Translate

Sabtu, 20 Juli 2013

Penyakit Kerja yang Dipicu Konflik dengan Atasan dan Kegagalan Cinta

Pertanyaan:
Dear Hukum Online, mohon saran dan advis mengenai permasalahan kami. Saya bekerja sebagai HR di perusahaan dan sedang menghadapi kasus karyawan mengajukan permohonan PHK dengan perhitungan kompensasi UNFIT untuk bekerja. Atas diagnosa dokter jiwa karyawan tersebut mengalami "Gangguan Kecemasan" dan "Gejala Depresi". Hasil diagnosa tersebut dirangkum oleh dokter umum (rujukan asuransi perusahaan) atas dasar resum pemeriksaan psikiatris. Dalam diagnosa yang kami baca karyawan tersebut disarankan untuk melakukan terapi kurang lebih 6 bulan dan harus menghindari penyebab depresi. Menurut karyawan tersebut pemicu depresi adalah ketidakharmonisan hubungan kerja yang bersangkutan dengan pimpinan di departemennya. Namun, atas konfirmasi pimpinan departemen kepada kami, yang bersangkutan sering melakukan kesalahan kerja atau bekerja tidak sesuai dengan instruksi yang diberikan. Karyawan menyalahkan pimpinan yang keras dan tidak toleran terhadap kesalahannya yang menjadi penyebab depresi. Namun, setahun belakangan karyawan sering sharing kepada kami di HR, kalau ada beberapa permasalahan yang dia hadapi di luar pekerjaan, antara lain: 1. Kegagalan Hubungan Percintaan (karyawan tersebut wanita belum menikah di usia 30 tahun) 2. Dia saat ini menjadi support utama keuangan keluarga. Yang ingin kami tanyakan: 1. Apakah gangguan kesehatan mental tersebut dapat dikategorikan penyakit akibat kerja? 2. Apakah perusahaan harus memberikan kompensasi PHK UNFIT untuk karyawan tersebut (karyawan sudah mengajukan surat permohonan)? Terima kasih atas perhatian dan bantuannya. Salam.
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5190746ceb5b4/lt5191d274eb732.jpg
Terima kasih atas pertanyaannya.
 
Berdasarkan Pasal 86 dan Pasal 87 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), maka perusahaan wajib menerapkan sistem keselamatan kerja bagi buruh, baik keselamatan fisik atau keselamatan psikis. Seharusnya perusahaan menerapkan sistem kerja yang melindungi para pekerja dari gangguan-gangguan yang bisa mengganggu konsentrasi para pekerja dalam melakukan pekerjaan.
 
Pasal 86 UUK:
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a.    keselamatan dan kesehatan kerja;
b.    moral dan kesusilaan; dan
c.    perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
(2)  Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3)  Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Pasal 87 UUK:
(1)     Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
 
Dari kronologis yang disampaikan di atas, depresi pekerja tersebut merupakanketidakharmonisan hubungan kerja pekerja dengan pimpinan di departemennya.Perusahaan tidak bisa memenuhi kehendak dari Pasal 86 UUK. Oleh karena itu,gangguan kerja yang bisa berakibat terhadap kesehatan mental pekerja merupakan penyakit akibat kerja.
 
Terhadap penyakit akibat hubungan kerja maupun yang bukan diakibatkan hubungan kerja, tidak boleh dilakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”). Hal ini berdasarkan Pasal 153 ayat (1) huruf a dan huruf j UUK yang menyatakan:
 
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
b. ...
c. …
d. …
e. …
g. …
h. …
i. …
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.”
 
 
Berdasarkan Pasal 153 ayat (1) huruf a dan huruf j UUK tersebut, maka perusahaan tidak boleh melakukan PHK apabila pekerja sakit baik karena hubungan kerja maupun yang bukan diakibatkan hubungan kerja (kegagalan hubungan cinta dll.). Namun, apabila tetap di-PHK, perusahaan harus memberikan kompensasi PHK UNFIT (sakit) untuk pekerja/karyawan tersebut.
 
Demikian dan terima kasih.
 
