 (dua) alat bukti sebagaimana diharuskan oleh Pasal 183 KUHAP:
 
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
 
Penjelasan mengenai yang dimaksud dengan “dua alat bukti yang sah” dapat kita lihat dalam buku M. Yahya Harahap yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 283-284), yang mengatakan bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan:
1.    Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus “saling bersesuaian”, “saling menguatkan”, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain;
2.    Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian.
 
Sedangkan, dalam hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan dengan tulisan, Anda dapat menggunakan surat tersebut sebagai barang bukti, yaitu benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. Dapat juga digunakan sebagai alat bukti, yaitu termasuk alat bukti surat lain (yaitu surat yang bukan termasuk berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang, surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, surat keterangan dari seorang ahli), sebagaimana terdapat dalam Pasal 187 huruf d KUHAP. Dengan syarat bahwa “surat lain” tersebut hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan alat pembuktian yang lain.
 
Jadi, barang bukti berbentuk surat bukan suatu keharusan. Hal itu bergantung kepada pencemaran nama baik seperti apa yang dilakukan oleh orang tersebut.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.

Dasar Hukum Kewajiban Menyalakan Lampu Kendaraan pada Siang Hari

Pertanyaan:
Undang-undang nomor berapa yang mengatur kendaraan bermotor yang menyalakan lampu di siang hari? Dan apakah UU tersebut efektif diterapkan bagi pengendara motor?

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5165540a9b53c/lt51655436e57b1.jpg
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Untuk menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu mari kita simak bunyi pasal yang mengatur tentang penggunaan lampu utama dalam Pasal 107Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) berikut:
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.
(2) Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.
 
Kemudian, menurut penjelasan Pasal 107 ayat (1) UU LLAJ, yang dimaksud dengan "kondisi tertentu" adalah kondisi jarak pandang terbatas karena gelap, hujan lebat, terowongan, dan kabut.
 
Dari bunyi pasal di atas dapat diketahui bahwa tidak semua kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu kendaraannya di siang hari, atau yang lebih dikenal dengan istilah Daytime Running Lights (“DRL”). Kewajiban menyalakan lampu utama pada siang hari itu terletak pada pengemudi sepeda motor saja. Akan tetapi, kewajiban menyalakan lampu utama kendaraan ada pada setiap pengemudi kendaraan bermotor di siang hari jika pada siang hari tersebut cuaca gelap, hujan lebat, saat menyusuri terowongan, atau berkabut. Selain mematuhi ketentuan tersebut, khusus untuk pengemudi sepeda motor, wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.
 
Sanksi pidana bagi mereka yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) UU LLAJ berdasarkanPasal 293 ayat (1) UU LLAJ adalah pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
Sedangkan, sanksi pidana bagi setiap orang yang mengemudikan sepeda motor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ berdasarkan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ adalah pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
 
Menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai apakah UU yang mengatur kewajiban menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari tersebut efektif diterapkan bagi pengendara sepeda motor atau tidak, kami mengacu pada penjelasan dalam artikel yang dibuat oleh Dr. Ferry Hadary, M. Eng, dosen Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura, berjudul Menyalakan Lampu Sepeda Motor di Siang Hari, Masihkah Menjadi Kontroversi? yang kami akses dari laman resmi Universitas Tanjungpura.
 
Menurut Hadary, Ditlantas Polda Metro Jaya telah membuktikan bahwa dengan adanya penerapan aturan DRL tersebut mampu menekan angka kecelakaan hingga lebih dari 20 persen hanya dalam jangka waktu dua bulan. Di Surabaya, pada 2005, program ini berhasil mencatat penurunan angka kecelakaan sepeda motor hingga 50 persen. Sedangkan di negara lain, seperti Malaysia, Thailand bahkan Amerika dan Eropa, kecelakaan dapat dikurangi hingga mencapai 30 persen. Hasil persentase pada daerah atau negara lain di atas kiranya cukup membuktikan tingkat efektifitas DRL untuk menurunkan angka kecelakaan lalu lintas.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
 
Referensi:
http://www.untan.ac.id/?p=314, diakses pada 30 September 2013 pukul 14.40 WIB

Kewenangan KPK dalam Melakukan Penuntutan Kasus Pencucian Uang

Pertanyaan:
Dalam Pasal 74 UU PTPPU dikatakan bahwa penyidik TPPU (tindak pidana pencucian uang) adalah penyidik yang melakukan penyidikan tindak pidana asalnya. Ditegaskan pula dalam penjelasan Pasal 74 UU PTPPU, jika KPK dapat melakukan penyidikan. Namun, dalam UU PTPPU tersebut tidaklah diatur jika KPK berwenang melakukan penuntutan TPPU, dan ditegaskan dalam Pasal 51 ayat 2 UU KPK, penuntut adalah penuntut yang melakukan penuntutan tindak pidana korupsi. Pertanyaan saya, apakah legal penuntutan yang dilakukan oleh KPK, di mana dasar hukum formalnya tidak ada? Thanks, mohon jawabannya.

