Translate

Senin, 21 Oktober 2013

UUPPLH SEBAGAI KETENTUAN PAYUNG (UMBRELLA ACT) DAN KAITANNYA DENGAN PENERAPAN KETENTUAN PIDANA

UUPPLH SEBAGAI KETENTUAN PAYUNG (UMBRELLA ACT)
DAN KAITANNYA DENGAN PENERAPAN KETENTUAN PIDANA


Oleh: Alvi Syahrin



I.              Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) memberikan pengertian Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. selanjutnya, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Pengertian lingkungan hidup dan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang di atur dalam UUPPLH menjadikan materi yang diatur dalam UUPPLH sangat luas yang mencakup segi ruang, kekayaan alam yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumber alam buatan. Materi yang diatur dalam UUPPLH tidak mungkin diatur secara lengkap dalam UUPPLH itu sendiri, tentunya akan memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan dengan arah dan ciri yang serupa. UUPPLH memiliki sifat mengatur mengenai ketentuan-ketentuan pokok perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya, UUPPLH memuat asas dan prinsip pokok bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga UUPPLH berfungsi sebagai payung (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai penyesuai bagi peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

Berdasarkan Pasal 44 UUPPLH, diatur bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPPLH. Kemudian, penjelasan Umum UUPPLH pada angka 5 menjelaskan bahwa upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, perludikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. Dan UUPPLH juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan  dan di dalam pengadilan.  Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.

Ketentuan Pasal 65 UUPPLH mengatur bahwa setiap orang berhak: atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang‑undangan, dan melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dan Pasal 66 UUPPLH mengatur bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Selain memiliki hak sebagaimana di atur dalam Pasal 65 dan 66 UUPPLH, Pasal 67 UUPPLH mengatur tentang kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Dan Pasal 68 UUPPLH mewajibkan bagi setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. serta Pasal 69 UUPPLH mengatur larangan bagi setiap orang untuk: a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; e. membuang limbah ke media lingkungan hidup; f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan; h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;  i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.


II.            UUPPLH sebagai ketentuan payung (umbrella act) dari peraturan sekoral lain yang mengatur mengenai lingkungan hidup, dalam kenyataannya saat ini dijumpai ketidaksinkronan secara horizontal antara UUPPLH dan ketentuan undang-undang sektoral mengenai pengaturan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pidananya. Misalnya, dengan ketentuan Pasal 78 ayat (14) Undang-Undang  Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUKehutanan) dengan Pasal 116 UUPPLH terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi (badan usaha). Berdasarkan Pasal 78 ayat (14)  UUKehutanan, yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dan dijatuhkan pidana hanyalah pengurus, untuk korporasinya tidak dapat dimintakan pertanggungjawan pidana dan dijatuhkan pidana, sedangkan Pasal 116 UUPPLH yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dan dijatuhkan pidana yaitu badan usaha dan/atau pengurusnya.

Ketentuan Pasal 78 ayat (14) UUKehutanan, berbunyi sebagai berikut:
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Pasal 116 UUPPLH, berbunyi sebagai berikut:
(1)   Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a.  badan usaha; dan/atau
b.  orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2)   Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Dengan demikian, sudah saatnya untuk melakukan revisi terhadap Pasal 78 ayat (14) UUKehutanan dengan menyesuaikannya dengan Pasal 116 UUPPLH.

Kemudian, terkait dengan kewenangan untuk melakukan penyidikan kasus pidana terkait dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 94 ayat (1) UUPPLH mengatur bahwa: selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPNS-LH) diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. Kewenangan PPNS-LH berdasarkan Pasal 94 ayat (2) UUPPLH yaitu:
a.    melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b.    melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c.    meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d.    melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e.    melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
f.     melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g.    meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h.    menghentikan penyidikan;
i.     memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;
j.     melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau
k.    menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.

Kemudian lagi, Pasal 94 ayat (4) UUPPLH, mengatur bahwa dalam hal PPNS-Lingkungan melakukan penyidikan, PPNS-LH memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia (Polri) memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan. Pasal 94 ayat (5) UUPPLH mengatur bahwa PPNS-LH memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat Polri. Hasil penyidikan PPNS-LH berdasarkan Pasal 94 ayat (6) UUPPLH disampaikan kepada penuntut umum.

