Translate

Senin, 21 Oktober 2013

Komentar Pasal 104 UUPPLH

KOMENTAR TERHADAP PASAL 104 UUPPLH

Oleh: Alvi Syahrin


Pasal 104 UUPPLH, berbunyi:
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dipidanadengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 60 UUPPLH, berbunyi:
Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.


Pasal 104 UUPPLH, dapat diterangkan/dikomentari  sebagai berikut:
Ø  Tidak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 104 UUPPLH yaitu tindak pidana formil, dalam hal ini melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.
Ø  Unsur-unsur Pasal 104 UUPPLH, yaitu: a. Setiap orang;  b. Melakukan perbuatan: dumping limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin; c. Dengan sengaja;
Ø  Setiap orang, berdasarkan Pasal 1 angka (32) yaitu orang perorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Ø  Melakukan perbuatan dumping  limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.
Ø  Limbah dan atau bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 UUPPLH yaitu limbah B3 dan/atau B3.  --- alasan Limbah dan atau bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 UUPPLH yaitu limbah B3 dan/atau B3, oleh karenan Pasal 104 UUPPLH merujuk Pasal 60 UUPPLH. --- Pasal 60 UUPPLH di atur dalam Bab VII UUPPLH mengenai Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun serta Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Ø  Dumping limbah B3 dan/atau B3 yaitu kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah B3 dan/atau B3 dalam jumlah, kosentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.
Ø  Dumping Limbah B3 dan/atau B3 harus memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UUPPLH. 
Ø  Unsur kesengajaan sebagaimana dalam Pasal 104 UUPPLH dapat disimpulkan dari kalimat seluruhnya, dan terdapat kata kerja dalam rumusan Pasal 104 UUPPLH yaitu kata “melakukan”. Kata “melakukan” dan “tanpa izin” menunjukkan adanya unsur kesengajaan.
Ø  Unsur dengan sengaja didalamnya terkandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan). Tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki) dan wetens (disadari atau diketahui), sehingga untuk dapat masuk kedalam Pasal 104 UUPPLH  harus ada kehendak untuk tidak melakukan perbuatan dumping limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Oleh karena tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 UUPPLH merupakan tindak pidana formil, maka kesengajaan (adanya willens atau dikehendaki dan wetens atau disadari atau diketahui)telah ada jika perbuatan dumping limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin telah dilakukan.
Ø  Memberikan penafsiran melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin termasuk limbah non B3 dan/atau bahan non B3 merupakan penafsiran yang keliru. Jika ingin menafsirkan limbah dan/atau bahan non B3 termasuk yang diatur dalam Pasal 104 UUPPLH, maka seharusnya rumusan Pasal 104 UUPPLH sebagai berikut:
“ (1)  Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalamPasal 60 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang membuang limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf edipidana dengan penjara .... dan/atau denda .... “

PENERAPAN PASAL 116 UUPPLH TERHADAP BADAN USAHA BERBENTUK PERSEKUTUAN KOMANDITER (CV)

ISU HUKUM:
PENERAPAN PASAL 116 UUPPLH TERHADAP
BADAN USAHA BERBENTUK PERSEKUTUAN KOMANDITER (CV)