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt524e7c3ec3d63/lt524e7ca5cfe20.jpg
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) dalam menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang (“TPPU”) memang tidak diatur secara eksplisit dalamUU No. 10 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU PPTPPU”). Namun, Pasal 74 UU PPTPPU dalam penjelasannya memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyidikan TPPU yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Kemudian, Pasal 75 UU PPTPPU memberikan kewenangan kepada penyidik, dalam hal ini KPK, untuk menggabungkan penyidikan perkara korupsi dan TPPU sekaligus.
 
Penggabungan ini sejalan dengan Asas Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) yaitu asas peradilan yang dilakukan secarasederhana, cepat, dan biaya ringan. Jika perkara ini dipisah dan dituntut oleh 2 instansi yang berbeda, misal KPK dan Kejaksaan, maka: pertama,hal itu bertentangan dengan asas Kekuasaan Kehakiman; kedua, dapat menghambat proses penegakan hukum, serta; ketiga, yang lebih berbahaya, memperumit tersangka/terdakwa dan melalaikan haknya untuk mendapat peradilan yang dilakukan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal ini karena dalam prosesnya tersangka/terdakwa perlu menjalani berkali-kali pemeriksaan di tahap pra-sidang dan persidangan dengan adanya pemisahan penyidikan dan penuntutan. Poin penting tentang asas tersebut kembali ditegaskan pada Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakimanyang menyatakan:
 
Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”
 
Jaksa KPK menuntut perkara korupsi yang digabung dengan TPPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal 6 huruf a UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pengadilan Tipikor”) bahwa Pengadilan Tipikor berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Dengan menerima tuntutan dari Jaksa KPK terhadap perkara korupsi dan TPPU, meski tidak diatur secara eksplisit kewenangan menuntut KPK, Pengadilan Tipikor dilarang menolak perkara tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman bahwa:
 
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
 
Pengadilan Tipikor dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tunduk pada asas Kekuasaan Kehakiman yang disebut sebelumnya.
 
Hingga saat ini, beberapa perkara korupsi dan TPPU yang dituntut KPK diterima oleh Pengadilan Tipikor dan ini menjadi "yurisprudensi". Misalnya, perkara Wa Ode Nurhayati, dan Djoko Susilo yang diputus bersalah setelah hakim memeriksa dan mengadili tuntutan yang diajukan Jaksa KPK. Meski Indonesia tidak menganut yurisprudensi yang ketat seperti negara-negara dengan sistem Common Law, putusan terdahulu seringkali menjadi rujukan untuk menentukan permasalahan hukum serupa. Kondisi ini didukung pula oleh kebijakan Mahkamah Agung ingin menjaga konsistensi putusan dengan diberlakukannya sistem kamar berdasarkan Keputusan Ketua MA RI No: 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung.
 
Dasar hukum:
4.    Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No: 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung
 

Jika Menyiarkan Foto-foto Mesra dengan Istri Orang Lain

Pertanyaan:
Salam redaksi. Dua tahun lalu saya pernah berhubungan singkat hanya sebatas bermesraan dengan istri orang lain berinisial I. Kemudian, saya jadian berhubungan dengan kakak perempuan I berinisial L, dan resmi menjalin hubungan layaknya suami-istri. Ternyata kekasih saya si L ada hubungan gelap dengan laki-laki baru yang dikenalkan adiknya si I. Karena saya terbakar cemburu, saya menjadi gelap mata dan memberikan foto-foto saya yang sedang bermesraan dengan I dua tahun lalu kepada suami I, karena saya anggap I telah "meracuni" kekasih saya. Yang menjadi pertanyaan saya; tuntutan apa yang bakal saya hadapi dan bagaimana solusinya? Terima kasih.

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Kami kurang mendapat penjelasan terkait media apa yang Anda gunakan saat memberikan foto-foto tersebut. Apakah Anda menggunakan media elektronik atau foto dalam bentuk hasil cetak?
 
Jika Anda mengirimkan foto tersebut melalui media elektronik, Anda dapat terjerat dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE:
 
Pasal 27 ayat (1) UU ITE:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
 
Pasal 27 ayat (3) UU ITE:
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
 
Pelanggaran Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).sebagaimana terdapat dalamPasal 45 ayat (1) UU ITE. 
Sedangkan jika Anda mengirimkan foto tersebut dalam bentuk hasil cetaknya, Anda dapat terjerat Pasal 310 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
 
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
 
Mengenai pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa supaya dapat dihukum dengan pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu” dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzinah, dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu perbuatan yang memalukan, misalnya menuduh bahwa seseorang pada suatu waktu tertentu telah masuk melacur di rumah persundalan; ini bukan perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi cukup memalukan bagi yang berkepentingan bila diumumkan. Jika dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat” dan dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP.
 
Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan bahwa kejahatan menista ini tidak perlu dilakukan di muka umum, sudah cukup bila dapat dibuktikan bahwa terdakwa ada maksud untuk menyiarkan tuduhan itu.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.