Memperhatikan kewenangan PPNS-LH menyangkut tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan jika disinkronkan dengan ketentuan Pasal 77 ayat (1) UUKehutanan yang mengatur bahwa: selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan (PPNS_Kehutanan), diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan Pasal 77 ayat (2), kewenangan PPNS-Kehutanan, yaitu:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b.    melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
c.    memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
d.    melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e.    meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
f.     menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
g.    membuat dan menandatangani berita acara;
h.    menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

PPNS Kehutanan berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UUKehutanan, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Jika disimak ketentuan Pasal 94 UUPPLH dan Pasal 77 UUKehutanan, terlihat bahwa PPNS-LH memiliki kewenangan yang lebih besar ketimbang PPNS-Kehutanan, oleh karena PPNS-LH melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sedangkan PPNS-Kehutanan yang melakukan penyidikan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Menarik untuk dikaji mengenai kewenangan PPNS-LH dan PPNS-Kehutanan, terkait dengan kebakaran hutan, oleh karena ada 2 (dua) ketentuan pidana yang terkait, yaitu Pasal 108 UUPPLH dan ketentuan Pasal 78 ayat (3) dan (4) UUKehutanan.

Pasal 108 UUPPLH:
setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 69 ayat (1) huruf h, berbunyi:
setiap orang dilarang ... melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

Pasal 78 ayat (3) UUKehutanan:
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 78 ayat (4) UU Kehutanan:
Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

Pasal 50 ayat (3) huruf d, berbunyi:
setiap orang dilarang ... membakar hutan.

Memperhatikan ketentuan Pasal 108 UUPPLH dan ketentuan Pasal 78 ayat (3) dan (4) UUKehutanan, jika terjadi kebakaran di kawasan hutan, apabila kebakaran tersebut menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan maka PPNS-LH berwenang melakukan penyidikan atas tindak pidana, adapun penyidikan yang dilakukan PPNS-LH yaitu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPPLH atau Pasal Pasal 99 UUPPLH dan Pasal 108 UUPPLH. Akan tetapi jika kejadiannya (kebakaran) tidak menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup serta terjadi di kawasan hutan,  yang berwenang adalah PPNS-Kehutanan, adapun penyidikan yang dilakukan oleh PPNS-Kehutanan yaitu Pasal 78 ayat (3) UUKehutanan atau Pasal 78 ayat (4) UUKehutanan. Kemudian juga, jika kebakaran bukan di kawasan hutan, maka yang berwenang adalah PPNS-LH, adapun penyidikan yang dilakukan yaitu Pasal 108 UUPPLH.

Selanjutnya, bagaimana halnya, jika kebakaran terjadi di lahan perkebunan, apakah yang berwenang PPNS-LH atau PPNS-Perkebunan. PPNS-Perkebunan berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan (UUPerkebunan) di atur bahwa: selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan  (PPNS-Perkebunan) juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perkebunan.

Wewenang PPNS Perkebunan, berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UUPerkebunan, yaitu:
a.  Melakukan pemeriksanaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang perkebunan;
b.  Melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang perkebunan;
c.  Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang perkebunan;
d.    Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang perkebunan;
e.    Membuat dan menandatangani berita acara; dan
f.     Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang perkebunan.

PPNS Perkebunan berdasarkan Pasal 45 ayat (3) UUPerkebunan, memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Ketentuan Pasal  48 UUPerkebunan,:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Ketentuan Pasal 49 UUPerkebunan:
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Memperhatikan ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan, maka tindak pidana dimaksud jika dikaitkan dengan UUPPLH yaitu melakukan tindak pidana sebagai mana dimaksud dalam Pasal 98 atau 99 UUPPLH dan Pasal 108 UUPPLH, oleh karena Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan unsur tindak pidananya yaitu: a. membuka dan/atau mengolah lahan, b. berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Oleh karena ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan unsur tindak pidananya yaitu: a. membuka dan/atau mengolah lahan, dan b. berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, maka siapakah yang berwenang melakukan penyidikan jika terjadi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan, apakah PPNS-LH berhak melakukan penyidikan atas kasus tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 98 atau Pasal 99 UUPPLH dan Pasal 108 UUPPLH, sebab adanya kesamaan unsur dari tindak pidana tersebut, yaitu: a. membakar lahan, dan b. terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Untuk mengantisipasi adanya eksepsi pihak yang melakukan tindak pidana di bidang perkebunan oleh karena penyidikan dilakukan oleh PPNS-LH, maka sebaiknya PPNS-LH melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana membuka dan/atau mengolah lahan yang berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, yang perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan yang telah memiliki ijin usaha perkebunan. Akan tetapi jika pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan tidak memiliki ijin usaha perkebunan maka PPNS-LH dapat melakukan penyidikan tanpa perlu melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik Polri.

