Translate

Senin, 21 Oktober 2013

UU PENDIDIKAN TINGGI

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI
BERTENTANGAN DENGAN
UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ?

            Oleh : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS.



I.             Pengujian secara juridis (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada saat ini terkait dengan pelaksanaan hak asasi manusia, mengenai hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum (rights to equality of law) khususnya dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Hak asasi sosial budaya (social and culture rights) sebagaimana  yang tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya mengenai hak mendapatkan pendidikan dan negara memprioritaskan anggaran paling sedikit  20 (dua puluh)  persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional.
            Pasal-pasal UUPT yang diajukan mengajukan Permohonan Yudicial Review terhadap beberapa pasal dari UUPT antara lain: Pasal 64, Pasal 65 ayat (1), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1), Pasal 86 ayat (1), Pasal 87, Pasal 90.
           Mahkamah Konsitusi berdasarkan kewenangan, diantaranya berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan kewenangannya tersebut, Mahkamah Konsitusi menjalankan fungsinya  sebagai penafsir konstitusi dengan menjelaskan makna kandungan kata atau kalimat, menyempurnakan atau melengkapi, bahkan membatalkan sebuah undang-undang jika dianggap bertentangan dengan konstitusi, serta mengawal tegaknya demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan permohonan yang diajukan, yang menjadi inti untuk ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu apakah UUPT (khususnya PasalPasal 64, Pasal 65 ayat (1), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1), Pasal 86 ayat (1), Pasal 87, Pasal 90) tidak bertentanganngan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (khususnya Pasal Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31 ayat (1) dan (4)).

II.     Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pembukaan UUD 1945, diantaranya: “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ... berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan       sosial ...”. Untuk untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, berdasarkan Pasal 31 UUD 1945 dinyatakan setiap orang berhak mendapatkan pendidikan dan mengamanatkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang, serta agar Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
          Berdasarkan amanat Pasal 31 UUD 1945, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memberikan kerangka yang jelas kepada Pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan nasional, dan khusus untuk Perguruan Tinggi diterbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT).
        Dasar pertimbangan diterbitkannya UUPT, yaitu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia; b. pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan; c. untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa; d. untuk mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan masyarakat bagi kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek demografis dan geografis; e. untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan tinggi diperlukan pengaturan sebagai dasar dan kepastian hukum.
Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.  Satuan pendidikan yang melenggaran Pendidikan Tinggi  yaitu  Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi tersebut dapat berupa Perguruan Tinggi yang didirikan  dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah (disingkat PTN) dan Perguruan Tinggi yang yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat (disingkat PTS).
PTN maupun PTS berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 2 UUPT), Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, dengan berasaskan (Pasal 3 UUPT): a. kebenaran ilmiah; b. penalaran; c. kejujuran; d. keadilan; e. manfaat; f. kebajikan; g. tanggung jawab; h. kebhinnekaan; dan i. Keterjangkauan, serta berfungsi (Pasal 4 UUPT): a. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; b. mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan c. mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora, dengan tujuan (Pasal 5 UUPT): a. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan d. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
     Selanjutnya, Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip (Pasal 6 UUPT): a. pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika; b. demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa; c. pengembangan budaya akademik dan pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika; d. pembudayaan dan pemberdayaan bangsa yang berlangsung sepanjang hayat; e. keteladanan, kemauan, dan pengembangan kreativitas Mahasiswa dalam pembelajaran; f. pembelajaran yang berpusat pada Mahasiswa dengan memperhatikan lingkungan secara selaras dan seimbang; g. kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan Mahasiswa; h. satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; i. keberpihakan pada kelompok Masyarakat kurang mampu secara ekonomi; dan j. pemberdayaan semua komponen Masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan Pendidikan Tinggi.
         Tanggung jawab atas menyelenggarakan pendidikan tinggi (Pasal 7 UUPT), yaitu Menteri menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan (dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional). Tanggungjawab Mendikbud atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, yaitu: mencakup pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi. Selanjutnya, tugas dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi meliputi: a. kebijakan umum dalam pengembangan dankoordinasi Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Tinggi; b. penetapan kebijakan umum nasional dan penyusunan rencana pengembangan jangka panjang, menengah, dan tahunan Pendidikan Tinggi yang berkelanjutan; c. peningkatan penjaminan mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan akses Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan; d. pemantapan dan peningkatan kapasitas pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber daya Perguruan Tinggi; e. pemberian dan pencabutan izin yang berkaitan dengan penyelenggaraan Perguruan Tinggi kecuali pendidikan tinggi keagamaan; f. kebijakan umum dalam penghimpunan dan pendayagunaan seluruh potensi masyarakat untuk mengembangkan Pendidikan Tinggi; g. pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau konsorsium yang melibatkan Masyarakat untuk merumuskan kebijakan pengembangan Pendidikan Tinggi; dan h. Pelaksanaan tugas lain untuk menjamin pengembangan dan pencapaian tujuan Pendidikan Tinggi.
       Memperhatikan dasar pertimbangan UUPT berikut Pasal 2 sampai dengan Pasal 7 UUPT, terlihat bahwa UUPT telah memberikan kerangka yang jelas kepada Pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan nasional (khususnya untuk Perguruan Tinggi) terkait dengan pelaksanaanhak asasi manusia  mengenai mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum (rights to equality of law) khususnya hak mendapatkan pendidikan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

