Translate

Senin, 21 Oktober 2013

Barang Bukti Pencemaran Nama Baik

Pertanyaan:
Apa yang dapat digunakan sebagai barang bukti apabila pencemaran nama baik dilakukan di depan umum? Apakah harus ada barang bukti berbentuk surat?

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) disebut dengan penghinaan. Dalam hal ini, kami berasumsi pencemaran nama baik yang Anda maksud dilakukan bukan melalui media elektronik. Pembahasan mengenai pembuktian pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media elektronik Anda dapat menyimak artikel-artikel berikut: 
 
Perlu diketahui bahwa pencemaran nama baik tersebut dapat dilakukan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) maupun dengan tulisan atau gambar (Pasal 310 ayat [2] KUHP).
 
Lebih lanjut, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa penghinaan itu sendiri ada 6 macam, yaitu:
1.    Menista (Pasal 310 ayat [1] KUHP);
2.    Menista dengan surat (Pasal 310 ayat [2] KUHP);
3.    Memfitnah (Pasal 311 KUHP);
4.    Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP);
5.    Mengadu secara memfitnah (Pasal 317 KUHP); dan
6.    Tuduhan secara memfitnah (Pasal 318 KUHP).
 
Dalam hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan secara lisan sebagaimana terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, menurut R. Soesilo, supaya dapat dihukum maka pencemaran nama baik itu harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Oleh karena itu, tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa barang bukti berbentuk surat diperlukan dalam membuktikan pencemaran nama baik secara lisan. Yang terpenting adalah bahwa tuduhan tersebut dilakukan di depan orang banyak.
 
Ini berbeda dengan pencemaran nama baik dengan tulisan, dimana media yang digunakan dalam melakukan pencemaran nama baik tersebut dapat berupa tulisan (surat) atau gambar. Dalam hal pencemaran nama baik dengan tulisan, maka surat atau gambar tersebut dibutuhkan sebagai bukti adanya pencemaran nama baik tersebut.
 
Anda juga harus membedakan antara barang bukti dan alat bukti. Yang termasuk ke dalam barang bukti sesuai Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah:
1.    benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
2.    benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3.    benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
4.    benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5.    benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
 
Sedangkan, yang termasuk alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP) adalah:
1.    Keterangan saksi;
2.    Keterangan ahli;
3.    Surat;
4.    Petunjuk;
5.    Keterangan terdakwa.
 
Lebih lanjut mengenai barang bukti dan alat bukti, Anda dapat membaca artikel-artikel berikut ini:
 
Jadi, dalam hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan secara lisan, Anda dapat membuktikannya dengan keterangan saksi. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan saksi yang memenuhi kriteria keterangan saksi sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP, yaitu:
1.    Yang saksi lihati sendiri;
2.    Saksi dengar sendiri;
3.    Dan saksi alami sendiri;
4.    Serta dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
 
Akan tetapi, Anda harus membuktikan dengan 2 (dua) alat bukti sebagaimana diharuskan oleh Pasal 183 KUHAP:
 
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
 
Penjelasan mengenai yang dimaksud dengan “dua alat bukti yang sah” dapat kita lihat dalam buku M. Yahya Harahap yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 283-284), yang mengatakan bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan:
1.    Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus “saling bersesuaian”, “saling menguatkan”, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain;
2.    Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian.
 
Sedangkan, dalam hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan dengan tulisan, Anda dapat menggunakan surat tersebut sebagai barang bukti, yaitu benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. Dapat juga digunakan sebagai alat bukti, yaitu termasuk alat bukti surat lain (yaitu surat yang bukan termasuk berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang, surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, surat keterangan dari seorang ahli), sebagaimana terdapat dalam Pasal 187 huruf d KUHAP. Dengan syarat bahwa “surat lain” tersebut hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan alat pembuktian yang lain.
 
Jadi, barang bukti berbentuk surat bukan suatu keharusan. Hal itu bergantung kepada pencemaran nama baik seperti apa yang dilakukan oleh orang tersebut.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.

Dasar Hukum Kewajiban Menyalakan Lampu Kendaraan pada Siang Hari

Pertanyaan:
Undang-undang nomor berapa yang mengatur kendaraan bermotor yang menyalakan lampu di siang hari? Dan apakah UU tersebut efektif diterapkan bagi pengendara motor?

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5165540a9b53c/lt51655436e57b1.jpg
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Untuk menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu mari kita simak bunyi pasal yang mengatur tentang penggunaan lampu utama dalam Pasal 107Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) berikut:
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.
(2) Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.
 
