Translate

Senin, 11 Maret 2013

Dekrit Presiden 5 Juli 1959


Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(Dialihkan dari Dekrit Presiden)
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden
Indonesia yang pertama, Soekarno pada 5 Juli 1959. Isi dekrit ini adalah
pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan penggantian undangundang
dasar dari UUD Sementara 1950 ke UUD '45.
[sunting] Pranala luar
Konstituante
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(Dialihkan dari Badan Konstituante)
Konstituante adalah lembaga negara Indonesia yang ditugaskan untuk
merumuskan Undang-Undang Dasar atau konstitusi baru. Pada saat
pembentukannya, Indonesia masih memiliki UUD Sementara.
Pada tahun 1955, Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota-anggota
konstituante.
Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959, setelah lama gagal merumuskan konstitusi yang baru. Kegagalan ini
disebabkan karena kesulitan mencapai 2/3 dari para anggota Konsituante untuk
menyetujui rumusan UUD yang ada.
Kategori: Sejarah Indonesia
Dekrit Presiden
Oleh Alwi Shahab
Sampai kini masih bergulir kemungkinan Presiden Abdurahman mengeluarkan dekrit. Kabar terakhir
menyebutkan, ia telah memberikan batas waktu satu minggu kepada DPR/MPR untuk merundingkan
materi SI MPR agar tidak sampai keluar dekrit. Syaratnya, agar SI MPR nantinya tidak menyinggungmenyinggung
hubungan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Sejauh ini, mayoritas masyarakat menolak keras dikeluarkan dekrit Presiden, yang oleh banyak pihak
dinilai hanya untuk mempertahankan kedudukan Gus Dur. Berlainan dengan situasi ketika Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959. Waktu itu, Bung Karno mengeluarkan dekrit karena tidak
punya pilihan lain. Menkopolsoskam Susilo Bambang Yudhoyono sendiri, sebelum diminta mundur oleh
Gus Dur dari jabatannya menganggap tidak perlu sampai dikeluarkannya dekrit Presiden. Bahkan, ia
meminta agar semua pihak wajib menghormati proses politik/demokrasi di DPR. Sebelumnya KSAD dan
jajaran ABRI lainnya menolak bila diberlakukannya keadaan darurat militer.
Sejauh ini, hanya massa NU, khususnya dari Jawa Timur, yang hingga kini* menuntut dikeluarkannya
dekrit Presiden, bubarkan parlemen dan partai Golkar. Tuntutan ini didukung oleh PRD, Front Nasional
Perjuangan Buruh Indonesia, Forkot, Pamret dll, yang akhir-akhir ini hubungannya makin 'mesra' dengan
NU. Tapi tidak demikian dengan NU di daerah-daerah lain, khususnya Jakarta yang sangat menjauhi
PRD dan kelompok mahasiswa 'kiri' lainnya.
Baiklah, kita kembali ke situasi negara yang menyebabkan Bung Karno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959
untuk kembali ke UUD 1945. Ketika itu berlaku UUDS sejak 1950. Ketika Bung Karno memberlakaukan
dekrit 5 Juli 1959, negara dalam keadaan darurat perang (SOB). SOB diberlakukan sejak 14 Maret 1957.
Dikeluarkan atas usul KSAD Mayjen TNI AH Nasution yang disetujui Presiden. SOB diberlakukan hanya
beberapa jam setelah jatuhnya kabinet Ali II, kabinet pertama hasil Pemilu 1955. Hasil pemilu dengan
parlemen baru yang mewakili 28 partai dibandingkan 20 partai sebelumnya, tidak mengakibatkan
membaiknya keadaan. Padahal rakyat berharap melalui Pemilu keadaan negara akan membaik.
Saat berlakunya UUD Sementara, Indonesia menganut sistem demokrasi liberal atau sistem parlementer.
Sistem yang mengakibatkan kabinet jatuh bangun selama belasan kali.
Sementara konstituante (MPR) hasil pemilu pertama, yang mulai bersidang di Bandung pada 10
Nopember 1956, selama hampir tiga tahun gagal menelorkan UU. Bahkan, Konstituante seolah-olah
menjadi ajang perdebatan yang bertele-tele, tanpa akhir dan juga tanpa hasil. Sementara pemberontakan
di daerah-daerah terjadi. Dimulai dengan diproklamirkannya PRRI di Padang pada 15 Pebruari 1958.
Setelah 10 Pebruari 1958 PRRI mengeluarkan ultimatum minta agar kabinet Juanda mengundurkan diri.
Kemudian digantikan dengan kabinet Hatta atau Sultan Hamengkubuwono IX. Berlanjut dengan
pemberontakan Permesta di Sulawesi. Pada waktu bersamaan masih terjadi gangguan keamanan oleh
DI/TII di Jawa Barat dan Ibnu Hajar di Kalimantan. Yang menyebabkan sebagian besar Tanah Air dalam
keadaan tidak aman.
Anjuran Presiden Soekarno kembali ke UUD 1945 disampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia pada 22
April 1959. Begitu antuasiasnya rakyat menyambut anjuran ini, hingga terjadi petisi dan demo-demo yang
menyatakan dukungan di seluruh Tanah Air. Pokoknya selama lebih dari tiga bulan terjadi berbagai demo
besar-besaran menuntut kembali ke UUD 45.
Tapi, karena konstituante tidak mencapai kata sepakat untuk kembali ke-UUD 45, maka Bung Karno pun
mengeluarkan dekrit. Membubarkan lembaga tertinggi negara itu dan menyataka tidak berlaku lagi
UUDS. Dalam kerit dinyatakan bahwa ia dikeluarkan dengan dukungan masyarakat luas dan dalam
keadaan terpaksa. Sebagai satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi 1945. .
Jauh sebelum mengeluarkan dekritnya, sebenarnya Bung Karno sering mengeluarkan pernyataan untuk
kembali ke UUD 45, yang menurutnya, sejak 1950 telah kita khianati.
''Berilah bangsa kita satu demokrasi yang tidak jegal-jegalan. Sebab demokrasi yang membiarkan seribu
macam tujuan bagi golongan atau perorangan akan menenggelamkan kepentingan nasional dalam arus
malapeta.'' Ujar Bung Karno yang menyatakan ketidak senangannya terhadap demokrasi liberal. Yang
dikemukakan dalam pidato 17 Agustus 1957. Yang ia namakan 'Tahun Penentuan' (//A Year of
Decision//). Setahun kemudian (1958) kritiknya makin pedas terhadap demokrasi liberal berdasarkan
UUDS. Yang dinilai sebagai demokrasi dengan politik rongrong merongrong, rebut merebut, jegal
menjegal dan fitnah memfitnah. Ia menamakan pidatonya itu sebagai 'Tahun Tantangan' (//A Year of
Challenge//).
Setelah kembali ke UUD 1945, pidato 17 Agustus 1959 dinamakan: 'Penemuan Kembali Revolusi Kita'
(//The Rediscovery Our Revolution//). Yang dikukuhkan MPRS jadi Manipol.
()

DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA


Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB
pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)
Mukadimah
Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia,
Menimbang, bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap nikmat kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat biasa,
Menimbang, bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum, supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan,
Menimbang, bahwa pembangunan hubungan persahabatan di antara negara-negara perlu ditingkatkan,
Menimbang, bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menegaskan kembali kepercayaan mereka pada hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan nilai seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama dari laki-laki maupun perempuan, dan telah memutuskan akan mendorong kemajuan sosial dan tingkat hidup yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas,
Menimbang, bahwa Negara-negara Anggota telah berjanji untuk mencapai kemajuan dalam penghargaan dan penghormatan umum terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebesan yang asasi, dalam kerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Menimbang, bahwa pemahaman yang sama mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut sangat penting untuk pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari janji tersebut,
maka dengan ini,
Majelis Umum,
1
Memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, akan berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannnya yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari Negara-negara Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka.
Pasal 1
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.
Pasal 3
Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu.
Pasal 4
Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.
Pasal 5
Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina.
Pasal 6
Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.
Pasal 7
Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.
Pasal 8
Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum. 2
Pasal 9
Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang.
Pasal 10
Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.
Pasal 11
(1) Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang perlukan untuk pembelaannya.
(2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu tindak pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukum yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.
Pasal 12
Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini.
Pasal 13
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara.
(2) Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya.
Pasal 14
(1) Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran.
(2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul karena kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 15
(1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
(2) Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya.
Pasal 16
(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.
(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.
3
(3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara.
Pasal 17
(1) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
(2) Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena.
Pasal 18
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.
Pasal 20
(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan.
(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan.
Pasal 21
(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negeranya.
(3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.
Pasal 22
Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap negara.
Pasal 23
(1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran.
(2) Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama.
(3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya.
(4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.
4
Pasal 24
Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan-pembatasan jam kerja yang layak dan hari liburan berkala, dengan tetap menerima upah.
Pasal 25
(1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.
(2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.
Pasal 26
(1) Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan.
(2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta untuk mempertebal penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.
(3) Orang tua mempunyai hak utama dalam memilih jenis pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.
Pasal 27
(1) Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan.
(2) Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungan-keuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya.
Pasal 28
Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Deklarasi ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.
Pasal 29
(1) Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satu-satunya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan bebas dan penuh.
(2) Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
5
(3) Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 30
Tidak sesuatu pun di dalam Deklarasi ini boleh ditafsirkan memberikan sesuatu Negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam kegiatan apa pun, atau melakukan perbuatan yang bertujuan merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini.
6

PENEGAKAN HUKUM DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN DAN ANAK YANG MENJADI KORBAN TRAFFICKING


Oleh Riza Nizarli,S.H.,M.H.2
A. Pendahuluan
Masalah perdagangan perempuan dan anak atau dikenal dengan istilah human trafficking akhir-akhir ini
muncul menjadi suatu masalah yang banyak diperdebatkan baik ditingkat regional maupun global dan dikatakan
sebagai bentuk perbudakan masa kini serta melanggar HAM. Sebenarnya perdagangan manusia bukanlah hal
baru, namun baru beberapa tahun belakangan, masalah ini muncul ke permukaan dan menjadi perhatian tidak
saja pemerintah Indonesia, namun juga menjadi masalah transnasional.
Perdagangan manusia merupakan bagian kelam bangsa Indonesia, artinya persoalan trafficking manusia
adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Namun demikian, persoalan trafficking belum mendapat perhatian yang
memadai untuk diatasi, hal ini sering menjadi sensualitas pemberitaan di media massa yang berusaha untuk
menarik perhatian pihak-pihak yang berwenang. Kemudia ketika kasus ini masuk ke pengadilan, pelaku sering
mendapat ganjaran hukuman yang ringan, sementara aktor intelektualnya tidak tersentuh oleh aparat penegakan
hukum.
Berbagai latar belakang dapat dikaitkan dengan meningkatnya masalah perdagangan perempuan dan
anak seperti; lemahnya penegakan hukum, peraturan perundang-undangan yang ada, peran pemerintah dalam
penaganan maupun minimnya informasi tentang trafficking.
Jika kita berbicara tentang penegakan hukum, maka kita sejak lahir bahkan anak yang masih dalam
kandungan hingga mati selalu berurusan dengan hukum, tidak ada waktu dan tempat yang terlewatkan dari
sentuhan hukum. Begitu banyak aturan yang memperlakukan persyaratan dan prosedur hukum, dari masalah
membuang sampah, keparkiran sampai masalah kelembagaan di tingkat nasional bahkan internasional.
Manakala orang awam ditanyakan tentang hukum ingatannya tertuju pada bangunan pengadilan, sosok
hakim, advokat, juru sita dan polisi. Undang-undang tidak pernah diketahuinya, didengarnya apalagi membaca di
Lembaran Negara, namun pada umumnya pernah berada di ruang sidang pengadilan3 sedangkan mengenai
trafficking banyak orang belum memahaminya walaupun dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi.
Dalam rangka pemberantasan berbagai kejahatan yang marak seperti trafficking, pelanggaran HAM,
korupsi, pencucian uang, narkotika dan lain sebagainya, berbagai pihak mengeluhkan penegakan hukum yang
dilakukan. Berbagai media massa memberitakan aparat hukum terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap.
Menghadapi kebobrokan hukum dan peradilan ini membuat masyarakat menjadi tidak bermoral (normless) dan
tidak mempercayai hukum (losing trust). Hukum seolah-olah dapat dimainkan, diplintir, bahkan hanya berpihak
pada mereka yang memiliki status sosial tinggi.4 Keadaan yang demikian membuat penegakan hukum semakin
sulit dilakukan. Tidak terlalu berlebihan bila berbagai kalangan menilai penegakan hukum lemah dan telah
kehilangan kepercayaan dari masyarakat termasuk dalam trafficking perempaun dan anak. Masyarakat menjadi
apatis, mencemohkan dan dalam keadaan tertentu kerap melakukan proses pengadilan jalanan (street justice).
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalan
kehidupan masyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan proses penegakan hukum sebagaimana dimaksudkan
di atas, dibutuhkan suatu organisasi yang cukup kompleks, tanpa adanya organisasi tersebut (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) hukum tidak dapat dijalankan dalam masyarakat.
Keempat elemen tersebut di atas merupakan intrumen hukum pidana yang sangat penting dalam kerangka
penegakan hukum, karena itu harus dapat menjalin hubungan kerjasama untuk dapat dikatakan integrated
criminal justice system.
Jika berbicara tentang trafficking maka korban yang paling rentan adalah perempuan dan anak, terutama
dari keluarga miskin, perempuan dari pedesaan, perempuan dan anak putus sekolah yang mencari pekerjaan.
1 Disampaikan pada Workshop, Penguatan Materi tentang Konsep HAM Perempuan dan Gender dalam Mata Kuliah di Fakultas Hukum dan
Syar’iah , kerjasama Fakultas Hukum Unsyiah dengan The Asia Foundation, Hotel Polonia, Medan, tanggal 15-17 Juli 2006
2 Dosen Fak.Hukum Unsyiah/Unmuha, Staf Unit Kajian Hukum Humaiter dan HAM FH. Unsyiah, Ketua Bid. Advokasi Lembaga
Perlindungan Anak Prov.NAD.
3M Laica Marzuki, “Membangun Sistem Penegakan Hukum Yang Akuntabel, Jurnal Keadilan, Vol.4.No.2,2005/2006:7
4 Hikmahanto Yuwana ”Penegakan Hukum Dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen Bagi Solusi di Indonesia”,
Pidado Ilmiah, disampaikan pada Dies Natalis Ke-56 UI, 4 Pebruari 2006 , Depok, hal. 1.
2
Oleh karena itu penegakan hukum terhadap pelaku trafficking perlu adanya kerjasama dengan berbagai instansi
penegak hukum
Trafficking perempuan dan anak memiliki pengertian yang berbeda dengan perdagangan perempuan dan
anak. Perdagangan perempuan dan anak adalah sebuah transaksi penjualan antara penjual dan pembeli dengan
harga yang telah disepakati. Sedangkan trafficking merupakan paksaan, penipuan, ancaman kekerasan serta
penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi.
Fenomena perdagangan perempuan dan anak sudah lama berkembang di berbagai negara, seperti; Saudi
Arabia, Jepang, Malaysia, Hongkong Taiwan, Singapura dan termasuk juga Indonesia. Tidak ada Negara yang
kebal terhadap trafficking, setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki, perermpuan dan anak
diperdagangkan menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional5.
Report dari pemerintahan AS memperkirakan lebih dari seperuh dari para korban yang diperdagangkan
secara internasional diperjual-belikan untuk eksploitasi seksual.6 Menurut PBB perdagangan manusia ini adalah
sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan 9,5 juta US$ dalam pajak tahunan
menurut itelijen AS. Perdangan manusia juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang paling
menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian uang (money laundring), perdagangan narkoba, pemalsuan
dokumen dan penyeludupan manusia. Hal ini merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri dan perdagangan ini
tidak lagi terbatas pada batas wilayah negara melainkan berlangsung lintas batas. Pola perdagangannyapun
mengalami perubahan, tidak lagi hanya dilakukan oleh perseorangan melainkan sindikat-sindikat terorganisir yang
disinyalir memiliki kegiatan illegal lainnya seperti penjualan obat-obatan adiktif dan senjata.
Menurut catatan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, daerah yang memiliki kasus traficking
tertinggi di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Namun tidak
berarti wilayah lain "bersih". Jawa tengah, Lampung, Sumatera Utara, dan Nusa tenggara Timur adalah wilayah
lain yang potensial. Sedangkan Jakarta, Riau, Batam, Bali, Balikpapan, dan Papua dikenal sebagai daerah
tujuan perdagangan orang, khususnya untuk keperluan eksploitasi seksual.
Di Provinsi NAD pasca Tsunami juga dikejutkan dengan adanya berita di media massa yang mengatakan
bahwa sebanyak 300 anak korban Tsunami telah di bawa ke luar Aceh secara diam-diam dan beberapa kasus
lainnya diperdagangkan ke Riau dan Medan.
Dalam kenyataannya di masyarakat dapat disaksikan begitu banyak peristiwa yang menimpa anak-anak
sehingga merenggut masa kecilnya dan bahkan masa depannya. Hal ini dapat dilihat di kota-kota besar dengan
adanya praktek eksploitasi terhadap anak yang dijadikan pengemis, pengamen jalanan, pekerja anak, pekerja seks
komersial, diperdagangkan dan sebagainya.
Berbagai kasus perempuan dan anak yang diperdagangkan seringkali mereka dipekerjakan di sektor yang
berbahaya, pekerjaan terlarang, kurir narkoba, untuk kerja paksa, pembantu rumah tangga, korban ekploitasi
seksual dalam pornografi, prostitusi dan tidak jarang anak diperdagangkan untuk kepentingan adopsi atau
dimanfaatkan organ tubuhnya untuk kepentingan medis bagi transplantasi untuk orang-orang kaya yang
membutuhkan7.
Berkaitan dengan perkembangan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) hak-hak asasi anak kembali
menjadi perhatian yang selama ini belum mendapat perhatian serius mengingat masih banyaknya kasus-kasus
yang menimpa anak Indonesia. Dalam laporan Deplu AS mengenai traficking in person, bersama 22 negara
lainnya Indonesia termasuk negara yang menjadi sumber trafficking, baik untuk kepentingan dalam negeri maupun
manca Negara.
Menurut laporan American Center for International Labor Solidarity (ACILS) dan Jaringan Penanggulangan
Anak Indonesia (JARAK), khusus untuk Propinsi Jawa Timur, daerah yang rawan dan potensi terjadinya women
and child trafficking adalah Bayuwangi, Malang, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek. Aparat Kepolisian Surabaya
berhasil mengungkapkan praktek perdagangan anak perempuan yang dipaksakan bekerja di sektor prostitusi8 dan
di Lampung lebih memprihatinkan lagi, bahwa trafficking anak perempuan dilakukan oleh orang tua kandungnnya
sendiri karena ekonomi. Kasus perdagangan anak yang lebih tragis pernah juga terjadi di Lampung dan di
5Laporan Perdagangan Manusia, Deplu AS, 14 Juni 2004.
6 Lihat Report ADB yang menyatakan palin tidak sebanyak satu s.d dua juta jiwa diestimasi telah diperjual-belikan setiap tahun di seluruh dunia.
Sebagaian besar penjualan orang berasal dari negara miskin 150.000 dari Negara Asia Barat dan 225.000 dari Negara Asia Tenggara.
7Riza Nizarli, ”Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak, ”Makalah disampaikan pada Seminar tentang HAM Anak kerjasama Depkeh HAM Prov.NAD
dengan Unicef, 21 Juli 2004.
8Kompas, 27 Juli 2002
3
Kalimatan Barat, anak-anak diperdagangkan untuk diadopsi; yakni menghilangkan identitas keturunan dan
keluarga anak yang bersangkutan.