III.          Paham liberal menekankan kepada kemerdekaan individu untuk mengurus dirinya sendiri, yang jika kebablasan akhirnya akan mengingkari akan kebebasan orang lain, oleh karena itu kebebasan individu harus berhenti jika berhadapan dengan individu lainnyasebagai mitra hidup bersama. Telah dilampauinya batas-batas paham liberal saat ini menyebabkan menentang berbagai jenis kekuasaan yang membatasi kebebasan seseorang, sehingga memunculkan neoliberalisme yang memberikan kekuasaan yang besar terhadap seseorang baik dalam kehidupan bersama, kehidupan bernegara, kehidupan ekonomi dan sosial budaya.
      Neoliberalisme dapat memasuki dunia pendidikan dengan lahirnya sistem pendidikan yang memberikan privilege kepada golongan yang mampu dan tidak memperhatikan kebutuhan akan pendidikan yang demokratis bagi semua rakyat. Neoliberalisme juga dapat memasuki pendidikan tinggi dalam bentuk organisasi yang dikuasai oleh kekuatan modal, oleh kekuatan ekonomi privatisasi sehingga menjadi pengarah bagi kehidupan dunia pendidikan tinggi (universitas/perguruan tinggi).Neoliberalisasi pendidikan tinggi dapat berupa bentuk efesiensi semu dari lembaga pendidikan tinggi sehingga melupakan/mengorbankan “academic excellence” dalam visinya mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan untuk kebahagian masyarakat.
       Neoliberalisasi pendidikan tinggi tidak mendapat tempat dalam UUPT, oleh karena UUPT menyatakan perguruan tinggi sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteran umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perguruan tinggi dalam mewujudkan dharma pendidikan, menghasilkan intelektual, ilmuwan dan/atau profesional yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis, dan berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran demi kepentingan bangsa dan umat manusia.
     Perguruan tinggi sebagai milik publik yang memiliki nilai-nilai demokratis yang luhur perlu dibentengi dengan kekuatan civil society dalam kampus pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan tinggi perlu dikelola secara demokratis dan lembaga (seperti Majelis Wali Amanah Pendidikan Tinggi) akan menepati ruang-ruang publik yang berfungsi mengontrol kekuatan-kekuatan corporate culture, sehingga lembaga tersebut merupakan suatu lembaga civil society di mana kebutuhan umum lebih dipentingkan daripada pertimbangan-pertimbangan komersial.
      UUPT menegaskan bahwa pendirian dan penyelenggaran otonomi perguruan tinggi Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi  (Pasal 60 dan Pasal 63 UUPT) dilaksanakan berdasarkan prinsip: a. akuntabilitas; b. transparansi; c. nirlaba; d. penjaminan mutu; dan e. efektivitas dan efisiensi. Prinsip nirlaba akan menjadikan perguruan tinggi bukan sebagai badan usaha komersial. “Prinsip nirlaba” merupakan prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.
           Selanjutnya, Indonesia memerlukan suatu upaya yang luar biasa untuk meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan mutu tersebut terkait dengan mutu pengajarnya, kelengkapan proses belajar dan mengajar, dan ketersedian biaya pendidikan yang memadai. UUPT telah memberikan pengaturan yang jelas untuk itu, misalnya: mutu pengajar, kelengkapan proses belajar mengajar sebagaimana diatur dalam Pasal 51 – 57, 69 -72 UUPT, ketersediaan biaya pendidikan yang memadai sebagaimana diatur dalam Pasal 73 -76, 83 - 89 UUPT.
            Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berdasarkan Pasal 65 UUPT dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.
            PTN badan hukum berdasarkan Pasal 65 ayat (3) UUPTN, memiliki: a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah; b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri; c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; e. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan; f. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 65 ayat (4) UUPT, Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.
          PTN badan hukum sebagaimana dimaksud dalam UUPT sebagai perguruan tinggi yang menghasilkan pendidikan tinggi yang bermutu dan melenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh masyarakat. Pendidikan tinggi yang bermutu mengunggulkan kualitas dan menerapkan sistem evaluasi dan standardisasi bertahap dengan benchmarks yang jelas. Artinya, penyelenggaraan otonomi PTN oleh PTN badan hukum menjadikan PTN tersebut dapat berkembang lebih pesat dan tetap sebagai academic excellence serta sebagai benteng penjaga kebenaran dan memajukan ilmu pengetahuan, sehingga PTN badan hukum merupakan pion-pion terdepan di dalam mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang dapat bersaing di dalam kesempatan terbuka dunia global yang semakin menyempit. Dengan demikian, keberadaan PTN badan hukum akan mempercepat tercapainya apa yang menjadi tujuan pelaksanaan pemenuhan atas pelaksanaan hak asasi manusia  mengenai mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum (rights to equality of law) khususnya hak mendapatkan pendidikan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