Demikian juga, jika pembakaran yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan yang telah memiliki ijin usaha perkebunan dilakukan untuk pembukaan lahan perkebunan (yang sebelumnya lahan tersebut bukan untuk kegiatan perkebunan), pejabat PPNS-LH dapat melakukan penyidikan berdasarkan Pasal 108 UUPPLH dan Pasal 98 atau Pasal 99 UUPPLH jika pembakaran tersebut mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Bahkan jika PPNS berkoordinasi dengan pejabat penyidik Polri, pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan dapat juga dikenakan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.


III.            UUPPLH sebagai ketentuan payung merupakan UU bagi UU sektoral. Dalam praktek kenegaraan UU payung dijadikan bahan judicial review, dan Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusan menjadikan UU payung sebagai pisau analisis terhadap sebuah produk UU.
UUPPLH memuat asas dan prinsip pokok bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan berfungsi sebagai ”payung” (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, untuk itu perlu disegerakan penyesuaian (revisi terhadap) peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang  perlidungan dan pengelolaannlingkungan hidup untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan UUPPLH.

Sumber : 

RUU-KUHP: Tindak Pidana Korupsi

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM RUU-KUHP
 DAN LEMBAGA PENEGAK HUKUMNYA*

Oleh: Alvi Syahrin

I.            Korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), dan di Indonesia sudah dianggap menjadi suatu kebiasaan dan telah melanggar hak-hak sosial serta hak-hak ekonomi masyarakat, bahkan berpotensi membawa bencana dalam kehidupan perekonomian nasional, kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga diperlukan strategi pemberantasan korupsi yang luar biasa pula.
          Menurut Tim Penyusun Naskah Akademik RUU-KUHP, perlu di dorong dilakukannya pembaharuan hukum pidana nasional Indonesia sebagai ihtiar untuk mensistematisasikan norma hukum pidana ke dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia dalam bentuk kebijakan kodifikasi dalam arti menempatkan seluruh norma hukum pidana yang berlaku secara nasional dalam satu kitab hukum pidana.
          Kebijakan kodifikasi hukum pidana dimaksudkan untuk mencegah pengaturan asas-asas hukum pidana baru dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang tidak tertegrasi dalam Ketentuan Umum dalam Buku I KUHP, dan mencegah kriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP baik yang bersifat umum maupun khusus yang menyebabkan duplikasi dan triplikasi norma hukum pidana serta tercegahnya penggunaan sanksi pidana yang bertentangan dengan maksud dan tujuan diadakannya sanksi pidana dalam hukum pidana.

II.          Rumusan tindak pidana korupsi dan pemberatan pidana (hukuman) dalam Naskah RUU-KUHP diatur dalam Bab XXXII dalam Pasal 668 sampai dengan Pasal 702. Adapun rumusan pasal-pasal tersebut:
         Pasal 688 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang menjanjikan atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori III.
(2) Pejabat Publik yang menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 689 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang menjanjikan atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori III.
(2) Pejabat Publik yang menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 690 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik padahal diketahui atau patut diduga bahwa pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori III.
(2) Pejabat Publik yang menerima sesuatu pemberian secara langsung atau tidak langsung padahal diketahui atau patut diduga bahwa pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 691 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang dengan tujuan memperoleh suatu keuntungan dari instansi pemerintah atau otoritas publik, menjanjikan atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik atau orang lain, supaya pejabat atau orang lain tersebut menggunakan pengaruh dalam hubungan dengan jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori III.
(2) Pejabat Publik atau orang lain yang menerima sesuatu atau janji secara langsung atau tidak langsung supaya pejabat tersebut atau orang lain menggunakan pengaruh dalam hubungan dengan jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 692 RUU-KUHP
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 688 ayat (2), Pasal 689 ayat (2), Pasal 690 ayat (2), dan Pasal 691 ayat (2) dilakukan oleh penegak hukum, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).