Oleh karena itu perlu adanya penegakan hukum yang tegas, karena negara mempunyai kewajiban dan
bertanggungjawab untuk mencegah, menginvestigasi, dan menghukum tindakan perdagangan perempuan dan
anak, serta menyediakan perlindungan bagi para korban. Menurut Deklarasi Hak Asasi Manusia serta beberapa
instrument Internasional lainnya. Pemerintah bertanggungjawab dengan menegakkan hukum untuk memberi
perlindungan kepada orang-orang yang diperdagangan, wajib bertindak secermat-cermatnya untuk mencegah,
menginvestigasi, dan menghukum pelanggaran HAM dan memberikan penyembuhan dan ganti rugi kepada
korban pelanggaran.
Akhir-akhir ini pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan untuk mengurangi bahkan menghapuskan
bentuk-bentuk kejahatan ini. Pada tahun 2002, berdasarkan Keppres No. 88/2002, pemerintah mengeluarkan
RAN Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A). Di samping itu pemerintah juga telah
menyerahkan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUUTPO) ke DPR di samping
telah menyiapkan RUUKHUP yang salah satu bagiannya mengatur mengenai kejahatan Perdaganaga Manusia
Perdagangan perempuan dan anak telah dikriminalisasi (proses penetapan menjadi suatu tindak pidana)
dalam hukum Indonesia, tetapi tidak ada definisi resmi tentang perdagangan perempuan dan anak di dalam Pasal
297 KUHP atau di dalam Undang-undang HAM Nomor 39 Tahun 1999, sehingga dalam praktiknya pasal-pasal ini
sulit untuk digunakan.
B. PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK SEBAGAI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
Fenomena Perdagangan Manusia khususnya anak dan perempuan atau dikenal dengan istilah Trafficking
bukanlah merupakan hal yang asing lagi dewasa ini. Traffiic dalam Edisi kedelapan Black’s Law Dictionary adalah
To trade or deal in goods, illicit drugs or other contraband.9 Perdagangan manusia ini diartikan sebagai suatu
fenomena perpindahan orang atau sekelompok orang dari satu tempat ketempat lain, yang kemudian dibebani
utang untuk biaya proses berimigrasi ini.10
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 297 menyebutkan, “Perdagangan wanita
dan anak laki-laki yang belum cukup umur dipidana selama-lamanya enam tahun”. Pasal ini tidak menyebutkan
dengan jelas pengertian dari perdagangan itu sendiri. Pasal tersebut juga tidak melarang perdagangan perempuan
muda, anak perempuan dan anak laki-laki dewasa. Karena itu tidak ada penjelasan oleh Negara mengenai
pengertian dari “perdagangan” dalam Pasal 297 KUHP tersebut, maka Indonesia tidak memiliki definisi resmi
mengenai apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia.11
Dalam Pasal 10 laporan HAM yang dilaporkan oleh Pelapor Khusus Kekerasan Terhadap Perempuan
dikemukakan sebagai berikut, “Saat ini tidak ada definisi perdagangan yang secara internasional disetujui.
Terminologi trafficking dipakai oleh berbagai aktor untuk menggambarkan berbagai aktivitas yang berkisar mulai
dari sukarela, migrasi yang difasilitaskan hingga ke eksploitasi pelacuran, ke perpindahan manusia oleh ancaman,
paksaan, kekerasan dan sebagainya yang tujuan dan sifatnya eksploitatif.12
Mengingat masalah trafficking sebagai masalah yang serius, maka pada tahun 1994 Sidang Umum PBB
menyetujui Resolusi menentang perdagangan perempuan dan anak, yaitu:
Pemindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melawan hukum, terutama
dari Negara berkembang dan dari Negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak
perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secar seksual dan ekonomi, sebagaimana juga
tinduk illegal lainnya, yang berhuhungan dengan perdagangan perempuan seperti pekerja paksa domestik, kawin
palsu, pekerja gelap dan adopsi palsu demi kepentingan perekrut, pedagang, dan sindikat kejalhatann.(Rachmad
Syafaat, 2002:12)
Pengertian perdagangan perempuan yang paling sering digunakan adalah pengertian yang diberikan oleh
Protokol Perdagangan Manusia.
9 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief 2004, hal. 1534.
10 Ruben Achmad, “Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Perdagangan Manusia”, Makalah, Disampaikan pada seminar BKS-PTN Bidang
Ilmu Hukum di Pontianak, 5 oktober, 2004, hal. 1.
11Ibid, hal. 2.
12 Kutipan dari laporan Pelapor Khusus Kekerasan terhadap Perempuan di sesi ke-56 Komisi HAM, http://www.kompas.comcetak/
0209/16/dikbud/perd36.htm.
4
Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahtanganan, penampungan atau
penerimaan orang, dengan menggunakan cara-cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau berbagai
bentuk paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
penyulahgunaan posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan bayaraan atau keuntungan lain guna
mendapat persetujuan dari seseorang yang mempunyai kendali terhadap orang lain, untuk kepentingan
eksploitasi.
Eksploitasi mencakup, sedikitnya eksploitasi prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya,
kerja paksa, perbudakan atau praktik praktik sejenisnya perhambaan atau pengambilan organ-organ
tuhuh.13
Pada Sidang Umum 1995, Sekretaris Jendral PBB dalam laporannya menfokuskan pengertian perdagangan
perempuan pada kegiatan untuk tujuan prostitusi dengan memasukkan aspek lain yaitu kerja paksa dan penipuan
.
Bentuk perdagangan perempuan dan anak tidak hanya terbatas pada prostitusi paksaan atau perdagangan
seks, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk eksploitasi, kerja paksa dan praktek seperti perbudakan di beberapa
wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan. Berbagai bentuk kekerasanpun dialami
oleh para korban, seperti kekerasan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami baik sejak saat perekrutan
maupun pemilik tempat kerja.
Eksploitasi dapat meliputi, paling tidak adalah:
1. Eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual;
2. Kerja atau pelayanan paksa;
3. Perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan;
4. Penghambaan;
5. Pengambilan organ-organ tubuh.14
Lebih lanjut dalam Pasal 3 sub-paragraf (a) Lampiran II-Protokol Perdagangan Manusia Palermo (The
Palermo Trafficking Protocol) (2000), mengurai definisi dari perdagangan manusia secara lebih rinci, yakni:
(a) Perdagangan Manusia” adalah perekrutan, pengangkutan, transpor, penyembunyian, dan penerimaan
orang dengan ancaman, atau menggunakan kekerasan atau bentuk pemaksaan lainnya, penculikan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi rentan atau
memberikan atau menerima pembayaran, atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang
memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Pada sub paragraf (c) dijelaskan,“ Perekrutan, transportasi, transfer, penyembunyian atau penerimaan
seorang anak untuk maksud eksploitasi harus dianggap memperdagangkan manusia bahkan bila hal ini tidak
melibatkan semua cara yang disebutkan dalam sub paragraf (a) Pasal ini”.
Protokol tersebut memuat definisi trafficking yang cukup komprehensif, yaitu sebagai “perekrutan,
pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, atau penggunaan
kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau menfaat untuk memperoleh izin dari orang yang
punya wewenang atas orang lain untuk tujuan eksploitasi”. Menurut Rheny Wahyuni Pulungan, eksploitasi yang
menjadi tujuan dari segala bentuk perdagangan manusia setidak-tidaknya akan meliputi eksploitasi dalam bentuk
pemelacuran orang lain atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupai perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.15
Menurutnya, unsur-unsur perdagangan anak meliputi:
1. Adanya proses rekruitmen dan pemindahan manusia;
2. Berlakunya cara-cara pemaksaan;
3. Termasuk ancaman akan terjadinya pemaksaan atau kekerasan, penipuan atau;
4. Penyalahgunaan kekuasaan;
13 Komnas Perempuan, Edisi : 9/IX/Jan/2003
14 Ann Jorda, The Annotated Guide to the Complete UN Trafficking Protocol, International Human Rights law Group, Washington D.C, May, 2002,
http://www.hrlawgroup.prg/resources/content/Traff_AnnoProtocol.pdf., diakses tanggal 22 April 2006.
15 Rheny Wahyuni Pulungan, “Penanggulangan Kejahatan Perdagangan Perempuan dan Anak”, Makalah, Disampaikan dalam Semiloka Strategi
Penanggulangan kejahatan Lintas Batas, Fakultas Hukum Universitas Tanjung Pura, Pontianak, tanggal 5-6 Oktober 2004 hal. 5.
5
5. Adanya tujuan akhir yang bersifat eksploitatif.
Adapun tujuan akhir yang bersifat eksploitatif itu dapat berupa:
1. Prostitusi atau tujuan seksual;
2. Pekerja Rumah Tangga (PRT);
3. Prostitusi dan pornografi;
4. Pekerja jermal (pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan);
5. Pengemis;
6. Adopsi di daerah-derah konflik;
7. Perkawinan;
8. Perdagangan obat/drug;
9. Buruh perkebunan;
10. Eksploitasi seksual oleh fedopil.16
UNICEF mendefinisikan perdagangan anak adalah tindakan perekrutan, transportasi, transfer,
menyembunyikan atau menemui seorang anak dengan tujuan untuk eksploitasi baik di dalam maupun diluar suatu
negara.17
Pada Pasal 3 huruf (a) Konvensi ILO No. 182 menyebutkan bahwa bentuk terburuk pekerjaan untuk anak
didefinisikan sebagai segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan
perdagangan anak, kerja ijin dan perhambaan, wajib kerja atau kerja paksa, termasuk pengerahan anak secara
wajib atau paksa untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata.
Selanjutnya Konvensi ILO No. 182 melarang adanya perbudakan, penjualan dan perdagangan anak-anak,
kerja paksa dan kerja ijon (termasuk pengerahan anak-anak dalam konflik bersenjata), serta penyediaan, atau
pemanfaatan anak-anak untuk pelacuran, pornografi, obat-obatan terlarang, dan pekerjaan, yang karena
hakekatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilaksanakan, mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan
atau moral anak-anak18.
Pasal 2 Optional Protocol to the CRC on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography
(2000) atau Protokol Opsional terhadap Konvensi Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Pelacuran Anak, dan
Pornografi Anak (2000), selanjutnya disebut Protokol Opsional KHA Tahun 2000, mengartikan penjualan anak
adalah segala tindakan atau transaksi di mana seorang anak ditransfer oleh segala orang atau kelompok orang ke
orang lain untuk mendapatkan imbalan atau pertimbangan lainnya. Dalam hubungannya dengan Pasal 3 Protokol
Palermo, dan Konvensi ILO No. 182, hal ini berarti bahwa perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan
atau menerima seorang anak di bawah usia 18 tahun untuk tujuan pelacuran dan pornografi harus dianggap
sebagai perdagangan manusia.
Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM berat terhadap
perempuan, karena di dalamnya ada unsur ancaman, penyiksaan, penyekapan, kekerasan seksual, sebagai
komoditi yang dapat diperjual belikan, yang semuanya merupakan pelanggaran terhadap HAM. Dalam situasi
perempuan dan anak yang diperdagangkan, hak-hak mereka terus dilanggar, karena mereka kemudian ditawan,
dilecehkan dan dipaksa untuk bekerja di luar keinginan mereka. Mereka ditempatkan dalam kondisi seperti
perbudakan, tidak lagi memiliki hak untuk menemukan nasib sendiri, hidup dalam situasi ketakutan dengan rasa
tidak aman. Bahkan kadang diperburuk oleh keadaan ketika dia tidak memiliki identitas yang jelas, sehingga
mereka takut meminta bantuan kepada pihak yang berwenang karena takut diusut dan dideportasi. Juga status
sosial mereka menyebabkan mereka dilecehkan oleh majikan.
Eksploitasi perempuan dlan anak-anak oleh industri seks lokal maupun global adalah petanggaran
hak asasi manusia karena jelas telah mereduksi tubuh mereka menjadi komoditi. Sementara itu,
perdagangan perempuan clan anak-anak telah dianggap sebagai "kenikmatan" bagi para pengguna jasa
seks dan sebagai sumber penghasilan bagi mereka yang bergerak di dalam industri seks, prostitusi,
perdagangan perempuan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan bisnis. Pada dasarnya,
perdagangan perempuan dan anak-anak ini merupakan bentuk kekerasan seksual clan menempatkan
perempuan dan anak-anak dalam suatu kondisi fisik clan mental yang sangat merusak dan tergradasi.
16 Ibid, hal. 5
17 UNICEF, Pedoman Untuk Perlindungan Hak-Hak Anak Korban Perdagangan Manusia, UNICEF, 2003, hal. 1.
18 Ibid, hal.27.
6
Dalam Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia 1948 ditegaskan, bahwa "setiap orang dilahirkan
mempunyai hak akan kehebasan dan martabat yang setara". Penegasan ini merupakan simbol suatu kehidupan
bermasyarakat dengan suatu visi tentang perlunya menghormati kemanusiaan setiap orang tanpa membedakan
ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa dan jenis kelamin. Dengan demikian perempuan dan anak
berhak memperoleh perlindungan hak asasi manusia.
Perdagangan perempuan dan anak merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM, karena melanggar;
1. Hak atas kehidupan
2. Hak atas persamaan
3. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi
4. Hak atas perlindungan yang sama di muka umum
5. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya
6. Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik
7. Hak untuk pendidikan lanjut
8. Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara
tidak manusiawi yang sewenang-wenang.
Bentuk-bentuk pelanggaran HAM tersebut dapat terjadi pada saat proses perekrutan, transpotasii saat
sampai di negara tujuan, dan saat proses perdagangan. Pelanggaran yang terjadi berupa: penipuan, penyekapan,
ancaman dan penggunaan kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan pemutusan akses dengan keluarga dan/atau
bantuan jenis apapun, hak atas informasi, penyiksaan, kondisi hidup yang buruk, perempuan dipaksa melacur ,
kondisi kerja yang tidak layak, penghapusan akses ke kesehatan, penyitaan identitas dan dokumen perjalanan,
pelanggaran terhadap aspek budaya/agama, penolakan akses kebangsaan, pendidikan, perempuan dipaksa
menikah dengan orang yang tidak mereka inginkan, diskriminasi, kehilangan kontrol terhadap hidup, penyangkalan
terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. penahanan dan dipenjara/penahanan illegal dengan tuduhan
palsu, penganiayaan dan perkosaan dalam penahanan, pelanggaran dalam aspek hukum, pemaksaan
pemeriksaan dan perawatan kesehatan.19
Bentuk perdagangan perempuan dan anak tidak hanya terbatas pada prostitusi paksaan atau perdagangan
seks, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk eksploitasi, kerja paksa dan praktek seperti perbudakan di beberapa
wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan. Berbagai bentuk kekerasanpun dialami
oleh para korban, seperti kekerasan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami baik sejak saat perekrutan
maupun pemilik tempat kerja.
Perdagangan perempuan dan anak dapat terjadi di dalam atau di luar negara, tidak selalu melibatkan
penyeberangan perbatasan Negara. Sangat penting untuk disadari, bahwa perempuan dan . anak yang
diperdagangkan adalah korban yang sudah dipindahkan ke lingkungan asing, dipisahkan dari lingkungan keluarga,
masyarakat dan teman, dan dipisahkan dari jaringan pendukung fisik, emosional atau dengap bahasa atau budaya
yang dikenalnya.
Menurut GAATW (Global Alliance Against Traffic in Women) trafficking adalah :"Semua usaha atau
tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, transpotasi di dalam atau melintasi perbatasan, pembelian, penjualan,
transfer, pengiriman atau penerimaan .seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan termasuk
penggunaan utuk ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan
tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar ataupun tidak, untuk kerja yang tidak
diinginkannya (domestik, seksual atau reproduktif), dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi seperti
perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan
untuk lilitan hutang pertama kali20.
Ruth Rosenberg mengusulkan definisi perdagangan perempuan adalah seluruh tindakan yang dilakukan
dalam rangka perekrutan dan atau pengiriman orang perempuan di dalam dan ke luar negeri untuk pekerjaan
dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dominant,
penjeratan utang, penipuan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain". 5
Pengertian perdagangan perempuan tersebut mengandung arti penting, karena yang disoroti tidak hanya
proses perekturan dan pengiriman yang menentukan bagi perdagangan, tetapi juga, kondisi eksploitatif terkait ke
mana orang diperdagangkan,
19 HAM Dalam Praktek, Panduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak, 2000, hal. 33 -35 .
20 Ruth Rosenberg, Perdagangan perempuan Dan Anak Di Indonesia, 2003, hal. 13
7
Menurut Global Survival Network dalam Laporan PBB tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan anak
ada empat jenis situasi yang mengakibatkan perempuan dan anak perempuan terlibat dalam perdaganan seks,
yang juga dapat diterapkan pada bentuk-bentuk kerja yang lain yang menyebabkan perempuan bermigrasi atau
diperdagangkan:
1. Mencakup perempuan yang ditipu mentah-mentah dan dipaksa dengan kekerasan. Mereka tidak
mengetahui sama sekali kemana mereka akan pergi atau pekerjaan apa yang akan mereka lakukan.
2. Perempuan yang diberitahu separoh kebenaran oleh orang yang merekrut mereka rnengenai
pekerjaan yang akan dilakukan dan kemudian ; dipaksa bekerja untuk apa yang sebelumnya tidak
mereka setujui dan rnereka hanya mempunyai sedikit atau tidak ada samasekali pilihan lainnya.
3. Perempuan yang mendapat informasi mengenai jenis pekerjaan yang akan mereka lakukan.
Walaupun mereka tidak mau mengerjakan pekerjaan semacam itu, mereka tidak melihat adanya
pilihan ekonomi lain yang bisa mereka kerjakan.
4. Perempuan yang mendapat informasi sepenuhnya mengenai pekerjaan yang akan mereka lakukan,
tidak keberatan untuk mengerjakannya. Pada kelompok yang ke empat ini tidak ada kondisi
mengenai pekerjaan yang tidak diketahui sehingga tidak termasuk dalam perdagangan perempuan.21
I
C. KETENTUAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM HUKUM NASIONAL
Di Indonesia praktik perdagangan perempuan sebagaimana juga terjadi di negara-negara Asia Tenggara
biasanya identik dengan kekerasan dan pekerjaan-pekerjaan yang diketahui paling banyak dijadikan sebagai
tujuan perdagangan perempuan dan anak adalah : buruh migran, pekerja Seks, perbudakan berkedok pernikahan
dalam bentuk pengantin pesanan, pekerja anak, pekerja di jermal, pengemis, pembantu rumah tangga, adopsi,
pernikahan dengan laki-laki asing untuk tujuan eksploitasi, pornognafi, pengedar obat terlarang dan dijadi korban
pedofilia22
Latar belakang terjadinya perdagangan perempuan dan anak merupakan multi faktor, dan dapat dikatakan
bukanlah masalah yang sederhana, sehingga diperlukan kerjasama yang sinergi dari berbagai instansi aparat
penegak hukum. Pemberdayaan sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang dapat dilaksanakan
untuk pencegahan terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Beberapa faktor latar belakang terjadinya
perdagangan tersebut dapat disebutkan, yaitu karena :
1. Kemiskinan.
2. Pendidikan rendah.
3. Pengangguran.
4. Migrasi keluar desa dan keluar negeri.
5. Ketahanan keluarga yang rapuh.
6. Faktor ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan (gender) dan budaya patriarkhi.
7. Konsumerisme.
8. Meningkatnya permintaan. ,
9. Dorongan penyiaran dan tulisan yang porno di media massa.
10. Penegakan hukum terhadap pelaku masih belum tegas dan konsisten.
11. Kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang trafficking belum memadai.
Di dalam Hukum Nasional Indonesia upaya-upaya hukum untuk menangani kejahatan perdagangan
perempuan dan anak dilakukan dengan Pasal 296, 297, 298, KUHP, namun pasal-pasal ini cenderung tidak
mampu menjerat para pelaku perdagangan perempuan, karena cakupannya terlalu sempit dan rancu. Peraturan
yang lain adalah dalam Pasal 65 UU No 39/1999 tentang HAM.