IV.       Perguruan tinggi mengembangkan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi ilmu pengetahuan. Hal ini memerlukan otonomi perguruan tinggi. Proses menuju otonomi perguruan tinggi terkait dengan pengembangan budaya profesionalisme dengan ciri-ciri memilki keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), dan kesejawatan (corporateness). Budaya profesionalisme berdampak terhadap keluaran (output) perguruan tinggi dengan dihasilkannya sarjana-sarjana profesional yang juga menjadi agen dalam perubahan masyarakat serta mampu menjadimodernising force dalam kehidupan masyarakat secara luas.
          Kebebasan Akademik dan Otonomi Perguruan Pendidikan Tinggi merupakan hal yang penting. Menyimak deklarasi para rektor-rektor perguruan tinggi dunia di Lima (ibu kota Peru) pada bulan Oktober 1989 menyatakan pentingnya Kebebasan Akademik dan Otonomi Perguruan Pendidikan Tinggi (Academic Freedom and Autonomy of Higher Education) bahwa: otonomi perguruan tinggi mengandung pengertian memiliki independensi atau kebebasan dalam mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan yang menyangkut pengelolaan administrasi, keuangan, pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, kerja sama dan aktivitas lain yang berkaitan, tanpa campur tangan (intervensi) pemerintah atau kekuatan lain; seluruh anggota masyarakat akademik memiliki hak untuk menjalankan tugasnya tanpa diskriminasi dan tanpa rasa takut akan adanya gangguan, larangan, atau represi dari mana pun; para peneliti dari kalangan kampus memiliki hak untuk melakukan kegiatan penelitian tanpa kekangan atau campur tangan dari pihak lain, berdasarkan prinsip dan metode penelitian ilmiah yang universal. Mereka juga berhak untuk mengomunikasikan, menyebarluaskan atau mempublikasikan hasil-hasil temuannya tanpa adanya sensor dari pihak mana pun; semua lembaga pendidikan tinggi: a. wajib berupaya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, kultural, dan politik dari masyarakat serta mencegah penyalahgunaan ilmu dan teknologi yang menyalahi hak-hak tersebut; semua lembaga pendidikan tinggi harus aktif berperan serta dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsanya dan harus kritis terhadap kondisi aktual, seperti represi politik dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, b. memperkokoh solidaritas dengan lembaga lain yang serupa dan dengan anggota masyarakat akademik secara individual bilamana mereka menghadapi bencana atau tuntutan dari pihak lain. Solidaritas tersebut bisa dalam wujud moral maupun material, yang mencakup juga para pengungsi serta penyediaan pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi para korban, c. berusaha mencegah ketergantungan ilmu dan teknologi serta mengupayakan kemitraan yang setara dengan seluruh komunitas akademik di dunia dalam pengembangan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus lebih digalakkan kerja sama akademik dalam skala internasional, melampaui batas-batas regional, politik, dan batas-batas penghambat lain, d. menjamin partisipasi para mahasiswa dalam organisasi-organisasi mereka, baik secara individual maupun kolektif, untuk menyampaikan pendapat atau opininya dalam setiap masalah yang berkala nasional maupun internasional, dan otonomi perguruan tinggi harus dilaksanakan dengan cara-cara yang demokratis dalam wujud self-government, dengan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh komunitas akademik yang bersangkutan.
Pemahaman mengenai otonomi pendidikan tinggi perlu secara multidimensisebagaimana disebut di atas. Paradigma pendidikan didasarkan pembebasan dan pemberdayaan, yang mengandung semangat demokratisasi pendidikan yang mengakui pluralisme, keberagaman, atau kemajemukan. Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek yang berkaitan dengan pencarian alternatif pemecahan masalah aktual dilandasi kajian ilmiah yang diperkuat dengan landasan moral dan hati nurani.
Otonomi pendidikan tinggi tidak menjadikan perguruan tinggi negeri harus membiayai dirinya sendiri. Sehingga para pengelola perguruan tinggi negeri perlumencari terobosan baru untuk fund raisingmisalnya: merangkul dunia bisnis/industri, menjalin kerja sama baik dengan pihak ketiga, melakukan kegiatan penelitian dengan dana dari dalam maupun mancanegara. Namun demikian,pemerintah tetap harus berkontribusi secara financial dalam penyelenggaran perguruan tinggi. Tujuan otonomi perguruan tinggi itu sama sekali bukan untuk komersialisasi pendidikan, sehingga otonomi perguruan tinggi tidak dipahami dari kacamata ekonomis yang menjadikan orang tua mahasiswa, dalam relasinya dengan lembaga pendidikan, sekedar sebagai obyek penarikan dana. Otonomiperguruan tinggi melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orang tua), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan perencanaan, program format perguruan tinggi), dan konsiliatif (keterbukaan untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang di tawarkan).