Oleh: Alvi Syahrin

Pemikiran para ahli hukum pidana pengertian badan usaha sebagaimana disebut dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) meliputi baik yang badan hukum maupun yang bukan badan hukum. Persekutuan Komanditer (CV) termasuk yang bukan badan hukum.
Memperhatikan dan menyimak Pasal 19 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), terdapat karakteristik yang khas dari CV,  yaitu terdapatnya dua macam sekutu, antara lain: a. Sekutu komplementer, merupakan satu orang atau lebih yang secara tanggung menanggung bertanggungjawab untuk keseluruhannya artinya sekutu kompleenter bertugas untuk mengurus CV, berhubungan dengan pihak ketiga dan bertanggungjawab secara pribadi untuk keseluruhan; dan b. Sekutu komanditer atau sekutu diam, merupakan satu orang atau lebih yang wajib menyerahkan uang, benda atau tenaga kepada persekutuan sebagaimana yang disanggupinya, berhak menerima keuntungan, tanggungjawabnya terbatas pada jumlah pemasukan yang telah diberikannya, dan tidak boleh campur tangan dalam tugas sekutu komplementer, bila ia campur tangan dalam tugas sekutu komplementer maka tanggungjawabnya menjadi tanggungjawab secara pribadi untuk keseluruhan sama seperti tanggungjawab yang dimiliki sekutu komplementer.
Sekutu komplementer merupakan pengurus CV yang menjalankan kegiatan CV dan yang melakukan hubungan dengan pihak ketiga. Sekutu komplementer bertugas untuk mengurus CV dan bertanggungjawab tidak terbatas (pribadi). Dengan demikian sekutu komplementer adalah pengurus CVyang jika dikaitkan dengan Pasal 116 UUPPLH yaitu mereka yang disebut dalam frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam kegiatan tindak pidana tersebut”.
Memperhatikan ketentuan Pasal 116 UUPPLH dan jika badan usahanya berbentuk CV, maka yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana, yaitu: a. CV, dan/atau b. pengurus CV (dalam hal ini sekutu komplementer termasuk sekutu komanditer yang telah ikut campur tangan mengurus CV). Dapat dimintakan pertanggungjawab secara pidana terhadap sekutu komanditer, sesuai dengan Pasal 21 KUHD yang menegaskan sekutu komanditer tidak boleh campur tangan dalam tugas sekutu komplementer, bila dilanggar maka tanggungjawabnya menjadi tanggungjawab secara pribadi untuk keseluruhan (tanggungjawab sekutu komplimenter).
Menarik untuk dikaji lebih lanjut (menjadi isu hukum) mengenai apakah dengan dikenakannya tuntutan pidana dan sanksi pidana terhadap CV dan pengurus CV (sekutu komplimenter), tidak akan menjadikan sekutu komplimenter tersebut akan mendapatkan tuntutan dan sanksi pidana dua kali? Oleh karena sekutu komplimenter bertanggungjawab secara pribadi untuk keseluruhan (adanya tanggung jawab tidak terbatas) serta harta pribadi sekutu komplimenter tidak terpisah dari harta kemitraan (CV).

Sumber : 

ILMU HUKUM

ILMU HUKUM

Oleh: Alvi Syahrin


Setiap ilmu mempunyai metodenya sendiri dan tidak mungkin adanya penyeragaman metode untuk semua bidang ilmu, artinya metode penelitian tidak sama antara satu ilmu dengan ilmu lainnya, karena setiap ilmu mempunyai obyek dan karakter sendiri.

Obyek ilmu hukum adalah hukum. Hukum sebagai norma, di dalamnya sarat akan nilai dan diciptakam untuk menjaga ketertiban sosial, menghindari kekacauan dalam hidup bermasyarakat dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan guna mempertahankan keadilan dan kelayakan dalam mempertahankan ketertiban sosial.

Nilai-nilai yang telah ada perlu dijadikan acuan dalam mempertahankan ketertiban sosial dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Jika diperlukan adanya nilai-nilai-nilai baru guna mempertahankan ketertiban dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, tidak menjadikan nilai-nilai yang ada dirusak, dengan kata lain nilai-nilai baru diakomodasikan tanpa merusak nilai-nilai yang sudah ada.

Ilmu hukum atau jurisprudence, berasal dari dua kata, yaitu iuris yang artinya hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan, sehinggaJurisprudence berarti pengetahuan hukum.

Ilmu hukum atau jurisprudence merupakan suatu disiplim ilmu yang bersifat sui generis. Bersifat sui generis artinya ilmu hukum merupakan ilmu jenis sendiri, yang memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang berbeda karena memiliki obyek kajian yang berbeda. Namun demikian, walaupun ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri, dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Perbedaan ilmu hukum dengan disiplin ilmu lainnya yang mengkaji tentang hukum yaitu disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar, misalnya: studi-studi sosial tentang hukum menempatkan hukum sebagai gejala sosial, atau studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.

Ilmu hukum sebagai ilmu yang berdiri sendiri, obyek penelitiannya yaitu hukum itu sendiri. Sehingga kajiannya bukan sebagai suatu kajian yang empiris, akan tetapi kajian yang secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.

Karakter sui generis dari ilmu hukum menjadikan ilmu hukum tidak akan dapat menyampingkan karakternya yang normatif walaupun pada saat ia dilihat dari sudut pandang  empiris. Keberadaan ilmu hukum yang dipandang dari sudut pandang empiris menjadikan ilmu hukum sebagai “Ilmu praktis yang bersifat normologis”.