Kemudian, menurut penjelasan Pasal 107 ayat (1) UU LLAJ, yang dimaksud dengan "kondisi tertentu" adalah kondisi jarak pandang terbatas karena gelap, hujan lebat, terowongan, dan kabut.
 
Dari bunyi pasal di atas dapat diketahui bahwa tidak semua kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu kendaraannya di siang hari, atau yang lebih dikenal dengan istilah Daytime Running Lights (“DRL”). Kewajiban menyalakan lampu utama pada siang hari itu terletak pada pengemudi sepeda motor saja. Akan tetapi, kewajiban menyalakan lampu utama kendaraan ada pada setiap pengemudi kendaraan bermotor di siang hari jika pada siang hari tersebut cuaca gelap, hujan lebat, saat menyusuri terowongan, atau berkabut. Selain mematuhi ketentuan tersebut, khusus untuk pengemudi sepeda motor, wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.
 
Sanksi pidana bagi mereka yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) UU LLAJ berdasarkanPasal 293 ayat (1) UU LLAJ adalah pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 
Sedangkan, sanksi pidana bagi setiap orang yang mengemudikan sepeda motor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ berdasarkan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ adalah pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
 
Menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai apakah UU yang mengatur kewajiban menyalakan lampu kendaraan bermotor di siang hari tersebut efektif diterapkan bagi pengendara sepeda motor atau tidak, kami mengacu pada penjelasan dalam artikel yang dibuat oleh Dr. Ferry Hadary, M. Eng, dosen Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura, berjudul Menyalakan Lampu Sepeda Motor di Siang Hari, Masihkah Menjadi Kontroversi? yang kami akses dari laman resmi Universitas Tanjungpura.
 
Menurut Hadary, Ditlantas Polda Metro Jaya telah membuktikan bahwa dengan adanya penerapan aturan DRL tersebut mampu menekan angka kecelakaan hingga lebih dari 20 persen hanya dalam jangka waktu dua bulan. Di Surabaya, pada 2005, program ini berhasil mencatat penurunan angka kecelakaan sepeda motor hingga 50 persen. Sedangkan di negara lain, seperti Malaysia, Thailand bahkan Amerika dan Eropa, kecelakaan dapat dikurangi hingga mencapai 30 persen. Hasil persentase pada daerah atau negara lain di atas kiranya cukup membuktikan tingkat efektifitas DRL untuk menurunkan angka kecelakaan lalu lintas.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
 
Referensi:
http://www.untan.ac.id/?p=314, diakses pada 30 September 2013 pukul 14.40 WIB

Kewenangan KPK dalam Melakukan Penuntutan Kasus Pencucian Uang

Pertanyaan:
Dalam Pasal 74 UU PTPPU dikatakan bahwa penyidik TPPU (tindak pidana pencucian uang) adalah penyidik yang melakukan penyidikan tindak pidana asalnya. Ditegaskan pula dalam penjelasan Pasal 74 UU PTPPU, jika KPK dapat melakukan penyidikan. Namun, dalam UU PTPPU tersebut tidaklah diatur jika KPK berwenang melakukan penuntutan TPPU, dan ditegaskan dalam Pasal 51 ayat 2 UU KPK, penuntut adalah penuntut yang melakukan penuntutan tindak pidana korupsi. Pertanyaan saya, apakah legal penuntutan yang dilakukan oleh KPK, di mana dasar hukum formalnya tidak ada? Thanks, mohon jawabannya.

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt524e7c3ec3d63/lt524e7ca5cfe20.jpg
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) dalam menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang (“TPPU”) memang tidak diatur secara eksplisit dalamUU No. 10 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU PPTPPU”). Namun, Pasal 74 UU PPTPPU dalam penjelasannya memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyidikan TPPU yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Kemudian, Pasal 75 UU PPTPPU memberikan kewenangan kepada penyidik, dalam hal ini KPK, untuk menggabungkan penyidikan perkara korupsi dan TPPU sekaligus.
 