Selain itu beberapa Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia antara lain :
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi ILO Nomor 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk Bagi Anak, Undang-Undang No 7 Tahun 1984 Tentang Ratifkasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Anak dan lain-lainnya. Selain membuat instrumen hukum Pemerintah Indonesia telah membuat
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Peremnpuan dan Anak yang ditetapkan melalui Keppres
21Laporan Pelapor Khusus PBB “tentang kekerasan Terhadap Perempuan, Perdagangan Perempuan, Migrasi, Perempnan dan Kekerasan
terhadap Perempuan” Penyebab dan Akibatnya, 29 Pebruari 2000, hal. 25
22 Kementrian Pemberdayaan Perempuan, leaflet Trafficking (Perdagangan) Perempuan Dan Anak, dliperbanyak oleh Biro Kesra Setda Jateng,
2004.
8
Nomor 88 Tahun 2002. RAN ini dimaksudkan sebagai landasan dan pedoman bagi pemerintah Indonesia dan
masyarakat dalam melaksanakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak.
Data tentang Perdagangan perempuan dan anak di Indonesia pada tahun 2002-2004 tercatat ada 562
kasus yang dilaporkan oleh 9 lembaga mencakup: 5 LSM (nasional dan internasional) dan Organisasi Perempuan,
Kepolisian (Reskrim dan RPK), Kejaksaan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. 23 Indonesia dikategorikan sebagai
negara yang tidak serius berupaya menanggulangi perdagangan perempuan bahkan sudah mendapat cap sebagai
salah satu negara terburuk dalam menangani perdagangan perempuan dan anak. Berbagai strategi telah
dilakukan oleh organisasi pemerintah maupun non-pemerintah dalam menghadapi perdagangan perempuan dan
anak. Strategi tersebut dibutuhkan baik bersifat preventif maupun represif, yaitu penguatan pada kebijakan migrasi
serta hukum pidana untuk perlindungan hukum bagi perempuan dan anak sebagai korban, serta diupayakan
penanganan sebagai korban tanpa mengesampingkan hak-haknya sebagai perempuan dan anak.
Instrumen hukum nasional yang dimiliki untuk menangani kompleksitas persoalan trafficking sangat lemah
jika hanya menggunakan Pasal 297 KUHP dan akan berdampak pada penanganan korban. Merupakan kewajiban
negara untuk memberikan perlindungan dan memastikan dilakukannya langkah dan tindakan yang tepat dalam
melakukan pencegahan, pembuatan peraturan perundang-undangan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan
pada korban.
Di dalam konvensi ILO 182 dinyatakan bahwa penjualan dan perdagangan anak sesungguhnya adalah
"Suatu bentuk perbudakan atau praktek serupa perbudakan yang pada hakekatnya sama saja dengan perbudakan
itu sendiri ". Karena itu penjualan dan perda;gangan anak termasuk salah satu bentuk terburuk Perburuhan Anak.
Konvensi ILO No. 182 ini menekankan pentingnya pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk
terburuk Perburuhan Anak. Oleh karena itu negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi ini berkewajiban
untuk menuangkannya daiam bentuk peraturan perundang-undangan dan melaksanakannya melalui programprogram
aksi yang ditujukan untuk memberantas dan mencegah bentuk-bentuk terburuk Perburuhan Anak.
Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sudah
seharusnya setiap manusia baik dewasa maupun anak-anak wajib dilindungi dari upaya-upaya
mempekerjakannya pada pekerjaan-pekerjaan yang merendahkan harkat dan martabat manusia atau
pekerjaarr yang tidak manusiawi.
Secara umum maupun khuhsus pngaturan tentang perlindungan hukum terhadap perdagangan
perempuan dan anak sudah diatur di dalam hukum positif di Indonesia, antara lain :
1. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
3. Undang-Undang Nomor 23/2004 t:entang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
4. Rancangan KUHP
Ad. 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Di dalam Pasal 297 KUHP ditentukan "Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup
umur dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) tahun". Ada beberapa hat yang perlu
dicermati terhadap ketentuan pasal tersebut :
a. Pasal ini tidak mencantumkan ancaman denda.
b. Pasal ini tidak menyebutkan dengan jelas apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia.
c. Pasal ini tidak melarang perdagangan perempuan muda, anak-anak perempuan, maupun lakilaki
dewasa.
d. Pasal ini bersifat umum, sehingga tidak mampu mewadahi kasus yang sifatnya lebih spesifik.
Ad. 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA).
Di dalam Pasal 83 disebutkan ”Setiap orang yang memperdagangkan, mrrenjual, atau menculik anak untuk
diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (limabelas) tahun dan paling
23Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004: Rumah, Pekarangan dan Kebun. Catatan tahunan Tentang kekerasan Terhadap Perempuan
2005, Komnas Perempuan 8 Maret 2005, hal 6
9
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
R.p. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari ketentuan pasal tersebut :
a. Pasal ini tidak merinci apa yang dimaksud dengan perdagangan anak dan untuk tujuan apa anak itu
dijual.
b. Pasal ini hanya mampu mengakomodasi kejahatan terhadap anak saja, akan tetapi tidak dapat
dikenakan terhadap perempuan dewasa.
c. Pasal ini cukup melindungi anak dari ancarnan penjualan anak dengan memberikan sanksi hukuman
yang lebih berat dibandingkan dengan KUHP. Jika dalam KUHP ancamannya adalah 0-6 tahun
penjara, sedangkan dalam UUPA ancamannya 3-15 tahun penjara dan denda 60-300 juta rupiah.
Ad. 3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Apabila dicermati terdapat beberapa ketentuan yaitu :
a. Perbuatan perdagangan perempuan dan anak dapat dikaitkan dengan kekerasan psikis apabila hal
itu dilakukan dalam lingkup rumah tangga, yaitu: perbuatan itu mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak , rasa tidak berdaya, dan /atau
penderitaan psikis berat pada seseorang. (Pasal 7).
b. Selain itu juga dapat dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat 2 yaitu "pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang; lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu". Dalam hal ini, pelaku melakukannya dengan
tujuan untuk mendapatkan keuntungan komersial atas perbuatan yang dilakukan terhadap orang
yang berada di dalam lingkup rumah tangga.
c. Pengaturan dalam UU ini tidak dapat dikenakan kepada perdagangan perempuan dan anak yang
terjadi di luar rumah tangga.
Ad. 4. Rancangan KUHP.
Di dalam Rancangan KUHP telah mengakomodir pasal-pasal yang terkait dengan perdagangan
orang secara eksplisit meliputi :
a. Tindak Pidana Perdagangan Orang
b. Memasukkan orang ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan.
c. Mengeluarkan orang dari wiiayah Indonesia untuk diperdagangkan
d. Perdagangan orang yang mengakibatkan luka berat atau penyakit.
e. Perdagangan arang oleh kelompok yang terorganisasi.
f. Persetubuhan dan pencabulan terhadap orang yang diperdagangkan.
g. Pemasulan dokumen atau identitas untuk memudahkan perdagangan orang.
h. Penyalahgunaan kekuasaan untuk perdagangan orang.
i. Menyembunyikan orang yang melakukan perdagangan orang.
j. Perdagangan orang di kapal.
Apabila dicermati mengenai hal-hal di dalam Rancangan KUHP :
a. Pasal-pasal tersebut lebih bersifat preventif.
b. Pengaturan tentang korban perempuan dan anak lebih bersifat generalL, sehingga dianggap belum
sesuai dengan kebutuhan yang memerlukaan aturan yang lebih spesifik.
Tidak adanya hukum yang khusus yang mengatur tentang masalah perdagangan perempuan dan anak,
mengakibatkan meningkatnya jumlah kasus perdagangan dan lemahnya penegakan hukumnya. Aturan yang
diberlakukan sementara ini adalah berdasarkan KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2002, maupun UU Nomor 23 Tahun
2004. Namun sebenarnya aturan tersebut tidak efektif dalam menjerat pelaku perdagangan orang yang pada
umumnya sifatnya terorganisasi (dalam jaringan sindikat), sehingga dapat dikatakan upaya pemberantasan
terhadap kejahatan perdagangan perempuan dan anak tersebut tidak terungkap.
Masalah perdagangan perempuan dan anak atau Traficking di Indonesia hingga tahun 2005 ini bisa
dikatakan masih belum ada titik terang. Keadaan ini disebabkan karena beberapa hal yaitu :
1. karena tidak ada sanksi yang tegas bagi pelaku.
2. karena pemerintah kurang serius menanganinya.
3. karena penyebaran informasi tentang bahaya trafficking kurang tersosialisasi hingga ke pelosok-pelosok
pedesaan.
10
Maraknya Trafficking di Indonesia dikarenakan Indonesia itu tidak hanya sebagai negara sumber,
transit, maupun penerima, akan tetapi juga menjadi negara yang termasuk bagian dari sindikat Internasional.
Kadang-kadang meningkatnya perdagangan perempuan dan anak ini dipengaruhi juga oleh faktor lain yaitu
adanya "permintaan dan penawaran" dari pihak yang ingin menikmati, menggunakan, maupun mendapatkan
keuntungan dari korban, di sampimg itu tidak menutup kemungkinan kondisi dan situasi dari korban itu sendiri yang
menyebabkan timbulnya kejahatan perdagangan perempuan dan anak.
D. Ketentuan Perdagangan Anak dalam Hukum Internasional
Sejarah Perdagangan Manusia pertama kali tercatat dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 20, ”Dan mereka
menjual Yusuf dengan harga murah, yaitu beberapa dirham saja karena mereka tidak tertarik kepadanya”.24
Perkembangan historis yang diungkapkan oleh Chew dan Wijers memperlihatkan dinamika dan berbagai
upaya yang dilakukan baik di tingkat nasional, regional maupun internasional untuk memberantas perdagangan
perempuan yang merupakan perbudakan modern serta merendahkan hak asasi perempuan.25 Masyarakat
Internasional telah berulang kali mencoba untuk menghapuskan praktek perdagangan melalui instrumen
intenasional sejak tahun 1904.26 Usaha penghapusan tersebut ditandai dengan diselenggarakannya konferensi
internasional perdagangan manusia pertama kali, yakni konferensi mengenai perdagangan wanita atau ”trafficking
in women” diadakan di Paris tahun 1895. Sembilan tahun kemudian pada tahun 1904, di kota yang sama, 16
negara kembali mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan internasional pertama menentang
Perdagangan Budak Berkulit Putih yang dikenal dengan istilah Intenational Agreement the Supresssion of White
Slave Traffic. Kesepakatan tersebut menentang dipindahkannya perempuan ke luar negeri dengan tujuan
pelanggaran kesusilaan.
Konvensi awal ini membatasi diri pada penentangan bentuk pemaksaan dalam perdagangan perempuan,
tetapi sama sekali tidak mempermasalahkan tiadanya bukti pemaksaan atau penyalahgunaan kekuasaan dalam
perekrutannya.27 Kesepakatan tersebut dalam prakteknya tidak berjalan efektif karena gerakan anti perdagangan
manusia pada saat itu lebih didorong karena adanya ancaman terhadap kemurnian populasi perempuan kulit putih.
Pada sisi lain, kesepakatan tersebut juga lebih banyak memfokuskan perhatian kepada perlindungan korban
daripada menghukum pelaku kejahatannya28, sehingga tepat enam tahun kemudian, yakni pada tahun 1910
disetujui Internasional Convention for the Supression of White Slave Traffic (Konvensi Internasional tanggal 4 Mei
1910 untuk Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih, diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 3
Desember 1948)29. Konvensi tersebut kemudian mewajibkan negara untuk menghukum siapa pun, yang membujuk
orang lain, baik dengan cara menyelundupkan atau dengan menggunakan kekerasan, paksaan, penyalahgunaan
kekuasaan, atau dengan cara lain dalam memaksa, mengupah, menculik atau membujuk perempuan dewasa
untuk tujuan pelanggaran kesusilaan.30
Dalam perkembangan selanjutnya dengan dibantu oleh Liga Bangsa-bangsa, ditandatanganilah
Convention on the Supression of Traffic in Women and Children pada tahun 1921 (Konvensi Internasional tanggal
4 Mei 1910 untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, diamandemen dengan Protokol PBB tanggal
20 Oktober 1947) dan International Convention of the Supression of Traffic in Women of Full Age di tahun 1933
(Konvensi Internasional tanggal 11 Oktober 1933 untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan Dewasa,
diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 20 Oktober 1947).
Keempat konvensi tersebut kemudian dikonsolidasikan oleh PBB pada tahun 1949 ke dalam Convention
for the Supression of the Traffic in Person and of the Exploitation of the Prostitution of Others. Konvensi ini
mewajibkan negara peserta untuk menghukum mereka yang menjerumuskan orang-orang, bahkan korban jika
menyetujuinya, demi memuaskan manusia lainnya. Dalam konvensi ini juga disebutkan bahwa negara peserta juga
terikat untuk menghukum mereka yang mengeksploitasi pelacur. Konvensi ini juga mencakup mereka yang secara
24 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Syaamil Cipta Media, 2004, hal. 237.
25 Sulistyowatirianto-Lim Sing Meij-Firliana Purwanti -Luki Widiastuti, Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 12-13.
26 ELSAM, Position Paper Advokasi RUU KUHAP Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP, 2005, hal. 4.
27 Sulistyowatirianto-Lim Sing Meij-Firliana Purwanti -Luki Widiastuti, Op.Cit, hal. 13.
28 ELSAM, Op.Cit, hal. 4.
29 Ibid, hal. 4.
30 Sulistyowatirianto-Lim Sing Meij-Firliana Purwanti -Luki Widiastuti, Op.Cit, hal. 13.
11
finansial terlibat dalam pengelolaan atau pengoperasian rumah pelacur atau siapapun yang menyewakan atau
menyewa tempat-tempat untuk melacurkan orang-orang lain.31
Pada tahun 1926, lahirlah sebuah instrumen internasional yang secara tegas melarang praktek
perbudakan. Konvensi ini kemudian ditandatangani di Jenewa pada tanggal 25 September 1926. Konvensi ini
mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah guna pengahapusan sesegera mungkin perangkatperangkat
kelembagaan serta praktek-praktek yang meliputi perbudakan berdasarkan hutang, perhambaan,
pertunangan anak dan praktek-praktek perkawinan dimana seorang perempuan diperlakukan sebagai harta milik,
baik oleh keluarganya sendiri maupun keluarga suaminya, atau bisa diwariskan setelah kematian suaminya.32
Selanjutnya pada tanggal 15 November 2000, Majelis Umum PBB, berdasarkan Resolusi Majelis Umum
PBB 55/25 mengadopsi Konvensi tentang United Nations Convention against Transnational Organized Crime atau
Konvensi mengenai Kejahatan Terorganisir (Organized Crime Convention) beserta ketiga protokolnya, yakni:
1. Protocol against the Smuggling of Migrants by Land Air and Sea, supplementing the United Nations
Convention against Transnational Organized Crime;
2. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children,
supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime;
3. Protocol against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, Their Parts and Components and
Ammunition, supplementing United Nations Convention against Transnational Organized Crime.
Sampai saat ini, pengertian trafficking yang umumnya paling banyak dipakai adalah pengertian yang
diambil dari Pasal 3 Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and
Children atau Trafficking Protocol.
Berkenaan dengan anak-anak, yakni mereka yang belum mencapai usia delapan belas (18) tahun,
pemerintah negara-negara harus merujuk dan meleburkannya ke dalam peraturan domestik mereka dengan
beberapa peraturan dari PBB mengenai Konvensi Hak Anak dalam bagian pembahasan mengenai perdagangan
anak, anak yang dilacurkan dan dieksploitasi untuk tujuan pornografi serta Konvensi ILO NO. C182 tentang
Pencegahan dan Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk dari Anak. Adapun Instrumen internasional
yang menjadi acuan dasar bagi penghapusan bentuk-bentuk perdagangan perempuan dan anak antara lain:
1. Konvensi Hak-hak Anak 1989 (Psl 1,3,9,10,11,19,20,32,33,34-36,39)
2. (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women Cedaw 1979 (Psl 6)
3. Konvensi 28 Den Haag tentang Aspek-aspek Perdata Penculikan Anak 1980 (Psl 1-13)
4. Konvensi PBB Melawan Kejahatan Transnasional Terorganisasi (United Nation Convention Against
Trasnational Organizational Organised Crime) (The Palermo Convention) (2000); Psl 3 (4), (13),(14),
(15)
5. Resolusi Majelis Umum PBB 2000 No.UNGA 55/67 tentang Perdagangan Perempuan dan Anak.
6. Protokol tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia,
Khususnya Perempuan dan Anak, yang merupakan suplemen (Annex) dari UNCATOC Psl 3,7,8
7. Optional Protocol tahun 2000 bagi Konvensi Hak-Hak Anak Tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan
Pornognafi Anak. (Psl 2,3)
Pasal 2
Yang dimaksud dalam Protokol ini:
a. Penjualan anak adalah segala tindakan seorang atau transaksi dimana seorang anak ditransfer oleh
segala orang atau kelompok orang keorang lain untuk mendapatkan imbalan atau pertimbangan
lainnya.
b. Prostitusi anak adalah penggunaan anak dalam kegiatan-kegiatan seksual untuk mendapatkan
imbalan atau bentuk-bentuk pertimbangan lain.
c. Pornografi anak adalah penyajian dengan cara apapun, dari seorang anak yang terlibat dalam kegiatan
seksual eksplisit yang nyata atau disimulasikan atau penyajian bagian seksual seorang anak terutama
untuk tujuan-tujuan seksual.
Protokol KHA ini juga menyatakan bahwa tiap Negara harus menjamin bahwa standard minimum
perbuatan dan aktivitas berikut ini dianggap sebagai tindak kriminal atau melanggar hukum pidana,
31 ELSAM, Op.Cit, hal. 4.
32Ibid,hal. 5.
12
apakah kejahatan tersebut dilakukan di dalam negeri atau antar Negara atau berbasis individu atau
terorganisir sebagaimana yang termuat dalam Pasal 3 Protokol KHA ini.
Pasal 3
Masing-masing Negara peserta harus menjamin bahwa, setidak-tidaknya, tindakan-tindakan dan
kegiatan-kegiatan berikut sepenuhnya tercakup di bawah hukum pidana, apakah pelanggaran seperti itu
dilakukan di dalam negeri atau secara trasnasional atau berbasis individual maupun kelompok;
a. Dalam konteks penjualan anak sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 2;
(i) Menawarkan, mengirimkan, atau menerima, dengan cara apapun, seorang anak dengan maksud
untuk:
(a) Eksploitasi seksual anak tersebut;
(b) Transfer organ anak tersebut untuk mendapatkan keuntungan;
(c) Melibatkan anak tersebut dalam kerja paksa;
(ii) Secara tidak semestinya meminta ijin, sebagai perantara, untuk adopsi anak yang merupakan
pelanggaran atas instrumen hukum internasional yang berlaku mengenai adopsi.
b. Menawarkan, mendapatkan, atau membeli atau menyediakan anak untuk pelacuran anak,
sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 2;
c. Memproduksi, mendistribusikan, menyebarkan, mengimpor, pengekspor, menawarkan, menjual
atau memiliki pornografi anak dengan maksud di atas sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 2.