Ilmu praktis yang bersifat normologis, berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris, yakni pengetahuan tentang hubungan yang ajeg yang  caterus paribus berdasarkan asas kausalitas deterministik. Selanjutnya ilmu praktis nomologis berusaha menemukan antara dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi, yaitu mentautkan tanggungjawab/kewajiban untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkrit tertentu, sehubungan telah terjadi perbuatan atau pristiwa atau keadaan tertentu, namum dalam kenyataan apa yang seharusnya terjadi tersebut tidak niscaya terjadi dengan sedirinya.

Ilmu hukum empiris sebagaimana ilmu empiris lainnya dapat menyajikan suatu penjelasan yang masuk akal mengenai gejala-gejala hukum yang ex post facto, akan tetapi refleksi terhadap hal itu untuk masa depan semata-mata terletak pada pengertian hukum, dengan demikian hakekat kerja yuridis ex ante sehingga karakter ilmu hukum bersifat preskriptif dan terapan. Artinya, ilmu hukum yang mengarah pada refleksi pemecahan masalah-masalah konkrit dalam masyarakat, yang dipelajarinya yaitu apa hukumnya atas peristiwa konkrit yang terjadi dalam masyarakat.

Sumber : 

ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGE GENERALIS

ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGE GENERALIS

Oleh: Alvi Syahrin

  Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP mengatur bahwa: Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itulah yang diterapkan. Pasal 63 ayat (2) KUHP ini menegaskan keberlakuan (validitas) aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang masuk baik kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP terkandung asas Lex specialis derogat legi generalis  yang merupakan suatu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (general).  Berdasarkan asas Lex specialis derogat legi generalis,  aturan yang bersifat umum itu tidak lagi memiliki “validity” sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus, aturan yang khusus tersebut sebagai hukum yang valid, yang mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit.
Menentukan suatu aturan yang berifat khusus itu (lex specialis,  berpangkal tolak dari metode deduktif (dari yang khusus ke yang umum). Aturan yang bersifat khusus itu dibandingkan dengan aturan umumnya dengan mengidentifikasikan sifat-sifat umum yang terkandung dalam dalam aturan yang bersifat khusus itu. Sifat-sifat umum ketentuan tersebut dapat diketahui dengan memahami secara baik aturan yang bersifat umum tersebut. Sehingga ditemukan aturan yang khusus (lex specialis) berisi hal-hal yang bersifat umum yang ditambah hal lainnya (yang merupakan kekhususannya). Suatu aturan hukum yang tidak memuat norma yang hakekat addressat-nya tertuju pada perlindungan benda-benda hukum yang umum ditambah sifat khususnya, maka tidak dapat dikatakan sebagai lex specialis, oleh karena dalam aturan yang bersifat khusus terdapat keseluruhan ciri-ciri (kenmerk) atau kategoris dari aturan yang bersifat umum (lex generalis) dan ditambahkan ciri-ciri baru yang menjadi inti kekhususannya itu.
Menurut teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Hart, aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate legi generalis termasuk kategori rule of recognition. Asas lex specialis derogat legi generalis,  mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku, dan asas lex specialis derogat legi generalis merupakan suatu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suaru represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.
Ditinjau dari teori criminal law policy yang dikemukakan Ancel, bahwa asaslex specialis derogat legi generalis merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy) yang mengatur tentang kewenangan. Artinya, bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum. Asas lex specialis derogat legi generalis ini penting bagi aparat penegak hukum guna menentukan aturan apa yang di terapkan atas suatu peristiwa yang diatur oleh lebih dari satu aturan, yang manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum dan yang manakah aturan-aturan yang lain tersebut yang bersifat khusus.
Menyimak ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menegaskan keberlakuan atau validitas aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang masuk baik kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Namun, apa yang dimaksud dengan aturan pidana tersebut, tidak ada dijelaskan dalam undang-undang. Dengan demikian perlu adanya penafsiran, sehingga jika melihat pandangan Friedmann yang menyatakan suatu sistem hukum terdiri substansi (substance), struktur (structure) dan budaya (culture), maka aturan pidana dimaksud yaitu substansi (materi) hukum itu sendiri dalam hal ini, aturan pidana tersebut yaitu sub-bagian hukum yang masuk kedalam ruang lingkup hukum pidana itu sendiri. Kemudian, jika memperhatikan pandangan Packer yang menyatakan ruang lingkup hukum pidana tersebut meliputi pengaturan tentang tindak pidana (crime), pertanggungjawaban pidana (responsibility) dan pemidanaan (punishment), maka aturan pidana diartikan ke dalam aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Sehingga, jika terdapat aturan yang sifatnya khusus mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan, maka aturan yang sifatnya umum menjadi tidak lagi valid.