Penggabungan ini sejalan dengan Asas Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) yaitu asas peradilan yang dilakukan secarasederhana, cepat, dan biaya ringan. Jika perkara ini dipisah dan dituntut oleh 2 instansi yang berbeda, misal KPK dan Kejaksaan, maka: pertama,hal itu bertentangan dengan asas Kekuasaan Kehakiman; kedua, dapat menghambat proses penegakan hukum, serta; ketiga, yang lebih berbahaya, memperumit tersangka/terdakwa dan melalaikan haknya untuk mendapat peradilan yang dilakukan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal ini karena dalam prosesnya tersangka/terdakwa perlu menjalani berkali-kali pemeriksaan di tahap pra-sidang dan persidangan dengan adanya pemisahan penyidikan dan penuntutan. Poin penting tentang asas tersebut kembali ditegaskan pada Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakimanyang menyatakan:
 
Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”
 
Jaksa KPK menuntut perkara korupsi yang digabung dengan TPPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal 6 huruf a UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pengadilan Tipikor”) bahwa Pengadilan Tipikor berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Dengan menerima tuntutan dari Jaksa KPK terhadap perkara korupsi dan TPPU, meski tidak diatur secara eksplisit kewenangan menuntut KPK, Pengadilan Tipikor dilarang menolak perkara tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman bahwa:
 
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
 
Pengadilan Tipikor dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tunduk pada asas Kekuasaan Kehakiman yang disebut sebelumnya.
 
Hingga saat ini, beberapa perkara korupsi dan TPPU yang dituntut KPK diterima oleh Pengadilan Tipikor dan ini menjadi "yurisprudensi". Misalnya, perkara Wa Ode Nurhayati, dan Djoko Susilo yang diputus bersalah setelah hakim memeriksa dan mengadili tuntutan yang diajukan Jaksa KPK. Meski Indonesia tidak menganut yurisprudensi yang ketat seperti negara-negara dengan sistem Common Law, putusan terdahulu seringkali menjadi rujukan untuk menentukan permasalahan hukum serupa. Kondisi ini didukung pula oleh kebijakan Mahkamah Agung ingin menjaga konsistensi putusan dengan diberlakukannya sistem kamar berdasarkan Keputusan Ketua MA RI No: 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung.
 
Dasar hukum:
4.    Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No: 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung
 

Jika Menyiarkan Foto-foto Mesra dengan Istri Orang Lain

Pertanyaan:
Salam redaksi. Dua tahun lalu saya pernah berhubungan singkat hanya sebatas bermesraan dengan istri orang lain berinisial I. Kemudian, saya jadian berhubungan dengan kakak perempuan I berinisial L, dan resmi menjalin hubungan layaknya suami-istri. Ternyata kekasih saya si L ada hubungan gelap dengan laki-laki baru yang dikenalkan adiknya si I. Karena saya terbakar cemburu, saya menjadi gelap mata dan memberikan foto-foto saya yang sedang bermesraan dengan I dua tahun lalu kepada suami I, karena saya anggap I telah "meracuni" kekasih saya. Yang menjadi pertanyaan saya; tuntutan apa yang bakal saya hadapi dan bagaimana solusinya? Terima kasih.

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Kami kurang mendapat penjelasan terkait media apa yang Anda gunakan saat memberikan foto-foto tersebut. Apakah Anda menggunakan media elektronik atau foto dalam bentuk hasil cetak?
 
Jika Anda mengirimkan foto tersebut melalui media elektronik, Anda dapat terjerat dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE:
 
Pasal 27 ayat (1) UU ITE:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
 
Pasal 27 ayat (3) UU ITE:
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
 
Pelanggaran Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).sebagaimana terdapat dalamPasal 45 ayat (1) UU ITE. 
Sedangkan jika Anda mengirimkan foto tersebut dalam bentuk hasil cetaknya, Anda dapat terjerat Pasal 310 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
 
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
 
Mengenai pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa supaya dapat dihukum dengan pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu” dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzinah, dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu perbuatan yang memalukan, misalnya menuduh bahwa seseorang pada suatu waktu tertentu telah masuk melacur di rumah persundalan; ini bukan perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi cukup memalukan bagi yang berkepentingan bila diumumkan. Jika dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat” dan dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP.
 
Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan bahwa kejahatan menista ini tidak perlu dilakukan di muka umum, sudah cukup bila dapat dibuktikan bahwa terdakwa ada maksud untuk menyiarkan tuduhan itu.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.

Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Angkutan Umum Jika Pengemudi Lalai

Pertanyaan:
Selamat siang.Mohon infonya.Jika terjadi kecelakaan, misal bus pariwisata, ada korban luka berat tanpa meninggal dunia, tidak ada tuntutan dari para penumpang karena penyebab dari kecelakaan si sopir dipaksa rombongan pariwisata untuk melewati jalan yang rawan kecelakaan sehingga rem blong karena jalan curam. 1. Apakah hal ini mengugurkan sopir dari tuntutan hukum? Karena terpenuhi Pasal 234 ayat [3] UULLAJ huruf (b) disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; 2.Biaya medis korban menjadi tanggung jawab sopir atau perusahaan pariwisata si sopir bekerja? Terima kasih jawabannya.