8. Konvensi ILO tentang Larangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terbutuk buat Anak No. C182/2000.
9. Resolusi Majelis Umum PBB tahun 2002 tentang perdagangan Perempuan dan Anak.
10. Prinsip-prinsi Umum HAM dan Perdagangan Manusia 2002
11. Pedoman Untuk Upaya Khusus Bagi Korban Perdagangan Manusia yang direkomendasikan PBB 2002 .
6.Lampiran II-Protokol untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Perdagangan Manusia, Khususnya
Wanita dan Anak-Anak, sebagai suplemen untuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Kejahatan
Transnasional Terorganisasi (Annex II-Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,
Especially Women and Children, supplementing the United National Convention Againts Transnasional
Organised Crime (The Palermo Trafficking Protocol) (2000), pada Pasal 3 sub paragraf (a) memuat definisi
Trafficking secara komprehensif:
(a) Perdagangan Manusia” adalah perekrutan, pengangkutan, transpor, penyembunyian, dan penerimaan
orang dengan ancaman, atau menggunakan kekerasan atau bentuk pemaksaan lainnya, penculikan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi rentan atau memberikan
atau menerima pembayaran, atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memegang
kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Kemudian pada sub paragraf (c) disebutkan:
(c) Perekrutan, transportasi, transfer, penyembunyian atau penerimaan seorang anak untuk maksud
eksploitasi harus dianggap memperdagangkan manusia bahkan bila hal ini tidak melibatkan semua cara
yang disebutkan dalam sub paragraf (a) Pasal ini.
Berdasarkan Pasal 3 tersebut di atas, United Nation Trafficking Protocol menegaskan bahwa
sepanjang berkaitan dengan anak-anak sebagai korban, maka tidak satu pun dari cara-cara pemaksaan atau
penipuan perlu digunakan untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak kejahatan perdagangan manusia.
Berarti bahwa setiap rekruitmen, transportasi, dan seterusnya seperti yang disebut dalam subparagraph (a)
dari anak-anak dengan tujuan eksploitasi dengan ataupun tanpa persetujuan dari anak yang bersangkutan
dan juga dengan tanpa digunakannya paksaan ataupun penipuan, harus dapat dikategorikan sebagai tindak
kejahatan perdagangan manusia. Dengan kata lain, hukum sama sekali tidak mengizinkan anak baik dalam
situasi apapun untuk bekerja atau dipekerjakan untuk tujuan eksploitasi.33
33 ELSAM, Op.cit, hal. 14.
13
7. Konvensi ILO tentang Larangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak No. C182 (ILO Convention Concerning the Prohibition and Immediate Action for the elimination of
the Worst Forms of Child Labour No. C 182) (2000), pada Pasal 3 menyatakan sebagai berikut:
Pasal 3
Istilah “bentuk terburuk pekerjaan untuk anak” didefinisikan sebagai berikut:
a) segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan
perdagangan anak, kerja ijon dan perhambaan, wajib kerja atau kerja paksa, termasuk pengerahan
anak secara wajib atau paksa untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
b) pemanfaatan, penyediaan, atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau
untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk dimanfaatkan dalam kegiatan terlarang
khususnya untuk pembuatan dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian
internasional yang relevan;
d) pekerjaan, yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan, dapat membehayakan kesehatan,
keamanan atau moral anak-anak.
Berbagai jenis pekerjaan pada dasarnya membahayakan, seperti penambangan, konstruksi,
penangkapan ikan laut dalam dan bekerja dengan bahan radioaktif, dan kimia berbahaya. Namun pekerjaan
lainnya juga dapat membahayakan anak, misalnya pekerjaan-pekerjaan di sektor pertanian dengan resiko
terpapar pestisida, mengangkut beban berat dan memulung di tempat pembuangan sampah. Selain bahaya
yang mereka timbulkan pada anak-anak, beberapa bentuk pekerjaan anak melibatkan “pelanggaran hak asasi
manusia” yang telanjang, dan karenanya sungguh tidak dapat diberi toleransi. Konvensi ILO 182 ini melarang
adanya perbudakan, penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja paksa dan kerja ijon (termasuk pengerahan
anak-anak dalam konflik bersenjata), serta penyediaan, atau pemanfaatan anak-anak untuk pelacuran,
pornografi, obat-obatan terlarang, dan pekerjaan yang karena hakekatnya atau lingkungan tempat pekerjaan
itu dilaksanakan, mungkin dapat daja membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.34
8. Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman yang direkomendasikan mengenai HAM dan Perdagangan Manusia
oleh Komite Tinggi Urusan HAM PBB (Recommended Principles and Guidelines on Human Rights and Human
Trafficking) (2003);
9. Pedoman-pedoman untuk Upaya-upaya Khusus bagi Hak-hak Anak Korban Perdagangan oleh UNICEF
(Guidelines for Protection of the Rights of Children Victims of Trafficking) (2003)35.
Indonesia sebagai negara anggota PBB telah ikut menandatangani beberapa Instrumen Hukum
Internasional di atas, namun sampai saat ini belum semuanya diratifikasi. Walaupun demikian bukan berarti
Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan Hukum Internasioual tersebut. Indonesia tetap
berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan Hukum Internasional yang ada, karena Konvensi dan Protokol
tersebut memuat tentang Prinsip-prinsip Umum Hukum Internasional yang telah diterima oleh masyarakat
Internasional.
D. Penegakan Hukum Dalam Rangka Perlindungan HAM
Perlindungan HAM perempuan dan anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari HAM. Menghormati,
menegakkan dan mengimplementasikan hak asasi anak sejalan dengan penegakan dan implementasi HAM itu
sendiri. Namun kenyataannya hak asasi anak masih berada pada posisi yang terpinggirkan dan dianggap sebagai
masalah sekunder dalam penegakan HAM.
Akibat kurangnya perlindungan terhadap anak, maka mereka sering di eksploitasi untuk mendatangkan
keuntungan. Meskipun perbudakan telah dinyatakan sebagai tindakan melanggar hukum, namun banyak keadaan
membuat kehidupan anak yang bekerja mendekati perbudakan. Hal ini mencakup eksploitasi buruh anak,
penjualan anak, pelacuran yang dipaksa, serta penjualan narkotika dengan perantaraan anak-anak.
Secara yuridis, Indonesia telah mempunyai seperangkat peraturan perundang-undangan untuk menjamin
hak-hak anak untuk mengurangi dampak bekerja dari anak seperti UUD 1945, ratifikasi Konvensi ILO No. 138
menjadi UU No. 20/1999 tentang Usia Minimum untuk dperbolehkan Bekerja, ratifikasi Konvensi ILO 182 menjadi
34 UNICEF, Op.Cit, hal. 27.
35 Terre des Homes, Op.cit hal. 45
14
UU No. 1/2000 tentang Pelanggaran dan Tindakan segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak, UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Walaupun ada seperangkat peraturan perundag-undangan yang melindungi pekerja anak, tetapi
kecenderungan kualitas permasalahan pekerjaan anak dari tahun ke tahun bertambah komplek menuju bentukbentuk
pekerjaan terburuk eksploitasi dan membahayakan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, moral,
sosial dan intelektual anak. Jenis pekerjaan terburuk semakin marak ditemukan, seperti anak yang dilacurkan,
diperdagangkan, bekerja di pertambangan, anak jermal dan lain-lain.
Dari segi hak anak, yang sangat memprihatinkan adalah anak-anak yang bekerja umumnya berada dalam
posisi rentan untuk diperlakukan salah, termasuk eksploitasi oleh orang dewasa atau suatu sistem yang
memperoleh keuntungan dari tenaga anak. Berbagai studi dan pengamatan menunjukkan bahwa pekerja anak
umumnya sangat rentan terhadap eksploitasi ekonomi. Di sektor industri formal, mereka umumnya berada dalam
kondisi jam kerja yang panjang, berupah rendah, menghadapi risiko kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan
atau menjadi sasaran pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa.36 Kasus-kasus eksploitasi hak-hak
anak yang terabaikan selama melakukan pekerjaan mereka, justru sering kali terjadi dan dilakukan oleh orang
dekat si anak. Misalnya pekerjaan anak dalam dunia hiburan maupun sebagai penyanyi.
Masalah lain, adalah mengenai media hiburan dan iklan untuk anak-anak. Komnas Perlindungan anak
mencatat dari seluruh televisi di Indonesia baik swasta maupun pemerintah telah mengeksploitasi anak sebagai
obyek komersial, baik dalam bentukk iklan, hiburan yang disajikan anak tidak lagi memiliki kebebasan untuk
bermain, berkreasi secara sehat, anak-anak dipasung oleh film atau cerita yang tidak bermutu, banyak cerita
perkelahian atau perang.
Data lainnya menunjukkan bahwa, eksploitasi anak tidak hanya di sektor industri dan pekerjaan. Sejak lahir
hak dan kesejahteraan anak sudah dieksploitasi. Untuk memperoleh hak paling awal, yakni hak untuk diakui
identitasnya melalui akta kelahiran, ternyata tidak semua anak mendapatkannya. Hal ini terjadi karena selain
biayanya terlalu mahal, birokrasi pengurusannya juga berbeli-belit. Menurut data Komnas Perlindungan Anak,
hampir 75 % anak-anak diseluruh Indonesia belum memiliki akte kelahiran. Berdasarkan catatan UNICEF,
Indonesia menempati urutan ke 109 dari 119 negara di dunia dalam hal pengembangan SDM, cukup ironis jika
dibandingkan dengan Vietnam dan Srilangka, ternyata Indonesia cukup tertinggal 37
Berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan hak anak, pemerintah telah melakukan beberapa kegiatan baik
dalam bentuk merumuskan maupun legislasi peratuan perundang-undangan. Dalam legislasi undang-undang
pemerintan memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan jaminan hukum bagi perlindungan anak, namun
secara empiris Implementasi undang-undang belum menampakkan hasil yang memuaskan.
Kegiatan empiris yang dilakukan antara lain:secara nasional telah dibentuk Komisi Nasional Perlindungan
anak, Komisi ini dibentuk pada tahun 1998 yang mempunyai tugas untuk memberikan pertimbangan kepada
pemerintah, khususnya Presiden dalam masalah kesehatan, kesejahteraan anak. Komisi juga dapat melakukan
pemantauan terhadap pelaksanaan program pengembangan anak dan penegakan hukum berkaitan dengan
masalah perlindungan anak.
Dalam produk hukum telah menghasilakn undang-undang Pengadilan Anak, yang memberikan jaminan
perlindungan hak anak yang terlibat perkara pidana. Kemudian diadopsinya konvensi PBB tentang Perlindungan
Anak dalam beberapa undang-undang seperti UU No.23/2003 tentang Perlindungan Anak.
Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada
tidaknya hukum. Bila penegakan lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum tidak ada dan seolah-olah
mereka berada dalam hutan rimba, sebaliknya, bila penegakan hukum kuat dan dilakukan secara konsisten,
barulah masyarakat mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk.
Dalam konteks demikian, masyarakat masih dalam taraf masyarakat yang takut pada (aparat penegak)
hukum dan belum dapat dikatagorikan sebagai masyarakat yang taat pada hukum. Masyarakat yang takut pada
hukum, mereka tidak akan tunduk pada hukum bila penegak hukum lemah, inkonsisten dan tidak dapat dipercaya.
Oleh karenanya penegak hukum yang tegas dan berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat sangat
diperlukan. Patuh hukum bukanlah tataran tertinggi, melainkan adalah setiap individu dalam masyarakat yang
bersikap di bawah alam sadar sesuai dengan tujuan.
Secara tradisional institusi hukum yang melakukan penegakan hukum adalah kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga pemasyarakatan. Problem dalam penegakan hukum perlu dipotret dan dipetakan
36 Bagong Suyanto, Sri Sanituti Hariadi, dan Addriono, Pekerja Anak di Sektor Berbahaya, Surabaya, 2001, hal. 9-10.
37 Mokh. Najih, “Perlindungan Hak Asasi Anak Dalam Hukum Indonesia ”Jurnal Legality, Vol. 11 No. 2 September 2003-Februari 2004, hal.284
15
agar para pengambil keputusan dapat mengupayakan jalan keluar. Adapun problem yang dihadapi dalam
penegakan hukum adalah;38 problem pada pembuatan peraturan perundang-undangan, masayarakat pencari
kemenangan bukan keadailan, uang mewarnai penegakan hukum, penegakan hukum sebagai komoditas politik,
penegakan hukum yang diskriminatif, lemahnya kualitas dan integritas SDM, advokat tahu hukum versus advokat
tahu koneksi, keterbatasan anggara, penegakan hukum yang dipicu oleh media massa.
Untuk penegakan hukum kita juga perlu mengkaji konsep Friedman39 yang menjelaskan 3 komponen
penting dari sebuah sistem hukum yaitu; 1. substsansi, 2. struktur dan 3. kultur yang berjalannya harus sinergis
dan sistemik untuk mewujudkan penanggulangan trafficking perempuan dan anak.
Dalam perspektif substansi; aturan yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan trafficking
masih sangat konvensional dan belum dianggap sebagai tindak pidana khusus, sebagian besar masih
berdasarkan KUHP yang secara substansial belum dapat mengakomodir terhadap upaya pencegahan dan
pemberantasan trafficking secara maksimal (Pasal 295 KUHP yang memudahkan perbuatan cabul, Pasal 297
KUHP melarang perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur, Pasal 301 KUHP melarang
perdagangan anak yang belum cukup umur untuk melakukan pengemisan atau pekerjaan yang berbahaya.
Meskipun telah dikeluarkan Keppres No. 88/2003 tentang RAN Penghapusan Perdagangan Perempuan dan
Anak realitasnya belum ada perubahan yang signifikan. Tampaknya pemerintah cukup berpuas diri dengan
Keppres tersebut tanpa merasa perlu menerbitkan dan mengimplementasikan kebijakan peraturan perundangundangan
yang diperlukan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan trafficking perempuan dan anak.
Dalam agenda pemerintahan, persoalan trafficking tidak menjadi concern utama. Dalam beberapa
pertemuan regional yang terkait (APEC dan ASEAN), pemerintah Indonesia belum mengupayakan mendesak
agenda trafficking dalam forum regional tersebut.
Realita ini masih diperparah lagi dengan belum meratanya pemahaman dan upaya pencegahan secara
sistemik dari para aparatur penegak hukum yang merupakan komponen dari struktur hukum. Hal ini dapat dilihat
dari praktek apartur penegak hukum dan pemerintah daerah di kantong trafficking masih ada yang melakukan,
pembiaran, dan mem-backing.
Aspek lain yang penting adalah kultur hukum yang kondusif untuk bekerjanya substansi dan struktur hukum.
Kultur hukum di sini berkaitan dengan sikap sosial dan nilai-nilai sosial yang telah terpatri yang dipergunakan
sebagai acuan normatof dalam perilaku. Permasalahan yang krusial di sini, kalau kultur ternyata tidak bersinergi
dengan substansi dan struktur yang harus ditegakkan, misal; (1). kultur aparatur penegak hukum yang terkooptasi
dengan konstruksi sosial yang mempersepsikan trafficking sebagai kejahatan biasa, sehingga memposisikan
penanganannya dilakukan secara konvensional, (2) kultur patriarkhi yang mengakibatkan bahwa laki-laki yang
paling berhak dan berkuasa mengatur perempuan dan anak, akibatnya dalam relasi antara perempuan dengan
laki-laki mengalami perlakuan yang diskriminatif., dalam kasus trafficking perempuan (korban) dianggap sebagai
suatu kewajaran (komoditi). Karena menurut nilai sosial, suami/laki-laki adalah kepala rumah tangga dan orang
yang paling berkuasa. Kultur yang demikian, jelas bertentangan dengan Konvensi Penaghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan yang diratifikasi dalam UU No. 7/1984; (3), kultur yang berhubungan dengan
sikap sosial, misalnya main hakim sendiri, ini mencerminkan sikap deviasi perilaku yang sangat membahayakan
bagi proses penegakan hukum. Dalam negara hukum, hanya aparat penegak hukum yang berhak menindak
pelaku kejahatan melalui prosedur dan hukum acara yang berlaku.
Untuk penegakan hukum terhadap trafficking yang mendesak dilakukan adalah:
(1) mereview dan membuat aturan hukum (pembenahan aspek substansial) yang lebih akomodatif;
(2) meningkatkan profesionalisme, perlunya jalinan yang padu dan sistemik antar aparatur penegak
hukum, Pemerintah Daerah dan seluruh steakholder yang concern dan terkait dalam upaya
penanggulangan maraknya trafficking, jika perlu dibentuk suatu badan atau komisi yang secara
khusus menangani trafficking (pembenahan aspek struktural);
(3) peningkatan pemahaman tentang kejahatan trafficking, sekaligus untuk mengikis konstruksi sosial
yang mempersepsikan traffricking sebagai bentuk kejahatan biasa/komvensional dan maraknya kultur
patriarkhi yang mengakibatkan semakin sulitnya pencegahan dan pemberantasan trafficking.
Untuk upaya strategis yang tidak kalah pentingnya dalam rangka pembenahan dari aspek substansi, struktur
dan kultur adalah peran Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Hukum melalui bentuk sajan mata kuliah yang
38 Hikmahanto Yuhana, Loc.Cit. hal. 12
39 Lawrence M. Friedman, Law and Society; Introduction, New Jersey, Preintice Hall, 1977. hal.14.
16
spesifik mengakomodasi permasalahan trafficking seperti; HAM, Hukum Perlindungan Anak. Dalam mata kuliah
tersebut diharapkan substansinya tidak hanya bersifat aplikatif tetapi juga menampilkan perkembangan teori-teori
yang dapat dipergunakan untuk merancangbangun model penanggulangan maraknya trafficking secara lebih
terpadu dan sistemik.
Di samping itu kiranya perlu juga ditumbuh kembangkan lahirnya LSM yang memiliki akses atau jejaring
dengan Fakultas Hukum, seperti LBH Anak, LBH APIK yang kiprahnya secara signifikan dalam upaya trafficking
dengan melibatkan para steakholder dan perguruan tinggi.
E. Penutup
Masalah trafficking perempuan dan anak dengan alasan dan tujuan apapun tetap merupakan suatu bentuk
pelanggaran terhadap HAM. Indonesia sebagai anggota PBB bertanggungjawab secara`moral dan hukum untuk
menjamin keberadaan harkat dan martabat yang dimiliki oleh seorang manusia.
Permasalahan trafficking belum dapat tersosialisasi secara menyeluruh, khususnya ke pelosok-pelosok
pedesaan yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan dan anak, di mana salah satu alasan penyebab
terjadinya perdagangan perempuan dan anak karena faktor ekonomi (kemiskinan). Pada umumnya hal ini tidak
disadari oleh mereka mengenai dampak dari terjadinya perdagangan orang, khususnya terhadap anak di mana
keadaan tersebut dapat menyebabkan anak menjadi trauma dan akan membekas pada diri anak. Padahal anak
seharusnya untuk tumbuh dan kembang tidak boleh ada tekanan maupun paksaan.
Masih lemahnya perangkat hukum yang memadai yang dapat menjerat pada pelaku trafficking perempuan
dan anak maupun dapat memberikan perlindungan kepada korban yang umumnya terjadi pada perempuan
dewasa dan anak perempuan. Sehingga hal ini akan menyebabkan lebih meningkatnya tidak pidana trafficking,
lebih-lebih bila dicermati bahwa pelaku trafficking perempuan dan anak itu terorganisasi dengan rapi baik dalam
jaringan nasional maupun internasional.
Dibutuhkannya Undang-Undang yang khusus mengatur trafficking perempuan dan anak sebagai salah satu
upaya untuk memberantasnya. Pengaturan khusus ini tujuannya untuk memberikan perlindungan hukum terutama
kepada anak, mengingat anak itu belum dapat memperkirakan dampak yang terjadi pada dirinya sebagai akibat
trafficking tersebut. Hal ini berbeda yang dialami perempuan dewasa setidak-tidaknya yang bersangkutan sudah
dapat memperkirakan hal-hal apa yang akan dialaminya. Sehingga tidak cukup kalau landasan hukumnya hanya
berdasarkan pada Undang-Undang tentang Perlindungan Anak saja, karena yang dialaminya itu dapat mernbuat
trauma yang berkepanjangan. Selain itu sanksi hukuman terhadap pelaku harus diberikan hukuman yang lebih
berat apabila korbannya adalah anak.