Aturan hukum yang mengandung asas lex specialis derogat legi generalis, berlaku bukan hanya dalam menyikapi perbuatan-perbuatan yang taatbestanddengan aturan pidana yang terdapat dalam KUHP, tetapi juga bahkan terutama terhadap aturan pidana yang terdapat dalam undang-undang lain di luar KUHP. Bahkan sepanjang tidak diatur sebaliknya, asas ini juga berlaku terhadap sesama undang-undang di luar KUHP. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP, yang menentukan: “ketentuan ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain”. Sehingga, ketentuan Pasal 63 ayat (2) tidak hanya berlaku ketika mencermati peristiwa konkrit dihadapkan pada aturan-aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana pemidanaan yang terdapat dalam KUHP, tetapi juga terhadap hal yang sama yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP dihadapkan dengan KUHP itu sendiri, atau lebih jauh lagi terhadap dihadapkannya dua atau lebih undang-undang di luar KUHP. Sepanjang suatu peraturan perundang-undangan memuat aturan pidana yang khusus, maka mengenai hal yang sama yang secara umum diatur dalam KUHP (atau undang-undang di luar KUHP yang memiliki sifat lebih umum), menjadi tidak absah dalam arti  tidak lagi valid.
Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP, tidak ada hubungannya dengan masalah samenloop dari beberapa perilaku yang terlarang. yang diatur dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP , mengenai kemungkinan suatu perilaku yang terlarang itu telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana tertentu, akan tetapi kemudian ternyata telah diatur kembali di dalam suatu ketentuan pidana yang lain, dan ketentuan pidana tersebut merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, dalam arti secara khusus mengatur perilaku yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana, maka ketentuan pidana yang bersifat khusus itulah yang harus diberlakukan. Atau dengan perkataan lain, dalam hal seperti itu berlakulah ketentuan hukum yang mengatakan: lex specialis derogat legi generalis.
Untuk dapat mengetahui, suatu ketentuan pidana itu secara lebih khusus telah mengatur suatu perilaku, yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang lain, sehingga ketentuan tersebut dapat disebut sebagai suatu bijzondere strafbepaling atau ketentuan pidana yang bersifat khusus, tidak ada suatu kriterium yang dapat dipergunakan sebagai pedoman. Namun demikian, ada doktrin cara memandang suatu ketentuan pidana, yaitu: a. caramemandang secara logis ataupun juga yang disebut logische beschouwing, dan b. cara memandang secara yuridis atau secara sistematis ataupun yang juga disebut jurisdische atau systematische beschouwing.
Berdasarkan pandangan secara logis (logische beschouwing), suatu ketentuan pidana itu dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, jika ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Pandangan ini juga disebut sebagai suatu logische specialiteit atau sebagai suatukekhususan secara logis.
Selanjutnya, berdasarkan pandangan secara yuridis atau secara sistematis, suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketetentuan pidana yang bersifat khusus. Pandangan ini juga disebut suatu jurisdische specialiteit atausystematische specialiteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis. Perkataan systematische specialiteit, untuk pertama kalinya dipergunakan Ch.J. ENSCHEDE dalam tulisannya yang berjudul “Lex specialis derogat legi generali” di dalam Tijdschrift van het Strafrecht  pada halaman 177 di tahun 1963.
Kekhususan ketentuan-ketentuan pidana yang bersifat khusus itu dapat juga terletak pada sifatnya yang memberatkan atau meringankan hukuman. Menurut P.A.F. Lamintang, untuk dapat disebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, suatu ketentuan pidan itu tidak selalu harus memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Ketentuan pidana yang sama sekali tidak memuat satu unsur pun dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, bahkan juga tidak menyebutkan kualifikasi kejahatan-kejahatan yang telah dimaksudkan di dalam ketentuan pidana tersebut, melainkan hanya menyebutkan pasal-pasal dari kejahatan-kejahatan yang telah dimaksudkan, akan tetapi ketentuan pidana tersebut harus juga dipandang sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus.
Ketentuan pidana sebagaimana diatur Pasal 63 ayat (2) KUHP, perlu diperhatikan oleh hakim  maupun Jaksa Penunut Umum. Sebab, jika  suatu tindak pidana yang telah didakwakan terhadap seorang sebagaimana diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, dan kemudian ternyata bahwa tindak pidana tersebut yang bersifat khusus, maka unsur-unsur dari ketentuan pidana yang bersifat khusus inilah yang harus ia cantumkan di dalam surat dakwaannya. oleh karena, jika jaksa penuntut umum hanya mencantumkan unsur-unsur dari tindak pidana sebagaimana diatur dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum di dalam surat dakwaannya, dan di dalam sidang peradilan kemudian yang  terbukti  (dapat dibuktikannya secara sah) yaitu perbuatan terdakwa yang telah memenuhi semua unsur dari suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, maka hakim harus membebaskan terdakwa dari segala yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum di dalam surat dakwaannya tersebut .
Kejadian sebagaimana diterangkan di atas, pernah diputuskan oleh HOGE RAAD dalam arrest-nya tanggal 6 Desember 1960, N.J. 1961 no. 54, HOGE RAAD yang telah membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum, oleh karena penuntut umum di dalam surat tuduhannya hanya menuduhkan pelanggaran terhadap Pasal 494 ayat (2) KUHP, yang pada hakekatnya hanya merupakan suatu tindak pidana yang telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, namun kemudian di persidangan peradilan kemudian ternyata perbuatan tertuduh itu telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana seperti yang telah diatur di dalam Pasal 13 ayat (3) juncto Pasal 84Wegverkeerreglement yang berlaku di Negeri Belanda, yang pada hakekatnya merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus yang mengatur tindak pidana yang sama secara lebih khusus.  HOGE RAAD di dalam pertimbangannya menyebutkan: walaupun apa yang telah dituduhkan oleh penuntut umum itu memang terbukti, akan tetapi perbuatan-perbuatan yang terbukti itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana, oleh karena dalam hal ini yang harus diberlakukan adalah ketentuan pidana yang bersifat khusus.