Pasal 693 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang menjanjikan, atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada seorang Pejabat Publik Asing atau Pejabat Organisasi Internasional Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.
(2) Pejabat Publik Asing atau Pejabat Organisasi Internasional Publik yang menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 694 RUU-KUHP
Pejabat Publik yang dengan sengaja menyalahgunakan fungsi atau kedudukannya melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan maksud memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, atau Korporasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 695 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang dalam suatu aktivitas ekonomi, keuangan, perdagangan, atau komersial yang berkaitan dengan perekonomian negara, menjanjikan, menawarkan, atau memberikan uang atau barang yang nilainya relatif besar, secara langsung atau tidak langsung kepada seseorang yang menduduki jabatan apapun pada sektor swasta suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan dirinya atau orang lain, supaya orang tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori III.
(2) Setiap orang yang dalam suatu aktivitas ekonomi, keuangan, perdagangan, atau komersial yang berkaitan dengan perekonomian negara, menjanjikan, menawarkan, atau memberikan uang atau barang yang nilainya sangat signifikan, secara langsung atau tidak langsung kepada seseorang yang menduduki jabatan apapun pada sektor swasta suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan dirinya atau orang lain, supaya orang tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori III.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Korporasi diancam dengan pidana denda paling sedikit Kategori IV.

Pasal 696 RUU-KUHP
(1) Pejabat Publik yang menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Pejabat Publik yang menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih dipidana dengan pidana pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.
(3) Pejabat Publik yang menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau lebih dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Kategori VI.

Pasal 697 RUU-KUHP
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Kategori IV dan denda paling banyak Kategori V Pejabat Publik yang dengan cara melawan hukum, menjual Kekayaan negara, membeli barang untuk negara, atau memberi pekerjaan atau proyek negara.

Pasal 698 RUU-KUHP
Pejabat Publik yang dia sendiri sebagai penanggung jawab atau pengawas, baik secara langsung maupun tidak langsung, menjadi pemasok, pemborong, atau penebas, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 699 RUU-KUHP
(1) Setiap orang atau pejabat publik secara melawan hukum menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bukan pada tujuannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Kategori II.
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan bencana alam, krisis keuangan, dan ekonomi dan/atau negara dalam keadaan bahaya diancam dengan pidana mati.

Pasal 700 RUU-KUHP
(1) Setiap orang yang secara langsung atau tidak langsung:
a. memberikan, menyetujui, atau menawarkan untuk memberikan suatu hadiah atau janji kepada seseorang yang mengurus kepentingan umum, baik untuk diri sendiri orang itu maupun untuk orang lain, supaya orang itu berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori III.
b.           memberikan, menyetujui, atau menawarkan untuk memberikan suatu hadiah atau janji dalam mengurus kepentingan umum, baik untuk kepentingan dia sendiri maupun kepentingan orang lain, karena akan atau telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori III.
(2) Setiap orang yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 701 RUU-KUHP
Setiap orang yang secara langsung atau tidak langsung:
a. menawarkan, menjanjikan, atau memberikan suatu hadiah atau janji, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain, sebagai imbalan orang itu mengatur hasil akhir olahraga atau pertandingan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Kategori II.
b. meminta atau menerima suatu hadiah atau janji, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain, sebagai imbalan dia akan atau telah mengatur hasil akhir olahraga atau pertandingan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Kategori II.

Pasal 702 RUU-KUHP
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 666, Pasal 667, Pasal 668, Pasal 670, Pasal 671, Pasal 688, Pasal 689, Pasal 690, Pasal 691, Pasal 693, Pasal 694, Pasal 695, Pasal 696, Pasal 697, Pasal 698, Pasal 699, Pasal 700, dan Pasal 701 sepanjang perbuatan tersebut merugikan keuangan atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan pasal-pasal tersebut ditambah 1/3 (satu pertiga).