Kurangnya keseriusan dari pihak pemerintah dalam menangani kasus trafficking maka dapat dipastikan
akan meningkatnya secara tajam trafficking perempuan dan anak baik dalam tingkat nasional maupun
internasional.
Daftar Pustaka
Amir Syamsuddin, “Antara Pengacara Nekat dan Sukses”, Kompas.
Bagong Suyanto, Sri Sanituti Hariadi, dan Addriono, Pekerja Anak di Sektor Berbahaya, Surabaya, 2001.
Hikmahanto Yuwana ” Penegakan Hukum Dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen Bagii
Solusi di Indonesia”, Pidado Ilmiah, disampaikan pada Dies Natalis Ke-56 UI, 4 Pebruari 2006 , Depok
Lawrence M. Friedman, Law and Society; Introduction, New Jersey, Preintice Hall, 1977.
Lukman Sutrisno "Sikap Keliru Masyarakat Dorong Mantan Napi Berbuat", Republika, 28 Agustus, 1994.
HAM Dalam Praktek, Panduan Melawan Perdagangan Perempuan Dan Anak, Lembaga Advokasi Buruh Migran
Indonesia Solidaritas Perempuan, 2000.
17
Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap perempuan 2004: Rumah,. Pekarangan, Dan kebun. Catatan
Tahunan Tentang kekerasan Terhadap Perempuan 2005
-------, Lembar Informasi L'disi : 9/IXl,Iunl2003.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan, leaflet Kesetaraan dan keadilan, Trafficking (Perdagangan) Perempuan
dan Anak.Diperbanyak oleh Biro kesra Setda Jateng.
Laporan Pelapor Khusus PBB Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, F'erdagangan Perempuan, Migrasi
Pere(trafficking) (trafficking)mpuan dan kekerasan Terhadap perempuan :Penyebab dan Akibatnya, 2000.
Laica Marzuki, “Membangun Sistem Penegakan Hukum Yang Akuntabel, Jurnal Keadilan, Vol.4.No.2,2005/2006.
Mokh. Najih, “Perlindungan Hak Asasi Anak Dalam Hukum Indonesia ”Jurnal Legality, Vol. 11 No. 2 September
2003-Februari 2004.
Rachmad Syafaat, Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur, Lappera
Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002.
Riza Nizarli, ”Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak, ”Makalah disampaikan pada Seminar tentang HAM Anak
kerjasama Depkeh HAM Prov.NAD dengan Unicef, 21 Juli 2004.
Ruth Rosenberg, Editor, Perdagangan Perempuan Dan Anak Di Indonesia,Catholic Migration Commision (ICMC),
American Center
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang.
Sudarto, ”Uraian Pokok-pokok Permasalahan dalam Seminar Krimonologi ke IV”, FH-UNDIP, Semarang, l980.
Sri Nurhartanto, G. Perdagangan Perempuan Di Indonesia (Tinjauan Aspek Yuridis), Lokakarya Persiapan
Kompetisi Peradilan Semu (Moot Court) Wilayah Jawa Tengah dan Yogjakarta 2005, 1-2 Pebruari 2005.
18
PENEGAKAN HUKUM DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HAM
PEREMPUAN DAN ANAK YANG MENJADI
KORBAN TRAFFICKING
Oleh:
Riza Nizarli, S.H.,M.H.
Disampaikan Pada Workshop,
Penguatan Materi tentang Konsep HAM Perempuan dan Gender
dalam Mata Kuliah di Fakultas Hukum dan Syar’iah ,
kerjasama
Fakultas Hukum Unsyiah dengan The Asia Foundation,
Hotel Polonia, Medan,
15-17 Juli 2006
1

PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN JARINGAN HAM



PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN
JARINGAN HAM

2000 – 2003
CESDA-LP3ES
Jl. S. Parman 81, Slipi
Jakarta 11420
Telp. (021) 566 7139, 567 4211
Fax. (021) 5667139, 5683785
E-mail: cesda@lp3es.or.id
Web Site: http://www.lp3es.or.id
Latar Belakang
Hampir 4 tahun, Indonesia memasuki masa transisi. Sekalipun
kebebasan politik semakin mendapatkan tempat, namun
pelanggaran hak asasi manusia tetap menunjukkan intensitas
yang tinggi. Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang
dilakukan aparat seringkali harus berhenti di tengah jalan karena
masih kuatnya elemen-elemen lama yang “tak tersentuh
hukum”. Berbagai konflik vertikal dan horisontal di berbagai
wilayah tidak saja melahirkan pelanggaran-pelanggaran baru
HAM tetapi juga semakin memperumit persoalan konsolidasi
antar kekuatan masyarakat guna membangun tatanan
masyarakat yang demokratis.
Setidak-tidaknya terdapat lima persoalan politik yang mendasar
dalam proses transisi. Pertama, persoalan penegakan prinsip
supremasi sipil yang masih belum sepenuhnya terwujud. Oleh
karennya, penguatan masyarakat sipil, khususnya di kalangan
kelompok strategis merupkan agenda penting yang harus
dilakukan ke depan. Kedua, belum efektifnya proses
pelembagaan politik (political institutionalisation). Proses
liberalisasi politik memang telah melahirkan berbagai organisasi
dan partai politik. Sekalipun DPR telah cukup powerfull
berhadapan dengan pemerintah, namun belum diimbangi oleh
kekuatan dalam melakukan fungsi artikulasi kepentingan rakyat
dan pendidikan politik. Ketiga, birokrasi yang belum efektif
menjalankan fungsi pelayan masyarakat. Keempat, penegakan
rule of law. Kelima, masyarakat sipil yang belum kuat. Lemahnya
kohesivitas dan solidaritas masyarakat sipil ini ditunjukkan oleh
sering terjadinya konflik-konflik vertikal dan horizontal di
berbagai wilayah yang cenderung mengarah pada ancaman
disintegrasi bangsa.
Persoalan-persoalan di atas, terutama yang disebut terakhir
mendasari LP3ES untuk terus-menerus menyelenggarakan
program peningkatan kesadaran hak-hak kewarganegaraan
melalui pendidikan HAM dan pengembangan jaringan untuk
advokasi HAM di berbagai daerah. Kegiatan pendidikan
kewarganegaraan dan advokasi HAM perlu dilakukan untuk
sosialisasi dan promosi hak-hak dasar manusia, yang lebih
diarahkan untuk peningkatan kesadaran dan membudayakan
hak-hak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang pada
gilirannya akan memperkuat posisi politik mereka.
Program pendidikan HAM dan pengembangan jaringan untuk
advokasi HAM ini dirintis sejak 5 tahun silam. Pada tahun 1997
hingga tahun 2000 LP3ES menyelenggarakan program
Pendidikan HAM dasar untuk 201kalangan santri dan pimpinan
Ornop lokal. Melalui pendidikan ini diharapkan para pimpinan
NGOs dan fungsionaris pesantren memiliki kepedulian
terhadap persoalan hak asasi manusia dan melakukan
penegakan hak-hak rakyat di wilayahnya.
Dalam rencana pendidikan HAM hingga 2003 mendatang, baik
peserta maupun cakupan wilayahnya diperluas. Semula hanya
mencakup 13 propinsi di Sumatera, Jawa dan NTB kemudian
diperluas hingga menjangkau seluruh provinsi di Indonesia.
Pesertanya-pun diseleksi dari berbagai kelompok strategis di
daerah, seperti NGOs, mahasiswa, partai politik, organisasi
kemasyarakatan dan keagamaan, wartawan dan sebagainya.
Sejalan dengan semangat desentralisasi, maka pendidikan dasar
HAM, TOT HAM, dan pendidikan investigasi diselenggarakan
di daerah. Sebagai kelanjutan dari pendidikan ini akan
dikembangkan jaringan kerja antara alumni pendidikan untuk
pengembangan HAM dan demokrasi di daerah.

HAK ASASI MANUSIA TANPA DUKUNGAN POLITIK



Catatan HAM Awal Tahun 2008
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
1
Bagian 1:
Pendahuluan
Di tahun 2008 ini reformasi politik dan demokrasi telah memasuki usia sepuluh tahun.
Namun dalam sepuluh tahun itu perkembangan demokrasi belum mampu mendukung hak
asasi manusia menjadi acuan utama dalam pembuatan kebijakan publik. Maka dari itu
kinerja aktor politik dan pemerintah serta lembaga-lembaga negara tahun 2008 menjadi
sangat menentukan bagi perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia. Apa lagi di tahun
2008 ini, aktor-aktor politik akan tersedot energinya pada upaya pemenangan pemilu di
tahun 2009.
Agar di tahun 2008 ini agenda demokrasi dan hak asasi manusia menemukan traknya, maka
ELSAM menyampaikan beberapa pandangan dan analis terhadap perkembangan selama
tahun 2007. Dalam menyusun pandangan dan analisis terhadap perkembangan di tahun
2007 tersebut dipakai tiga ukuran. Ukuran pertama adalah kemampuan lembaga-lembaga
negara dan pemerintah untuk menyelesaikan kasus yang diduga sebagai pelanggaran HAM.
Kedua adalah produksi regulasi tentang – dan yang juga berdampak pada – hak asasi
manusia. Ketiga adalah partisipasi aktor-aktor politik dan masyarakat dalam menyokong
perkembangan hak asasi manusia.
Dengan memakai ketiga ukuran itu, analisis tidak lagi diarahkan pada penanganan kasus
semata, melainkan lebih pada tindakan komprehensif negara terhadap hak asasi manusia.
Lebih jauh lagi, dari ketiga ukuran itu pelanggaran hak asasi manusia tidak lagi semata
dilihat pada tataran praktis (berupa kasus atau kebijakan tertentu), melainkan juga pada
tataran teoretis (paradigma dan konsep yang menjadi landasan kebijakan negara terhadap
hak asasi manusia). Dapat dikatakan bahwa situasi HAM global-kontemporer, termasuk
yang terjadi di Indonesia, diwarnai pelanggaran bukan saja secara praktis melainkan juga
secara teoretis. Secara teoretis pelanggaran HAM terjadi dalam iklim demokrasi yang lebih
berfokus pada hak (rights-based) ketimbang pada kebebasan (liberty-based). Konsep HAM
yang demikian ini terjadi sejak adanya pergeseran paradigma dari paham hak kodrat
tradisional yang lebih menekankan ide kebebasan kepada paham hak kodrat modern yang
lebih menekankan ide hak itu sendiri.1
Pergeseran ini pada gilirannya mempengaruhi konsep dan praktik demokrasi itu sendiri.
Kalau pada konsep tradisional yang terutama diwakili Aristoteles, manusia dilihat sebagai
makhluk sosial, maka konsep modern yang terutama diwakili Hobbes melihat manusia
sebagai makhluk yang mencari kepentingan diri sendiri dan kebebasan hanya bermakna
sejauh itu untuk memuaskan kepentingan diri sendiri itu. Para pemikir hak kodrat
tradisional melihat keutamaan, atau kehidupan yang baik, sebagai tujuan baik individu
maupun bersama (komunitas). Sementara, para pemikir modern mengajukan teori hak
1 Lihat Arthur J. Dyck, Rethinking Rights and Responsibilities, The Moral Bonds of Community,
Cleveland, Ohio: The Pilgrim Press, 1994, hlm. 4-5.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
2
yang mengutamakan kepemilikan dan pemuasan hasrat untuk kepentingan sendiri.2 Konsep
dan praktik demokrasi yang diajukan oleh paham tradisional lebih melihat hak manusia
pada jalinan kelindan kebebasan satu sama lain, sementara paham modern lebih melihat
hak manusia sebagai tuntutan individual tanpa memperhatikan kepentingan yang lain
apalagi bersama.
Selain itu, secara geneologis, HAM sekarang memasuki fase ketiga yang diwarnai sekaligus
merupakan respon terhadap ideologi politik neoliberalisme (fundamentalisme pasar) di
satu sisi dan globalisme di sisi lain.3 Jadi, HAM terkepung di tengah dua ideologi besar
kontemporer ini, yang tampak setali tiga uang, tetapi tetap distingtif. Sementara itu, konsep
HAM konvensional sangat menekankan peran negara dalam penegakannya. Inilah sebuah
dilema besar. Di satu sisi ada pandangan yang state-centred, di sisi lain ada upaya
penyelesaian alternatif di luar peran negara yang sangat sentral. Pendekatan state-centred
di satu sisi menuntut penguatan posisi negara di tengah kepungan ideologi
fundamentalisme pasar dan globalisme, di sisi lain berekses pada bahaya kembalinya
otoritarianisme yang, secara genealogis, merupakan ciri khas HAM fase kedua. Pendekatan
alternatif di satu sisi membuka ruang-ruang bagi partisipasi politik rakyat yang berasal dari
“dunia kehidupan” (life-world, Lebenswelt), yang dengan demikian mengandaikan
dikuranginya peran negara dan lebih membuka pendekatan berbasis komunitas
(community-based approach) sebagai misal, di sisi lain membuka pintu bagi cengkeraman
ideologi fundamentamentalisme pasar.
Advokasi HAM kontemporer berfokus pada kemampuan aktor untuk mensintesiskan
pelbagai posisi yang membawa dilema itu. Apa yang tampak sebagai dilema kemudian
ditatap sebagai kemungkinan jalan keluar. Politik demokrasi dan hak asasi manusia tidak
berdasarkan pada ide hak itu sendiri, melainkan pada ide kebebasan; kebebasan tidak
dilihat terutama sebagai bagian dari hak, melainkan sebagai ruang bagi pemenuhan hak.
Itulah demokrasi. Advokasi HAM diarahkan pada peran negara yang fundamental di satu
sisi (tetapi tidak satu-satunya dan terpusat) dan partisipasi publik di sisi lain. Partisipasi
publik ini pulalah – jadi bukan semata peran negara – yang menjadi tameng bagi serbuan
ideologi fundamentalisme pasar dan sapuan globalisme. Pemenuhan hak asasi manusia
dapat terjamin dengan menjaga keseimbangan antara peran “dunia sistem” (negara, aktoraktor
politik, partai politik, termasuk para pemilik modal yang berpolitik) dengan “dunia
kehidupan” (masyarakat sipil, dunia riuh rendah dengan kreativitas yang bahkan chaos,
dunia kebebasan, dunia diskursus). Politik demokrasi seharusnya diarahkan ke sana agar
lebih menjamin hak asasi manusia.
2 Lihat ibid.
3 Untuk uraian lengkap tentang analisis genealogis ini, lihat Eddie Riyadi, “Hak Asasi Manusia: Sebuah
Telusuran Genealogis dan Paradigmatik”, makalah yang dipresentasikan pada Training Hak Sipol
dan Politik Berperspektif Jender dengan materi “Hak Asasi Manusia: Sejarah, Prinsip dan Isinya”,
yang diselenggarakan oleh Lembaga Damar, Lampung, pada 18 September 2006.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
3
Bagian 2:
Pelaksanaan Perlindungan dan Penghormatan HAM di
Indonesia Sepanjang Tahun 2007
2.1. Kemajuan Di Bidang Prosedur Legal Formal
Revisi Undang-Undang Hukum Pidana
Sepanjang tahun 2007, sebetulnya banyak kemajuan berarti yang sudah dicapai. Namun,
kebanyakan dari kemajuan tersebut hanya berada di tataran prosedur legal formal, sekedar
instrumen. Diantaranya adalah proses revisi kitab UU Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), naskah RUU
KUHP yang akan diajukan Pemerintah ke DPR mengandung bahaya kriminalisasi berlebihan
(overcriminalization). Politik kriminal yang dimasukkan dalam RUU KUHP justru
mengancam kebebasan dasar dan hak asasi manusia. Tampak jelas kecenderungan
menggunakan hukum pidana sebagai instrumen penekan, bukan lagi sebagai instrumen
penyelesaian masalah. Rancangan RUU KUHP cenderung melindungi kepentingan politik
negara dan kepentingan masyarakat, sehingga mengancam kebebasan individu.
Beberapa tindak pidana “baru” yang dirumuskan juga terlalu jauh masuk ke wilayah
personal/privat individu, seperti kebebasan berpikir dan kebebasan privat lainnya. Selain
itu, tim penyusun juga mencampur-adukan antara adab kesopanan, norma kepatutan, dan
pelanggaran hukum. Sehingga hampir semua perbuatan dimasukkan sebagai tindak pidana.
Perancang RUU KUHP berupaya membuat kodifikasi baru hukum pidana, misalnya dengan
mengubah sistematika KUHP dari tiga buku menjadi dua buku: Buku 1 memuat tentang
ketentuan umum, dan Buku 2 tentang tindak pidana. Jadi sudah tidak ada lagi pembedaan
antara kejahatan (crime) dengan pelanggaran (violation) sebagaimana terdapat dalam
KUHP yang kini masih berlaku. Akibat penggabungan itu, semua pelanggaran yang
tercantum dalam Buku 3, termasuk Peraturan-peraturan Daerah yang mengatur
pelanggaran, secara otomatis menjadi tindak pidana, sehingga terjadilah kriminalisasi
berlebihan.
Perlindungan Saksi dan Korban
Kemajuan yang hanya di ranah prosedur formal juga diraih di bidang perlindungan saksi
dan korban. Sementara itu, disisi lain, keberadaan para saksi dan korban masih terus
menerus mengalami ancaman, intimidasi dan tidak mendapatkan perlindungan yang
memadai. Berbagai kasus ancaman dan intimidasi kepada saksi dan korban di beberapa
daerah menunjukkan belum efektifnya keberadaan dan implementasi UU Perlindungan
Saksi dan Korban. Dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 13 tahun 2007 tentang Susunan
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
4
Panitia Seleksi, Tata Cara Pelaksanaan Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban merupakan awal yang baik bagi penegakan dan
perlindungan hak-hak saksi dan korban yang sudah sejak lama seringkali diabaikan.
Namun, pembentukan LPSK tanpa diiringi dengan persiapan infrastruktur dan sarana
pendukung lainnya tidak akan membuat LPSK yang diharapkan berjalan sebagaimana
mestinya.
Kondisi ini menunjukkan perlunya internalisasi dan percepatan dalam proses implementasi
UU perlindungan saksi, terutama bagi aparat penegak hukum, pengadilan dan departemen
terkait, khususnya Departemen Hukum dan HAM. Karena selama ini aparat penegak hukum,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan masih menganggap KUHAP sebagai satu-satunya sumber
hukum yang mengatur mengenai saksi dan korban, padahal muatan perlindungan terhadap
hak-hak saksi dan korbannya masih konvensional dan jauh tertinggal.
Proses Reformasi Komnas HAM
Pada September 2007, Komisi Nasional HAM sebagai lembaga yang menjadi ujung tombak
pemajuan HAM di Indonesia telah berganti rupa. 11 anggota baru dipilih melalui sebuah
proses panjang yang relatif lebih transparan dan mengutamakan kapasitas personal para
calon anggota. Proses pembentukan Komnas HAM yang independen, imparsial, transparan,
accountable, dan mencerminkan keragaman ini dimulai ketika Panitia Seleksi memilih dan
menetapkan calon-calon anggota yang dengan pengalaman dalam pemajuan dan penegakan
HAM telah memberikan kontribusi terhadap pemajuan demokrasi dan perlindungan HAM
di Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat dalam proses seleksi anggota Komnas HAM yang
lalu adalah dimungkinkannya partisipasi publik dalam menentukan calon-calon yang layak
sebelum diserahkan kepada DPR untuk uji kelayakan dan kepatutan. Proses selanjutnya di
DPR adalah proses politik.