Sumber : 

KARAKTERISTIK ILMU HUKUM

KARAKTERISTIK ILMU HUKUM

Oleh: Alvi Syahrin

Ilmu Hukum memiliki karakter yang khas (sui generis) yang sifatnya normatif, praktis dan preskriptif, menjadikan metode kajian ilmu hukum akan berkaitan dengan apa yang seyogianya atau apa yang seharusnya, sehingga metode dan prosedur penelitian dalam ilmu-ilmu alamiah dan ilmu sosial tidak dapat diterapkan untuk ilmu hukum. Hal ini menjadikan Ilmuan hukum harus menegaskan: dengan cara apa ia membangun teorinya, menyajikan langkah-langkahnya agar pihak lain dapat mengontrol teorinya dan mempertanggungjawabkan mengapa memilih cara yang demikian.

Ilmu hukum menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu karena mempunyai sifat yang normatif dan mempunyai pengaruh langsung terhadap kehidupan manusia dan masyarakat yang terbawa oleh sifat dan problematikanya. Keadaan yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan manusia dan masyarakat mengakibatkan sebagian ahli hukum Indonesia berupaya mengempiriskan ilmu hukum melalui kajian-kajian sosiologik, bahkan upaya tersebut sampai kepada menerapkan metode-metode penelitian sosial ke dalam kajian hukum (normatif).

Menerapkan (memaksakan) metode penelitian sosial terhadap penelitian hukum, menimbulkan kejanggalan-kejanggalan (dalam arti telah terjadi kekeliruan), misalnya: menggunakan kata bagaimana, seberapa jauh, seberapa efektif  (dan lain-lain yang menggambarkan pada kajian ilmu sosial/gejala sosial) dalam perumusan masalah; menggunakan kata: sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data, populasi dan sampling. Penggunaan kata-kata tersebut menunjukkan kepada studi-studi sosial tentang hukum, hukum sebagai gejala sosial, dan induk ilmunya yaitu ilmu sosial bukan ilmu hukum. Seharusnya, pengkajian ilmu hukum tersebut beranjak dari hakikat keilmuan ilmu hukum.