Catatan editor:
Dalam artikel PHK Kerja Sakit JiwaUmar Kasim menulis antara lain sebagai berikut:
 
“Bagaimana cara mem-PHK dan apa serta berapa hak “pesangon” pekerja yang PHK karena sakit (termasuk sakit jiwa)? Undang-Undang tidak mengatur mekanisme dan hak-hak PHK bagi pekerja yang sakit menahun/berkepanjangan, akan tetapi merujuk pada ketentuan pasal 151 ayat (2) UU No. 13/2003, bahwa setiap pengakhiran hubungan kerja wajib dirundingkan, termasuk merundingkan “pesangon” atau “hak-hak” yang harus diperoleh pekerja yang bersangkutan. Oleh karena itu, saran kami untuk melakukan PHK dimaksud (bila memenuhi kriteria), rundingkanlah dengan yang bersangkutan (atau melalui lembagapengampuan atau curatele untuk sakit jiwa). Bila ada kesepakatan, kemudian dibuat PB (persetujuan bersama) untuk menguatkan aspek hukumnya.”
 
Dasar hukum:

Sumber : PAHAM INDONESIA

Jika Perusahan Menahan Pencairan Dana Jamsostek

Pertanyaan:
Saya terkena PHK pada 31 Maret 2013 setelah bekerja 7 tahun 8 bulan. Satu bulan setelah PHK saya mengurus untuk mencairkan dana jamsostek saya. Tetapi, saya terkejut karena perusahaan belum menutup kepesertaan jamsostek saya (jamsostek saya masih aktif). Setelah saya hubungi kantor, ternyata saya masih punya utang kurang bayar pajak atas bonus yang sudah ditransfer 19 April 2013. Perusahaan tetap menahan status kepesertaan jamsostek saya sampai saya membayar pajak atas bonus tersebut ke perusahan. Pertanyaan saya: 1. Apakah berhak Perusahan menahan dana jamsostek saya yang saya akan cairkan? Adakah dasar hukumnya? 2. Masalah pemotongan pajak atas bonus yang kurang bayar, dapatkah saya bayarkan langsung ke kantor pajak berdasarkan SPT tahunan yang nanti saya terima di tahun 2013? 3. Perusahan memberikan saya deadline untuk menyelesaikan utang pajak tersebut ke saya, sedangkan status saya sudah bukan karyawan lagi? 4. Kurang bayar pemotongan pajak atas bonus tersebut adalah kesalahan hitung entah human error atau system error, tetapi mengapa dana jamsostek saya yang ditahan? Mohon masukannya, terima kasih.
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5190746ceb5b4/lt5191d274eb732.jpg
Terima kasih atas pertanyaannya.
 
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“UU Jamsostekmenyatakan:
 
“Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia”.
 
Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU Jamsostek menyatakan:
 
(1)      Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi.
(2)      Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja.
 
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (2) UJamsostek tersebut,Jamsostek adalah hak bagi pekerja. Setiap perusahaan yang mempekerjakan minimal 10 orang atau lebih, atau membayar upah pekerja paling rendah Rp1 (satu) juta, maka perusahaan wajib mengikutkan karyawannya atau pekerja dalam program Jamsostek (Pasal 6 ayat [1] UU Jamsostek), yang meliputi:
1. Jaminan Kecelakaan Kerja;
2. Jaminan Kematian;
3. Jaminan Hari Tua; dan
4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
 
Bagaimana dengan karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (“PHK”), apakah perusahaan berhak menahan dana Jamsosteknya?
 
 
“Dalam hal tenaga kerja berhenti bekerja sebelum mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun dan mempunyai masa kepesertaan serendah-rendahnya 5 (lima) tahun dapat menerima Jaminan Hari Tua secara sekaligus.
 
Terhadap karyawan atau pekerja yang usia waktu berhentinya belum mencapai 55 tahun dan masa kerjanya serendah-rendahnya 5 tahun, maka karyawan/pekerja tersebut berhak menerima Jaminan Hari Tua secara sekaligus. Pasal 14 ayat (1)huruf a UU Jamsostek menegaskan:
Jaminan Hari Tua dibayarkan secara sekaligus, atau berkala, atau sebagian dan berkala, kepada tenaga kerjakarena:a. telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun”.
 
Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) PP 1/2009, maka Perusahaan tidak mempunyai kewenangan untuk menahan Jamsostek karyawan/pekerja yang sudah berhenti.  
 