Jumlah antara 11 orang Anggota barangkali adalah yang paling ideal untuk Komnas HAM
Indonesia untuk menjalankan empat fungsi Komnas HAM,4 yaitu fungsi pengkajian dan
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi. Jumlah keanggotaan yang terlalu besar
dan tidak jelas landasan pemilihannya harus dihindari karena hanya akan menghambat
bahkan melumpuhkan proses pengambilan keputusan. Bahkan institusi yang bersifat multimember
atau inter-departemen pun cenderung lebih efektif jika jumlah Anggotanya (yang
berwenang memutuskan kebijakan lembaga) sedikit. Jumlah anggota yang banyak akan
membuat Komnas HAM lamban, karena membuat Komnas HAM kerap menempuh langkah
voting dalam menyikapi peristiwa-peristiwa sosial-politik yang berdimensi hak asasi
manusia. Lebih celaka lagi, Komnas kadang-kadang terperosok ke jalur voting ini dalam
menyikapi fakta-fakta tentang peristiwa yang diindikasikan ada pelanggaran serius hak
asasi manusia. Ini lah kenyataan di Komnas sepanjang tahun 2002 sampai pertengahan
2007 yang lalu.
Dengan jumlah yang secara hipotetis ideal seperti sekarang ini, Komnas HAM memang
masih harus membuktikan efektivitas kinerjanya, mengingat efektivitas kinerja Komnas
4 Pasal 89 UU No.39/1999
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
5
HAM memegang peranan penting dalam menentukan masa depan pemajuan HAM di
Indonesia. Posisi penting Komnas HAM tidak bisa dipungkiri karena saat ini hanya Komnas
HAM lah satu-satunya institusi yang dimandatkan oleh UU Nomor 39 tahun 1999 untuk
melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang bidang
hak asasi manusia.5 Selain itu wewenang Komnas HAM dalam melakukan fungsi
pemantauan terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia juga diperkuat dengan adanya
kewenangan untuk memanggil saksi secara paksa (subpoena).6 Tidak berhenti di situ,
berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga menempatkan Komnas
HAM sebagai institusi tunggal dalam melakukan penyelidikan pro-justicia atas terjadinya
peristiwa pelanggaran berat HAM di Indonedia.7 Dengan kewenangan seperti di atur oleh
dua UU di atas maka Komnas HAM menjadi barometer bagi perkembangan dan kemajuan
atas penghargaan dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.
Dalam kondisi demikian, Komnas HAM seharusnya jangan terjebak di dalam menangani
masalah hak asasi manusia keseharian, tetapi lebih pada menjalankan fungsi
mengorientasikan arah kebijakan HAM negara. Karena Komnas HAM bukanlah
implementator tetapi sebagai peletak rambu-rambu jalannya perlindungan, pemenuhan,
dan pemajuan HAM di Indonesia. Komnas HAM seharusnya hadir di pusat-pusat politik,
terlibat dalam proses penyusunan regulasi di bidang hak asasi manusia. Komnas HAM
harusnya bisa menjadi rekanan kerja legislatif dan eksekutif dan yudikatif, setidaknya
sebagai consultative body.
2.2. Proses Pembuatan UU di Parlemen: Paket UU Politik Masih Menjadi Prioritas
Prolegnas tahun 2007 menetapkan 78 RUU sebagai RUU yang diprioritaskan
pembahasannya. Dari 78 RUU tersebut, 48 RUU diantaranya merupakan RUU luncuran
prioritas tahun 2005 dan tahun 2006. Namun, dari 78 RUU tersebut paket RUU Politik dan
pemekaran daerah ternyata masih merupakan primadona (high super priority) pembahasan
bagi DPR dan Pemerintah, dimana terhadap RUU ini semaksimal mungkin Pemerintah akan
mengupayakan secepat mungkin dibahas oleh DPR. Pada tahun 2007, setidaknya enam
RUU yang termasuk dalam paket undang-undang politik yang menjadi prioritas utama. RUU
tersebut adalah RUU tentang partai politik, pemilu anggota legislatif, susunan dan
5 Pasal 76 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999
6 Pasal 95 UU No 39 Tahun 1999 menyebutkan ‘Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang
menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan
Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan’.
7 Pasal 18 UU No.26 Tahun 2000
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
6
kedudukan anggota lembaga legislatif, pemilu presiden-wakil presiden, pemilihan kepala
daerah, serta pemerintahan daerah (termasuk perubahan mengenai pemerintahan desa)8.
Seluruh fraksi di DPR sepakat bahwa paket undang-undang bidang politik diupayakan
selesai pada tahun 2007. Alasan yang dikemukakan adalah soal kebutuhan waktu yang
memadai untuk mempersiapkan penyelenggaraan Pemilu 2009. Selain bagi peserta dan
penyelenggara, juga dibutuhkan cukup waktu untuk menyosialisasikannya kepada rakyat9.
Namun, dalam implementasinya, DPR hanya berhasil menyelesaikan 45 RUU menjadi UU,
yang sebagian besar merupakan RUU pemekaran wilayah, RUU ratifikasi perjanjian
internasional, dan RUU tentang penetapan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang) menjadi undang-undang, dimana terhadap RUU-RUU tersebut tidak
memerlukan proses pembahasan yang terlalu rumit10. Yang tidak kelihatan dari RUU yang
disyahkan DPR menjadi UU adalah RUU-RUU yang berkaitan dengan prospek penegakan
hukum dan perlindungan hak asasi manusia, seperti RUU KUHP, RUU KUHAP, dan RUU
tentang Penghapusan Diskriminasi ras dan etnis.
Dari sekian banyak UU yang dihasilkan DPR tersebut, ada dua UU yang harus mendapat
perhatian lebih dari masyarakat, karena kedua UU ini sedikit banyak akan mempengaruhi
proses penegakan hukum dan hak asasi manusia, yaitu UU No. 21 tahun 2007 tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Asing.
UU Tindak Pidana Perdagangan Orang atau UU Trafficking harus mendapat pengawalan
lebih mengingat pentingnya muatan substansi yang terdapat dalam UU ini, yaitu dalam
rangka mencegah, memberantas dan menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang,
khususnya Perempuan dan Anak11. Hal ini harus dilakukan karena sampai saat ini Indonesia
masih dianggap sebagai sebagai sumber, tempat transit, dan termasuk dalam mata rantai
trafficking dunia12, dimana pelecehan seksual dan perdagangan buruh banyak terjadi dari
pedesaan hingga perkotaan di Indonesia. Bahkan, sebagian besar perempuan yang bekerja
ke luar negeri sebagai pembantu rumah tangga rata-rata mengalami ekploitasi dan kondisi
yang buruk. Sehingga adanya UU Trafficking ini diharapkan dapat memberikan landasan
hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana
trafficking13.
8 Badan Legislasi Bersama Pemerintah Sepakati Prolegnas RUU Prioritas tahun 2007 Segera Dibahas,
www.dpr.go.id, 13 Oktober 2006.
9 Paket RUU Politik tersebut tidak selesai pada tahun 2007, sehingga pengesahannya dilakukan pada
awal tahun 2008
10 Hattrick Untuk Kinerja Legislasi Yang Buruk! Saatnya Merombak Total Aturan Main DPR,
Pernyataan Pers PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia) tentang Catatan Akhir Tahun
2007 Mengenai Kinerja Legislasi DPR RI, 26 Desember 2007.
11 Penjelasan Umum UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
12 RI Peringkat Kedua Trafficking,:Koran Sindo 14 Juni 2007
13 Trafficking dan UU PTPPO - www.fajar.co.id, Rabu, 18 July 2007
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
7
Sedangkan UU Penanaman Modal Asing, perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius
mengingat banyaknya ketentuan dalam UU PMA yang merugikan masyarakat dan
“bertentangan” dengan konstitusi UUD 1945 khususnya Pasal 28, Pasal 27 dan Pasal 33,
dimana sebagian besar ketentuan UU PMA ini memberikan peluang yang besar bagi para
pemilik modal untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan modal yang ada di Indonesia.
Misalnya yang berkaitan dengan penguasaan tanah dan jangka waktu penguasaan hak atas
tanah yang lamanya bisa mencapai 85 tahun, bahkan untuk hak guna usaha sampai 95
tahun, yang pada praktiknya hak guna usaha ini hanya dikuasai oleh pemilik modal.
2.3. Problem Dalam Level Implementasi
Lemahnya jaminan hukum atas penghormatan dan perlindungan hak-hak manusia terlihat
dengan masih belum sinkronnya standar dan norma hak-hak asasi manusia internasional ,
terutama yang sudah diratifikasi, dengan ketentuan-ketentuan hukum nasional. Ini juga
mennujukkan negara gagal menjalankan kewajibannya sebagai negara pihak. Sepanjang
tahun 2007, masih ada problem dalam level implementasi State obligation dari instrumeninstrumen
HAM internasional yang sudah diratifikasi. termasuk di dalamnya adalah masih
adanya aturan Perundang-undangan yang bermasalah, khususnya di bidang perburuhan
dan hak Ekosob, serta kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang anti orang
miskin, alih-alih membela mereka.
Kebijakan Yang Anti Rakyat Miskin
Dalam pelaksanaan instrumen hak asasi manusia, khususnya hak ekosob, kinerja
pemerintah sangat lemah. Pemahaman aparat pemerintah terhadap hak asasi, baik di
lembaga eksekutif – termasuk aparat penegak hukum maupun di lembaga legislatif menjadi
hambatan utama bagi pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang sudah
diratifikasi. Pemahaman yang lemah terhadap hak asasi pada umumnya, dan lemahnya
komitmen untuk menjalankan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak
telah berdampak pada meluasnya pelanggaran hak, khususnya terhadap warga yang lemah
secara ekonomi, sosial dan politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi ekonomi pasar
yang pro modal kuat yang telah membawa dua dampak di bidang aturan
hukum/perundangan. Pertama, aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum miskin
dan secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum miskin; Kedua,
diabaikannya/tidak dijalankannya hukum dan peraturan yang secara substansial berpihak
pada kelompok miskin.
Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 hingga 2006, paling tidak ada tiga
perundang-undangan yang selama tahun 2007 selalu mewarnai seluruh dinamika
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
8
perburuhan. Perundang-undangan itu adalah UU No 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh,
UU No 13 tahun 2003, dan UU No 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga
Undang-undang itu kemudian menjadi roh sistem perburuhan di Indonesia.14 Melalui UU No
13 tahun 2003, pemerintah mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja
dengan mengurangi “perlindungan” terhadap buruh. Tingkat upah yang tinggi di Indonesia
sering dipandang membebani kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya
tersebut ditekan.
Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran, justru PHK massal dilegalkan. Akibat PHK
tersebut, ribuan buruh ikut menambah jumlah pengangguran. Berdasarkan survey yang
dilakukan BPS, pada bulan Oktober 2005 tingkat pengangguran terbuka diperkirakan
mencapai 11,6 juta oarang atau 10,84% dari angkatan kerja yang ada yaitu 106,9 juta orang.
Angka ini jauh lebih tinggi 700.000 dibandingkan awal tahun 2005. Kemudian pada
Februari 2006 angka pengangguran mencapai 11,10 juta orang (10,40%). Sementara itu,
pada bulan Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti tetap masih tinggi yaitu sekitar
10,55 juta dengan tingkat pengangguran terbuka mencapai 9,75%.15
Hingga pertengahan tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK)
yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari seluruh kasus tersebut mencapai sekitar 500
milyar rupiah.16 Salah satu di antaranya adalah kasus PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI).
Selama kasus belum terselesaikan, agar tetap hidup, puluhan ribu buruh tersebut kemudian
bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada tahun 2007 buruh kembali
diresahkan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menurutnya akan
mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut.
Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan
Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak.
Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK).
Singkatnya, paket-paket RPP tersebut mengandung arti melestarikan sistem kontrak dan
outsorcing dan mempertegas pelegalan PHK.17 Dengan demikian perjuangan kaum buruh
menuntut hak-hak normatifnya akan semakin jauh dari realitas.
Cengkraman Fundamentalisme Pasar Melalui UU Penanaman Modal
Hantaman terhadap kaum buruh tersebut di atas dilengkapi dengan hantaman terhadap
seluruh rakyat Indonesia dengan kehadiran UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal (UUPM). Yang mengeram di balik undang-undang ini adalah ideologi neoliberalisme
atau fundamentalisme pasar yang mencengkeram hampir seluruh sendi sosial politik
masyarakat, terutama di sektor perkebunan, kehutanan, sumber daya air, pertanian dan hak
14 Catatan diskusi tentang Perburuhan bersama aktivis buruh, Khamid di Elsam tanggal 29 Oktober
2007
15 “Pengangguran Tinggi Cermin Investasi Buruk “, Koran Sindo, Kamis, 17/05/2007
16 Ulfa Ilyas, “Habis Gelap Terbit ‘Suram’, Nasib Pekerja Indonesia”, 18 September 2007,
http://lmnd.wordpress.com
17 ibid
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
9
atas pangan, dan secara khusus mengancam eksistensi masyarakat marjinal seperti
masyarakat adat.18 Politik pembangunan yang diusung oleh UUPM tampak mau mengangkat
rakyat Indonesia dari kemisikinan. Tetapi, kemiskinan yang dibaca dalam kebijakan
investasi ini adalah kemiskinan yang dihitung dari pendapatan per kapita, bukan dari
realitas arus bawah.
Politik pembangunan seperti ini persis merupakan salah satu ciri khas ideologi
neoliberalisme di mana kemakmuran suatu masyarakat dibaca dari rata-rata daya beli dan
serapan konsumsi, bukan dari kenyataan siapakah yang sesungguhnya membeli dan
mengkonsumsi itu. Para pemilik hak asasi manusia dari golongan miskin tidak punya
tempat dalam kompetisi daya beli ala neoliberalisme. Lebih jauh lagi, politik pembangunan
yang diusung oleh UUPM itu mengarah pada komodifikasi ke-Indonesia-an dari entitas
sebagai bangsa dan negara yang berdaulat secara politik dan ekonomi menjadi sebuah
“komoditi” yang siap diperjualbelikan di pasar global dengan logika fundamentalisme pasar.
Padahal salah satu poin penting dalam agenda global yang dicanangkan PBB adalah bahwa
penanaman modal tidak boleh merugikan “kepentingan” (baca: kedaulatan, pen) negara dan
rakyat suatu negara seperti pengalihan aset, devisa yang keluar lebih kecil daripada devisa
yang masuk, dan import yang lebih besar daripada eksport.
Kebijakan ekonomi neoliberal pemerintah, pada kenyataannya, justru semakin
memperburuk pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dan
memperluas kelompok miskin. terjadinya korupsi dan kebocoran anggaran telah
mempengaruhi secara negatif kemampuan pemerintah dalam merealisasi hak-hak ekosob
seperti hak atas pekerjaan, kesehatan dan pendidikan. Lebih jauh, kebijakan ini juga kian
memperparah pemenuhan hak-hak perempuan dengan kian tingginya angka eksploitasi
buruh migran perempuan, rendahnya tingkat pendidikan perempuan, tingginya angka
kematian ibu dan anak, bahkan menyebabkan terjadinya peningkatan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT).
Pengingkaran Hak Untuk Hidup
Hak untuk hidup dapat dikatakan sebagai induk dari segala hak asasi manusia. Pelbagai hak
lain yang termaktub dalam pelbagai standard dan norma merupakan turunan dari hak
untuk hidup. Dengan begitu, pelbagai pengaturan hak lainnya dan hukum yang mengatur
manusia seharusnya selalu diarahkan pada hak untuk hidup tersebut. Pelbagai kebijakan
dan praktik yang berkaitan dengah hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya,
pada akhirnya semua mengarah pada hulu sekaligus muara segala hak itu, yaitu hak untuk
hidup. Kenyataannya, hak tersebut semakin terlanggar baik dalam praktik maupun secara
tertulis, baik dalam kebijakan berkaitan dengan hak sipil dan politik, maupun hak ekonomi,
sosial dan budaya. Banyak sekali kebijakan dan praktik di bidang hak ekonomi, sosial dan
budaya yang tidak mengindahkan hak untuk hidup tersebut. Kasus-kasus pelanggaran di
tempat beroperasinya MNCs/TNCs, kasus busung lapar, dsb., adalah sedikit contoh dari
18 Lihat Laporan Utama ASASI, Edisi Mei-Juni 2007, “UU Penanaman Modal dan Pelumpuhan Sendi
Pembangunan Nasional Indonesia” dan “Cakar Neoliberalisme dan Bahaya bagi HAM: Catatan
Kritis terhadap UU Penanaman Modal”.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
10
pelbagai pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya yang sebenarnya merupakan
pelanggaran terhadap induk segala hak itu, yaitu “hak untuk hidup”. Penghukuman yang
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat juga merupakan contoh yang paling
sadis dari pelanggaran terhadap hak untuk hidup. Dan, yang paling tidak rasional dan etis
adalah penerapan hukuman mati.19
Pidana mati masih tercantum dalam 11 regulasi, meskipun Konstitusi UUD 1945 sebagai
norma hukum tertinggi menjamin Hak Hidup bagi setiap orang. Jaminan konstitusi tersebut
dapat dilihat dalam Pasal 28 E dan 28 I ayat (1) UUD 45. Jaminan ini diperkuat lagi setelah
Indonesia meratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik (ICCPR) menjadi UU No. 12 tahun 2005.
Sementara itu, draft revisi RUU KUHP yang sedang tahap penyusunan juga masih
memberlakukan hukuman mati yaitu dalam Pasal 87-90 meskipun memberikan batasan
yang ketat bagi terpidana, termasuk adanya pertimbangan akhir –lewat evaluasi yang
cukup lama- untuk mempersulit eksekusi mati bagi seorang terpidana. Namun penundaan
eksekusi yang berkepanjangan (death row phenomenon) terhadap seorang narapidana juga
tidak diperkenankan.
2.4. Otonomi Daerah dan Hak Asasi Manusia
Selain upaya perlindungan HAM yang secara umum hanya mencapai ranah legal formal dan
prosedur semata, juga masih ada gap yang persisten antara hukum tertulis dengan
pelaksanaannya di lapangan, serta masih belum sinkronnya peraturan-peraturan yang
berlaku nasional dengan yang berlaku sektoral atau peraturan-peraturan daerah,
khususnya yang berpengaruh terhadap perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia.
Fenomena paling “menarik” belakangan adalah munculnya Peraturan-peraturan daerah
yang justru mendorong intoleransi beragama dan menjadi sumber dari konflik-konflik
komunal dalam masyarakat.
Ketika munculnya era reformasi sejak tahun 1998, Indonesia memulai jejak baru
penyelenggaraan pemerintahan yang tadinya bersifat otoriter dan sentralistik (terpusat),
berangsur-angsur mencoba menguranginya dengan salah satu cara, yaitu otonomi daerah.
Penyesuain dasar hukum terhadap perjalanan konsep otonomi daerah ditandai dengan
adanya perubahan yaitu UU No 22/1999 diganti dengan UU No 32 /2004. Daerah pun lebih
memilki kewenangan untuk mengatur dan mengurusi rumah tangganya sendiri meskipun
diberikan oleh pemerintah pusat, dampak yang timbul kemudian terjadi dewasa ini adalah
banyaknya produk hukum daerah, terutama Peraturan Daerah (Perda) dianggap
bermasalah.
19 Tentang argumentasi tidak rasional sekaligus tidak etisnya hukuman mati silahkan baca tulisan
pendek Eddie Riyadi, “Hukuman Mati: Tidak Rasional dan Etis”, ASASI Edisi Maret-April 2007.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
11
Intoleransi Antar Umat Beragama
Dalam konteks intoleransi beragama, Konstitusi menegaskan bahwa “Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya ...(pasal 28 E ayat 1 UUD 1945).