          Memperhatikan rumusan pasal-pasal tindak pidana korupsi dalam RUU-KUHP dapat diuraikan bahwa dalam tindak pidana korupsi:
1.  dapat dilakukan oleh:
a. setiap orang, 
b. pejabat publik,
c. penegak hukum,
c. pejabat publik asing,
d. pejabat organisasi internasional publik.
2. dilakukan dengan sengaja.
Dengan sengaja dapat di lihat dari rumusan pasal yang menggambarkan “perbuatan” menggunakan kata kerja dan awalan “me”.
3. berupa perbuatan:
-  (setiap orang)
a. menjanjikan atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya; à Pasal 688 ayat (1).
b. menjanjikan atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya; à Pasal 689 ayat (1)
c. memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik padahal diketahui atau patut diduga bahwa pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya; à Pasal 690 ayat (1)
d. dengan tujuan memperoleh suatu keuntungan dari instansi pemerintah atau otoritas publik, menjanjikan atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada Pejabat Publik atau orang lain, supaya pejabat atau orang lain tersebut menggunakan pengaruh dalam hubungan dengan jabatannya;à Pasal 691 ayat (1)
e. menerima sesuatu atau janji secara langsung atau tidak langsung supaya pejabat tersebut atau orang lain menggunakan pengaruh dalam hubungan dengan jabatannya; à Pasal 691 ayat (2)
f.  menjanjikan, atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada seorang Pejabat Publik Asing atau Pejabat Organisasi Internasional Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya; à Pasal 693 ayat (1)
g. dalam suatu aktivitas ekonomi, keuangan, perdagangan, atau komersial yang berkaitan dengan perekonomian negara, menjanjikan, menawarkan, atau memberikan uang atau barang yang nilainya relatif besar, secara langsung atau tidak langsung kepada seseorang yang menduduki jabatan apapun pada sektor swasta suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan dirinya atau orang lain, supaya orang tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya; à Pasal 695 ayat (1)
(catatan: jika dilakukan korporasi hukumannya diperberat à Pasal 695 ayat (3))
h. yang dalam suatu aktivitas ekonomi, keuangan, perdagangan, atau komersial yang berkaitan dengan perekonomian negara, menjanjikan, menawarkan, atau memberikan uang atau barang yang nilainya sangat signifikan, secara langsung atau tidak langsung kepada seseorang yang menduduki jabatan apapun pada sektor swasta suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan dirinya atau orang lain, supaya orang tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya; à Pasal 695 ayat (2)
(catatan: jika dilakukan korporasi hukumannya diperberat à Pasal 695 ayat (3))
i.    secara melawan hukum menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bukan pada tujuannya; à Pasal 699 ayat (1)
j. secara melawan hukum menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bukan pada tujuannya yang dilakukan dalam keadaan bencana alam, krisis keuangan, dan ekonomi dan/atau negara dalam keadaan bahaya; à Pasal 699 ayat (2)
k. secara langsung atau tidak langsung:
a. memberikan, menyetujui, atau menawarkan untuk memberikan suatu hadiah atau janji kepada seseorang yang mengurus kepentingan umum, baik untuk diri sendiri orang itu maupun untuk orang lain, supaya orang itu berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya; à Pasal 700 ayat (1) huruf a
b. memberikan, menyetujui, atau menawarkan untuk memberikan suatu hadiah atau janji dalam mengurus kepentingan umum, baik untuk kepentingan dia sendiri maupun kepentingan orang lain, karena akan atau telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya; àPasal 700 ayat (1) huruf b
l.  menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada Pasal 700 ayat (1);  à Pasal 700 ayat (2)
(catatan: lihat perbuatan yang di uraikan pada k)
m. secara langsung atau tidak langsung:
a. menawarkan, menjanjikan, atau memberikan suatu hadiah atau janji, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain, sebagai imbalan orang itu mengatur hasil akhir olahraga atau pertandingan; à Pasal 701 huruf a
b. meminta atau menerima suatu hadiah atau janji, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain, sebagai imbalan dia akan atau telah mengatur hasil akhir olahraga atau pertandingan; à Pasal 701 huruf b
n. melakukan perbuatan yang diuraikan dalam Pasal 666, Pasal 667, Pasal 668, Pasal 670, Pasal 671, Pasal 688, Pasal 689, Pasal 690, Pasal 691, Pasal 693, Pasal 694, Pasal 695, Pasal 696, Pasal 697, Pasal 698, Pasal 699, Pasal 700, dan Pasal 701 yang merugikan keuangan atau perekonomian negara; à Pasal 702
(Catatan: pidana/hukuman ditambah 1/3)