Kemudian terhadap pajak, bonus, dan lain-lain sebagainya tentu bisa diperhitungkan setelah Jamsostek dari karyawan/pekerja tersebut diterimanya.
 
Demikian dan terima kasih.
 
Dasar hukum:

Sumber : PAHAM INDONESIA

Masalah Besaran THR dan Pemotongan Gaji Karena Cuti Bersama

Pertanyaan:
Salam sejahtera! Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya sampaikan: 1. Pada waktu lebaran kemarin kami menerima THR tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang besarannya satu bulan gaji full, padahal saat hari raya umat lain yang masih dalam satu tahun mereka mendapat THR full 1 bulan gaji. 2. Pada saat cuti bersama lebaran Idul Fitri, gaji kami dipotong sesuai lama libur cuti bersama. Langkah apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah tersebut? Terima kasih.
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Kami akan menjawab pertanyaan Anda satu persatu sebagai berikut:
 
1.    Mengenai Tunjangan Hari Raya (“THR”) telah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan (“Permenaker 4/1994”). Pada dasarnya dalam Pasal 3 ayat (1) Permenaker 4/1994 dikatakan bahwa besarnya THR adalah sebagai berikut:
a.    Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah;
b.    Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerja yakni dengan perhitungan: Masa kerja x 1 (satu) bulan upah.
 
Upah satu bulan yang dimaksud adalah upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap (Pasal 3 ayat [2] Permenaker 4/1994).
 
Akan tetapi, perusahaan dapat mengatur besarnya nilai THR berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) Permenaker 4/1994. DalamPasal 3 ayat (3) Permenaker 4/1994, diatur bahwa perusahaan dapat menentukan nilai THR dalam Kesepakatan Kerja (KK), atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dengan ketentuan bahwa nilai THR yang ditentukan oleh perusahaan tersebut lebih besar dari nilai THR yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Permenaker 4/1994.
 
Jadi, pada dasarnya jika pekerja tersebut telah bekerja minimal selama 12 (dua belas) bulan selama terus menerus di perusahaan tersebut, maka pekerja berhak atas THR sebesar 1 (satu) bulan upah.
 
Mengenai langkah hukum apa yang dapat ditempuh, sebagaimana pernah dibahas dalam artikel yang berjudul Langkah Hukum Jika THR Tidak Dibayar Penuh, jika memang ada pelanggaran terhadap ketentuan pembayaran THR ini, Anda dapat melaporkannya ke pegawai pengawas ketenagakerjaan di Disnaker setempat (Pasal 9 ayat [1] Permenaker 4/1994) karena THR merupakan hak Anda sebagai pekerja. 
 
Lebih lanjut dikatakan bahwa pelanggaran pengusaha dengan tidak membayarkan THR sesuai ketentuan yang berlaku dapat dikenakan pidana sesuai Pasal 8 Permenaker 4/1994 yakni berupa kurungan dan denda. Jadi, jika terjadi pelanggaran dalam hal pembayaran THR, Anda dapat melaporkan ke pegawai pengawas ketenagakerjaan setempat.
 
Selain itu, pekerja yang dirugikan karena THR-nya tak dibayar secara penuh dapat menempuh upaya secara keperdataan. Yaitu dimulai dengan perundingan bipartit, kemudian mediasi di dinas ketenagakerjaan setempat hingga pengajuan gugatan perselisihan hak ke pengadilan hubungan industrial. Selengkapnya mengenai penyelesaian perselisihan hak, dapat Anda lihat dalam artikel yang berjudul Langkah Hukum Jika Pengusaha Tidak Bayar Upah.
 
2.    Pada umumnya, pelaksanaan cuti bersama adalah memotong cuti tahunan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Poin ke-4 Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No. 5 Tahun 2012, No. SKB.06/MEN/VII/2012, No. 2 Tahun 2012 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013.
 
Karena cuti bersama dipotong dari cuti tahunan pekerja, maka pengusaha tidak dapat memotong gaji pekerja terkait dengan cuti bersama. Ini karena berdasarkan Pasal 93 ayat (2) huruf g Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pengusaha wajib membayar upah pekerja saat pekerja melaksanakan hak istirahat. Yang dimaksud dengan hak istirahat adalah waktu istirahat dan cuti sebagaimana terdapat dalam Pasal 79 UU Ketenagakerjaan.
 