Sementara itu Pasal 29 UUD 1945 secara tegas menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Namun pada kenyataannya berbagai pembatasan diberlakukan atas
jenis-jenis kegiatan keagamaan tertentu, dan/atau atas agama atau aliran kepercayaan yang
tidak diakui pemerintah. jaminan dari konstitusi ini di kekang oleh Peraturan Presiden No.
1/PNPS/1965 yang mengakui atau tidak mengakui keberadaan suatu agama atau aliran
kepercayaan. Kemudian Peraturan Presiden ini diadopsi di dalam KUHP yaitu Pasal 156 A
tentang Penodaan Agama yang memberi kewenangan negara untuk mengkriminalisasi
agama-agama atau sebuah aliaran Keyakinan/kepercayaan yang dianggap sesat.
Namun, yang terjadi di Indonesia justru menjamurnya berbagai peraturan daerah (perda)
berlatar belakang agama tertentu di beberapa wilayah akibat politik identitas yang tidak
terkontrol. Perda-perda tersebut berbasis pada agama sebagai sampul, bukan agama
sebagai spirit, substansi, atau nilai. Pada rumpun perda kehidupan sosial, kritik tidak
terutama kepada substansi yang hendak diatur, tetapi atas korupsi legislasi yang kerap
membuat suatu perda jatuh pada titik-titik ekstrem: distortif atau eksesif.
Terhadap Perda-perda semacam ini, pemerintah tidak menggunakan wewenangnya untuk
me-review atau membatalkan. Padahal, jika merujuk pada ketentuan Undang-Undang (UU)
Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah, pemerintah dapat membatalkan
perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi.
Perda-Perda Yang Melanggar Hak Asasi Manusia
Sampai saat ini, setidaknya ada 46 Peraturan Daerah (Perda) berbasis Syariah yang berlaku,
dan belum ada satupun yang ditinjau atau dibatalkan oleh Pemerintah pusat meskipun
Perda tersebut melanggar prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi, khususnya
prinsip-prinsip kebebasan beragama dan hak-hak perempuan.
Misalnya saja, 18 dari 22 kabupaten/kota di propinsi Sulawesi Selatan mengadopsi aspekaspek
Syariah dalam Perda-nya. Kabupaten Bulukumba bahkan punya empat Perda yang
menerapkan aspek-aspek Syariah. Kabupaten Bulukumba dan Bone mewajibkan kepala
desa, calon-calon Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS), siswa SMP ke atas, dan mereka yang
akan menikah untuk dapat membaca tulisan Al-Qur’an. Di Padang, Sumatera Barat, walikota
menghimbau seluruh perempuan muslim untuk memakai jilbab, dan kantor Pemda pun
kemudian menerapkan aturan ini terhadap para pegawainya. Perda di kabupaten
Pamekasan mewajibkan pemakaian jilbab bagi PNS perempuan serta mengatur penundaan
semua kegiatan publik pada saat adzan dikumandangkan.
Kota Tangerang sampai saat ini masih menerapkan Perda kota Tangerang No 8/2005
tentang pelarangan pelacuran dimana sering terjadi salah penangkapan pelanggarnya
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
12
dimana perempuan yang berkeliaran tengah malam di kota Tangerang memakai pakaian
minim langsung dianggap WTS kemudian ditangkap/ditertibkan. padahal belum tentulah
perempuan itu sebagai WTS;
Perda lainnya seperti Perda Provinsi Sumbar No 11/2001 tentang pemberantasan dan
pencegahan maksiat; Perda.Kab Solok No 10/2001 tentang kewajiban membaca Alquran
bagi siswa dan pengantin; Perda Kab Solok No 6/2002 tentang pakaian Muslimah; Perda
Kab Padang Pariaman No 2/2004 tentang pencegahan, penindakan, dan pemberantasan
maksiat; Perda No 6/2005 Enrekang (Sulawesi Selatan) tentang busana Muslimah dan baca
tulis Alquran, Perda Gresik No 7/2002 tentang larangan praktik prostitusi; Perda No
6/2000 Kab Garut tentang kesusilaan dan belum lagi Perda-perda yang mengatur tentang
pajak/ restribusi daerah, yang terkadang bertabrakan dengan peraturan pemerintah pusat
mengenai hal itu.
Parahnya, Pemerintah justru bersikap toleran terhadap kekerasan dan intimidasi yang
dilakukan kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok-kelompok keagamaan ini, dan
enggan untuk melakukan proses hukum terhadap para pelaku kekerasan tersebut.
Sepanjang tahun 2007, banyak terjadi kekerasan di mana kelompok masyarakat atau
keagamaan tertentu menindak dan membubarkan aliran-aliran kepercayaan dengan caracara
kekerasan, yang pada dasarnya mengacu pada fatwa dari MUI (Majelis Ulama
Indonesia) yang menyatakan sesat sebuah aliran kepercayaan atau agama. Munculnya
Fatwa MUI ini menimbulkan berbagai aksi kekerasan dan pengrusakan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok masyarakat lain.
Secara historis dan normatif, status keberadaan MUI ini adalah sebagai Organisasi
Masyarakat yang tidak berbeda statusnya dengan Organisasi Masyarakat lainnya. Oleh
karena itu, tidak ada otorisasi dari lembaga manapun yang bisa mengklaim sesat atau tidak
sesatnya berkeyakinan atau beragama seseorang. Fatwa MUI pada prinsipnya tidak boleh
disikapi sebagai sebuah keputusan hukum yang mengikat. Kesalahan polisi sebagai
penanggung jawab keamanan negara dan pelindung masyarakat dalam penanganan kasuskasus
semacam ini adalah mereka baru bersikap setelah adanya keputusan/fatwa dari MUI.
Seharusnya polisi bisa bersikap dan mengambil tindakan –memproses secara hukum aliranaliran
menggunakan cara-cara di luar hukum dalam menyebarkan kepercayaannya, dan
mencegah terjadinya kekerasa dalam masyarakat sebagai reaksi dari kegiatan aliran-aliran
tersebut– sebelum adanya fatwa, karena fatwa MUI bukanlah sebuah keputusan hukum,
karena MUI bukanlah lembaga negara.
Konflik-konflik dan Kekerasan Komunal
Selama kurun waktu 1998-2007 fenomena kekerasan komunal di Indonesia menjadi suatu
hal yang biasa terjadi, bahkan mungkin bisa dibilang menjadi wajah Indonesia. Kekerasan
komunal di sini dideskripsikan sebagai kekerasan sosial yang melibatkan setidaknya dua
kelompok masyarakat, baik dua pihak yang berhadapan maupun satu kelompok diserang
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
13
oleh kelompok yang lain, di mana penyerangan tersebut biasanya dilandasi oleh adanya
perbedaan etnis, agama, kelas sosial, maupun afiliasi politik.
Kekerasan komunal yang terus berulang di nusantara itu di satu sisi memperlihatkan
rendahnya toleransi dalam masyarakat. Di sisi lain, merefleksikan lemahnya kapasitas
pemerintah dalam mengelola konflik di masyarakat. Lemahnya kapasitas pemerintah dalam
mengelola konflik di kala toleransi menyusut di dalam masyarakat tentu menjadi situasi
yang mengkhawatirkan. Kerapnya dipakai garis etnis atau agama dalam tindakan kekerasan
komunal di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini menunjukan proses
pembangunan politik belum mampu beranjak jauh dari ikatan-ikatan primordial.
Berdasarkan pada hasil workshop tentang kekerasan komunal yang diselenggarakan oleh
ELSAM bulan November 2007 lalu, secara umum, ada setidaknya lima ciri dari berbagai
kekerasan komunal yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan, yaitu:
(1) Adanya perebutan atau pengambilan alih aset produksi;
(2) Terjadi tindak kekerasan atau terhadap kelompok yang beridentitas tertentu;
(3) Ada upaya penghilangan sejarah dan jatidiri suatu identitas kelompok/komunitas oleh
kelompok lainnya;
(4) Pengingkaran atau pembatasan akses ekonomi, sosial, dan budaya terhadap kelompok
tertentu; dan
(5) Terjadinya perubahan relasi dalam struktur ekonomi dan politik dalam satu wilayah
tertentu.
Konflik komunal yang banyak terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2007 telah memperluas
kekerasan di tengah masyarakat, yang pada giliranya akan menjadi penghambat bagi
pematangan demokrasi dan pengimplementasian kebijakan-kebijakan yang bernafaskan
perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia. Jika tidak ditangani secara tepat, konflikkonflik
komunal yang terjadi akan menjadi sandungan dalam mewujudkan keadilan kepada
masyarakat, khususnya keluarga korban.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang tadinya diharapkan bisa menjadi sarana
mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan, dalam perkembangannya malah menjadi
lahan subur bagi tumbuhnya berbagai bentuk tindakan intoleransi yang sangat berpotensi
menjadi aksi kekersan. Artinya proses desentralisasi dan otonomi daerah melum mampu
menjadi peluang bagi mengkristalnya toleransi di masyarakat. Kondisi ini lah yang sering
menjadi pola umum bagi merebaknya konflik komunal atau primordial di Indonesia.20 Di
saat pemerintah pusat belum stabil, tumpahnya kewenangan ke daerah inilah yang
kemudian menjadi masalah serius. Lebih jauh dari itu adalah munculnya hasrat untuk
memebentuk provinsi dan atau kabupaten baru di mana-mana demi penunggalan identitas
20 Pertalian antara kekerasan komunal dengan otonomi daerah lihat Tubagus Ronny Rahman
Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah: Sketsa Bayang-bayang Konflik ddalam
Prospek Masa Depan Otnomi Daerah, (Jakarta: Peradaban, 2002)
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
14
etnis atau agama. Bahkan kekerasan komunal menjadi warna tersendiri dalam menentukan
pimpinan di beberapa instansi daerah.21
Di masa mendatang, perlu dikawatirkan bahwa potensi terjadinya kekerasan komunal
justru akan meningkat. Apalagi bila dikaitkan dengan otonomi daerah, pilkada, pemilu dan
perebutan sumber daya ekonomi di daerah. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian
masalah kekerasan komunal sebenarnya tidak bisa hanya melalui pendekatan legal formal
semata. Dibutuhkan suatu upaya ekstra berbasis kajian secara lebih mendasar dengan
menguraikan pokok-pokok permasalahan yang mendasar baik secara sosial, ekonomi,
budaya, maupun politik.
2.4. Partisipasi Politik dan Hak Asasi Manusia
Meski reformasi politik yang menghantar demokrasi beroperasi di Indonesia telah
memasuki bilangan 10 tahun, persoalan hak asasi manusia di tahun 2007 masih dilihat
sebagai ruang gelap oleh banyak kalangan. Bisa dikatakan, banyak kalangan menilai
beberapa kebijakan politik pemerintah di semua level dalam bidang hak asasi manusia
belum menyumbang banyak bagi perbaikan nasib rakyat, khususnya mereka yang menjadi
mangsa dari rezim otoriter di masa lalu dan mereka yang menjadi tumbal dari liberalisasi
ekonomi di era reformasi ini.
Bukan itu saja, kegelapan bidang hak asasi manusia itu juga mengental akibat belum adanya
tindakan operasional yang memadai untuk menjelaskan mengapa gelombang kekerasan di
berbagai daerah yang pecah seiring dengan reformasi politik bisa terjadi begitu masif
dengan ratusan korban jiwa dan harta. Bahkan di Poso kekerasan jenis ini baru mendingin
beberapa bulan lalu, setelah beberapa orang bersenjata digelandang polisi ke tanahan dan
pengadilan. Dalam kekersan komunal seperti itu, soalnya bukan sekedar ditangkapnya
seseorang yang didakwa sebagai pelaku, meski pun itu amat penting, melainkan juga
bagaimana nasib korban? Siapa yang bisa memulihkan trauma dan kerugian yang mereka
hadapi? Siapa yang harus meringankan beban para korban itu, ketika kemiskinan
mendadak menyertai hari-hari mereka setelah segala miliknya dirampas oleh kekerasan?
Jika diajukan pertanyaan seperti ini, terasa memang negara atau pemerintah dalam segala
level absen dari perannya.
Pandangan Komnas HAM tentang kondisi HAM adalah pandangan yang paling representatif
untuk dipakai menunjukan kegelapan ruang HAM itu. Sehingga untuk tahun 2008 Komnas
HAM mencanangkan menjadi tahun untuk para korban. Pendedikasian kerja Komnas HAM
kepada mereka yang menjadi korban selama tahun 2008 menunjukan Komnas HAM masih
21 Kekerasan komunal yang pecah di Poso dan Maluku sangat jeals memperlihatkan hal ini. Mengenai
persoalan pengisian jabatan menjadi picu dari kekerasan di Poso simak Rinady Damanik, Tragedi
Kemanusian Poso, PBHI, Jakarta, 2003. Bandingkan pula dengan Amidhan (dkk), Poso: Kekerasan
yang Tak Kunjung Usai (refleksi 7 tahun konflik Poso), Komnas HAM, Jakarta, 205.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
15
menilai keadaan masih buruk, sama dengan tahun-tahun yang telah berlalu. Sekedar
mengingatkan di tahun 2006 Komnas HAM pernah menyimpulkan: “Tahun 2006, seperti
juga tahun 2005, masih ditandai oleh berlangsungnya tindak pelanggaran hak atas rasa
aman, hak beragama dan menjalankan ibadat, hak bergeak, berpindah dan bertempat
tinggal di mana pun dalam wilayah Republik Indonesia, hak untuk hidup bahagia dan
tentram lahir bathin, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan dan hak atas
lingkungan yang baik.”
Pandangan Komnas HAM yang suram akan keadaan HAM itu, sepertinya mendapat
konfirmasi dari beberapa kalangan pemerhati dan pengiat LSM di akhir tahun 2007.
Pandangan-pandangan itu dapat kita simak di beberapa media massa, pada intinya
menyatakan bahwa aparat pemerintah dan atau negara telah gagal atau lalai menunaikan
tugasnya dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia.
Sebuah kejernihan pandangan, mungkin juga sikap yang tidak bisa dibantah memang.
Namun ada sebuah soal yang tak terang di situ, yaitu melupakan ruang partisipasi yang
terbuka begitu lebar sesunguhnya untuk memepengaruhi si pemerintah atau negara yang
tertuduh itu. Artinya kekuatan-kekuatan politik di luar negara seakan terlupakan sebagai
faktor yang mempengaruhi perkembangan hak asasi manusia. Pada hal kekuatan-kekuatan
politik, khususnya partai politik sangat memiliki peran besar dalam memepengarui arah
dan tujuan dari penyelenggaraan negara.
Untuk itu ELSAM mencoba menawarkan satu cara pandangan lain dalam melihat persoalan
hak asasi manusia. Cara lain ini ditawarkan agar lorong gelap itu mampu menghadirkan
cahaya di ujung. Cara lain itu adalah cara pandang politik, yaitu munculnya ruang
partisipasi, untuk menambahi cara pandang legal formal yang terlalu menekankan
instrumen hukum dan penangganan masalah secara hukum yang titik beratnya selalu pada
negara.
Cara pandang politik lebih menyorot peran aktor dalam memajukan hak asasi manusia.
Aktor yang paling dominan di Indonesia dalam sepuluh tahun ini tak lain dan tak bukan
adalah partai politik. Dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, tak ada sejumput
pun ruang yang tersisa dari jamahan partai politik saat ini. Kehadiran puluhan dan bahkan
ratusan partai politik di setiap tahun menjelang Pemilu adalah berkah bagi hak asasi
manusia. Artinya kehadiran banyak partai politik dengan sendirinya menyediakan banyak
ruang dan pilihan bagi setiap individu untuk menyalurkan keyakinan dan sikap politiknya .
Jika di baca dengan kaca mata hak asasi manusia, kehadiran banyak partai politik di tahun
2007 dan tahun-tahun sebelumnya telah memberikan ruang bagi rakyat Indonesia
menikmati hak asasi manusia yang paling esensial yaitu kebebasan untuk berpartisipasi
secara politik, yaitu dipilih dan memilih secara langsung dan terbuka para pejabat politik.
Terpenuhinya hak paling dasar ini, tidak bisa ditarik lagi.
Hasil dari kebebasan untuk berpartisipasi secara politik kian baik sejak diperkenalkan pula
pemilihan kepala daerah secara langsung. Sejak tahun 2005 sampai akhir tahun 2008 telah
dilangsungkan pemilihan kepala daerah Gubernur dan Bupati/Walikota 300 kali lebih.
Artinya rakyat Indonesia telah memakai hak asasinya yang paling menentukan bagi
republik ini yaitu memilih pemimpin-pemimpinnya secara langsung sebanyak 300 kali lebih
pula.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
16
Seturut dengan itu, sempai tahun 2007 habis, rakyat Indonesia juga menikmati hak asasi
esensial lainnya yaitu, kebebasan berserikat dan berkumpul. Secara politik, tidak ada
lagi halangan untuk setiap orang secara bersama-sama berhimpun kedalam segala macam
bentuk organisasi. Untuk menunjukannya ini ada dua macam organisasi sebagai ukuran.
Pertama tentu organisasi yang memiliki pengaruh politik yang kuat, yaitu partai politik.
Sampai bulan November 2007 paling tidak telah terdaftar 79 partai politik baru di
Departemen Hukum dan HAM. Jika ditambahkan dengan 24 partai politik yang peserta
Pemilu tahun 2004, maka saat ini ada 103 partai politik di Indonesia. Partai-partai itu
memiliki pengurus daerah dan cabang paling tidak 50% dari provinsi dan kabupaten di
seluruh Indonesia yang saat ini berjumlah 470. Bahkan di Aceh setelah perdamaian hadir di
tahun 2005, rakyat Indonesia diperbolehkan pula mendirikan partai politik dalam skala
Provinsi.
Kedua adalah organisasi non pemerintah yang menyatakan dirinya Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Saat ini ditengarai ada ribuan LSM di Indonesia dari Merauke sampai
Sabang. LSM ini menyebar dalam seluruh aktifitas kehidupan masyarakat Indonesia, mulai
dari soal bimbingan beternak ayam sampai pada penanggulangan wabah HIV/ADIS. Mulai
dari soal gerakan nge-wach soal korupsi sampai pada membela kebebasan berkeyakinan.
LSM juga hadir mulai dari kantor DPRD Kabupaten di Wamena sampai di ruang-ruang
sidang di DPR-RI di Senayan. Singkatnya kehadiran LSM sebanding dengan Partai Politik
dalam menjamah setiap relung kehidupan masyarakat.
Seturut dengan itu, hak asasi yang dinikmati dengan luar biasa saat ini adalah kebebasan
menyatakan pendapat secara terbuka.22 Media massa segala jenis hadir di setiap ruang
tanpa ada sensor apalagi ditelpon oleh BAIS atau BIN. Setiap orang boleh bicara dan
menyampaikan pendapatnya di depan umum, asal tidak mencemarkan nama baik dan
fitnah. Setiap orang boleh unjuk rasa setiap hari di semua tempat untuk memprotes segala
hal dan siapa pun. Hak asasi jenis ini tak mungkin lagi meredup, meski pun ada satu dua
pihak mencoba untuk mereduksinya dengan segala cara.
Singkatnya, sepanjang tahun 2007 dan pasti juga sampai tahun 2008 usai, ketiga hak asasi
dasar yang terpapar di atas telah menunjukan kemajuan yang sangat berarti. Dalam
rumusan lain, ketiga hak dasar itu telah menyumbangkan satu kekuatan bagi demokrasi
untuk berkembang lebih baik di Indonesia. Paling tidak dari perkembangan tiga hak asasi
dasar itu, proses demokratisasi tetap bisa dipertahankan sampai sekarang.