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5165540a9b53c/lt51655436e57b1.jpg
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
1.    Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 24 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”).
 
Kecelakaan bus dalam cerita Anda merupakan jenis kecelakaan lalu lintas berat sebagaimana yang disebut dalam Pasal 229 ayat (4) jo. Pasal 229 ayat (1) huruf c UU LLAJ, yakni kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat. Penjelasan lebih lanjut mengenai jenis luka akibat kecelakaan lalu lintas ini dapat Anda simak dalam artikel Batasan Luka Berat dan Luka Ringan dalam Kecelakaan Lalu Lintas.
 
Kemudian, kami akan membahas Pasal 234 ayat (3) huruf b UU LLAJyang Anda sebutkan. Pasal ini merujuk pada Pasal 234 ayat (1) dan (2) UU LLAJ yang pada intinya antara lain mengatakan bahwa pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi yang disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga.
 
Kami kurang mendapat informasi apa yang Anda maksud dengan “terpenuhinya Pasal 234 ayat (3) huruf b UU LLAJ”. Mengenai terpenuhi atau tidaknya Pasal 234 ayat (3) huruf b UU LLAJ, harus dibuktikan terlebih dahulu melalui proses persidangan. Sehingga kami berasumsi bahwa “terpenuhinya Pasal 234 ayat (3) huruf b UU LLAJ” adalah asumsi Anda. Hal ini juga didukung oleh ketentuan dalam Pasal 236 ayat (1) UU LLAJ yang mengatakan bahwa pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.
 
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Pasal 234 ayat (3) UU LLAJ adalah pengecualian untuk kewajiban ganti kerugian, bukan untuk tuntutan pidana. Sedangkan, untuk menentukan apakah si sopir terbebas dari tuntutan pidana, hal tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu melalui proses persidangan.
 
Menurut Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ, ancaman pidana bagi setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
 
Dalam hal ini harus dibuktikan apakah ada unsur kelalaian dari si sopir. Mengenai apa itu kelalaian sendiri, tidak ada penjelasannya dalam UU LLAJ.
 
Sebagai referensi, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Apakah Perdamaian dalam Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Menggugurkan Tuntutan?
 
2.    Mengenai siapa yang bertanggung jawab, dapat diihat dalam Pasal 234 ayat (1) UU LLAJ, yang mengatakan bahwa pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi. Selain itu,Pasal 235 ayat (2) UU LLAJ mengatakan bahwa pengemudi, pemilik, dan/atau perusahaan angkutan umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan.
 
Untuk menjawab pertanyaan Anda berikutnya tentang siapa yang akan bertanggung jawab terhadap biaya medis korban, kita dapat melihat pada Pasal 191 UU LLAJ, yang mengatakan bahwa perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.
 
Kewajiban Pengujian Kendaraan Bermotor
 
Mengenai rem yang blong saat melewati jalanan curam, perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 121 ayat (4) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan (“PP Kendaraan”), mobil bus dalam cerita Anda merupakan salah satu jenis kendaraan bermotor yang wajib dilakukan pengujian sebelum dioperasikan di jalan
 
Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) PP Kendaraan, kendaraan bermotor yang akan dioperasikan di jalan wajib dilakukan pengujian. Pengujian itu meliputi: (lihat Pasal 121 ayat (3) PP Kendaraan)
 
a.    Uji Tipe
Uji tipe kendaraan bermotor adalah pengujian yang dilakukan terhadap fisik kendaraan bermotor atau penelitian terhadap rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor, kereta gandengan atau kereta tempelan sebelum kendaraan bermotor dibuat dan/atau dirakit dan/atau diimpor secara massal serta kendaraan bermotor yang dimodifikasi (Pasal 1 angka 10 PP Kendaraan).
 
b.    Uji Berkala
Uji berkala adalah pengujian kendaraan bermotor yang dilakukan secara berkala terhadap setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang dioperasikan di jalan.(Pasal 1 angka 11 PP Kendaraan).
 
Menurut Pasal 123 ayat (1) PP Kendaraanuji tipe kendaraan bermotor terdiri atas:
 
a.    pengujian fisik untuk pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan terhadap landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap; dan
b.    penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor.
 