Jika pengusaha melanggar ketentuan dalam Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, berdasarkan Pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
 
Dalam hal ini maka yang terjadi adalah adanya perselisihan antara Anda dengan pengusaha mengenai gaji/upah. Perselisihan mengenai gaji/upah adalah perselisihan hak sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 2Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Mengenai langkah hukum yang dapat Anda lakukan terkait perselisihan hak, Anda dapat membaca artikel Scientia Afifah, S.H. yang berjudul Langkah Hukum Jika Pengusaha Tidak Bayar Upah.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
3.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan;
4.    Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No. 5 Tahun 2012, No. SKB.06/MEN/VII/2012, No. 2 Tahun 2012 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013.

Sumber : BUNG POKROL

Langkah Hukum Jika Pengusaha Tidak Bayar THR

Pertanyaan:
Pada peraturannya, THR kan harus dibayar 7 hari sebelum lebaran. Jika perusahaan melakukan penundaan atau bahkan mungkin tidak mau membayarkan THR kepada karyawan, apakah hal tersebut termasuk PMH? Kemudian, apakah kita bisa melakukan gugatan? Jika bisa, bagaimana caranya?
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5165540a9b53c/lt51655436e57b1.jpg
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”), adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain sebagaimana yang disebut dalamPasal 1 huruf d Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan (“Permenaker 4/1994”).
 
Menurut Pasal 2 ayat (1) Permenaker 4/1994, pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara terus menerus atau lebih. Jadi, jika pekerja dalam pertanyaan Anda telah bekerja selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, ia berhak atas THR.
 
Memang benar apa yang Anda katakan, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Permenaker 4/1994, pembayaran THR wajib dibayarkan oleh pengusahaselambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Namun, perlu dilihat lagi apakah penundaan pembayaran THR itu dilakukan oleh pengusaha karena kondisi keuangan perusahaan yang tidak mampu membayar THR atau tidak.
 
Berdasarkan Pasal 7 Permenaker 4/1994, pengusaha yang karena kondisi perusahaannya tidak mampu membayar THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan mengenai besarnya jumlah THR kepada Direktur jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan yang harus diajukan paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya Keagamaan yang terdekat.
 
Tapi, bila ternyata pengusaha tidak mengajukan permohonan seperti disebutkan di atas dan pengusaha tetap tidak membayarkan THR, maka berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Permenaker 4/1994,hal tersebut merupakan pelanggaran dan pengusaha dapat diancam dengan hukuman kurungan dan denda.
 
Selain itu, karena THR merupakan hak pekerja, maka pelanggaran atas hak THR tersebut dinamakan perselisihan hak sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”):
 
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaanpelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
 
Langkah pertama yang dapat Anda tempuh adalah dengan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan antara Anda dengan pengusaha, yang disebut dengan penyelesaian secara bipartit. Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat sebagaimana yang disebut dalam Pasal 3 ayat (1) UU PPHI.
 
Apabila penyelesaian secara bipartit tidak berhasil dilakukan, cara yang dapat ditempuh adalah dengan melalui mediasi hubungan industrial, yaitu melalui musyawarah antara pekerja dan pengusaha yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral (lihat Pasal 1 angka 11 UU PPHI), salah satu penyelesaian yang dilakukan melalui mediasi adalah masalah perselisihan hak yang tadi kami sebutkan. Penjelasan lebih lanjut mengenai mediasi hubungan industrial dapat Anda simak dalam artikel Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (1). Jika mediasi masih gagal atau tidak mencapai kesepakatan pekerja bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana yang diatur dalam UU PPHI.
 