V.           Ketentuan-ketentuan pasal dari UUPT tidak dapat dilihat secara terpisah atau tersendiri, melainkan harus dilihat secara keseluruhan dengan pasal-pasal lainnya. Dalam ketentuan UU tersebut terdapat jalinan norma dan pasal-pasal yang perlu dianalisis secara utuh, artinya pasal-pasal dalam UUPT saling terkait atau adanya keterkaitan satu dengan yang lain. Oleh karena itu kita harus mempelajari jalinan pasal-pasal dalam UUPT, bagaimana hubungan antara satu pasal dengan pasal-pasal lain dan yang paling penting apa yang mendasari dan menjadi latar belakang dari pasal-pasal tersebut serta nilai-nilai dan semangat yang terdapat dalam jalinan pasal-pasal tersebut.
       Ketentuan Pasal 64 UUPT tidak menyebabkan terjadinya komersialisasi pada PTN. Pembentuk UU sudah menegaskan bahwa pendidikan secara filosofis idealistik bukan komersialisasi (dengan ciri yang tujuannya untuk mengejar keuntungan), sebab prinsip otonomi  PTN diantaranya dilaksanakan dengan prinsip NIRLABA (Pasal 63 UUPT). PTN tidak pernah membagi keuntungan pada rektor, dekan, dosen, dan tenaga kependidikan. Dana yang tersisa dari pengelolaan PTN diperuntukkan bagi kepentingan peningkatan sarana dan prasarana di PTN tersebut. Selanjutnya, ketentuan Pasal 64 UUPT, tidak menetapkan Pengelolaan Keuangan sebagaimana layaknya sebuah Korporasi. PTN dan PTN yang diberikan  dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU serta PTN- bh untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu, mengelola keuangan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 64 ayat (5) UUPT.
         PTN-bh tidak dapat dikatakan korporasi dan bukan pula “seperti korporasi” karena PTN-bh didirikan bukan dari kumpulan modal pemegang saham, tetapi berasal dari pemisahan keuangan negara. Korporasi mengenal adanya shareholders, tetapi dalam PTN-bh hal itu tidak dikenal, melainkan adanya stakeholders (pemangku kepentingan) yang meliputi masyarakat, dan alumni.
        Penyerahan otonomi non akademik sebagai sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UUPT, bukan melepaskan tanggungjawab dan kontrol negara terhadap pendidikan tinggi yang berkeadilan dan diskriminatif. Otonomi  non akademik diserahkan oleh UU kepada PT sebagai penyerahan yang sah menurut hukum, karena otonomi non akademik yang diserahkan tersebut bukan pelepasan tanggungjawab melainkan untuk upaya meningkatkan kualitas akademik.  Otonomi non akademik ini berkeadilan dan tidak bersifat diskriminatif, oleh karena UU sudah menetapkan pembagian PTN dan PTN-bh untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu.
        Berdasarkan ketentuan Pasal 51 s/d Pasal 57 UUPT ditetapkan Penjaminan Mutu dengan melaksanakan Sistem Penjamiman Mutu (Pasal 51 s/d Pasal 53 UUPT), melaksanakan Standard Pendidikan Tinggi (Pasal 54 UUPT), melaksanakan Akreditasi (Pasal 55 UUPT), memiliki Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (Pasal 56 UUPT) dan memiliki Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (Pasal 57 UUPT). Selanjutnya UUPT menetapkan adanya alokasi sedikit 20 % untuk masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi  tetapi memiliki potensi akademik tinggi baik dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk memasuki PTN (Pasal 74 UUPT).
      Sejalan dengan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, UUPT juga tidak bertentangan dengan  pasal tersebut, oleh karenanya setiap mahasiswa yang ingin memasuki PTN memiliki kesempatan yang sama tanpa membedakan agama, warna kulit, suku, dan ras tetapi berbasis kepada kemampuan intelektual dalam rangka mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain. Artinya, UUPT telah menderivasi Konstitusi yang ide (cita-cita hukum)-nya sejalan, selaras, dan harmonis  sehingga tidak terjadi antinomi hukum di dalamnya.
     Ketentuan Pasal 64 UUPT juga tidak membuka kesempatan pada PTN yang bersangkutan untuk melakukan Abuse Of Power dalam bidang Ketenagaan, oleh karena sistem perekrutan, pengangkatan, pemberhentian, penskoran pegawai perguruan tinggi tunduk kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, perguruan tinggi memiliki kebijakan untuk mengelola dosen dan tenaga kependidikan sesuai keahlian dan profesionalisme dalam meningkatkan kualitas penyelenggaran pendidikan di PT (Pasal 69 UUPT s/d Pasal 72 UUPT).
     Ketentuan Pasal 65 UUPT tidak menjadikan PTN-bh layaknya barang privat. UUPT baik secara eksplisit maupun implisit (asas, dan norma hukum) dalam pelaksanaannya sama sekali tidak mencerminkan sebagai barang privat (private goods) hal ini dapat dibuktikan secara empirik, tidak satu pun para rektor, dekan, dosen, tenaga kependidikan mengambil keuntungan/laba untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan tersebut. Selain itu sistem pertanggungjawaban   PTN-bh dilakukan kepada otoritas publik (kepada Menteri, Dirjen, BPK, BPKP) dan bukan pada badan swasta (privat).
      PTN berdasarkan Pasal 6 UUPT memiliki prinsip antara lain demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa, serta kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan mahasiswa. Kebebasan dalam memilih Program Studi juga berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan mahasiswa, keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi. Kemudian, Pasal 74 ayat (1) UUPT mewajibkan PTN untuk mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki Potensi Akademik Tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi. Hal ini menunjukkan Perguruan Tinggi sebagai memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan keterjangkauan masyarakat namun memiliki potensi akademik yang tinggi. Kemudian juga, perguruan tinggi bukan satu-satunya tempat bagi generasi muda untuk mengembangkan kemampuan, karena perguruan tinggi sebagai lembaga yang berbasis kemampuan intelektual memang mengharuskan kemampuan akademik yang sesuai, sehingga wajar jika PTN mencari dan menjaring mahasiswa yang memiliki potensi akademik.
     Selanjutnya, kerjasama antara PTN dengan dunia usaha dapat membangun dunia pendidikan. PTN dan dunia usaha saling membutuhkan satu sama lain. Berdasarkan Pasal 83 UUPT, 84 UUPT, dan 85 UUPT, Pemerintah dan pemerintah daerah, masyarakat menyediakan dana bagi PTN yang dapat berupa hibah, wakaf, zakat dan sebagainya. Sedangkan yang berkaitan dengan dunia usaha dan industri, pemerintah hanya memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri untuk memberikan bantuan dana pada PTN. Maka kekhawatiran tentang pergeseran paradigma PTN menjadi lembaga yang profit oriented sangat tidak beralasan.
          Ketentuan Pasal 90 UUPT, juga tidak menghambat pemenuhan hak konstitusional hak warga negara atas pendidikan (khususnya Pendidikan Tinggi), serta tidak melanggar kewajiban konstitusional pemerintah untuk menyediakan pembiayaan bagi pendidikan tinggi. Pemberian izin kepada Perguruan Tinggi lembaga negara lain di Wilayah Indonesia, tidak bertentangan dengan kewajiban Negara melalui PTN untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi oleh karena Perguruan Tinggi negara lain tersebut wajib mendukung kepentingan nasional (Pasal 90 ayat 4 UUPT). Perguruan Tinggi negara lain baru dapat menyelengarakan pendidikan di wilayah RI jika telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta memiliki (memenuhi) syarat yang ketat dan selektif, yaitu memiliki izin pemerintah, berprinsip nirlaba, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin pemerintah, mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan WNI dan wajib mendukung kepentingan nasional.

VI.          UUPT telah sejalan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (khususnya Pasal Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 31 ayat (1) dan (4)). Selanjutnya, diperlukan komitmen seluruh komponen masyarakat Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi nasional sebagaimana di atur dalam UUPT.

-o0o-

Daftar Bacaan:
Muladi, 2002,Demokratisasi, hak asasi manusia, dan reformasi hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta.
Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati (penyunting), 1998, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) – 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Tilaar, H.A.R.2004, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Grasindo, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Widjaya, H.A.W., 2000, Penerapan Nilai-Nilai Pancasila dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Zulkarnain Nasution, 2010,  Apa itu ”Otonomi” Perguruan Tinggi?http://berkarya.um.ac.id/2010/02/10/apa-itu-%E2%80%9Dotonomi%E2%80%9D-perguruan-tinggi/

Komentar Pasal 104 UUPPLH

KOMENTAR TERHADAP PASAL 104 UUPPLH

Oleh: Alvi Syahrin


Pasal 104 UUPPLH, berbunyi:
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dipidanadengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 60 UUPPLH, berbunyi:
Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.