-     (pejabat publik)
a.    menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya; àPasal 688 ayat (2)
b.    menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya; à Pasal 689 ayat (2)
c.    menerima sesuatu pemberian secara langsung atau tidak langsung padahal diketahui atau patut diduga bahwa pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya; à Pasal 690 ayat (2)
d.    menerima sesuatu atau janji secara langsung atau tidak langsung supaya pejabat tersebut atau orang lain menggunakan pengaruh dalam hubungan dengan jabatannya;à Pasal 691 ayat (2)
e.    menyalahgunakan fungsi atau kedudukannya melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan maksud memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, atau Korporasi; à Pasal 694
f.     menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih; à Pasal 696 ayat (1)
g.    menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih; à Pasal 696 ayat (2)
h.    menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau lebih; à Pasal 696 ayat (3)
i.      dengan cara melawan hukum, menjual Kekayaan negara, membeli barang untuk negara, atau memberi pekerjaan atau proyek negara; à Pasal 697
j.      dia sendiri sebagai penanggung jawab atau pengawas, baik secara langsung maupun tidak langsung, menjadi pemasok, pemborong, atau penebas; à Pasal 698
k.    secara melawan hukum menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bukan pada tujuannya; à Pasal 699 ayat (1)
l.      secara melawan hukum menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bukan pada tujuannya yang dilakukan dalam keadaan bencana alam, krisis keuangan, dan ekonomi dan/atau negara dalam keadaan bahaya; à Pasal 699 ayat (2)

-       (Penegak Hukum)
a.  menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya; àPasal 692 jo. Pasal 688 ayat (2)
b.  menerima janji atau pemberian secara langsung atau tidak langsung supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya; à Pasal 692 jo. Pasal 689 ayat (2)
c.  menerima sesuatu pemberian secara langsung atau tidak langsung padahal diketahui atau patut diduga bahwa pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya; à Pasal 692 jo Pasal 690 ayat (2)
d.  menerima sesuatu atau janji secara langsung atau tidak langsung supaya pejabat tersebut atau orang lain menggunakan pengaruh dalam hubungan dengan jabatannya;à Pasal 692 jo. Pasal 691 ayat (2)

-       (Pejabat Publik Asing)
menjanjikan, atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada seorang Pejabat Publik Asing atau Pejabat Organisasi Internasional Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya; à Pasal 693 ayat (2)

-       (Pejabat Organisasi Internasional Publik)
menjanjikan, atau memberikan sesuatu secara langsung atau tidak langsung kepada seorang Pejabat Publik Asing atau Pejabat Organisasi Internasional Publik supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya; à Pasal 693 ayat (2)