Mempelajari hukum bertitik anjak dari memahami kondisi instrinsik aturan-aturan hukum. Kondisi intrinsik aturan-aturan hukum tersebut dipelajari tentang gagasan-gagasan hukum yang bersifat mendasar, universal umum, dan teoritis serta landasan pemikiran yang mendasarinya.  Landasan pemikiran tersebut terkait dengan berbagai konsep mengenai kebenaran, pemahaman dan makna, serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Dengan demikian, tugas ilmu hukum (jurisprudence) yaitu menemukan prinsip-prinsip umum yang menjelaskan bangunan dunia hukum.[1]

Ilmu hukum tidak dapat di klassifikasikan ke dalam ilmu sosial yang bidang kajiannya kebenaran empiris, sebab ilmu sosial tidak memberi ruang bagi menciptakan konsep hukum, ia (ilmu sosial) hanya berkaitan dengan implementasi konsep hukum dan selalu hanya memberikan perhatiaannya kepada kepatuhan individu terhadap atauran hukum. Demikian juga dengan ilmu hukum tidak dapat diklassifikasikan ke dalam ilmu humaniora, sebab ilmu humaniora tidak memberikan tempat untuk mempelajari hukum sebagai aturan tingkah laku sosial, hukum hanya dipelajari dalam kaitannya dengan etika dan moralitas.

Tugas ilmu hukum membahas hukum dari semua aspek. Ilmu sosial maupun ilmu humaniora hanya memandang hukum dari sudut pandang keilmuannya, sehingga tidak tepat untuk mengkalssifikasikan ilmu hukum sebagi ilmu sosial atau ilmu humaniora. Ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat sui generis yakni tidak ada bentuk ilmu lain yang dapat dibandingkan dengan ilmu hukum. Ilmu hukum hanya satu untuk jenisnya sendiri.

Ilmu hukum hukum tidak mencari fakta historis dan hubungan-hubungan sosial sebagaimana yang terdapat dalam penelitian sosial. Ilmu hukum berurusan dengan preskripsi-preskripsi hukum, putusan-putusan yang bersifat hukum, dan materi-materi yang diolah dari kebiasaan-kebiasaan. Oleh Paul Scholten, ilmu hukum bagi legislator terkait dengan hukum in abstracto, dan bagi hakim memberikan pedoman dalam menangani perkara dan menetapkan fakta-fakta yang kabur. Dengan demikian, ilmu hukum mempunyai karakter preskriptif dan sekaligus sebagai ilmu terapan.

Sumber : 

UUPPLH SEBAGAI KETENTUAN PAYUNG (UMBRELLA ACT) DAN KAITANNYA DENGAN PENERAPAN KETENTUAN PIDANA

UUPPLH SEBAGAI KETENTUAN PAYUNG (UMBRELLA ACT)
DAN KAITANNYA DENGAN PENERAPAN KETENTUAN PIDANA


Oleh: Alvi Syahrin



I.              Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) memberikan pengertian Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. selanjutnya, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Pengertian lingkungan hidup dan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang di atur dalam UUPPLH menjadikan materi yang diatur dalam UUPPLH sangat luas yang mencakup segi ruang, kekayaan alam yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumber alam buatan. Materi yang diatur dalam UUPPLH tidak mungkin diatur secara lengkap dalam UUPPLH itu sendiri, tentunya akan memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan dengan arah dan ciri yang serupa. UUPPLH memiliki sifat mengatur mengenai ketentuan-ketentuan pokok perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya, UUPPLH memuat asas dan prinsip pokok bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga UUPPLH berfungsi sebagai payung (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai penyesuai bagi peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

Berdasarkan Pasal 44 UUPPLH, diatur bahwa setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPPLH. Kemudian, penjelasan Umum UUPPLH pada angka 5 menjelaskan bahwa upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, perludikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. Dan UUPPLH juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan  dan di dalam pengadilan.  Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.