Pemeriksaan kondisi rem utama baik di roda depan maupun tengah dan/atau belakang, kebocoran sistem rem berdasarkan Pasal 124 ayat (2) huruf h PP Kendaraan dikategorikan sebagai pengujian fisik.
 
Jika tidak dilakukan pengujian sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 121 ayat (1) PP Kendaraan, maka dapat dikenai sanksi administrasi berupa peringatan tertulis dan denda administratif (Pasal 175 PP Kendaraan).
 
Jadi, berdasar pada ketentuan dalam PP Kendaraan di atas dapat diketahui bahwa mobil bus dalam pertanyaan Anda juga harusnya telah lolos uji kendaraan bermotor yang salah satunya adalah uji kelayakan rem mobil bus. Sehingga tidak seharusnya terjadi kejadian rem blong.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

Hukum Dry Humping di Indonesia

Pertanyaan:
Bisakah dipenjara bila remaja di bawah umur melakukan seks tanpa buka baju (dry humping)?

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5165540a9b53c/lt51655436e57b1.jpg
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Dry humping menurut laman doktersehat.com, juga dikenal dengan istilah lainnya yaitu frottage merupakan sebuah istilah untuk mengekpresikan gerakan seks untuk saling menggesek untuk meraih kenikmatan seksual tanpa sekalipun melakukan penetrasi.
 
Karena tidak ada penetrasi, seperti dijelaskan dalam lamanurbandictionary.comdry humping biasanya dilakukan tanpa membuka pakaian, yakni hanya dengan menggesek-gesekkan tubuh dengan tekanan secara bersamaan di daerah rangsangan seksual dengan berpakaian.
 
Selain itu, dalam kamuskesehatan.com dikatakan bahwa frottage ataufrotase adalah kenikmatan seksual yang berasal dari bergesekan dengan tubuh atau bagian tubuh orang lain.
 
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, apabila perbuatan dry humping atau frottage ini dilakukan terhadap anak, maka perbuatan tersebut dapat diancam pidana sesuai yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”).
 
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak, anak adalahseseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
 
Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Pasal Apa untuk Menjerat Pacar yang Menolak Bertanggung Jawab? jika perbuatan tersebut dilakukan di mana salah satu atau keduanya masih anak–anak, maka pelakunya dapat diancam pidana karena pencabulan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
 
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
 
Untuk mengetahui apakah perbuatan dry humping atau frottage merupakan kategori “perbuatan cabul” yang dimaksud pada Pasal 82 UU Perlindungan Anak, maka kita mengacu pada penjelasan R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” tentang pembahasan Pasal 289.
 
Arti perbuatan cabul menurut Soesilo adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb (hal. 212).
 
Menurut hemat kami, perbuatan dry humping atau frottage yang dilakukan oleh salah satu atau keduanya masih anak-anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak merupakan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) yang termasuk dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, yakni masuk kategori perbuatan cabul. Oleh karena itu, pelakunya dapat diancam sesuai dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak.
 
Lain halnya apabila perbuatan tersebut dilakukan hingga adanya penetrasi (persetubuhan). Soesilo memberikan penjelasan yang dimaksud dengan persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani (hal. 209).
 
Apabila perbuatan persetubuhan tersebut dilakukan terhadap anak (belum berusia 18 tahun), maka ancaman pidanya terdapat pada Pasal 81 UU Perlindungan Anak yang ancaman pidananya sama dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak.
 
Melihat dari bagaimana dilakukannya dry humping atau frottage dan persetubuhan, keduanya dilakukan dengan cara berbeda. Dry humping ataufrottage dilakukan dengan berpakaian, sedangkan persetubuhan dilakukan dengan membuka pakaian karena tujuan penetrasi itu tadi.
 
Jadi, meskipun dry humping atau frottage seperti yang Anda tanyakan dilakukan tanpa melepas pakaian, tetap saja perbuatan tersebut merupakan tindak pidana pencabulan yang apabila dilakukan oleh di bawah umur diancam pidana seperti yang terdapat dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.

http://doktersehat.com/info-15-istilah-seks/, diakses pada 8 Oktober 2013 pukul 16.53 WIB
 
http://www.urbandictionary.com/define.php?term=dry%20humping, diakses pada 8 Oktober 2013 pukul 17.55 WIB

http://kamuskesehatan.com/arti/frotase/, diakses pada 8 Oktober 2013 pukul 18.00 WIB