III.            Tim perumus pembuat naskah akademik RUU KUHP dalam laporan akhir Desember 2010, menegaskan bahwa dalam menghadapi perkembangan hukum dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan kebijakan kriminalisasi cukup dilakukan dengan melakukan amandemen KUHP dengan ancaman pidana yang disesuaikan standar pengancaman pidana pada tindak pidana yang sejenis (Naskah Akademis KUHP BPHN 2010: 96). KUHP yang hendak dibentuk dijadikan sumber utama dan satu-satunya hukum pidana nasional Indonesia yang memuat ketentuan umum hukum pidana (asas-asas hukum pidana) dan memuat semua tindak pidana (Naskah Akademis KUHP BPHN 2010: 98).
Perumusan norma hukum pidana yang mengatur tindak pidana dan pengancaman pidana (pemidanaan) tunduk kepada standar perumusan norma hukum pidana dan pemidanaan. Tidak tepat jika meningkatnya angka kejahatan atau ketidakmampuan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum pidana dijadikan alasan untuk mengubah standar perumusan norma hukum pidana dan pemidanaan sebagai hukum pidana khusus. Menghadapi kejahatan yang bersifat khusus, kejahatan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crimes) atau kejahatan yang serius (serious crimes) cukup dimuat dalam hukum pidana kodifikasi sebagai tindak pidana pemberatan yang bersifat khusus. (Naskah Akademis KUHP BPHN 2010: 100). Terkait dengan Hukum Acara cukup dimasukkan di dalam kodifikasi hukum acara pidana (KUHAP) dengan cara mengatur hukum acara yang khusus sebagai bagian dari hukum acara umum/biasa untuk memperoses tindak pidana tertentu yang bersifat khusus. (Naskah Akademis BPHN 2010: 100).
Penyimpangan yang diatur dalam KUHAP terhadap kejahatan yang bersifat khusus, kejahatan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crimes) atau kejahatan yang serius (serious crimes) bersifat kondisional (temporary), dan apabila kejahatan tersebut dalam kondisi normal atau situasi kejahatan yang terkendali, prosedur dikembalikan ke dalam prosedur yang normal dan tunduk kembali kepada KUHAP. Dengan demikian, kekhususan hukum pidana khusus tidak terletak pada hukum pidana materilnya, melainkan pada hukum formil atau hukum acara pidananya.
Korupsi di Indonesia telah menjadi hasil kolaborasi antara sektor publik dan swasta, pemberantasan perlu adanya political will  yang sungguh-sungguh dan kuat dari seluruh aparatur pemerintahan. Strategi pemberantasan korupsi setidak-tidaknya harus menggunakan beberapa pendekatan secara bersamaan, diantaranya pendekatan hukum, pendekatan moralitas dan keimanan, pendekatan edukatif, dan pendekatan sosio-kultural.
Pendekatan hukum yang konvensional sudah tidak lagi memadai dalam menghadapi modus operandi tindak pidana korupsi yang bersifat sistematik dan meluas serta telah menjadi “extra ordinary crimes”. Sehingga diperlukan pendekatan hukum baru yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara atau hak-hak ekonomi dan sosial rakyat di atas kepentingan dan hak-hak individu tersangka atau terdakwa. Penanganan kasus korupsi tidak cukup hanya ditangani dengan cara-cara yang biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara yang luar biasa yang dilandaskan kepada: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas, serta dilandasi kepada prinsip-prinsip yang spesifik, antara lain: independensi; lex specialis derogat lex generalis, lex primum remedium derogat lex ultimum remedium; non impunity; inadminissinility (prinsip unwillingness dan prinsip inability); triger mechanism; take over mechanism; limited ne bis in idem. Untuk itu diperlukan adanya suatu lembaga dan wewenangnya sebagai lembaga tertinggi (super agency) dalam pemberantasan korupsi.
Sebagai lembaga tertinggi dalam pemberantasan korupsi, ia harus merupakan lembaga yang independen dan bertanggungjawab langsung kepada publik; memiliki wewenang yang luas termasuk melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sendiri serta dapat mengambil-alih wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari kepolisian atau kejaksaan; memiliki wewenang menangkap atau menahan pejabat tinggi negara tanpa harus meminta izin Presiden; memiliki wewenang membekukan rekening tersangka atau terdakwa tanpa izin Gubernur Bank Indonesia dan cukup melaporkan saja. Pembentukan lembaga tertinggi dalam pemberantasan korupsi suatu yang relevan dan sebagai wujud komitmen untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak ekonomi dan sosial yang mengakibatkan meluasnya kemiskinan di tanah air.

IV.            Pengaturan tindak pidana korupsi dikembalikan ke dalam RUU-KUHP yang inti dan rumusannya telah disesuaikan dengan perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi dan perkembangan internasional tentang pemberantasan korupsi dan praktek penegakan hukumnya, masih memerlukan penyimpangan umum yang diatur dalam KUHAP secara kondisional, serta tetap mempertahankan dibentuknya lembaga tertinggi dalam pemberantasan korupsi sebagai lembaga independen dan bertanggungjawab langsung kepada publik.


Kepustakaan:
Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Hermien Hadiati Koeswadji, Korupsi di Indonesia Dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Koupsi, Citra Aditya Bakti. Bandung.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008, Kejahatan Negara Pemerintahan, Kekerasan dan Korupsi, Kimnas HAM Press, Jakarta.
BPHN, 2010, Laporan Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


*Disampaikan pada Diskusi Terbatas (FGD) RUU KUHP pada tanggal 1 Oktober 2013 di Hotel Grand Swissbel Medan.

Sumber :