Ketentuan Pasal 65 UUPPLH mengatur bahwa setiap orang berhak: atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang‑undangan, dan melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dan Pasal 66 UUPPLH mengatur bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Selain memiliki hak sebagaimana di atur dalam Pasal 65 dan 66 UUPPLH, Pasal 67 UUPPLH mengatur tentang kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Dan Pasal 68 UUPPLH mewajibkan bagi setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. serta Pasal 69 UUPPLH mengatur larangan bagi setiap orang untuk: a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; e. membuang limbah ke media lingkungan hidup; f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan; h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;  i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.


II.            UUPPLH sebagai ketentuan payung (umbrella act) dari peraturan sekoral lain yang mengatur mengenai lingkungan hidup, dalam kenyataannya saat ini dijumpai ketidaksinkronan secara horizontal antara UUPPLH dan ketentuan undang-undang sektoral mengenai pengaturan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pidananya. Misalnya, dengan ketentuan Pasal 78 ayat (14) Undang-Undang  Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUKehutanan) dengan Pasal 116 UUPPLH terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi (badan usaha). Berdasarkan Pasal 78 ayat (14)  UUKehutanan, yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dan dijatuhkan pidana hanyalah pengurus, untuk korporasinya tidak dapat dimintakan pertanggungjawan pidana dan dijatuhkan pidana, sedangkan Pasal 116 UUPPLH yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dan dijatuhkan pidana yaitu badan usaha dan/atau pengurusnya.

Ketentuan Pasal 78 ayat (14) UUKehutanan, berbunyi sebagai berikut:
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Pasal 116 UUPPLH, berbunyi sebagai berikut:
(1)   Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a.  badan usaha; dan/atau
b.  orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2)   Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Dengan demikian, sudah saatnya untuk melakukan revisi terhadap Pasal 78 ayat (14) UUKehutanan dengan menyesuaikannya dengan Pasal 116 UUPPLH.

Kemudian, terkait dengan kewenangan untuk melakukan penyidikan kasus pidana terkait dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 94 ayat (1) UUPPLH mengatur bahwa: selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPNS-LH) diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. Kewenangan PPNS-LH berdasarkan Pasal 94 ayat (2) UUPPLH yaitu:
a.    melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b.    melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c.    meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d.    melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e.    melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
f.     melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g.    meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h.    menghentikan penyidikan;
i.     memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;
j.     melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau
k.    menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.

Kemudian lagi, Pasal 94 ayat (4) UUPPLH, mengatur bahwa dalam hal PPNS-Lingkungan melakukan penyidikan, PPNS-LH memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia (Polri) memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan. Pasal 94 ayat (5) UUPPLH mengatur bahwa PPNS-LH memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat Polri. Hasil penyidikan PPNS-LH berdasarkan Pasal 94 ayat (6) UUPPLH disampaikan kepada penuntut umum.

Memperhatikan kewenangan PPNS-LH menyangkut tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan jika disinkronkan dengan ketentuan Pasal 77 ayat (1) UUKehutanan yang mengatur bahwa: selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan (PPNS_Kehutanan), diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan Pasal 77 ayat (2), kewenangan PPNS-Kehutanan, yaitu:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b.    melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
c.    memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
d.    melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e.    meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
f.     menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
g.    membuat dan menandatangani berita acara;
h.    menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

PPNS Kehutanan berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UUKehutanan, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Jika disimak ketentuan Pasal 94 UUPPLH dan Pasal 77 UUKehutanan, terlihat bahwa PPNS-LH memiliki kewenangan yang lebih besar ketimbang PPNS-Kehutanan, oleh karena PPNS-LH melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sedangkan PPNS-Kehutanan yang melakukan penyidikan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Menarik untuk dikaji mengenai kewenangan PPNS-LH dan PPNS-Kehutanan, terkait dengan kebakaran hutan, oleh karena ada 2 (dua) ketentuan pidana yang terkait, yaitu Pasal 108 UUPPLH dan ketentuan Pasal 78 ayat (3) dan (4) UUKehutanan.

Pasal 108 UUPPLH:
setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 69 ayat (1) huruf h, berbunyi:
setiap orang dilarang ... melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

Pasal 78 ayat (3) UUKehutanan:
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 78 ayat (4) UU Kehutanan:
Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

Pasal 50 ayat (3) huruf d, berbunyi:
setiap orang dilarang ... membakar hutan.