Jadi, pada dasarnya penyelesaian perselisihan atara pengusaha dan pekerja mengenai pembayaran THR ini menurut hemat kami tidak tepat jika diajukan gugatan ke pengadilan umum atas dasar perbuatan melawan hukum (PMH) seperti yang Anda sebutkan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
2.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan 

Sumber : BUNG POKROL

Dasar Hukum dan Mekanisme Zakat Sebagai Pengurang Pajak

Pertanyaan:
1. Bagaimana prosesnya sampai zakat dapat mengurangi PPh? Apa pertimbangannya? Dasar hukumnya? Apa tidak menimbulkan kecemburuan bagi umat lain? 2. Apakah peraturan ini sudah berlaku efektif di Indonesia? 3. Bagaimana cara mekanismenya?
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4d37c414e08df/lt4fa7a38cd5387.jpg
1.    Dalam setiap agama yang ada di Indonesia memang berlaku berbagai ketentuan berbeda terkait kewajiban keagamaan. Dalam agama Islam misalnya, ada kewajiban mengeluarkan zakat sebesar 2,5%, dan dalam agama Kristen ada kewajiban pembayaran persepuluhan sebesar 10%.
 
Kewajiban mengeluarkan zakat ini didasarkan pada Al-Quran surat Al Baqarah: 267 yang menentukan bahwa setiap pekerjaan yang halal yang mendatangkan penghasilan, setelah dihitung selama satu tahun hasilnya mencapai nisab (senilai 85 gram emas) maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (sumber: Badan Amil Zakat Nasional).
 
Mengenai proses hingga zakat mengurangi pembayaran pajak (dalam hal ini pajak penghasilan), hal ini sudah diatur sejak adanya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 38/1999”), dan kemudian lebih dipertegas oleh UU Zakat yang terbaru yang menggantikan UU 38/1999 yaitu UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 23/2011”).
 
Latar belakang dari pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 14 ayat (3) UU 38/1999 bahwa pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak adalah dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Ketentuan ini masih diatur dalam UU yang terbaru yakni dalam Pasal 22 UU 23/2011:
 
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.”
 
Hal ini ditegaskan pula dalam ketentuan perpajakan sejak adanya UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yakni diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi:
 
“Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.”
 
Dalam ketentuan pasal tersebut baru diatur secara eksplisit bahwa yang tidak termasuk objek pajak adalah zakat. Sedangkan, pengurangan pajak atas kewajiban pembayaran sumbangan untuk agama lain belum diatur ketika itu. Hal ini memang berpotensi menimbulkan kecemburuan dari agama lain yang juga diakui di Indonesia.
 
Dengan dikeluarkannya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”) pasal tersebut mengalami perubahan sehingga berbunyi:
 
“Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
 
Ketentuan serupa ditegaskan pula dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan.
 
 
“Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a)      zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b)      sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.”
 
Sedangkan, badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11 Juni 2012 yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011, yang di antaranya adalah: Badan Amil Zakat Nasional, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI), dan Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) - yang keseluruhannya saat ini berjumlah 21 badan/lembaga.
 
2.    Karena semua peraturan yang telah disebutkan di atas telah berlaku efektif, maka ketentuan pengecualian zakat atau sumbangan wajib keagamaan dari objek pajak sudah berlaku efektif di Indonesia.
 
3.    Mekanisme pengurangan zakat dari penghasilan bruto ini dapat kita temui dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagai berikut:
 
Pasal 2
(1).    Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1,wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
(2).    Bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a        dapat berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dan
b        paling sedikit memuat:
1)    Nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
2)    Jumlah pembayaran;
3)    Tanggal pembayaran;
4)    Nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan
5)    Tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di bukti pembayaran, apabila pembayaran secara langsung; atau
6)    Validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer rekening bank.
 
Pasal 3
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila :
a    tidak dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
b    bukti pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
 
Pasal 4
(1).    Pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam Tahun Pajak dibayarkan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tersebut.
(2).    Dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan, zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana ayat (1) dilaporkan untuk menentukan penghasilan neto.
 
 
Lebih jauh mengenai pelaporan pengurangan zakat atas penghasilan bisa Anda simak dalam salah satu artikel dari Kanwil DJP Jakarta Khusus.
 
Jadi, sesuai uraian di atas, pemberian zakat memang dapat mengurangi pajak, karena zakat dikecualikan dari objek pajak. Pengurangan pajak ini juga berlaku atas sumbangan wajib keagamaan bagi pemeluk agama lain yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dan peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas telah berlaku efektif di Indonesia, demikian pula dengan mekanisme yang telah diaturnya.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
6.    Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
7.    Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
8.    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Sumber : BUNG POKROL