Pasal 104 UUPPLH, dapat diterangkan/dikomentari  sebagai berikut:
Ø  Tidak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 104 UUPPLH yaitu tindak pidana formil, dalam hal ini melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.
Ø  Unsur-unsur Pasal 104 UUPPLH, yaitu: a. Setiap orang;  b. Melakukan perbuatan: dumping limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin; c. Dengan sengaja;
Ø  Setiap orang, berdasarkan Pasal 1 angka (32) yaitu orang perorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Ø  Melakukan perbuatan dumping  limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.
Ø  Limbah dan atau bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 UUPPLH yaitu limbah B3 dan/atau B3.  --- alasan Limbah dan atau bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 UUPPLH yaitu limbah B3 dan/atau B3, oleh karenan Pasal 104 UUPPLH merujuk Pasal 60 UUPPLH. --- Pasal 60 UUPPLH di atur dalam Bab VII UUPPLH mengenai Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun serta Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Ø  Dumping limbah B3 dan/atau B3 yaitu kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah B3 dan/atau B3 dalam jumlah, kosentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.
Ø  Dumping Limbah B3 dan/atau B3 harus memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UUPPLH. 
Ø  Unsur kesengajaan sebagaimana dalam Pasal 104 UUPPLH dapat disimpulkan dari kalimat seluruhnya, dan terdapat kata kerja dalam rumusan Pasal 104 UUPPLH yaitu kata “melakukan”. Kata “melakukan” dan “tanpa izin” menunjukkan adanya unsur kesengajaan.
Ø  Unsur dengan sengaja didalamnya terkandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan). Tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki) dan wetens (disadari atau diketahui), sehingga untuk dapat masuk kedalam Pasal 104 UUPPLH  harus ada kehendak untuk tidak melakukan perbuatan dumping limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Oleh karena tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 UUPPLH merupakan tindak pidana formil, maka kesengajaan (adanya willens atau dikehendaki dan wetens atau disadari atau diketahui)telah ada jika perbuatan dumping limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin telah dilakukan.
Ø  Memberikan penafsiran melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin termasuk limbah non B3 dan/atau bahan non B3 merupakan penafsiran yang keliru. Jika ingin menafsirkan limbah dan/atau bahan non B3 termasuk yang diatur dalam Pasal 104 UUPPLH, maka seharusnya rumusan Pasal 104 UUPPLH sebagai berikut:
“ (1)  Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalamPasal 60 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang membuang limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf edipidana dengan penjara .... dan/atau denda .... “

PENERAPAN PASAL 116 UUPPLH TERHADAP BADAN USAHA BERBENTUK PERSEKUTUAN KOMANDITER (CV)

ISU HUKUM:
PENERAPAN PASAL 116 UUPPLH TERHADAP
BADAN USAHA BERBENTUK PERSEKUTUAN KOMANDITER (CV)

Oleh: Alvi Syahrin

Pemikiran para ahli hukum pidana pengertian badan usaha sebagaimana disebut dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) meliputi baik yang badan hukum maupun yang bukan badan hukum. Persekutuan Komanditer (CV) termasuk yang bukan badan hukum.
Memperhatikan dan menyimak Pasal 19 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), terdapat karakteristik yang khas dari CV,  yaitu terdapatnya dua macam sekutu, antara lain: a. Sekutu komplementer, merupakan satu orang atau lebih yang secara tanggung menanggung bertanggungjawab untuk keseluruhannya artinya sekutu kompleenter bertugas untuk mengurus CV, berhubungan dengan pihak ketiga dan bertanggungjawab secara pribadi untuk keseluruhan; dan b. Sekutu komanditer atau sekutu diam, merupakan satu orang atau lebih yang wajib menyerahkan uang, benda atau tenaga kepada persekutuan sebagaimana yang disanggupinya, berhak menerima keuntungan, tanggungjawabnya terbatas pada jumlah pemasukan yang telah diberikannya, dan tidak boleh campur tangan dalam tugas sekutu komplementer, bila ia campur tangan dalam tugas sekutu komplementer maka tanggungjawabnya menjadi tanggungjawab secara pribadi untuk keseluruhan sama seperti tanggungjawab yang dimiliki sekutu komplementer.
Sekutu komplementer merupakan pengurus CV yang menjalankan kegiatan CV dan yang melakukan hubungan dengan pihak ketiga. Sekutu komplementer bertugas untuk mengurus CV dan bertanggungjawab tidak terbatas (pribadi). Dengan demikian sekutu komplementer adalah pengurus CVyang jika dikaitkan dengan Pasal 116 UUPPLH yaitu mereka yang disebut dalam frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam kegiatan tindak pidana tersebut”.
Memperhatikan ketentuan Pasal 116 UUPPLH dan jika badan usahanya berbentuk CV, maka yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana, yaitu: a. CV, dan/atau b. pengurus CV (dalam hal ini sekutu komplementer termasuk sekutu komanditer yang telah ikut campur tangan mengurus CV). Dapat dimintakan pertanggungjawab secara pidana terhadap sekutu komanditer, sesuai dengan Pasal 21 KUHD yang menegaskan sekutu komanditer tidak boleh campur tangan dalam tugas sekutu komplementer, bila dilanggar maka tanggungjawabnya menjadi tanggungjawab secara pribadi untuk keseluruhan (tanggungjawab sekutu komplimenter).
Menarik untuk dikaji lebih lanjut (menjadi isu hukum) mengenai apakah dengan dikenakannya tuntutan pidana dan sanksi pidana terhadap CV dan pengurus CV (sekutu komplimenter), tidak akan menjadikan sekutu komplimenter tersebut akan mendapatkan tuntutan dan sanksi pidana dua kali? Oleh karena sekutu komplimenter bertanggungjawab secara pribadi untuk keseluruhan (adanya tanggung jawab tidak terbatas) serta harta pribadi sekutu komplimenter tidak terpisah dari harta kemitraan (CV).