Memperhatikan ketentuan Pasal 108 UUPPLH dan ketentuan Pasal 78 ayat (3) dan (4) UUKehutanan, jika terjadi kebakaran di kawasan hutan, apabila kebakaran tersebut menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan maka PPNS-LH berwenang melakukan penyidikan atas tindak pidana, adapun penyidikan yang dilakukan PPNS-LH yaitu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPPLH atau Pasal Pasal 99 UUPPLH dan Pasal 108 UUPPLH. Akan tetapi jika kejadiannya (kebakaran) tidak menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup serta terjadi di kawasan hutan,  yang berwenang adalah PPNS-Kehutanan, adapun penyidikan yang dilakukan oleh PPNS-Kehutanan yaitu Pasal 78 ayat (3) UUKehutanan atau Pasal 78 ayat (4) UUKehutanan. Kemudian juga, jika kebakaran bukan di kawasan hutan, maka yang berwenang adalah PPNS-LH, adapun penyidikan yang dilakukan yaitu Pasal 108 UUPPLH.

Selanjutnya, bagaimana halnya, jika kebakaran terjadi di lahan perkebunan, apakah yang berwenang PPNS-LH atau PPNS-Perkebunan. PPNS-Perkebunan berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan (UUPerkebunan) di atur bahwa: selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan  (PPNS-Perkebunan) juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perkebunan.

Wewenang PPNS Perkebunan, berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UUPerkebunan, yaitu:
a.  Melakukan pemeriksanaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang perkebunan;
b.  Melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang perkebunan;
c.  Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang perkebunan;
d.    Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang perkebunan;
e.    Membuat dan menandatangani berita acara; dan
f.     Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang perkebunan.

PPNS Perkebunan berdasarkan Pasal 45 ayat (3) UUPerkebunan, memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Ketentuan Pasal  48 UUPerkebunan,:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Ketentuan Pasal 49 UUPerkebunan:
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Memperhatikan ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan, maka tindak pidana dimaksud jika dikaitkan dengan UUPPLH yaitu melakukan tindak pidana sebagai mana dimaksud dalam Pasal 98 atau 99 UUPPLH dan Pasal 108 UUPPLH, oleh karena Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan unsur tindak pidananya yaitu: a. membuka dan/atau mengolah lahan, b. berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Oleh karena ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan unsur tindak pidananya yaitu: a. membuka dan/atau mengolah lahan, dan b. berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, maka siapakah yang berwenang melakukan penyidikan jika terjadi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 UUPerkebunan, apakah PPNS-LH berhak melakukan penyidikan atas kasus tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 98 atau Pasal 99 UUPPLH dan Pasal 108 UUPPLH, sebab adanya kesamaan unsur dari tindak pidana tersebut, yaitu: a. membakar lahan, dan b. terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Untuk mengantisipasi adanya eksepsi pihak yang melakukan tindak pidana di bidang perkebunan oleh karena penyidikan dilakukan oleh PPNS-LH, maka sebaiknya PPNS-LH melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana membuka dan/atau mengolah lahan yang berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, yang perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan yang telah memiliki ijin usaha perkebunan. Akan tetapi jika pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan tidak memiliki ijin usaha perkebunan maka PPNS-LH dapat melakukan penyidikan tanpa perlu melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik Polri.

Demikian juga, jika pembakaran yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan yang telah memiliki ijin usaha perkebunan dilakukan untuk pembukaan lahan perkebunan (yang sebelumnya lahan tersebut bukan untuk kegiatan perkebunan), pejabat PPNS-LH dapat melakukan penyidikan berdasarkan Pasal 108 UUPPLH dan Pasal 98 atau Pasal 99 UUPPLH jika pembakaran tersebut mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Bahkan jika PPNS berkoordinasi dengan pejabat penyidik Polri, pelaku usaha perkebunan atau perusahaan perkebunan dapat juga dikenakan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.


III.            UUPPLH sebagai ketentuan payung merupakan UU bagi UU sektoral. Dalam praktek kenegaraan UU payung dijadikan bahan judicial review, dan Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusan menjadikan UU payung sebagai pisau analisis terhadap sebuah produk UU.
UUPPLH memuat asas dan prinsip pokok bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan berfungsi sebagai ”payung” (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, untuk itu perlu disegerakan penyesuaian (revisi terhadap) peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang  perlidungan dan pengelolaannlingkungan hidup untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan UUPPLH.

Sumber :