Dengan menggaris bawahi ketiga hak asasi dasar itu, ELSAM ingin menekankan bahwa
rakyat Indonesia telah memiliki senjata di tangan untuk terus memperbaiki kualitas
demokrasi dan hak asasi manusia. Dengan modal tiga hak asasi dasar itu, rakyat Indonesia
berperan besar pula dalam menentukan kualitas dari penyelenggaraan pemerintahan dan
perkembangan hak asasi manusia di Indonesia. Di atas tiga hak asasi dasar itu pula lah
harapan selalu tumbuh akan adanya perbaikan di Indonesia.
22 Kebebasan jenis ini memang agak ternoda sedikit oleh tindakan Kejaksaan Agung yang melarang
buku pelajaran sejarah sekolah menengah secara nasional dengan cara membakar, melarang
beredar buku soal Melaniesia di Jayapura yang ditulis oleh orang Papua sendiri dan menyeret
Besihar Lubis ke pengadilan di Depok karena kolomnya menyingung aparat Jaksa.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
17
Bagian 3:
Proyeksi Kondisi HAM di Indonesia 2008
Beranjak dari uraian di atas yang menampilkan dua sisi paradok dari kenyataan politik hak
asasi manusia di Indonesia, kondisi apa yang akan kita hadapi di tahun 2008? Agar tidak
tercebur menjadi paranomal, untuk menjawab pertanyaan itu tentu refleksi dan pemaknaan
terhadap hal-hal yang telah ada selama tahun 2007 menjadi penting.
Sebelum menjawab pertanyaan mendasar itu, maka baik kiranya kita lihat perubahan apa
yang sesunguhnya sedang dihadapi oleh Indonesia selama ini. Saat ini Indonesia adalah
negara yang didadak oleh demokrasi. Di tahun 2007 demokrasi yang mendadak Indonesia
itu secara politik mulai matang secara prosedural. Namun dalam isi demokrasi itu masih
mentah.
Ada setidaknya tiga faktor yang mempengaruhi dan menentukan arah dan nasib
perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia di tahun 2008.
Pertama, telah berkembangnya secara signifikan norma-norma HAM dalam hukum positif
nasional dan telah pula diratifikasikasinya instrumen induk HAM yaitu Kovenan
Internasional Hak SIPOL dan EKOSOB oleh Indonesia di tahun 2005. Lebih dari itu, norma
HAM telah pula menjadi ketentuan pokok dalam Konstitusi Indonesia. Dengan kata lain
tuntutan atas perlindungan dan pemenuhan HAM di masa datang adalah tuntutan yang
konstitusional. Untuk itu telah pula hadir dua lembaga penangungjawab masalah HAM
secara kelembagaan yaitu Komnas HAM dan Direktorat HAM sebagai lembaga ekekutif di
Departemen Hukum dan HAM.
Kedua, berubahnya format politik nasional dari sentralis menjadi desentralis. Dalam format
politik yang terdesentralisasi, instansi di daerah memainkan peran penting dalam
perlindungan dan pemenuhan HAM, khususnya hak dalam klasifikasi EKOSOB. Hal itu
tercermin dari kian leluasa dan besanya peran pemerintaha daerah dan DPRD dalam
membuat kebijakan setingkat Perda. Hal itu ditegaskan pula oleh UU No.32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyatakan “Urusan pemerintahaan yang menjadi urusan
Pemerintah Pusat adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan
fiskal nasional serta agama.” Artinya selain ke lima urusan itu menjadi urusan pemerintah
darah.
Ketiga, dianutnya sistem multi partai dalam politik nasional. Dalam sistem multi partai,
rekrutmen para elit nasional dan lokal baik di jajaran eksekutif mau pun legislative
didominasi oleh partai politik. Konsekwensinya aktor-aktor dari partai politik menjadi
dominan dalam menentukan kebijakan di tingkat nasional dan daerah. Dengan sendirinya
berubahnya komfigurasi elit di tingkat nasional atau daerah yang sejalan dengan naik
turunya dukungan dan kesolitan partai politik akan mempengaruhi konsisi perlindungan
dan pemenuhan HAM.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
18
Perpaduan ketiga hal di atas selama tahun 2007 belum terjadi sehingga, aktor, insitusi dan
instrumen yang ada tidak bisa berjalan sinergis karena ketiadaan dukungan dari aktor
utamanya yaitu partai politik. Di sisi lain partai politik sebagai pemain kunci tidak bisa pula
menyumbangkan dan atau memilih orang yang tepat untuk setiap lembaga yang dibuat
untuk memberikan energi bagi perbaikan kondisi HAM.
Singkatnya selama tahun 2008 akan terjadi stagnasi dalam bidang hak asasi manusia yang
disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, orang-orang dari partai politik yang telah
menerima manfaat dari kebebasan berorganisasi dan kebebasan berpartisipasi secara
politik yang dimiliki rakyat tidak mampu memberikan umpan balik kepada para
penyokongnya itu untuk memejaukan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, partai politik
gagal menghadirkan orang-orang yang memiliki kemampuan untuk memajukan hak asasi
manusia, baik di level kabupaten mau pun provinsi. Implikasinya adalah rakyat yang
merasa dikhianati akan merasa kebebasan berorganisasi dan berpartisipasi secara politik
menjadi tak berguna memperbaiki kehidupan sosial mereka. Akibatnya hak-hak itu akan
digunakan untuk melancarkan aksi massa yang menghadirkan tindakan kekerasan karena
kekecewaan yang mengumpal. Gejala ini telah muncul saat ini.
Kedua, otonomi daerah yang semestinya menjadi wahana utama untuk meningkatkan
perbaikan hak asasi manusia menjadi bumerang karena menimbulkan dua gejala yaitu
teritorilisasi identitas (etnik atau agama) di satu sisi dan sisi lain menjadi pengukuhan
oligarhi elit. Teritoriliasi identitas implikasinya adalah akan mengancam pluralitas karena
akan sangat menekankan ketunggalan. Gejala ini telah tampak saat ini dengan munculnya
gerakan komunitas dengan kekerasan untuk menghadapi dan menghancurkan apa yang
tidak sama dengan komunitas itu. Perda-perda yang mengandung nilai intoleransi dalam
beragama, penyerangan tempat ibadah dan kelompok keagamanan semacam Ahmadiah
adalah manifestasi dari ini.
Sementara implikasi dari oligarkhi elit adalah terjadi arus balik para elit lama di Jakarta ke
daerah dalam memperebutkan kekuasaan mulai dari tingkat bupati sampai gubernur.
Oligarkhi elit lama ini pada gilirannya akan menyumbat sirkulasi elit di daerah yang
akibatnya adalah pembaharuan baik secara personil mau pun orientasi akan macet di level
daerah. Selain itu rakyat di daerah diseret kedalam pertarung politik yang terjadi di pusat.
Implikasinya adalah pertarungan politik antar elit di Jakarta, sekaligus menjadi pertarungan
antar kekuatan politik di daerah. Hasilnya adalah otonomi daerah tidak menjadi kendaraan
untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia di daerah, melainkan menjadi ajang
rebutan kekudukan antar elit dalam rangka menguasai sumberdaya ekonomi.
Ketiga, adanya ruang kosong antara pimpinan pusat dan daerah. Konsekwensi dari
keadaan ini secara operasional adalah instrumen di tingkar pusat tak terjabarkan di tingkat
daerah. Artinya pemerintah dan pimpinan politik di pusat dan daerah jalan sendiri-sendiri
dalam memaknai arti dari demokrasi. Implikasinya adalah banyak kebijakan pusat yang
ramah HAM menjadi tidak operasional di daerah, dan sebaliknya banyak inisitif daerah
yang mengedepankan HAM menjadi tidak mendapat sokongan dari pusat. Hal ini telah
tampak di Aceh dan Papua.
Sampai saat ini, belum ada inisiatif yang memadai dari pusat dalam mendukung berjalannya
agenda pemenuhan hak-hak korban di Aceh dan Papua meskipun di kedua daerah ini ada
inisiatif untuk itu. Contoh yang paling faktual di Aceh adalah belum memadainya sokongan
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
19
pemerintah pusat dan pimpinan partai politik dalam menuntaskan masalah reintegrasi.
Sementara di Papua, dalam kerangka melindungi hak-hak asasi orang Papua asli sampai
saat ini belum ada arahan dari Jakarta, bagaimana hal itu mesti diformulasikan.
Terakhir, tantangan terberat dalam memajukan, menegakan dan memenuhi hak asasi
manusia di tahun-tahun mendatang khususnya tahun 2008 adalah menguatnya identitas
teritorial di satu sisi dan mengencangnya intoleransi dalam beragama di sisi lain. Teritorial
identitas akan menyeret Indonesia masuk kedalam kubangan tindakan kekerasan dengan
aroma etnis yang dimanifestasikan dalam segala bentuk tuntutan pembentukan dan
penolakan provinsi dan kabupaten/baru sampai kecamatan baru. Intoleransi beragama
akan membenamkan Indonesia kedalam lumpur kekerasan yang sporadis si berbagai
daerah dengan dalil membasmi aliran sesat atau menolak siar agama lain.23
Sejurus dengan itu adalah kian merasuknya penetrasi sisitem ekonomi modal kedalam
segala lapisan kehidupan sosial. Dominasi sisitem ekonomi modal ini pada gilirannya tidak
lagi menghadirkan barang-barang kebutuhan rakyat di semua pelosok nusantara,
melainkan hanya menyediakan barang-barang yang mendatangkan keuntungan. Artinya
barang kebutuhan rakyat hanya akan ada di daerah dimana ada daya beli. Kosenwensinya
adalah kelaparan dan kurangi gizi, ketiadaan minyak tanah, ketiadaan air bersih, ketiadaan
obat-obatan di daerah tertentu dan sementara di daerah lain melimpah. Ini lah paradok
sisitem ekonomi yang tidak menimbang sisi keadilan dari perspektif hak asasi manusia.
23 Selam tahun 2007 gejala ini sangat dominan.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
20
Bagian 4:
Penutup dan Rekomendasi
Dari paparan di atas ada beberapa kesimpulan yang bisa ELSAM kemukakan.
Pertama, kelemahan mendasar dari Pemerintahan SBY-JK dalam pemajuan, perlindungan
dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tidak adanya program pemerintah yang
dirumuskan secara spesifik sedari awal. Akibatnya setelah tiga tahun memerintah SBY-JK
belum mampu mengorientasikan seluruh jajaran pemerintah di pusat dan daerah untuk
memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Kelemahan ini kian tampak dari
tidak aplikatifnya RAN HAM yang dibuat oleh MenhukHAM. Hal itu terjadi karena masingmasing
instansi pemerintah pusat dan daerah jalan sendiri-sendiri dalam menterjemahkan
dan menjalankan agenda HAM-nya. Di samping agenda HAM di berabgai level terlalu
dipercayakan pada birokrasi yang sama sekali tidak memilik budaya HAM.
Kedua, selama tahun 2007 dan mungkin 2008 perkembangan Hak Asasi Manusia di
Indonesia sunguh berada dalam situasi yang ironi. Ada dua hal yang menunjukan gejala itu,
pertama adalah hak asasi manusia melambat di saat semua perangkat hukum dan insitusi
untuk mengembangkannya ada. Kedua substansi hak asasi mausia yaitu keadilan dilupakan
dikala semua pihak berebutan bicara soal keadilan dan demokrasi.
Ketiga, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Mausia selama tahun 2007 semuanya
ditumpukan pada pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah dan partai politik
berlomba untuk mengagahi kekuasaan dan kewenangan yang telah ada pada mereka.
Artinya para pemerintah daerah (yang disokong oleh para Partai Politik) lepas tangan
dengan masalah hak asasi manusia di daerahnya dengan menyalahkan pusat terusmenerus.
Maka dari itu, agar hak asasi manusia bisa menjadi kenyataan yang riil dirasakan
oleh rakyat di seluruh Indonesia, pemerintah daerah dan partai politik harus lebih banyak
menunjukan kepedulian mereka.
Keempat, dalam menilai kondisi Hak Asasi Manusia secara ke seluruhan hanya ditumpukan
kepada pemerintah bukan saatnya lagi. Yang wajib dikemukan sekarang adalah bahwa
partai politik adalah lembaga utama yang berpengaruh terhadap maju atau stagnannya
agenda hak asasi manusia. Sebab, hampir di semua lapisan pemerintahan partai politik
berperan dominan. Selain itu dalam skala pemerintahan pusat, kekuatan partai politik
sangat menentukan, karena DPR-RI adalah centrum dari kekuasaan saat ini di samping
Presiden. Selain itu hampir semua partai besar menempatkan pimpinannya dalam Kabinet,
yang artinya semua partai politik itu turut serta bertanggungjawab atas maju atau
stagnannya agenda HAM di Indonesia.
Kelima, aparat keamanan yang menjadi tumpuan masyarakat untuk bebas dari intimidasi
dan ketakutan adalah kepolisian. Kurang handalnya lembaga kepolisian dalam
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
21
mengantisipasi keadaan akan membuat kondisi HAM mudah memburuk. Gejala-gejala
menggilanya aksi penyerangan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda menunjukan
kekuranghandalan aparat kepolisian selama tahun 2007.
Keenam, lembaga Kehakiman (MA) dan Kejaksaan secara ketatanegaraan adalah palu
keadilan bagi mereka yang hak-haknya terampas. Namun selama tahun 2007, kedua
lembaga ini belum menunjukan hal itu, malah masih kuat menjadi palu para pencuri
keadilan dengan membebaskan para koruptor, penjahat kemanusian dan pembalak hutan.
Ketujuh, adalah ruang demokrasi yang terbuka lebar yang semestinya mendatangkan
keadilan dan pemajuan agenda HAM tidak maksimal terpakai daya pasangnya, karena
kekuatan-kekuatan pembaharuan (reformis) gagal memanfaatkannya untuk memperbesar
pengaruh dan pengikut. Implikasinya, ruang demokrasi yang lebar itu dipakai secara
maksimal bahkan melebih kapasitas oleh kelompok-kelompok konservatif yang
menginginkan demokrasi direm dan dikendalikan oleh kelompok mereka sendiri. Hal inilah
yang membuat agenda HAM menjadi terseok-seok tanpa arah saat ini.
***
ELSAM menyadari bahwa sebagaimana dinyatakan dalam UU dan norma internasional
dalam bidang hak asasi manusia bahwa negara adalah penanggungjawab dalam
perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia. Namun demikian kewajiban
itu tidak bisa dipikul oleh negara, khususnya pemerintah pusat sendiri jika tidak didukung
oleh aktor-aktor politik dominan, yaitu partai politik dan pemerintah daerah.
Hal ini sejalan dengan perubahan besar yang terjadi dalam politik Indonesia yaitu dari
pemerintahan otoriter yang tunggal menjadi pemerintahan demokratis yang desentralisasi
dengan sisitem multi partai. Artinya jika terus menerus menekan semuanya adalah
tanggung jawab pemerintah pusat, berarti kita terus menerus pula mengingkan
pemerintahan yang sentralis dan otoriter. Oleh karena itu dalam menakar kemampuan
pemerintah pusat dalam memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia,
takaran juga diarahkan kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten. Para penguasa
daerah ini, sekarang kerap partainya berbeda dengan partainya Presiden. Maka dari itu
peran Partai Politik menjadi besar pula dalam menyokong jalannya pemerintahan di semua
level dalam bidang hak asasi manusia.
Bertumpu pada beberapa pemikiran di atas maka ELSAM dalam tahun 2008 ini
merekomendasikan beberapa hal, diantaranya adalah:
1. Sudah saatnya partai-partai politik menjadikan agenda hak asasi manusia sebagai
agenda partainya masing-masing. Artinya partai politik yang tidak memiliki
program pemajuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia akan menjadi
partai terbelakang, oleh karena itu partai-partai tersebut akan berwatak otoriter
atau prodemokrasi palsu. Tahun 2008 adalah tahun emas bagi (golden years) bagi
partai-partai politik untuk menunjukan kepeduliannya terhadap HAM, sebab di
tahun 2009 akan dilangsungkan Pemilu.
Catatan HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
22
2. Otonomi daerah sesungguhnya ditujukan untuk mensejahterakan rakyat di daerah
agar hak asasi rakyat itu terpenuhi dan terlindungi. Maka dari itu setiap kepala
daerah dan pimpinan partai di daerah (provinsi dan kabupaten) menyusun agenda
HAM nya secara sistematis dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah kemiskinan,
penganguran dan kekurangan pangan serta gizi. Seturut dengan itu juga para
pejabat daerah dan partai di daerah harus menghormati HAM dan menekankan
perlunya toleransi dalam kehidupan sosial, politik dan beragama dengan cara tidak
membuat peraturan-peraturan daerah yang memberikan peluang tumbuhnya sikapsikap
intoleransi dan permisif terhadap aksi-aksi brutal.
3. Pemajuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia bisa pula ditempuh dengan
memberikan jaminan akses rakyat, khususnya kelompok rentan dalam setiap
pembuatan kebijakan politik dan ekonomi. Oleh karena itu pemerintah pusat dan
daerah di tahun 2008 ini harus memulai satu langkah kongrit untuk memberikan
peluang bagi organisasi-organisasi non politik, tetapi menghimpuan bakyak orang
seperti organisasi perempuan, buruh, tani, nelayan dan pekerja seni untuk
mendapatkan ruang partisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
4. Ormas keagamaan dan sosial yang besar sangat kuat pengaruhnya di tengah
masyarakat. Maka dari itu, ormas-ormas tersebut seharusnya mengambil langkahlangkah
responsif dan konstruktif dalam mengembangkan dan memajukan hak
asasi manusia, khususnya dalam meneguhkan sikap tolerasi dalam kehidupan sosial
dan keagamaan. Tanpa keterlibatan ormas-ormas, kita akan terus-menerus berada
dalam kepungan ketakutan akan sikap intoleransi yang mengedepankan pemurnian
agama, suku, etnis atau kelompok yang pada gilirannya akan membahayakan
masalah hak asasi manusia, serta bangsa ini secara keseluruhan.
5. Demi perlindungan terhadap setiap hak individu dan kelompok, aparat kepolisian
harus siap dalam menghadapi perubahan politik agar mampu merespon persoalan
HAM. Artinya, bertambah banyaknya kabupaten serta provinsi dan partai politik,
kebebasan menyatakan pendapat serta berorganisasi yang dinikmati oleh rakyat
Indonesia menuntut kinerja polisi yang prima. Keprimaan kinerja polisi itu harus
ditunjukan di tahun 2008 ini, sebab tanpa kinerja polisi yang prima maka semua
kemajuan dalam ruang demokrasi dan HAM tidak akan berarti karena akan mudah
dirusak oleh kelompok-kelompok ekstrim. Selama tahun 2007, kinerja yang prima
itu belum ditunjukkan oleh aparat kepolisian secara signifikan.
6. Agar hak asasi manusia menjadi lebih terjamin dalam kerangka instrumen hukum,
lembaga kehakiman dan kejaksaan harus lebih mempertimbangkan asas keadilan
bagi korban ketimbang ruwet dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang. Dengan
kata lain, Hakim dan Jaksa jangan terus-menerus semata-mata menjadi corong
Undang-Undang dalam menegakan hukum di bidang HAM agar keadilan bagi
korban terpenuhi, karena Undang-Undang dapat terus berubah dan diperbaiki
sesuai tuntutan jaman.
-o0oCatatan
HAM Awal Tahun 2008 - ELSAM (revised).doc
23
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Jl. Siaga 2 no.31 Pejaten Barat
Pasarminggu, Jakarta 12510
Tel. 79192564, 7972662
Fax. 79192519
Email: office@elsam.or.id
URL www.elsam.or.id