Sumber : 

ILMU HUKUM

ILMU HUKUM

Oleh: Alvi Syahrin


Setiap ilmu mempunyai metodenya sendiri dan tidak mungkin adanya penyeragaman metode untuk semua bidang ilmu, artinya metode penelitian tidak sama antara satu ilmu dengan ilmu lainnya, karena setiap ilmu mempunyai obyek dan karakter sendiri.

Obyek ilmu hukum adalah hukum. Hukum sebagai norma, di dalamnya sarat akan nilai dan diciptakam untuk menjaga ketertiban sosial, menghindari kekacauan dalam hidup bermasyarakat dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan guna mempertahankan keadilan dan kelayakan dalam mempertahankan ketertiban sosial.

Nilai-nilai yang telah ada perlu dijadikan acuan dalam mempertahankan ketertiban sosial dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Jika diperlukan adanya nilai-nilai-nilai baru guna mempertahankan ketertiban dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, tidak menjadikan nilai-nilai yang ada dirusak, dengan kata lain nilai-nilai baru diakomodasikan tanpa merusak nilai-nilai yang sudah ada.

Ilmu hukum atau jurisprudence, berasal dari dua kata, yaitu iuris yang artinya hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan, sehinggaJurisprudence berarti pengetahuan hukum.

Ilmu hukum atau jurisprudence merupakan suatu disiplim ilmu yang bersifat sui generis. Bersifat sui generis artinya ilmu hukum merupakan ilmu jenis sendiri, yang memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang berbeda karena memiliki obyek kajian yang berbeda. Namun demikian, walaupun ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri, dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Perbedaan ilmu hukum dengan disiplin ilmu lainnya yang mengkaji tentang hukum yaitu disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar, misalnya: studi-studi sosial tentang hukum menempatkan hukum sebagai gejala sosial, atau studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.

Ilmu hukum sebagai ilmu yang berdiri sendiri, obyek penelitiannya yaitu hukum itu sendiri. Sehingga kajiannya bukan sebagai suatu kajian yang empiris, akan tetapi kajian yang secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.

Karakter sui generis dari ilmu hukum menjadikan ilmu hukum tidak akan dapat menyampingkan karakternya yang normatif walaupun pada saat ia dilihat dari sudut pandang  empiris. Keberadaan ilmu hukum yang dipandang dari sudut pandang empiris menjadikan ilmu hukum sebagai “Ilmu praktis yang bersifat normologis”.

Ilmu praktis yang bersifat normologis, berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris, yakni pengetahuan tentang hubungan yang ajeg yang  caterus paribus berdasarkan asas kausalitas deterministik. Selanjutnya ilmu praktis nomologis berusaha menemukan antara dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi, yaitu mentautkan tanggungjawab/kewajiban untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkrit tertentu, sehubungan telah terjadi perbuatan atau pristiwa atau keadaan tertentu, namum dalam kenyataan apa yang seharusnya terjadi tersebut tidak niscaya terjadi dengan sedirinya.

Ilmu hukum empiris sebagaimana ilmu empiris lainnya dapat menyajikan suatu penjelasan yang masuk akal mengenai gejala-gejala hukum yang ex post facto, akan tetapi refleksi terhadap hal itu untuk masa depan semata-mata terletak pada pengertian hukum, dengan demikian hakekat kerja yuridis ex ante sehingga karakter ilmu hukum bersifat preskriptif dan terapan. Artinya, ilmu hukum yang mengarah pada refleksi pemecahan masalah-masalah konkrit dalam masyarakat, yang dipelajarinya yaitu apa hukumnya atas peristiwa konkrit yang terjadi dalam masyarakat.

Sumber : 

ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGE GENERALIS

ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGE GENERALIS

Oleh: Alvi Syahrin

  Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP mengatur bahwa: Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itulah yang diterapkan. Pasal 63 ayat (2) KUHP ini menegaskan keberlakuan (validitas) aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang masuk baik kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP terkandung asas Lex specialis derogat legi generalis  yang merupakan suatu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (general).  Berdasarkan asas Lex specialis derogat legi generalis,  aturan yang bersifat umum itu tidak lagi memiliki “validity” sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus, aturan yang khusus tersebut sebagai hukum yang valid, yang mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit.
Menentukan suatu aturan yang berifat khusus itu (lex specialis,  berpangkal tolak dari metode deduktif (dari yang khusus ke yang umum). Aturan yang bersifat khusus itu dibandingkan dengan aturan umumnya dengan mengidentifikasikan sifat-sifat umum yang terkandung dalam dalam aturan yang bersifat khusus itu. Sifat-sifat umum ketentuan tersebut dapat diketahui dengan memahami secara baik aturan yang bersifat umum tersebut. Sehingga ditemukan aturan yang khusus (lex specialis) berisi hal-hal yang bersifat umum yang ditambah hal lainnya (yang merupakan kekhususannya). Suatu aturan hukum yang tidak memuat norma yang hakekat addressat-nya tertuju pada perlindungan benda-benda hukum yang umum ditambah sifat khususnya, maka tidak dapat dikatakan sebagai lex specialis, oleh karena dalam aturan yang bersifat khusus terdapat keseluruhan ciri-ciri (kenmerk) atau kategoris dari aturan yang bersifat umum (lex generalis) dan ditambahkan ciri-ciri baru yang menjadi inti kekhususannya itu.
Menurut teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Hart, aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate legi generalis termasuk kategori rule of recognition. Asas lex specialis derogat legi generalis,  mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku, dan asas lex specialis derogat legi generalis merupakan suatu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suaru represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.
Ditinjau dari teori criminal law policy yang dikemukakan Ancel, bahwa asaslex specialis derogat legi generalis merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy) yang mengatur tentang kewenangan. Artinya, bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum. Asas lex specialis derogat legi generalis ini penting bagi aparat penegak hukum guna menentukan aturan apa yang di terapkan atas suatu peristiwa yang diatur oleh lebih dari satu aturan, yang manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum dan yang manakah aturan-aturan yang lain tersebut yang bersifat khusus.
Menyimak ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menegaskan keberlakuan atau validitas aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang masuk baik kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Namun, apa yang dimaksud dengan aturan pidana tersebut, tidak ada dijelaskan dalam undang-undang. Dengan demikian perlu adanya penafsiran, sehingga jika melihat pandangan Friedmann yang menyatakan suatu sistem hukum terdiri substansi (substance), struktur (structure) dan budaya (culture), maka aturan pidana dimaksud yaitu substansi (materi) hukum itu sendiri dalam hal ini, aturan pidana tersebut yaitu sub-bagian hukum yang masuk kedalam ruang lingkup hukum pidana itu sendiri. Kemudian, jika memperhatikan pandangan Packer yang menyatakan ruang lingkup hukum pidana tersebut meliputi pengaturan tentang tindak pidana (crime), pertanggungjawaban pidana (responsibility) dan pemidanaan (punishment), maka aturan pidana diartikan ke dalam aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Sehingga, jika terdapat aturan yang sifatnya khusus mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan, maka aturan yang sifatnya umum menjadi tidak lagi valid.
Aturan hukum yang mengandung asas lex specialis derogat legi generalis, berlaku bukan hanya dalam menyikapi perbuatan-perbuatan yang taatbestanddengan aturan pidana yang terdapat dalam KUHP, tetapi juga bahkan terutama terhadap aturan pidana yang terdapat dalam undang-undang lain di luar KUHP. Bahkan sepanjang tidak diatur sebaliknya, asas ini juga berlaku terhadap sesama undang-undang di luar KUHP. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP, yang menentukan: “ketentuan ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain”. Sehingga, ketentuan Pasal 63 ayat (2) tidak hanya berlaku ketika mencermati peristiwa konkrit dihadapkan pada aturan-aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana pemidanaan yang terdapat dalam KUHP, tetapi juga terhadap hal yang sama yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP dihadapkan dengan KUHP itu sendiri, atau lebih jauh lagi terhadap dihadapkannya dua atau lebih undang-undang di luar KUHP. Sepanjang suatu peraturan perundang-undangan memuat aturan pidana yang khusus, maka mengenai hal yang sama yang secara umum diatur dalam KUHP (atau undang-undang di luar KUHP yang memiliki sifat lebih umum), menjadi tidak absah dalam arti  tidak lagi valid.
Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP, tidak ada hubungannya dengan masalah samenloop dari beberapa perilaku yang terlarang. yang diatur dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP , mengenai kemungkinan suatu perilaku yang terlarang itu telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana tertentu, akan tetapi kemudian ternyata telah diatur kembali di dalam suatu ketentuan pidana yang lain, dan ketentuan pidana tersebut merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, dalam arti secara khusus mengatur perilaku yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana, maka ketentuan pidana yang bersifat khusus itulah yang harus diberlakukan. Atau dengan perkataan lain, dalam hal seperti itu berlakulah ketentuan hukum yang mengatakan: lex specialis derogat legi generalis.
Untuk dapat mengetahui, suatu ketentuan pidana itu secara lebih khusus telah mengatur suatu perilaku, yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang lain, sehingga ketentuan tersebut dapat disebut sebagai suatu bijzondere strafbepaling atau ketentuan pidana yang bersifat khusus, tidak ada suatu kriterium yang dapat dipergunakan sebagai pedoman. Namun demikian, ada doktrin cara memandang suatu ketentuan pidana, yaitu: a. caramemandang secara logis ataupun juga yang disebut logische beschouwing, dan b. cara memandang secara yuridis atau secara sistematis ataupun yang juga disebut jurisdische atau systematische beschouwing.
Berdasarkan pandangan secara logis (logische beschouwing), suatu ketentuan pidana itu dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, jika ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Pandangan ini juga disebut sebagai suatu logische specialiteit atau sebagai suatukekhususan secara logis.
Selanjutnya, berdasarkan pandangan secara yuridis atau secara sistematis, suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketetentuan pidana yang bersifat khusus. Pandangan ini juga disebut suatu jurisdische specialiteit atausystematische specialiteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis. Perkataan systematische specialiteit, untuk pertama kalinya dipergunakan Ch.J. ENSCHEDE dalam tulisannya yang berjudul “Lex specialis derogat legi generali” di dalam Tijdschrift van het Strafrecht  pada halaman 177 di tahun 1963.
Kekhususan ketentuan-ketentuan pidana yang bersifat khusus itu dapat juga terletak pada sifatnya yang memberatkan atau meringankan hukuman. Menurut P.A.F. Lamintang, untuk dapat disebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, suatu ketentuan pidan itu tidak selalu harus memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Ketentuan pidana yang sama sekali tidak memuat satu unsur pun dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, bahkan juga tidak menyebutkan kualifikasi kejahatan-kejahatan yang telah dimaksudkan di dalam ketentuan pidana tersebut, melainkan hanya menyebutkan pasal-pasal dari kejahatan-kejahatan yang telah dimaksudkan, akan tetapi ketentuan pidana tersebut harus juga dipandang sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus.
Ketentuan pidana sebagaimana diatur Pasal 63 ayat (2) KUHP, perlu diperhatikan oleh hakim  maupun Jaksa Penunut Umum. Sebab, jika  suatu tindak pidana yang telah didakwakan terhadap seorang sebagaimana diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, dan kemudian ternyata bahwa tindak pidana tersebut yang bersifat khusus, maka unsur-unsur dari ketentuan pidana yang bersifat khusus inilah yang harus ia cantumkan di dalam surat dakwaannya. oleh karena, jika jaksa penuntut umum hanya mencantumkan unsur-unsur dari tindak pidana sebagaimana diatur dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum di dalam surat dakwaannya, dan di dalam sidang peradilan kemudian yang  terbukti  (dapat dibuktikannya secara sah) yaitu perbuatan terdakwa yang telah memenuhi semua unsur dari suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, maka hakim harus membebaskan terdakwa dari segala yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum di dalam surat dakwaannya tersebut .
Kejadian sebagaimana diterangkan di atas, pernah diputuskan oleh HOGE RAAD dalam arrest-nya tanggal 6 Desember 1960, N.J. 1961 no. 54, HOGE RAAD yang telah membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum, oleh karena penuntut umum di dalam surat tuduhannya hanya menuduhkan pelanggaran terhadap Pasal 494 ayat (2) KUHP, yang pada hakekatnya hanya merupakan suatu tindak pidana yang telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, namun kemudian di persidangan peradilan kemudian ternyata perbuatan tertuduh itu telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana seperti yang telah diatur di dalam Pasal 13 ayat (3) juncto Pasal 84Wegverkeerreglement yang berlaku di Negeri Belanda, yang pada hakekatnya merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus yang mengatur tindak pidana yang sama secara lebih khusus.  HOGE RAAD di dalam pertimbangannya menyebutkan: walaupun apa yang telah dituduhkan oleh penuntut umum itu memang terbukti, akan tetapi perbuatan-perbuatan yang terbukti itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana, oleh karena dalam hal ini yang harus diberlakukan adalah ketentuan pidana yang bersifat khusus.

Sumber : 

KARAKTERISTIK ILMU HUKUM

KARAKTERISTIK ILMU HUKUM

Oleh: Alvi Syahrin

Ilmu Hukum memiliki karakter yang khas (sui generis) yang sifatnya normatif, praktis dan preskriptif, menjadikan metode kajian ilmu hukum akan berkaitan dengan apa yang seyogianya atau apa yang seharusnya, sehingga metode dan prosedur penelitian dalam ilmu-ilmu alamiah dan ilmu sosial tidak dapat diterapkan untuk ilmu hukum. Hal ini menjadikan Ilmuan hukum harus menegaskan: dengan cara apa ia membangun teorinya, menyajikan langkah-langkahnya agar pihak lain dapat mengontrol teorinya dan mempertanggungjawabkan mengapa memilih cara yang demikian.

Ilmu hukum menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu karena mempunyai sifat yang normatif dan mempunyai pengaruh langsung terhadap kehidupan manusia dan masyarakat yang terbawa oleh sifat dan problematikanya. Keadaan yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan manusia dan masyarakat mengakibatkan sebagian ahli hukum Indonesia berupaya mengempiriskan ilmu hukum melalui kajian-kajian sosiologik, bahkan upaya tersebut sampai kepada menerapkan metode-metode penelitian sosial ke dalam kajian hukum (normatif).

Menerapkan (memaksakan) metode penelitian sosial terhadap penelitian hukum, menimbulkan kejanggalan-kejanggalan (dalam arti telah terjadi kekeliruan), misalnya: menggunakan kata bagaimana, seberapa jauh, seberapa efektif  (dan lain-lain yang menggambarkan pada kajian ilmu sosial/gejala sosial) dalam perumusan masalah; menggunakan kata: sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data, populasi dan sampling. Penggunaan kata-kata tersebut menunjukkan kepada studi-studi sosial tentang hukum, hukum sebagai gejala sosial, dan induk ilmunya yaitu ilmu sosial bukan ilmu hukum. Seharusnya, pengkajian ilmu hukum tersebut beranjak dari hakikat keilmuan ilmu hukum.

Mempelajari hukum bertitik anjak dari memahami kondisi instrinsik aturan-aturan hukum. Kondisi intrinsik aturan-aturan hukum tersebut dipelajari tentang gagasan-gagasan hukum yang bersifat mendasar, universal umum, dan teoritis serta landasan pemikiran yang mendasarinya.  Landasan pemikiran tersebut terkait dengan berbagai konsep mengenai kebenaran, pemahaman dan makna, serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Dengan demikian, tugas ilmu hukum (jurisprudence) yaitu menemukan prinsip-prinsip umum yang menjelaskan bangunan dunia hukum.[1]

Ilmu hukum tidak dapat di klassifikasikan ke dalam ilmu sosial yang bidang kajiannya kebenaran empiris, sebab ilmu sosial tidak memberi ruang bagi menciptakan konsep hukum, ia (ilmu sosial) hanya berkaitan dengan implementasi konsep hukum dan selalu hanya memberikan perhatiaannya kepada kepatuhan individu terhadap atauran hukum. Demikian juga dengan ilmu hukum tidak dapat diklassifikasikan ke dalam ilmu humaniora, sebab ilmu humaniora tidak memberikan tempat untuk mempelajari hukum sebagai aturan tingkah laku sosial, hukum hanya dipelajari dalam kaitannya dengan etika dan moralitas.

Tugas ilmu hukum membahas hukum dari semua aspek. Ilmu sosial maupun ilmu humaniora hanya memandang hukum dari sudut pandang keilmuannya, sehingga tidak tepat untuk mengkalssifikasikan ilmu hukum sebagi ilmu sosial atau ilmu humaniora. Ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat sui generis yakni tidak ada bentuk ilmu lain yang dapat dibandingkan dengan ilmu hukum. Ilmu hukum hanya satu untuk jenisnya sendiri.

Ilmu hukum hukum tidak mencari fakta historis dan hubungan-hubungan sosial sebagaimana yang terdapat dalam penelitian sosial. Ilmu hukum berurusan dengan preskripsi-preskripsi hukum, putusan-putusan yang bersifat hukum, dan materi-materi yang diolah dari kebiasaan-kebiasaan. Oleh Paul Scholten, ilmu hukum bagi legislator terkait dengan hukum in abstracto, dan bagi hakim memberikan pedoman dalam menangani perkara dan menetapkan fakta-fakta yang kabur. Dengan demikian, ilmu hukum mempunyai karakter preskriptif dan sekaligus sebagai ilmu terapan.

Sumber :